"Kau akan ke mana, Sayang?"
Harry memegangi kaki Alena untuk mencegah istrinya berdiri. Dia letakkan kepala di atas paha itu, agar Alena tidak beranjak dari atas ranjang. Dia tidak ingin Alena meninggalkannya barang sedetik pun. Lelaki yang dalam masa pemulihannya itu menjadi sangat manja, dan selalu ingin bersama dengan Alena.
"Aku hanya ingin melihat Zoe, Sayang, tunggu lah sebentar," kata Alena, mencoba membujuk suaminya.
Lantas, Harry memajukan bibirnya dan menggeleng dua kali. "Tidak, biarkan aku di sini untuk beberapa saat lagi. Zoe pasti bermain dengan pelayan, kalau tidak, seharusnya sejak tadi dia sudah masuk," sahut Harry yang semakin mempererat pegangannya di paha Alena.
Astaga ... Alena menarik napas pasrah. Sejak Harry demam, dia menjadi sangat manja bahkan melebihi seorang bayi. Harry selalu berkata ingin terus berada di sisi istrinya, untuk membayar empat harinya yang sepi selama di perjalanan bisnis.
"Alen,
Harry tak membiarkan matanya lepas barang sedetik pun dari para pelayan lelaki yang disibukkan dengan sebuah bingkisan sangat besar."Hati-hati. Jangan sampai isi di dalamnya menjadi berantakan," katanya, kala mereka meletakkan bingkisan itu di tengah rumah. Ini masih sangat pagi dan dia sudah bangun lebih dulu bersama para pelayan. Harry tersenyum lebar melihat bingkisan berwarna merah muda itu, dan bersegera dia berjalan menuju tangga.Masih dengan senyum lebarnya, Harry memasuki kamarnya bersama Alena dan mengguncang pelan pundak istrinya."Sayang... Sayang, bangun," panggilnya lembut.Wanita yang tadinya tertidur dengan lelap perlahan membuka kedua mata. Alena mengerut kecil, bingung melihat lelaki itu."Harry, ada apa? Kau merasakan sesuatu? Suhu tubuhmu naik lagi?" Alena mendaratkan tangannya di kening Harry untuk memastikan dugaan.Tangan itu Harry tangkap dan bawa ke depan bibir. Dia mengecup pelan punggung tangan A
"Harry! Harry, ada apa denganmu?" Alena masih memanggil nama suaminya dan mengangkat kepala lelaki itu ke atas pangkuan. Dia duduk dengan benar, membingkai wajah Harry dengan kedua tangannya. Alena sangat takut melihat Harry semakin lemah. "Sebentar." Dia letakkan kepala Harry di atas bantal dan bersegera bangun dari ranjang. "Jangan tutup matamu dan tunggu sebentar." Semakin gugup, Alena berlarian dengan tubuh setengah telajang untuk menemukan ponselnya. "Dokter, Harry sakit lagi. Tolong segera ke sini dan jangan lama!" perintahnya tanpa penolakan. Dengan terburu Alena mengenakan pakaian yang dia dapat di atas ranjang. Dia bahkan tidak peduli bahwa itu adalah kaus oblong milik suaminya, asalkan bisa menutup bagian tubuh. Setelahnya Alena kembali naik ke atas ranjang untuk melihat kondisi suaminya. "Sayang, jangan tutup matamu. Lihat aku dan dengarkan aku bicara, Harry!" Suara Alena sudah menggelegar di dalam kamar untuk memastikan Har
Alena menegang menunggu dokter yang memeriksanya memberi penjelasan, sedangkan Harry terus menggenggam telapak tangan istrinya yang berbaring di atas ranjang. Keduanya saling melirik sejenak, lalu kembali menatap layar di depan mereka tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dari ekspresinya, tampak bukan hanya Alena yang merasa dag dig dug di dadanya, tapi juga Harry sangat tidak sabaran menanti hasil dari pemeriksaan dokter wanita itu. Lihat saja, dia berulang kali menelengkan kepala seperti orang yang tengah berpikir, kala menatap layar yang menunjukkan bagian rahim istrinya. “Apa itu sangat sulit?” celetuk Harry. “Lalu apa gunanya bersekolah bertahun-tahun jika untuk membacakan hasilnya saja terlalu lama?” sambungnya lagi, untuk meredahkan debaran jantung yang kian tak terkendali. Dia benar-benar tak sabar dan terus berceloteh mengenai sekolah dokter, membuat Alena merasa sedikit tidak enak hati pada dokter itu. Pasalnya, ini bukan dokter kandungan langganan Ale
