Dua hari yang lalu, ibu Bang Agam menyakitiku begitu dalam. Kudengar ibu mertua mengobrol dengan salah satu tetangga arisannya yang mampir ke rumah kami.
Mereka duduk di ruang tamu, menikmati teh dan kue yang dibeli oleh ibu mertua. Makanan lezat itu ‘disimpannya’ di dalam kamar tanpa sepengetahuanku, entah soal Bang Agam. Selalu begitu hingga pada akhirnya aku tahu kelakuan bengisnya itu.
Usai salat asar, aku hendak berjalan ke dapur untuk menyiapkan bahan masakan. Ibu mertua dan teman-temannya tidak sadar jika diriku masih ada di rumah itu, sebab sebelumnya Ibu mertua sudah memberi perintah agar aku ke warung sebentar.
Kudengar mereka berbicara dalam nada tinggi penuh semangat. “Itulah, Mbak. Mantuku juga sama malasnya. Kerjanya main hape saja siang dan malam, tidak tahu masak dan cuci. Aku semua yang kerjain!”
“Betul, mantu-mantu jaman sekarang benar-benar tidak tahu diri. Padahal numpang tapi masih banyak lagaknya!” Teman ibu mertuaku yang memakai emas hingga ke lengan itu bercerita sembari mengerucutkan bibir.
“Benar, gaji anakku juga mau dikuasai olehnya. Enak saja! Memang dia itu siapa? Kerjanya hanya makan berak sok-sok mau duit. Mau hedon pakai duit anakku? Siap-siap aku botakin!” sahut yang lain.
Ibu mertua tersenyum mendengar teman-temannya mengeluhkan soal mantu-mantu mereka. Padahal, perempuan-perempuan yang disebut itu kukenal dengan baik perangainya. Tidak ada yang namanya bermalas-malasan, sebab merekalah asisten rumah tangga usai menikah, tidak ada juga keinginan untuk menguasai harta, sebab anak-anak para perempuan itu juga belum berani menafkahi istri sesuai dengan perintah agama.
“Betul, mantuku juga sama bejatnya!” sahut Ibu mertuaku. “Aduh, kenapa nasib kita malang sekali sih. Menikahkan anak kok sama iblis, ya?”
Deg! Aku terhenyak dari balik pintu.
Setajam-tajamnya ucapan wanita-wanita itu, hanya ibu mertuaku yang menyamakan menantunya dengan iblis. Berkata demikian membuatnya tertawa dengan lantang, bahkan tidak peduli akan ekspresi kaget dari para tetangga.
“Duh, Mbak. Mbak tahu tidak, mantuku itu minta uang bulanan lima belas juta sebulan!” imbuh mertuaku lagi. “Anakku yang kerja pontang-panting malah disisakan dua juta saja.”
“Astaga, benaran? Kok ya ada perempuan begitu.”
“Suruh cerai saja, Mbak. Kasihan Agam kalau begitu terus. Mending duda, biar nanti bisa dicarikan jodohnya. Anakku juga ada yang bungsu, baik dan cantik! Mantumu malah macam ART saja,” papar wanita dengan gelang emas berderet.
Nyut terasa menusuk jantung. Begitukah sebenarnya ibu mertua menilai diriku selama ini? Segala senyum dan pembelaan yang dia berikan ternyata palsu belaka. Ibu mertua lebih membenci hadirku dibanding apa pun yang ada di dunia ini.
“Beneran, Mbak. Enggak ikhlas anakku dibegitukan sama dia. Mana dia enggak punya kontribusi apa-apa, Mbak. Adiknya di luar negeri, itu anakku juga yang bayar sekolahnya!” Ibu mertua terus menambah-tambah.
Tidak, aku tidak terima. Dia memfitnah adikku yang tidak tahu apa-apa soal mereka sama sekali.
Jangankan membayar sekolah seperti tuduhan ibu mertua, memberi jajan saja Bang Agam tidak pernah melakukannya. Dia hanya fokus membiayai semua keinginan mewah ibu mertua dan dirinya sendiri.
