Harry tak membiarkan matanya lepas barang sedetik pun dari para pelayan lelaki yang disibukkan dengan sebuah bingkisan sangat besar.
"Hati-hati. Jangan sampai isi di dalamnya menjadi berantakan," katanya, kala mereka meletakkan bingkisan itu di tengah rumah. Ini masih sangat pagi dan dia sudah bangun lebih dulu bersama para pelayan. Harry tersenyum lebar melihat bingkisan berwarna merah muda itu, dan bersegera dia berjalan menuju tangga.
Masih dengan senyum lebarnya, Harry memasuki kamarnya bersama Alena dan mengguncang pelan pundak istrinya.
"Sayang... Sayang, bangun," panggilnya lembut.
Wanita yang tadinya tertidur dengan lelap perlahan membuka kedua mata. Alena mengerut kecil, bingung melihat lelaki itu.
"Harry, ada apa? Kau merasakan sesuatu? Suhu tubuhmu naik lagi?" Alena mendaratkan tangannya di kening Harry untuk memastikan dugaan.
Tangan itu Harry tangkap dan bawa ke depan bibir. Dia mengecup pelan punggung tangan A
"Harry! Harry, ada apa denganmu?" Alena masih memanggil nama suaminya dan mengangkat kepala lelaki itu ke atas pangkuan. Dia duduk dengan benar, membingkai wajah Harry dengan kedua tangannya. Alena sangat takut melihat Harry semakin lemah. "Sebentar." Dia letakkan kepala Harry di atas bantal dan bersegera bangun dari ranjang. "Jangan tutup matamu dan tunggu sebentar." Semakin gugup, Alena berlarian dengan tubuh setengah telajang untuk menemukan ponselnya. "Dokter, Harry sakit lagi. Tolong segera ke sini dan jangan lama!" perintahnya tanpa penolakan. Dengan terburu Alena mengenakan pakaian yang dia dapat di atas ranjang. Dia bahkan tidak peduli bahwa itu adalah kaus oblong milik suaminya, asalkan bisa menutup bagian tubuh. Setelahnya Alena kembali naik ke atas ranjang untuk melihat kondisi suaminya. "Sayang, jangan tutup matamu. Lihat aku dan dengarkan aku bicara, Harry!" Suara Alena sudah menggelegar di dalam kamar untuk memastikan Har
Alena menegang menunggu dokter yang memeriksanya memberi penjelasan, sedangkan Harry terus menggenggam telapak tangan istrinya yang berbaring di atas ranjang. Keduanya saling melirik sejenak, lalu kembali menatap layar di depan mereka tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dari ekspresinya, tampak bukan hanya Alena yang merasa dag dig dug di dadanya, tapi juga Harry sangat tidak sabaran menanti hasil dari pemeriksaan dokter wanita itu. Lihat saja, dia berulang kali menelengkan kepala seperti orang yang tengah berpikir, kala menatap layar yang menunjukkan bagian rahim istrinya. “Apa itu sangat sulit?” celetuk Harry. “Lalu apa gunanya bersekolah bertahun-tahun jika untuk membacakan hasilnya saja terlalu lama?” sambungnya lagi, untuk meredahkan debaran jantung yang kian tak terkendali. Dia benar-benar tak sabar dan terus berceloteh mengenai sekolah dokter, membuat Alena merasa sedikit tidak enak hati pada dokter itu. Pasalnya, ini bukan dokter kandungan langganan Ale
Kehamilan kali ini sangat menyenangkan bagi Alena. Dia tidak merasakan mual, pusing, dan segala keluhan wanita hamil pada umumnya. Dia bisa menikmati harinya dengan menikmati semua makanan kesukaan, bisa tidur nyenyak tanpa diganggu insomnia, dan menjalankan berbagai aktifitas. Tapi jangan ditanya dengan Harry. Lelaki penakluk yang sangat terkenal kegarangannya itu, menjadi lelaki lemah oleh siksaan mual dan sering pusing. Harry benar-benar merasa ini adalah ujian terberatnya selama hidup di dunia, di mana dia tidak ingin mengeluh. “Sayang, di mana obat peredah mualnya? Huek!” Lelaki itu baru saja memakan sedikit sarapannya, dan sekarang sudah mual. Harry buru-buru mengejar wastafel untuk mengeluarkan lagi makanan yang baru dia telan. Melihat suaminya bersandar pada sisi wastafel, Alena menjadi sedikit tertawa. Ini mengingatkan ketika dirinya mengandung Zoe. Alena sering mual dan pusing saat itu. “Di sini, Sayang, ini.” Alena meraih botol obat
