Bab 14-B: Membalas Mertua dan Suamiku
“Denger itu, Ima? Sudah, cuci piring dan masak sana! Biasa juga kamu yang kerjain.”
Aku memanyunkan bibir saat mendapat serangan bertubi dari keduanya. Sepertinya, akan sedikit sulit untuk bertahan lebih lama di rumah ini.
Tidak ingin memperpanjang masalah di awal, aku bergerak menuju dapur. Begitu berhadapan dengan wastafel, segunung piring kotor sudah menanti.
Satu persatu kucuci, tidak berhenti meski Sari terus berbicara dari arah belakang. Perempuan itu mengeluh akan banyaknya pengeluaran dan pekerjaan saat aku dan Bang Agam muncul di rumah ini.
“Jadi, kamu keberatan kalau kami tinggal lebih lama di sini?” hardikku usai membilas piring terakhir.
Aku mengeringkan kedua tangan, kemudian melihat ke arah Sari. Punggung perempuan itu saja terlihat sebal, apa lagi wajahnya.
Sari
Bab 15-A: Membalas Mertua dan Suamiku“Kamu ngomong apa sih, Dek? Mending bantu Sari berberes di dapur dan masak saja. Ibu bilang kamu tidak peduli dengan keadaan rumah ini, suka main hape sampai siang.”Aku tercengang mendengar penuturan Bang Agam. Pria itu melepaskan tanganku dari dirinya, kemudian mundur beberapa langkah hingga mencapai ranjang. Perlahan, Bang Agam duduk di tepian, memandang hampa ke arah lantai.“Bang, aku sudah dengar semuanya. Kamu mau mengelak lagi?” desakku tidak tahan dengan apa yang dilakukan olehnya.Kudekati Bang Agam. Pria itu malah menghindar.“Sudahlah, aku ngantuk banget. Kamu ganti baju dan bantu Sari di dapur. Semenjak kita ke sini kerjaan dia jadi banyak. Tidak enak kita numpang saja tapi tidak bantu sama sekali. Ibu juga bisa mengomel nantinya,” ucap Bang Agam.Pria itu
Bab 15-B: Membalas Mertua dan Suamiku“Ah, itu ... Kamu istrinya Agam, kan?” sahut perempuan lain. Wanita yang memakai topi seperti tudung saji itu mengangkat sedikit topinya hingga kedua matanya yang teduh terlihat.“Benar, Bu.” Aku menjawab malu-malu.Setelahnya, beberapa perempuan tersenyum padaku. Mereka membuka ruang, memberiku tempat untuk bergabung.“Udah lama di sini, Dek? Kenapa baru pulang ke sini?” Yang lain mengajakku bicara.Akhirnya aku membaur dengan perempuan-perempuan hebat itu hanya dalam beberapa menit. Mereka menerima hadirku dengan tangan terbuka, mengajak mengobrol hingga tidak terasa canggung sama sekali.Selangkah demi selangkah, kami berjalan bersama. Meninggalkan banyak rumah di belakang hingga pepohonan rindang serta hamparan tanah kebun mulai terlihat.Aku meras
Bab 16-A: Membalas Mertua dan Suamiku Tergopoh-gopoh aku berlari menuju rumah. Di dalam kepalaku hanya terbersit dua pilihan yang sama-sama berat, entah itu mengobrak-abrik seluruh rumah dan menentang keluarga Bang Agam atau memilih untuk menginterogasi Bang Agam lebih dulu.Kesal, muak, aku tidak tahu kata apa lagi yang bisa memggambarkan perasaanku terhadap keluarga ini. Mereka penuh rahasia dan tidak bisa dipercaya sama sekali, termasuk Bang Agam. Andai nanti polisi datang lalu menangkap mereka, aku tidak akan lagi terkejut. Membeli tanah seluas itu saja bisa dilakukannya tanpa sepengetahuanku, apa lagi hal lain. Entah kapan Bang Agam dan ibu mertua beraksi, sebab selama ini mereka sering ada di rumah, tidak terlihat mencurigakan.Rupanya, air menggenang berisi buaya. Tenang namun berbahaya.“Assalamualaikum!” seruku dari depan rumah.Pintu terkun
Bab 16-B: Membalas Mertua dan Suamiku“Jadi itu alasan kamu keluar seharian, enggak masak dan bantu adik iparku?”“Persetan dengan masak! Sekarang jawab aku, kenapa kamu jadi begini dan dari mana uang itu, Bang? Sebenarnya apa yang kamu sembunyikan dariku?”“Tidak ada, tidak ada yang aku sembunyikan. Kamu tahu sendiri ke mana habisnya gajiku selama ini.”“Ya, habis buat ibu dan nafkahin keluarga adikmu!” Aku menunjuk dada Bang Agam. Ingin rasanya kuhantam kepala pria itu dengan batu agar dia sadar sekarang kalau istrinya sedang berusaha menyelamatkannya.Bang Agam membelalakkan mata. Netranya bergetar saat kami beradu tatap. Aku menyungginkan bibir, memelototinya dengan angkuh karena satu per satu rahasia pria itu terungkap olehku.“Aku tidak mau membahas ini lagi.”“Tapi a