Kuhela napas, lalu mengusap wajah. Aku berganti pakaian dengan yang lebih sopan untuk keluar dari rumah. Lebih sopan, bukan berarti lebih bagus karena segala yang ada di dalam hidupku usai menikahi Bang Agam itu buluk serta menyedihkan.
Usai memastikan jilbab bergoku terpasang kuat, kaki ini melangkah keluar dari kamar dengan tegap. Sengaja aku berjinjit lembut, meminimalisir sebuah suara yang mungkin timbul agar tidak diketahui oleh perempuan-perempuan di depan sana.
Hingga, kudengar lagi ibu mertua berbicara lantang soal aku yang menuntut dibelikan rumah baru karena tidak tahan tinggal bersama dengannya.
“Wah, tamunya rame, Bu?” potongku segera sebelum lidahnya menyerukan berbagai fitnah yang lebih tajam.
Seketika seluruh bising yang mereka timbulkan sedari tadi menghilang begitu saja. perempuan-perempuan dengan pakaian bagus dan gelas emas yang melingkar di lengan itu sontak membungkam diri.
Jemari mereka yang juga lentik memegang gagang cangkir langsung kaku tidak bergerak. Mereka terpana menemukan hadirku di rumah ini, usai mencerca dan percaya dengan setiap ocehan ibu mertua.
“Oh, I-ima?” sapa perempuan dengan gelang emas super banyak itu. Sedari tadi dirinya begitu sibuk menyimak setiap tuduhan dan fitnah kejam dari ibu mertua.
Wajahnya langsung berubah, ada rasa tidak nyaman hingga geraknya jadi tidak beraturan. Hendak meminum jamuan, dia malah meletakkan cangkir. Hendak memakan suguhan, dia malah mencelupkan sepotong roti ke minuman.
“Iya, Bu. Aku Ima ... mantu tidak tahu diri di rumah ini. Apa suguhannya enak, Bu? Aku yang beli itu semua, terus aku sembunyikan di kamar. Tidak tahu deh kenapa Ibu mertua bisa dapat dan disajikan ke kalian semua. Padahal, sudah aku umpetin di lemari sejak dua minggu lalu,” paparku kembali dengan senyum. “Harusnya sih, agak-agak asem dan berjamur.”
Ekspresi dan respons dari orang-orang itu serupa semuanya. Mereka melempar kue yang disajikan ibu mertua ke meja dan buru-buru mengusap mulut.
“Loh, kalian jangan percaya. Mana mungkin ini makanan kemarin. Aku baru beli di toko kue kemarin, anakku yang belikan!”
Ah, rupanya Bang Agam membelikan banyak makanan dan disembunyikan oleh ibunya. Tidak sepotong pun ditawarkannya padaku.
“Kalau begitu, aku pamit dulu, ya? Ini mau hedon, ngabisin uang suami. Semalam baru dikasih lima belas ribu ... eh, maksudnya lima belas juta,” sindirku lagi dengan wajah penuh senyum.
Usai berkata demikian pada tamu-tamu ibu mertua, aku mengayun kaki lebih ringan, pergi dari ruang tamu. Kutinggalkan para perempuan paruh baya yang membenci menantunya itu dan melanjutkan kegiatan hari ini sembari menyusun rencana untuk membalas mereka.
---
“Dek, kamu enggak masak lagi?”
Suara Bang Agam menggelegar dari ruang makan keesokan paginya. Pria yang berprofesi sebagai karyawan perusahaan multinasional itu mencebik kasar di depan tudung saji.
Hanya ada nasi hangat di meja dan segelas air putih. Pria itu jelas tidak terima kuperlakukan begini.
“Kerjamu tiap hari apa, sih? Masak saja tidak sempat. Pakaian juga sudah di-laundry semua sama ibuku. Kalau enggak, bisa-bisa aku pakai baju kotor ke kantor.”
