Share

Bab 2: Membalas Mertua dan Suamiku

Dua hari yang lalu, ibu Bang Agam menyakitiku begitu dalam. Kudengar ibu mertua mengobrol dengan salah satu tetangga arisannya yang mampir ke rumah kami. 

Mereka duduk di ruang tamu, menikmati teh dan kue yang dibeli oleh ibu mertua. Makanan lezat itu ‘disimpannya’ di dalam kamar tanpa sepengetahuanku, entah soal Bang Agam. Selalu begitu hingga pada akhirnya aku tahu kelakuan bengisnya itu.

Usai salat asar, aku hendak berjalan ke dapur untuk menyiapkan bahan masakan. Ibu mertua dan teman-temannya tidak sadar jika diriku masih ada di rumah itu, sebab sebelumnya Ibu mertua sudah memberi perintah agar aku ke warung sebentar. 

Kudengar mereka berbicara dalam nada tinggi penuh semangat. “Itulah, Mbak. Mantuku juga sama malasnya. Kerjanya main hape saja siang dan malam, tidak tahu masak dan cuci. Aku semua yang kerjain!” 

“Betul, mantu-mantu jaman sekarang benar-benar tidak tahu diri. Padahal numpang tapi masih banyak lagaknya!” Teman ibu mertuaku yang memakai emas hingga ke lengan itu bercerita sembari mengerucutkan bibir.

“Benar, gaji anakku juga mau dikuasai olehnya. Enak saja! Memang dia itu siapa? Kerjanya hanya makan berak sok-sok mau duit. Mau hedon pakai duit anakku? Siap-siap aku botakin!” sahut yang lain. 

Ibu mertua tersenyum mendengar teman-temannya mengeluhkan soal mantu-mantu mereka. Padahal, perempuan-perempuan yang disebut itu kukenal dengan baik perangainya. Tidak ada yang namanya bermalas-malasan, sebab merekalah asisten rumah tangga usai menikah, tidak ada juga keinginan untuk menguasai harta, sebab anak-anak para perempuan itu juga belum berani menafkahi istri sesuai dengan perintah agama. 

“Betul, mantuku juga sama bejatnya!” sahut Ibu mertuaku. “Aduh, kenapa nasib kita malang sekali sih. Menikahkan anak kok sama iblis, ya?” 

Deg! Aku terhenyak dari balik pintu. 

Setajam-tajamnya ucapan wanita-wanita itu, hanya ibu mertuaku yang menyamakan menantunya dengan iblis. Berkata demikian membuatnya tertawa dengan lantang, bahkan tidak peduli akan ekspresi kaget dari para tetangga. 

“Duh, Mbak. Mbak tahu tidak, mantuku itu minta uang bulanan lima belas juta sebulan!” imbuh mertuaku lagi. “Anakku yang kerja pontang-panting malah disisakan dua juta saja.” 

“Astaga, benaran? Kok ya ada perempuan begitu.” 

“Suruh cerai saja, Mbak. Kasihan Agam kalau begitu terus. Mending duda, biar nanti bisa dicarikan jodohnya. Anakku juga ada yang bungsu, baik dan cantik! Mantumu malah macam ART saja,” papar wanita dengan gelang emas berderet. 

Nyut terasa menusuk jantung. Begitukah sebenarnya ibu mertua menilai diriku selama ini? Segala senyum dan pembelaan yang dia berikan ternyata palsu belaka. Ibu mertua lebih membenci hadirku dibanding apa pun yang ada di dunia ini. 

“Beneran, Mbak. Enggak ikhlas anakku dibegitukan sama dia. Mana dia enggak punya kontribusi apa-apa, Mbak. Adiknya di luar negeri, itu anakku juga yang bayar sekolahnya!” Ibu mertua terus menambah-tambah. 

Tidak, aku tidak terima. Dia memfitnah adikku yang tidak tahu apa-apa soal mereka sama sekali. 

Jangankan membayar sekolah seperti tuduhan ibu mertua, memberi jajan saja Bang Agam tidak pernah melakukannya. Dia hanya fokus membiayai semua keinginan mewah ibu mertua dan dirinya sendiri. 

Kuhela napas, lalu mengusap wajah. Aku berganti pakaian dengan yang lebih sopan untuk keluar dari rumah. Lebih sopan, bukan berarti lebih bagus karena segala yang ada di dalam hidupku usai menikahi Bang Agam itu buluk serta menyedihkan. 

Usai memastikan jilbab bergoku terpasang kuat, kaki ini melangkah keluar dari kamar dengan tegap. Sengaja aku berjinjit lembut, meminimalisir sebuah suara yang mungkin timbul agar tidak diketahui oleh perempuan-perempuan di depan sana. 

Hingga, kudengar lagi ibu mertua berbicara lantang soal aku yang menuntut dibelikan rumah baru karena tidak tahan tinggal bersama dengannya.