Bab 17: Membalas Mertua dan Suamiku “Gam, Agam!”Aku melirik ke arah pintu depan usai mendengar teriakan tersebut. Persis dugaanku, ibu mertua masuk dengan Iqmal dan keluarganya, mereka menerjang cepat ke dalam seolah dikejar setan.Diriku menyungging senyum di dapur. Sesaat lalu Bang Agam menuruti keinginanku untuk mengirimkan semua uang di rekeningnya. Pastilah ibu mertua kebingungan saat hendak membayar hingga buru-buru pulang seperti kesetanan.“Agam di mana?” Ibu mertua menerobos ke dapur, menanyaiku keberadaan pria tersebut. Beliau lirik kiri dan kanan, tidak puas hingga menghela napas dengan kasar.Aku mengendikkan bahu. Sungguh tidak tahu ke mana Bang Agam pergi setelah pamit sesaat lalu. Mungkin saja berjanji dengan teman lamanya di sini, atau bisa juga sekadar melepas penat dengan nongkrong di warung kopi.&
Bab 18: Membalas Mertua dan SuamikuAku berkeliling desa sendirian usai bertengkar dengan ibu mertua dan Iqmal. Selangkah demi selangkah, dari jalan aspal hingga jalan bebatuan kuarungi seorang diri tanpa ditemani.Tidak jarang, aku melempar senyum pada orang-orang yang melihat diriku. Sebagian ada yang menyapa balik, sisanya hanya membalas seala kadar.Sebenarnya, aku berharap bertemu kembali dengan para perempuan yang kutemui pagi tadi. Mungkin dari mereka akan kudapati lebih banyak rahasia yang tidak akan pernah diungkapkan oleh Bang Agam lewat mulutnya apa lagi dari ibu mertua dan keluarganya.Nihil! Aku sudah berkeliling desa hingga kedua kaki kesakitan. Tidak ada satu orang pun yang mengajakku mengobrol. Sampai, aku berhenti di sebuah minimarket di pinggiran desa.Sebuah toko yang berada di halaman rumah tersebut berukuran cukup besar dan disesaki berbagai barang. Meski saat aku datang tidak ada pembeli, kuyakin benar usahanya juga lancar.Aku meminta izin untuk meluruskan kedua
Bab 19: Membalas Mertua dan Suamiku “Duduk dulu, Dek. Istirahat dulu di sini, terus kalau sudah tenang hubungi suamimu supaya dijemput,” lirih perempuan itu seraya mengantarku ke kursi tamu.Aku hanya mengiyakan perkataan perempuan itu. Tidak lama setelahnya, aku mendudukkan tubuh di sofa tebal yang lumayan keras, kemudian menjatuhkan pandang pada dinding putih yang ditauti sebuah foto keluarga.Ada lima orang di dalamnya, termasuk perempuan bersahaja barusan. Kutebak sisanya adalah sang suami, anak dan menantu serta cucu perempuan. Mereka semuanya terlihat agamis, bahkan anak kecil tersebut memakai jilbab di dalam foto itu.Beberapa detik kemudian, perempuan tersebut keluar dengan seorang pria berambut putih. Tubuh pria itu masih kekar meski usianya tidak lagi muda. Wajahnya teduh dan senyumnya terlihat sangat tulus.“Ini, Yah. I
Bab 20-A: Membalas Mertua dan Suamiku Aku pulang ke rumah sebelum matahari meninggi. Masih cukup pagi, setengah sembilan tepatnya. Satu tangan menenteng bahan makanan, seekor ayam dan bumbu masakan.Perasaanku berdebar, gemuruh tidak tertahankan memporak-porandakan kewarasan. Kuremas tangan, abai dengan kenyataan jika hadirku kini mengusik tenang Bang Agam yang baru saja keluar dari kamar.Kami saling berpandangan, lalu kubuang dengan sengaja hingga pria itu terluka. Bang Agam berseru, memanggil diriku, “Dek, kenapa lagi?”Acuh, aku berlalu ke arah dapur. Sekarang aku ingin menangis, menumpahkan segalanya sendirian.“Dek, kamu kenapa? Ak