Kulirik ke arahnya dari sofa depan. Bang Agam terus-terusan mencela dari sana. Dia kesal dan muak. Ini sudah jam tujuh pagi, sebentar lagi waktunya berangkat bekerja, namun tidak ada apa pun di meja.
“Kalau begitu, suruh saja Ibu masak, Bang. Uangnya kan semua sama Ibumu.” Aku menyindirnya terang-terangan.
Sungguh, sakit sekali hati ini. Menikahi Bang Agam hanya bahagia di awal, setelahnya duka dan luka yang kucecap.
Bang Agam berbohong soal pengelolaan keuangan di dalam rumah tangga yang dialihkan padaku. Menipu perihal hidup kami yang akan jauh dari ikut campur orang tua.
Kini, hari-hariku hanya diisi dengan celaan mertua semata. Lalu, dilanjut olehnya tanpa pernah peduli bagaimana lelahnya diri ini. Setiap saat diperlakukan seperti orang asing, disindir, dicela dan dihina meski lewat tatapan.
“Nyahut saja kamu! Memang perempuan tidak tahu caranya bersyukur kamu, Ima. Tiap hari kuberi kamu uang, tapi isi dapur selalu saja nasi panas dan air putih.”
Mendengarnya berteriak, aku bangkit dari kursi. Daster buluk di badan kutarik agar menutupi kulit yang terus terbuka.
Pria ini, gajinya saja tujuh belas juta sebulan, tapi istrinya tidak mampu membeli daster meski yang harganya tiga puluh lima ribuan.
“Uang apa, Bang? Lima belas ribu itu maksudmu?”
Bang Agam membelalakkan mata. Sehari lima belas ribu rupiah, bahkan untuk memasak sop saja tidak cukup. Entah kenapa pria dengan pikiran busuk sepertinya bisa lulus rekrutmen super sulit di perusahaan cabang luar negeri itu.“Lima belas ribu sehari! Apa kamu tidak bisa mengelola dengan baik? Aku sudah bilang, berhematlah. Kita ....”“Katakan itu sama Ibumu, Bang. Jangan sama aku. Di sini, di rumah ini, siapa yang harusnya kamu suruh berhemat, hah?” seruku lebih keras.Aku membelalakkan mata sebagai balasan. Tiga tahun bersabar, tapi malah hidupku jadi semakin gila.“Lancang kamu bawa-bawa nama ibuku, Dek. Itu tugasku merawat Ibu, beliau yang membesarkanku, memberiku uang untuk kuliah, beliau juga yang melahirkanku. Beliau paling berjasa di dalam hidupku. Sedangkan kamu, apa jasamu, hah?” balasnya.Aku menerima palu godam
"Dek?" Bang Agam menoleh padaku.Tatapannya menyalak, seperti ingin menerkam. Tidak terlihat keinginan untuk bersuara lembut denganku."Kenapa, Abang? Apa aku salah bicara barusan?""Jangan bicara begitu sama istrimu, Gam. Suaramu, kasar!" Ibu membentak Bang Agam.Beliau juga memukul lengan pria yang telah menikahiku tiga tahun terakhir. Tidak cukup sampai di situ, ibu mertua menambahkan beberapa nasihat lain, soal perjuangan istri, kebaikan istri, dan hak-hak seorang istri di dalam rumah tangga.Mendengarnya, aku menggelak sekali lagi. Sungguh, konyol sekali ocehan mereka berdua di pagi hari.Mendadak ibu mertua membuka khutbah, menasihati putranya agar bersikap baik padaku. Padahal, ibu sendiri alasan terbesar rumah tangga kami goyah.Semenjak ibu mertua datang, Bang Agam berubah. Hak dan kewajibanku diabaikannya. Dia hanya fokus menuruti ibu saja, menjadikannya ratu di istanaku."Tsk