“Harry! Kau di mana, Harry?”Alena berlarian kecil di dalam kamar mereka, mencari Harry yang belum dilihatnya sejak dia terbangun dari tidur. Tidak biasanya lelaki itu menghilang sebelum mengganggu Alena dan membuatnya terjaga.“Harry, apa kau di dalam?” teriaknya lagi, membuka pintu kamar mandi.Tak ada Harry di bawah showe, juga tidak ada di dalam bath up dan kolam berendam yang luas itu. Alena mengerut kening merasa ada yang aneh pada suaminya pagi ini.“Ke mana dia? Apa dia sudah tidak suka melihatku, sehingga pergi ke kantor sangat pagi?”Sempat dia berdiri di depan cermin rias untuk menatap tubuhnya.Tubuhnya yang biasa mungil sudah melebar ke kiri kanan. Alena mencebikkan bibir kala melihat perut yang juga semakin membuncit. Usia kehamilannya sudah memasuki bulan ke tujuh, dan kehamilan kali ini sangat berbeda dari saat dia mengandung Zoe. Jika dulu hanya perutnya lah yang sangat menonjol, kal
“Bayinya sangat sehat, Tuan,” kata dokter wanita yang tengah melakukan test pada Alena. Harry tidak pernah melewatkan jadwal USG kandungan istrinya. Bahkan ketika Harry sedang di kantor pun dia akan menyempatkan diri pulang hanya untuk melihat janin Alena dari layar monitor besar itu. Mungkin bisa dikatakan, Harry lah yang lebih bersemangat dan tak pernah lupa dengan tanggal yang ditentukan oleh sang dokter. “Tetu saja. Putra keluarga Borisson tentunya akan sehat,” sahut Harry bangga. Matanya tidak lepas menatap layar besar di depan mereka, dan senyumnya selalu mengembang sejak tadi. Kala itu pun janin di perut Alena memutar wajahnya menghadap depan, dan langsung terlihat senyum di bibir janin itu. Harry menunjuk penuh semangat, suaranya bahkan tak bisa dia tahan. “Lihat, Sayang, putra kita tersenyum di dalam sana,” kata Harry sambil mengecup kening Alena. “Dia tersenyum. Putra kita pasti sangat senang melihat wajah kita di sini.” Betapa k
“Harry! Harry!” Alena berlarian dari dalam kamar dan langsung menuju ruang kerja suaminya. Para pelayan yang berpapasan ikut terkejut melihat nyonya rumah yang tampak panik di wajahnya. Tiffany yang bertepatan sedang bermain dengan zoe, lantas meletakkan anak itu dan ikut berlari ke dalam ruang kerja Harry. “Harry!” seru Alena, menghentikan jemari suaminya yang sedang mengetik sesuatu di keyboard laptop. Harry mengangkat wajahnya menatap Alena dan tampak lelaki itu ikut panik. “Sayang? Ada apa denganmu? Kau merasa sakit?” tanya Harry, berdiri cepat untuk menghampiri istrinya. “Di mana? Di mana kau merasa sakit?” Tangannya bergerak menyentuh punggung dan tubuh Alena yang lainnya, untuk memastikan apa keluhan istrinya saat ini. “Aku ...” Melihat Lukas juga berada di ruangan itu, Alena sedikit berjinjit untuk mendekatkan wajahnya ke telinga Harry dan berbisik di sana. “Sepertinya bayi kita akan segera lahir. Aku melihat tanda di dalamanku,” katanya, waja