Bab 40: Membalas Mertua dan Suamiku Aku dan Qais pulang ke rumah lama kami dengan tergesa-gesa usai mendapatkan kabar dari Bang Agam. Kami tiba setelah mengebut di jalanan dengan perasaan tidak karuan. Di depan pagar, aku terdiam untuk sesaat. Rumah mewah yang dibeli oleh Bang Agam kini ramai dengan orang-orang. Mereka berduyun-duyun masuk, sibuk berbicara tentang ibu mertua yang meninggal di rumah sakit. “Sudah tiga hari di rumah sakit, katanya sejak ngerebut rumah ini dari anak mantunya, tiap malam seperti didatengin setan, Bu. Tidak bisa tidur, malah teriak-teriak kayak kerasukan.” Dua perempuan yang dulu menjadi teman karib ibu mertuaku saling berbisik. “Azab kali, Bu. Duh, saya juga sudah denger dari Bu RT. Selama ini Ima dan Agam difitnah, mereka diperlakukan seperti sapi perah, sampe akhirnya Agam yang minta keluar dari rumah ini. Terus, malah bawa anak keduanya ke sini!” “Betul, Bu. Saya juga dengar. Nauzubillah banget ternyata kelakuannya. Saya kira semua omongann
Bab 39: Membalas Mertua dan Suamiku “Agam!”“Aku minta maaf, Ibu. Aku minta maaf sekali,” lirih Bang Agam. Pria itu memejamkan kedua mata. Dari tempatku berdiri, terlihat penyesalan dan rasa sedih yang begitu dalam, bahkan urat tebal muncul di bawah pelipisnya.Pada akhirnya, hubungan kami jadi semakin rumit. Semua cara yang aku lakukan di masa lalu, termasuk membalas kelakuan Ibu mertua dan menyadarkan Bang Agam tidak membuahkan banyak hasil.“Agam, kamu mau tinggal di mana kalau bukan di rumah itu?” cegah Ibu mertua seraya menarik lengan Bang Agam.Suamiku tidak menjawab. Bibirnya hanya diam, terkatub terlalu rapat.“Bang, kita ....”“Kita bereskan barang, Dek. Bawa semua baju, tas, sepatu, riasan, milikmu, milikku, milik Qais, juga beberapa bungkus
Bab 38: Membalas Mertua dan SuamikuKami tiba di rumah Pak RT beberapa menit kemudian. Bang Agam bahkan tidak sempat berganti pakaian olahraganya hanya untuk mengecek keadaan ibu mertua yang diisukan sudah ada di kota.“Bang, yakin sudah antar Ibu ke desa?” tanyaku dengan suara berbisik.Aku turun dari boncengan motor, kemudian membawa Qais bersamaku. Bang Agam juga memarkirkan motornya agar tidak menghalanginya jalan keluar masuk di rumah Pak RT.“Iya, Dek. Aku juga memberi Ibu uang saku. Tidak mungkin aku membuat Ibu menderita dengan meninggalkannya di jalanan,” balas Bang Agam dengan mata yang membulat.Jika dia saja sekaget ini, aku yakin benar kalau ucapannya tidaklah dusta. Sepertinya, memang ada yang dilakukan oleh ibu mertua usai Bang Agam kembali ke kota semalam.“Kita masuk dulu dan tem
Bab 37: Membalas Mertua dan SuamikuBang Agam tidak gentar meski terus mendengar penolakan. Pria itu sudah mengambil keputusan tegas untuk membawa pulang Ibu dan keluarga Iqmal ke desa.Saat Ibu mertua terus memohon supaya Bang Agam melunak, pria itu malah menelepon taksi agar menjemput sampai ke rumah. Dia menelepon dua taksi, satu untuk keluarga ibu mertua, satunya lagi untuk adikku.“Gam, Ibu enggak mau pulang ke desa. Ibu mau di sini sama kamu,” rintih ibu mertua lagi. Perempuan itu memeluk lengan Bang Agam sekuat mungkin.Sejujurnya, aku terenyuh melihat ibu mertua sampai menangis. Perempuan itu memang sering kali membuat diriku kesal di rumah ini, tapi memaksa mereka kembali di malam hari juga kurang bijak menurutku.Di saat yang bersamaan, aku juga tidak bisa menentang Bang Agam. Pria itu menetapkan keputusan bukan tanpa alasan