Bab 5: Membalas Suami dan MertuakuHal pertama yang paling ingin kulakukan setelah Bang Agam pergi adalah membuktikan betapa mampunya diriku hidup tanpa uluran tangan suami dan mertuaku. Mereka selama ini terlampau memandang sebelah mata hingga tidak bisa melihat perbedaan antara hak dan kewajiban.Sebab itulah, aku memilih menjejak dengan tegak di atas lutut sendiri. Tidak boleh menunggu dan berharap lagi pada dua sosok itu.“Bismillah!” Aku bergumam keras saat keluar dari rumah mewah ini.Jaket tebal membalut tubuh, berwarna hitam dan hijau. Helem juga melindungi kepala, sedang sebagian muka tertutup oleh masker. Segalanya membuatku begitu yakin dan siap untuk menjalani hari ini tanpa sepengetahuan mertua dan suamiku.Setelahnya, aku turun ke jalan. Bertemu dengan puluhan orang lain yang sama sibuknya deng
Bab 6: Membalas Mertua dan SuamikuJam empat sore, aku tiba di rumah mewah itu lagi. Hela napasku mengudara berat, mendorong motor tua yang kubawa sebelum menikahi Bang Agam menuju garasi. Sendirian, usai berjuang dengan panas dan jalanan. Ditambah lagi, suamiku baru saja menghina dengan memintaku membuangkan bungkus kretek bekasnya. Tidak ingin meninggalkan jejak, aku buru-buru membuka jaket kebesaran tersebut, lalu menyembunyikannya di bawah jok motor terlebih dulu untuk saat ini. Khawatir juga andai Ibu Mertua yang baik budi tersebut muncul dan memergoki apa yang telah kulakukan di luar sana selama ini. Setelahnya, aku bergerak menuju pintu masuk. Helaan napas ini memberat, gelisah menyerang membabi-buta. Ada sepasang sandal yang sangat kukenal telah terduduk manis di rak. Juga sepatu yang terlihat begitu arogan berada di sebelahnya. “Dari mana saja, Nak?” Lembut mendayu, sebuah suara menyapa diriku. Bukannya senang, tubuhku merinding luar biasa. Sekujur badan bergetar, seola
Bab 7: Membalas Mertua dan Suamiku “Kak, nurut kalau diingetin!” Tiga tahun lalu, aku mendengar ocehan itu sembari rebahan. Saa itu, aku membuat sebuah kesalahan besar di dalam hidup. Menetapkan kriteria yang tidak islami saat memilih calon suami, mengabaikan semua hal-hal penting yang harusnya menjadi pertimbangan hanya karena perkara duniawi semata. Teringat jelas olehku, kala itu .... “Kak, mending istikharah dulu sebelum ngambil keputusan!” Adikku yang berwajah rupawan muncul entah dari mana. Dia berdiri di ambang pintu kamarku, memandang dengan ekspresi tidak suka. Pria yang usianya lebih muda empat tahun dariku itu memicingkan mata. Ditatapnya gawai yang enggan kulepas sejak pagi. Padahal, selama ini aku tidak pernah candu dengan benda pipih yang menyala itu. Hidupku sudah sangat sibuk, bekerja di toko retail, kemudia
Bab 8: Membalas Mertua dan Suamiku“Maksudmu apa, Ima?” Bang Agam terus menodongku dengan perkataan yang lebih tajam.Dia berdiri di sebelah meja, menatap diriku dengan ekspresi seolah ingin menerkam. Ditambah lagi, perlahan-lahan terdengar rintihan putus asa dari mulut ibu mertua. Beliau mulai memainkan lakon hanya untuk membuat diriku semakin buruk di depan Bang Agam.“Kenapa hanya beli satu porsi padahal di rumah ini ada tiga orang? Apa tidak paham kalau kamu tidak masak, itu berarti kami tidak makan! Kalau beli makanan, ingat juga pada suami dan ibu mertuamu,” sambungnya kembali.Kuulas senyum, kemudian memutar keran air untuk mencuci tangan di wastafel. Sikap masih kuatur sedemikian lembut dan anggun agar emosi yang ada di dalam diri Bang Agam semakin memuncak.“Tidak cukup uangnya,” sahutku. Ringan sekali, seolah sedang m