Alena masih belum sadar, membuat Harry tidak bisa tenang hanya melihat para medis yang sibuk memberikan pertolongan pertama. Dia terus menggenggam tangan istri yang lemah tak berdaya dan menyerukan nama istrinya berkali-kali. Entah ini sudah yang keberapa, tapi Harry seakan tidak lelah mengulangi nama itu. Dia bahkan berharap Alena hanya bermain-main, sengaja menggoda suaminya. “Sayang, bangun lah kumohon. Aku yang akan mati jika melihat kau seperti ini,” kata Harry, semakin frustasi lelaki itu melihat dokter yang tidak juga berhasil membuat istrinya bangun. “Tuan, bisa Anda keluar sebentar?” Ketika salah satu dokter berkata seperti itu, hati Harry terasa sangat sakit membayangkan ada sesuatu yang tidak beres di sini. Mungkin mereka ingin membuatnya tidak melihat kesakitan yang dirasakan oleh Alena? Tidak ... Harry tidak akan pernah meninggalkan ruang bersalin itu. “Lakukan saja tugas kalian!” sentaknya tidak senang. “Tapi, Tuan. Nyonya Alena
Kata orang, semakin lama usia menikah akan membuat hubungan terasa biasa saja, cinta yang awalnya menggebu di awal-awal menikah akan menjadi terasa hambar di usia pernikahan yang menginjak angka sepuluh tahun. Mungkin itu benar bagi sebagian orang, tapi tidak untuk Harry dan Alena.Hari ini adalah ulang tahun pernikahan mereka yang ke sepuluh, tapi cinta di antara keduanya masih terasa seperti di awal mereka menikah dulu. Bukan karena tidak mendapat guncangan kiri kanan dan masalah lainnya, tapi tepatnya, karena mereka selalu bertahan meski banyak kerikil yang mengganggu cinta mereka.Harry memang suami yang sangat mengerti membangkitkan terus rasa cinta di dada istrinya, dan dia selalu sukses untuk membuat wanitanya itu tersenyum dan tersipu malu.“Kau sudah siap, Sayang?”Lelaki bertungkai panjang itu memasuki ruangan yang dipakai untuk merias Alena, dan melihat istrinya dari pantulan cermin. Dua perias yang ada di sana ikut tersenyum meliha
Esau berlari menaiki tangga pintu masuk istana keluarganya, dengan penuh semangat dan senyum yang tergambar di bibirnya. Tangan kanan menjinjing sebuah boks besar yang dia bawakan hadiah untuk istrinya, belakangan ini dia memang menjadi sangat romantis sejak mendengar kabar kehamilan Freya. Setiap akan pulang dari mana pun, Esau menyempatkan membawa hadiah untuk Freya. Baik itu berupa bunga, makanan, atau benda apa saja yang dia temukan di jalan. Terkadang juga Esau mencari-cari sesuatu yang diinginkan ibu hamil melalui situs internet, lantas membawakannya untuk Freya. Dia adalah suami yang begitu mencintai istrinya. “Sayang...” Esau mendorong pintu kamar, memamerkan jinjingan yang dia bawa. “Lihat, aku membawa apa padamu?” Freya yang tengah berbaring membaca sebuah buku, menurunkan buku itu ke atas perutnya dan melihat Esau. Sejak hamil dan dikatakan fisiknya lemah, Freya dengan suka rela mengambil cuti kuliah dan lebih memilih menghabiskan waktu menikmati k
“Frey, kalian harus datang, ingat!”Leona berseru dari ujung sana, melambaikan tangannya pada Freya yang masih berdiri menunggu Esau membukakan pintu mobil. Gadis itu mengangguk sebagai jawaban untuk seruan dari Leona.“Baik lah, akan aku usahakan.” Freya lalu masuk ke dalam mobil di samping suaminya yang menyetir.“Datang? Memangnya... ke mana dia mengajakmu?”“Ulang tahun. Leona merayakan ulang tahunnya, dan dia mengundang kita.”“Kenapa kita harus datang?” Esau menyahut acuh, menyalakan mesin mobil yang membawa mereka meninggalkan parkiran kampus. “Aku heran kenapa kau mau berteman dengannya, padahal dulu dia jahat padamu.”Jika dipikir-pikir, Leona memang banyak melakukan kejahatan pada Freya, tapi di balik itu Freya sendiri sudah membalasnya, kan? Lantas kenapa harus merasa dirinya harus membenci Leona lagi? Lagian Leona sendiri sudah meminta maaf secara terang-tera