Kehamilan kali ini sangat menyenangkan bagi Alena. Dia tidak merasakan mual, pusing, dan segala keluhan wanita hamil pada umumnya. Dia bisa menikmati harinya dengan menikmati semua makanan kesukaan, bisa tidur nyenyak tanpa diganggu insomnia, dan menjalankan berbagai aktifitas. Tapi jangan ditanya dengan Harry. Lelaki penakluk yang sangat terkenal kegarangannya itu, menjadi lelaki lemah oleh siksaan mual dan sering pusing. Harry benar-benar merasa ini adalah ujian terberatnya selama hidup di dunia, di mana dia tidak ingin mengeluh. “Sayang, di mana obat peredah mualnya? Huek!” Lelaki itu baru saja memakan sedikit sarapannya, dan sekarang sudah mual. Harry buru-buru mengejar wastafel untuk mengeluarkan lagi makanan yang baru dia telan. Melihat suaminya bersandar pada sisi wastafel, Alena menjadi sedikit tertawa. Ini mengingatkan ketika dirinya mengandung Zoe. Alena sering mual dan pusing saat itu. “Di sini, Sayang, ini.” Alena meraih botol obat
“Harry! Kau di mana, Harry?”Alena berlarian kecil di dalam kamar mereka, mencari Harry yang belum dilihatnya sejak dia terbangun dari tidur. Tidak biasanya lelaki itu menghilang sebelum mengganggu Alena dan membuatnya terjaga.“Harry, apa kau di dalam?” teriaknya lagi, membuka pintu kamar mandi.Tak ada Harry di bawah showe, juga tidak ada di dalam bath up dan kolam berendam yang luas itu. Alena mengerut kening merasa ada yang aneh pada suaminya pagi ini.“Ke mana dia? Apa dia sudah tidak suka melihatku, sehingga pergi ke kantor sangat pagi?”Sempat dia berdiri di depan cermin rias untuk menatap tubuhnya.Tubuhnya yang biasa mungil sudah melebar ke kiri kanan. Alena mencebikkan bibir kala melihat perut yang juga semakin membuncit. Usia kehamilannya sudah memasuki bulan ke tujuh, dan kehamilan kali ini sangat berbeda dari saat dia mengandung Zoe. Jika dulu hanya perutnya lah yang sangat menonjol, kal
“Bayinya sangat sehat, Tuan,” kata dokter wanita yang tengah melakukan test pada Alena. Harry tidak pernah melewatkan jadwal USG kandungan istrinya. Bahkan ketika Harry sedang di kantor pun dia akan menyempatkan diri pulang hanya untuk melihat janin Alena dari layar monitor besar itu. Mungkin bisa dikatakan, Harry lah yang lebih bersemangat dan tak pernah lupa dengan tanggal yang ditentukan oleh sang dokter. “Tetu saja. Putra keluarga Borisson tentunya akan sehat,” sahut Harry bangga. Matanya tidak lepas menatap layar besar di depan mereka, dan senyumnya selalu mengembang sejak tadi. Kala itu pun janin di perut Alena memutar wajahnya menghadap depan, dan langsung terlihat senyum di bibir janin itu. Harry menunjuk penuh semangat, suaranya bahkan tak bisa dia tahan. “Lihat, Sayang, putra kita tersenyum di dalam sana,” kata Harry sambil mengecup kening Alena. “Dia tersenyum. Putra kita pasti sangat senang melihat wajah kita di sini.” Betapa k
“Harry! Harry!” Alena berlarian dari dalam kamar dan langsung menuju ruang kerja suaminya. Para pelayan yang berpapasan ikut terkejut melihat nyonya rumah yang tampak panik di wajahnya. Tiffany yang bertepatan sedang bermain dengan zoe, lantas meletakkan anak itu dan ikut berlari ke dalam ruang kerja Harry. “Harry!” seru Alena, menghentikan jemari suaminya yang sedang mengetik sesuatu di keyboard laptop. Harry mengangkat wajahnya menatap Alena dan tampak lelaki itu ikut panik. “Sayang? Ada apa denganmu? Kau merasa sakit?” tanya Harry, berdiri cepat untuk menghampiri istrinya. “Di mana? Di mana kau merasa sakit?” Tangannya bergerak menyentuh punggung dan tubuh Alena yang lainnya, untuk memastikan apa keluhan istrinya saat ini. “Aku ...” Melihat Lukas juga berada di ruangan itu, Alena sedikit berjinjit untuk mendekatkan wajahnya ke telinga Harry dan berbisik di sana. “Sepertinya bayi kita akan segera lahir. Aku melihat tanda di dalamanku,” katanya, waja
Alena masih belum sadar, membuat Harry tidak bisa tenang hanya melihat para medis yang sibuk memberikan pertolongan pertama. Dia terus menggenggam tangan istri yang lemah tak berdaya dan menyerukan nama istrinya berkali-kali. Entah ini sudah yang keberapa, tapi Harry seakan tidak lelah mengulangi nama itu. Dia bahkan berharap Alena hanya bermain-main, sengaja menggoda suaminya. “Sayang, bangun lah kumohon. Aku yang akan mati jika melihat kau seperti ini,” kata Harry, semakin frustasi lelaki itu melihat dokter yang tidak juga berhasil membuat istrinya bangun. “Tuan, bisa Anda keluar sebentar?” Ketika salah satu dokter berkata seperti itu, hati Harry terasa sangat sakit membayangkan ada sesuatu yang tidak beres di sini. Mungkin mereka ingin membuatnya tidak melihat kesakitan yang dirasakan oleh Alena? Tidak ... Harry tidak akan pernah meninggalkan ruang bersalin itu. “Lakukan saja tugas kalian!” sentaknya tidak senang. “Tapi, Tuan. Nyonya Alena