Bab 9: Membalas Mertua dan SuamikuBeliau terhenyak mendengarku berkata dengan suara ketus. Diletakkannya seuntai gelang ke atas meja, kemudian ibu mertua terlihat mengatur napas sebelum memandang balas diriku.Sungguh, aku muak sekali. Terlihat jelas beliau sepertinya sengaja melakukan hal ini pada kami. Dia tahu benar jika Bang Agam sangat tidak suka kalau ibu mertua merasa sedih, dan hal itu dimanfaatkan olehnya.“Kenapa Ibu lakukan hal sejahat ini padaku dan Bang Agam kalau Ibu sendiri tidak mau hal ini terjadi pada diri sendiri?” seruku kembali dengan nada yang lebih tinggi.“Loh, kok kamu ngomongnya begitu, Ima? Ini Ibu, loh. Ini Ibunya Agam, mertuamu sendiri,” balas Ibu mertua.Beliau mengusap dada, seolah-olah kata yang kuutarakan barusan telah menembus relung dadanya. Padahal, aku yakin benar, beliau peduli saja tida
Bab 10: Membalas Mertua dan SuamikuAku menantu jahat? Sepertinya begitu yang akan terdengar andai orang-orang tahu jika ibu mertua dibawa ke rumah sakit dengan ambulance dan diriku enggan ikut.Sesaat lalu, bunyi sirene ambulance memekakkan telinga. Ibu mertua jatuh pingsan karena mendengar tuntutan ku pada Bang Agam.Walau demikian, aku tahu benar kelakuan perempuan paruh baya itu. Ibu mertua sangat sehat, sulit diterima akal jika tiba-tiba dia jatuh pingsan."Dek, ikut ke rumah sakit!" Perintah dari Bang Agam bagai angin lalu. Pria itu berdiri di ambang pintu, menatap nyalang padaku yang enggan berganti baju.Sekalipun aku tidak bergerak sampai Bang Agam menyerah dan meninggalkanku sendirian di rumah. Akhirnya aku berhasil bersikap egois pada mereka setelah sekian lama mengalah.Malam ini, tidurku sangat nyenyak meski sendiri
Bab 40: Membalas Mertua dan Suamiku Aku dan Qais pulang ke rumah lama kami dengan tergesa-gesa usai mendapatkan kabar dari Bang Agam. Kami tiba setelah mengebut di jalanan dengan perasaan tidak karuan. Di depan pagar, aku terdiam untuk sesaat. Rumah mewah yang dibeli oleh Bang Agam kini ramai dengan orang-orang. Mereka berduyun-duyun masuk, sibuk berbicara tentang ibu mertua yang meninggal di rumah sakit. “Sudah tiga hari di rumah sakit, katanya sejak ngerebut rumah ini dari anak mantunya, tiap malam seperti didatengin setan, Bu. Tidak bisa tidur, malah teriak-teriak kayak kerasukan.” Dua perempuan yang dulu menjadi teman karib ibu mertuaku saling berbisik. “Azab kali, Bu. Duh, saya juga sudah denger dari Bu RT. Selama ini Ima dan Agam difitnah, mereka diperlakukan seperti sapi perah, sampe akhirnya Agam yang minta keluar dari rumah ini. Terus, malah bawa anak keduanya ke sini!” “Betul, Bu. Saya juga dengar. Nauzubillah banget ternyata kelakuannya. Saya kira semua omongann