Semua orang menjadi diam melihat kedatangan pria itu. Esau masih terkejut, bahkan dia tidak sadar kapan Ezra Raves berjalan menuju kado besar yang sudah Harry siapkan. Dia menatap Harry dengan tatapan yang sedikit aneh.“Apakah kado dariku sangat besar?” katanya, seakan menyindir Harry. Ezra cukup tahu Harry adalah seseorang yang selalu mempersiapkan segala sesuatu, dan sudah pasti Harry lah yang membuat kado itu seakan-akan dari dirinya. “Kalian tampak senang melihat kado dariku, tapi tampaknya tidak senang dengan kedatanganku.” Ezra berpindah ke depan Harry, mengulurkan tangannya dan berkata, “Halo, Besan, akhirnya kita bertemu setelah sekian lama.”Harry muak melihat sikap Ezra yang seakan ingin menunjukkan sifat arogannya. Tapi demi menjaga nama baik menantu perempuannya, Harry mengulurkan tangan untuk menyambut Ezra. “Ya, selamat datang kembali. Aku pikir pesawat itu sudah meledak sehingga kau mungkin tidak akan pernah dat
“Selamat, akhirnya kau benar-benar menjadi lelaki jantan.” Parsa menepuk pundak sahabatnya, membuat Esau mengerut kening tidak senang.“Sial! Apa selama ini aku kurang jantan di matamu?” umpat Esau pelan, tidak senang dia dengan ledekan yang ditujukan Parsa padanya.“Mana aku tahu, Freya lah yang tahu bagaimana kau di ranjang.” Parsa melirik Freya dan meneruskan pertanyaan Esau padanya. “Bagaimana, Frey, apakah Esau jago di ranjang?” ucapnya sembari tertawa.Kesal, Esau meninju pelan pundak Parsa untuk menyuruh sahabatnya itu diam. “Diam lah, Brengsek, atau aku memanggil bagian keamanan untuk mengusirmu,” balasnya sambil bergurau.Hal itu membuat Julian ikut tertawa mendengar dua sahabatnya yang saling mengejek, dan ikut serta di dalam perbincangan mereka. “Mungkin kau memang tidak jago, Esau, sebab itu Freya ingin meninggalkanmu.”“Hei, tutup mulutmu atau aku
“Apa yang kau lakukan, Esau?” Freya menarik Esau untuk menjauh, tetapi Esau tidak menggubrisnya. Dia tidak akan menyerah begitu saja sebelum Felisha menunjukkan apa yang dia sembunyikan.“Frey, aku lah yang lebih dulu mengenal bibi, jadi aku tahu dia tidak sepenuhnya gila. Sebelum kau masuk ke dalam hidupku, perawat mengatakan bibi hanya butuh pengobatan ringan. Dia hanya terlalu malu bertemu denganmu, sampai-sampai berkata tidak ingin melihatmu lagi. Benar seperti itu kan, Bi?” tanya Esau tegas.Tentu hal itu membuat Felisha tak tahan lagi. Dia lelah menahan diri hingga akhirnya meneteskan air mata dari kedua sudut matanya.“Aku orang jahat, kenapa aku berhak memiliki anak? Aku sudah membuat semua orang menderita, aku tidak pantas menjadi ibunya,” bisik Feli lemah.Pertemuan dengan Ezra sudah membuat Feli seperti tersadar bahwa dirinya adalah orang jahat yang tak pantas mendapatkan perhatian dari siapa pun. Semua tuduh