“Wah, tamunya rame, Bu?” potongku segera sebelum lidahnya menyerukan berbagai fitnah yang lebih tajam. 

Seketika seluruh bising yang mereka timbulkan sedari tadi menghilang begitu saja. perempuan-perempuan dengan pakaian bagus dan gelas emas yang melingkar di lengan itu sontak membungkam diri. 

Jemari mereka yang juga lentik memegang gagang cangkir langsung kaku tidak bergerak. Mereka terpana menemukan hadirku di rumah ini, usai mencerca dan percaya dengan setiap ocehan ibu mertua. 

“Oh, I-ima?” sapa perempuan dengan gelang emas super banyak itu. Sedari tadi dirinya begitu sibuk menyimak setiap tuduhan dan fitnah kejam dari ibu mertua. 

Wajahnya langsung berubah, ada rasa tidak nyaman hingga geraknya jadi tidak beraturan. Hendak meminum jamuan, dia malah meletakkan cangkir. Hendak memakan suguhan, dia malah mencelupkan sepotong roti ke minuman. 

“Iya, Bu. Aku Ima ... mantu tidak tahu diri di rumah ini. Apa suguhannya enak, Bu? Aku yang beli itu semua, terus aku sembunyikan di kamar. Tidak tahu deh kenapa Ibu mertua bisa dapat dan disajikan ke kalian semua. Padahal, sudah aku umpetin di lemari sejak dua minggu lalu,” paparku kembali dengan senyum. “Harusnya sih, agak-agak asem dan berjamur.”

Ekspresi dan respons dari orang-orang itu serupa semuanya. Mereka melempar kue yang disajikan ibu mertua ke meja dan buru-buru mengusap mulut. 

“Loh, kalian jangan percaya. Mana mungkin ini makanan kemarin. Aku baru beli di toko kue kemarin, anakku yang belikan!” 

Ah, rupanya Bang Agam membelikan banyak makanan dan disembunyikan oleh ibunya. Tidak sepotong pun ditawarkannya padaku. 

“Kalau begitu, aku pamit dulu, ya? Ini mau hedon, ngabisin uang suami. Semalam baru dikasih lima belas ribu ... eh, maksudnya lima belas juta,” sindirku lagi dengan wajah penuh senyum. 

Usai berkata demikian pada tamu-tamu ibu mertua, aku mengayun kaki lebih ringan, pergi dari ruang tamu. Kutinggalkan para perempuan paruh baya yang membenci menantunya itu dan melanjutkan kegiatan hari ini sembari menyusun rencana untuk membalas mereka. 

---

“Dek, kamu enggak masak lagi?” 

Suara Bang Agam menggelegar dari ruang makan keesokan paginya. Pria yang berprofesi sebagai karyawan perusahaan multinasional itu mencebik kasar di depan tudung saji. 

Hanya ada nasi hangat di meja dan segelas air putih. Pria itu jelas tidak terima kuperlakukan begini. 

“Kerjamu tiap hari apa, sih? Masak saja tidak sempat. Pakaian juga sudah di-laundry semua sama ibuku. Kalau enggak, bisa-bisa aku pakai baju kotor ke kantor.”

Kulirik ke arahnya dari sofa depan. Bang Agam terus-terusan mencela dari sana. Dia kesal dan muak. Ini sudah jam tujuh pagi, sebentar lagi waktunya berangkat bekerja, namun tidak ada apa pun di meja. 

“Kalau begitu, suruh saja Ibu masak, Bang. Uangnya kan semua sama Ibumu.” Aku menyindirnya terang-terangan. 

Sungguh, sakit sekali hati ini. Menikahi Bang Agam hanya bahagia di awal, setelahnya duka dan luka yang kucecap. 

Bang Agam berbohong soal pengelolaan keuangan di dalam rumah tangga yang dialihkan padaku. Menipu perihal hidup kami yang akan jauh dari ikut campur orang tua.

Kini, hari-hariku hanya diisi dengan celaan mertua semata. Lalu, dilanjut olehnya tanpa pernah peduli bagaimana lelahnya diri ini. Setiap saat diperlakukan seperti orang asing, disindir, dicela dan dihina meski lewat tatapan. 

“Nyahut saja kamu! Memang perempuan tidak tahu caranya bersyukur kamu, Ima. Tiap hari kuberi kamu uang, tapi isi dapur selalu saja nasi panas dan air putih.”

Mendengarnya berteriak, aku bangkit dari kursi. Daster buluk di badan kutarik agar menutupi kulit yang terus terbuka. 

Pria ini, gajinya saja tujuh belas juta sebulan, tapi istrinya tidak mampu membeli daster meski yang harganya tiga puluh lima ribuan. 

“Uang apa, Bang? Lima belas ribu itu maksudmu?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status