Bab 39: Membalas Mertua dan Suamiku “Agam!”“Aku minta maaf, Ibu. Aku minta maaf sekali,” lirih Bang Agam. Pria itu memejamkan kedua mata. Dari tempatku berdiri, terlihat penyesalan dan rasa sedih yang begitu dalam, bahkan urat tebal muncul di bawah pelipisnya.Pada akhirnya, hubungan kami jadi semakin rumit. Semua cara yang aku lakukan di masa lalu, termasuk membalas kelakuan Ibu mertua dan menyadarkan Bang Agam tidak membuahkan banyak hasil.“Agam, kamu mau tinggal di mana kalau bukan di rumah itu?” cegah Ibu mertua seraya menarik lengan Bang Agam.Suamiku tidak menjawab. Bibirnya hanya diam, terkatub terlalu rapat.“Bang, kita ....”“Kita bereskan barang, Dek. Bawa semua baju, tas, sepatu, riasan, milikmu, milikku, milik Qais, juga beberapa bungkus
Bab 38: Membalas Mertua dan SuamikuKami tiba di rumah Pak RT beberapa menit kemudian. Bang Agam bahkan tidak sempat berganti pakaian olahraganya hanya untuk mengecek keadaan ibu mertua yang diisukan sudah ada di kota.“Bang, yakin sudah antar Ibu ke desa?” tanyaku dengan suara berbisik.Aku turun dari boncengan motor, kemudian membawa Qais bersamaku. Bang Agam juga memarkirkan motornya agar tidak menghalanginya jalan keluar masuk di rumah Pak RT.“Iya, Dek. Aku juga memberi Ibu uang saku. Tidak mungkin aku membuat Ibu menderita dengan meninggalkannya di jalanan,” balas Bang Agam dengan mata yang membulat.Jika dia saja sekaget ini, aku yakin benar kalau ucapannya tidaklah dusta. Sepertinya, memang ada yang dilakukan oleh ibu mertua usai Bang Agam kembali ke kota semalam.“Kita masuk dulu dan tem
Bab 37: Membalas Mertua dan SuamikuBang Agam tidak gentar meski terus mendengar penolakan. Pria itu sudah mengambil keputusan tegas untuk membawa pulang Ibu dan keluarga Iqmal ke desa.Saat Ibu mertua terus memohon supaya Bang Agam melunak, pria itu malah menelepon taksi agar menjemput sampai ke rumah. Dia menelepon dua taksi, satu untuk keluarga ibu mertua, satunya lagi untuk adikku.“Gam, Ibu enggak mau pulang ke desa. Ibu mau di sini sama kamu,” rintih ibu mertua lagi. Perempuan itu memeluk lengan Bang Agam sekuat mungkin.Sejujurnya, aku terenyuh melihat ibu mertua sampai menangis. Perempuan itu memang sering kali membuat diriku kesal di rumah ini, tapi memaksa mereka kembali di malam hari juga kurang bijak menurutku.Di saat yang bersamaan, aku juga tidak bisa menentang Bang Agam. Pria itu menetapkan keputusan bukan tanpa alasan
Bab 36: Membalas Mertua dan SuamikuBegitulah semuanya selesai. Ibu mertua dan keluarganya yang menghadapi rasa malu jadi enggan beradu tatap denganku. Mereka juga tidak mau makan malam di meja yang sama, malah membawa makanan dan menghabiskannya di kamar bersama-sama.Aku juga tidak memaksa, membiarkan mereka melakukan apa yang mereka suka hingga Bang Agam kembali ke rumah ini. Jangan sampai duniaku yang nyaman dibolak-balik oleh mereka sekali lagi.“Kak, sampai kapan keluarga Bang Agam di sini?” Adikku berujar dengan suara lebih rendah. “Kemarin cuma Ibunya Bang Agam yang tinggal di sini, sekarang semuanya pindah ke sini?”Dia mengusaikan makan malamnya. Pria itu mencuci piring yang dipakai di wastafel lalu menyimpannya kembali di rak piring. Sungguh, aku tidak menduga jika pria muda itu akan punya sikap seperti ini.&ld