“Maaf sudah memisahkanmu dengan papamu.” Esau mengelus wajah Freya, satu jarinya bermain-main di wajah cantik gadis yang bersandar ke pundaknya.Bagaimana pun, Ezra Raves adalah pria pertama yang mencintai gadis itu sejak dia lahir. Mungkin banyak kesalahan yang Ezra lakukan, tapi tetap saja cinta seorang ayah tidak bisa dihilangkan dari hati.“Kau masih sedih?” Kini Esau tatap wajah cantik istrinya dengan memegangi dagu lancip Freya.Menggeleng lemah, tentu saja Freya berbohong. Dia tidak bisa berkata dirinya baik-baik saja setelah yang barusan terjadi.“Sedih sebentar tidak akan membunuhku, kan?” bisik Freya, lagi air matanya mengalir. “Papa tidak boleh hanya menyalahkan mama, mereka sama-sama salah. Aku harus tega pada papa untuk membuatnya menyadari kesalahan.”“Benar, kau tidak melakukan kesalahan. Jika papamu bisa berpikir dengan baik, seharusnya dia menyesal.”Helaan na
“Apa yang kalian bicarakan? Sayang, papa mencintaimu. Kau tidak harus mendengarkan kesaksian dari orang-orang yang tidak menyukai papa,” kata Ezra, berharap kali ini putrinya masih mendengarnya. Ezra Raves tidak rela jika Freya menuduhnya tidak menginginkan dirinya.“Tapi bukti yang kutemukan bukan sekedar ucapan orang-orang. Papa juga ingin melihatnya?” Freya menantang papanya, lantas membuka lipatan kertas yang dia pegang.Bagaimana pula ada orang yang berkata demikian? Apakah mereka bisa mendengar isi kepala Ezra? Siapa yang dengan berani membuat kesaksian bahwa Ezra tidak menginginkan bayinya? Sejak mendengar Felisha hamil, Ezra sudah berencana untuk mengurus bayi itu meski tanpa ibunya!“Catatan rumah sakit atas nama Felisha Raves dan suaminya Ezra Raves,” kata Freya, membaca sebagian dari kertas yang ada di tangannya. Dadanya sesak. Pedih Freya rasakan ketika dia melanjutkan untuk berkata, “Catatan ini adalah kunju
Freya masih bergeming menatap tangan Esau yang terulur padanya. Lalu perlahan mengangkat mata untuk melihat wajah suami yang... katanya sudah bercerai oleh perbuatan oleh sang papa. Wajah sendunya sulit untuk ditebak, apakah Freya akan menerima uluran tangan itu?Kemudian dia perlahan mengalihkan wajah menatap tangan papanya, lalu mata mereka pun bertemu beberapa detik kemudian.“Mari, Sayang, kita akan berangkat hari ini,” ucap Ezra Raves sekali lagi.“Papa menjagaku?” Suara serak yang menyiratkan kerinduan akan cinta.“Pasti, karena kau lah separu dari nyawaku yang tersisa.” Ezra mengangguk perlahan.Ezra memang banyak melakukan kebohonga, tapi semua dia lakukan untuk alasan yang tepat. Dia hanya tidak ingin membuat Freya seperti ibunya.“Freya, ibumu memiliki temprament yang sangat buruk. Dia suka menyakiti orang lain tanpa peduli siapa orangnya. Aku menjauhkanmu dari dia karena aku mencintaimu, a
“Esau, tunggu!” Freya hampir saja terjatuh ketika mengikuti langkah suaminya turun dari mobil. “Bukankah kau bilang akan mempertahankanku? Kenapa kau ingin mengembalikanku pada papa?” katanya lagi. Freya tidak ingin pergi, dia berhenti menatap rumah besar di mana papanya menunggu.“Freya, ikut lah, papamu sudah tak sabar menunggu.”Kemarahan Esau sudah sampai di puncak kepalanya, sehingga tak ada waktu baginya membahas hal ini. Esau hanya ingin segera bertemu dengan Ezra Raves dan menyelesaikan masalah mereka. Dia tidak tahan mendengar kata-kata Ezra yang bahkan sudah mengurus perceraiannya dan Freya. Bukankah pria itu sudah sangat keterlaluan?“Tapi aku tidak mau! Aku mencintaimu, aku ingin denganmu!” Freya yang baru mendapat kasih sayang dari seluruh anggota keluarga Borisson, tiba-tiba merasa sangat sedih. Esau, lelaki yang pagi tadi berkata mencintai dirinya bahkan rela mati untuknya, kenapa sekarang justru sep