Bab 36: Membalas Mertua dan SuamikuBegitulah semuanya selesai. Ibu mertua dan keluarganya yang menghadapi rasa malu jadi enggan beradu tatap denganku. Mereka juga tidak mau makan malam di meja yang sama, malah membawa makanan dan menghabiskannya di kamar bersama-sama.Aku juga tidak memaksa, membiarkan mereka melakukan apa yang mereka suka hingga Bang Agam kembali ke rumah ini. Jangan sampai duniaku yang nyaman dibolak-balik oleh mereka sekali lagi.“Kak, sampai kapan keluarga Bang Agam di sini?” Adikku berujar dengan suara lebih rendah. “Kemarin cuma Ibunya Bang Agam yang tinggal di sini, sekarang semuanya pindah ke sini?”Dia mengusaikan makan malamnya. Pria itu mencuci piring yang dipakai di wastafel lalu menyimpannya kembali di rak piring. Sungguh, aku tidak menduga jika pria muda itu akan punya sikap seperti ini.&ld
Bab 35: Membalas Mertua dan Suamiku “Ya Allah, aku enggak mimpi, kan?” lirihku.Sosok di depanku ini, kenapa dia ada di sini? Kami dipisahkan oleh benua, lautan, dan darat yang sangat luas. Lantas, kenapa tiba-tiba dia ada di rumahku? Tidak ada kabar soal kepulangannya yang selama ini masih menjadi misteri bagiku. Anak ini, dia memilih menetap di negeri orang karena kecewa dengan keputusanku yang tetap memilih untuk menikahi Bang Agam dulu.“Kak Ima, kenapa nangis, sih?” balasnya. Pria itu tidak melirik diriku meski aku yang berbicara dengannya. “Kamu kenapa di sini, Dek?”“Aku pulang, memangnya kenapa lagi?” Pria muda itu masih menatap Qais lebih dalam. Dia juga mengusap pipi gembul anak lelaki itu sebelum kemudian berdiri tegak seperti semula. “Kakak mau ke mana? Bang Agam mana?” tanyanya seray
Bab 34: Membalas Mertua dan Suamiku“Kamu mau ke mana, Gam?” Ibu mertuaku berseru keras saat Bang Agam keluar dari kamar dengan sebuah koper berukuran sedang.Aku di belakangnya hanya diam, memegang tangan Qais yang masih berusaha beradaptasi dengan lingkungan yang riuh ini. Tidak berbicara, juga tidak menolehkan muka. Biar Bang Agam saja yang mengurusi keluarganya.“Bu, hari ini aku harus ke Jakarta. Setelah pulang, nanti aku antar Ibu dan Iqmal ke desa!” sahut suamiku sembari menatap perempuan yang sudah melahirkannya itu.Bang Agam menggulung lengan kemeja hitamnya. Dia masih menunggu respon dari ibu mertua yang seperti sedang berpikir keras.“Kapan pulangnya?” Ibu mertuaku bertanya lagi. Perempuan yang memakai daster bermotif daun talas itu melenggang ke depan, dia mulai menghampiri Bang Agam dengan ekspresi riang yang tidak kumengerti alasan
Bab 33: Membalas Mertua dan Suamiku“Tidak perlu sekeras itu dengan adik iparmu, Gam. Kami itu keluargamu, bukan pengemis.” Ibu mertua menyahut. Beliau muncul, berdiri di sampingku dengan wajah penuh kekesalan.Bang Agam terlihat menghela napas, pundaknya naik, kemudian turun. Pria itu tidak berbalik, malah merebahkan tubuhnya di ranjang tepat di sebelah Qais dengan posisi tertelungkup. Sudah tidak ada lagi perkataan dan omelan yang didengarnya, pria itu menutup kepala dengan bantal dan menekannya sekuat mungkin.Ibu mertua langsung mencebik melihat Bang Agam begitu.“Sari, keluarlah! Bang Agam mau tidur,” pintaku seraya menarik tangan Sari yang seperti tidak peka dengan keadaan. Entah siapa yang salah sekarang, semuanya jadi rumit dan panas. Bang Agam juga terlihat tidak nyaman hingga terus meninggikan suara.
Bab 32: Membalas Mertua dan SuamikuKriet ...Aku membuka pintu meski Bang Agam belum membalas pesan. Mengurusi tamu yang datang tanpa diundang itu jauh lebih penting, dari pada kami jadi tontonan tetangga karena kegaduhan yang terus terjadi.“Ima, buka pintu saja lama banget! Kamu mau kami kram berdiri di luar seperti orang bodoh?” Segera, omelan menjadi pembuka pertemuan kami kembali setelah sekian lama.Di hadapanku, perempuan yang kupanggil ibu mertua itu berdiri dengan berkacak pinggang. Ekspresinya tidak ramah, jelas dia kesal. Begitu pula dengan anak dan menantu, hanya dua cucunya yang tersenyum padaku.“Iya, Bu. Da-dari mana, Bu?” balasku masih mencoba mengontrol diri.Ini adalah pertemuan kami setelah sekian lama, jelas aku terkejut. Ibu mertua pergi dengan Iqmal sekeluarga, hilang bak ditelan bumi. Tiba-tiba saja me