Bab 35: Membalas Mertua dan Suamiku “Ya Allah, aku enggak mimpi, kan?” lirihku.Sosok di depanku ini, kenapa dia ada di sini? Kami dipisahkan oleh benua, lautan, dan darat yang sangat luas. Lantas, kenapa tiba-tiba dia ada di rumahku? Tidak ada kabar soal kepulangannya yang selama ini masih menjadi misteri bagiku. Anak ini, dia memilih menetap di negeri orang karena kecewa dengan keputusanku yang tetap memilih untuk menikahi Bang Agam dulu.“Kak Ima, kenapa nangis, sih?” balasnya. Pria itu tidak melirik diriku meski aku yang berbicara dengannya. “Kamu kenapa di sini, Dek?”“Aku pulang, memangnya kenapa lagi?” Pria muda itu masih menatap Qais lebih dalam. Dia juga mengusap pipi gembul anak lelaki itu sebelum kemudian berdiri tegak seperti semula. “Kakak mau ke mana? Bang Agam mana?” tanyanya seray
Bab 34: Membalas Mertua dan Suamiku“Kamu mau ke mana, Gam?” Ibu mertuaku berseru keras saat Bang Agam keluar dari kamar dengan sebuah koper berukuran sedang.Aku di belakangnya hanya diam, memegang tangan Qais yang masih berusaha beradaptasi dengan lingkungan yang riuh ini. Tidak berbicara, juga tidak menolehkan muka. Biar Bang Agam saja yang mengurusi keluarganya.“Bu, hari ini aku harus ke Jakarta. Setelah pulang, nanti aku antar Ibu dan Iqmal ke desa!” sahut suamiku sembari menatap perempuan yang sudah melahirkannya itu.Bang Agam menggulung lengan kemeja hitamnya. Dia masih menunggu respon dari ibu mertua yang seperti sedang berpikir keras.“Kapan pulangnya?” Ibu mertuaku bertanya lagi. Perempuan yang memakai daster bermotif daun talas itu melenggang ke depan, dia mulai menghampiri Bang Agam dengan ekspresi riang yang tidak kumengerti alasan
Bab 33: Membalas Mertua dan Suamiku“Tidak perlu sekeras itu dengan adik iparmu, Gam. Kami itu keluargamu, bukan pengemis.” Ibu mertua menyahut. Beliau muncul, berdiri di sampingku dengan wajah penuh kekesalan.Bang Agam terlihat menghela napas, pundaknya naik, kemudian turun. Pria itu tidak berbalik, malah merebahkan tubuhnya di ranjang tepat di sebelah Qais dengan posisi tertelungkup. Sudah tidak ada lagi perkataan dan omelan yang didengarnya, pria itu menutup kepala dengan bantal dan menekannya sekuat mungkin.Ibu mertua langsung mencebik melihat Bang Agam begitu.“Sari, keluarlah! Bang Agam mau tidur,” pintaku seraya menarik tangan Sari yang seperti tidak peka dengan keadaan. Entah siapa yang salah sekarang, semuanya jadi rumit dan panas. Bang Agam juga terlihat tidak nyaman hingga terus meninggikan suara.
Bab 32: Membalas Mertua dan SuamikuKriet ...Aku membuka pintu meski Bang Agam belum membalas pesan. Mengurusi tamu yang datang tanpa diundang itu jauh lebih penting, dari pada kami jadi tontonan tetangga karena kegaduhan yang terus terjadi.“Ima, buka pintu saja lama banget! Kamu mau kami kram berdiri di luar seperti orang bodoh?” Segera, omelan menjadi pembuka pertemuan kami kembali setelah sekian lama.Di hadapanku, perempuan yang kupanggil ibu mertua itu berdiri dengan berkacak pinggang. Ekspresinya tidak ramah, jelas dia kesal. Begitu pula dengan anak dan menantu, hanya dua cucunya yang tersenyum padaku.“Iya, Bu. Da-dari mana, Bu?” balasku masih mencoba mengontrol diri.Ini adalah pertemuan kami setelah sekian lama, jelas aku terkejut. Ibu mertua pergi dengan Iqmal sekeluarga, hilang bak ditelan bumi. Tiba-tiba saja me