Alena menegang menunggu dokter yang memeriksanya memberi penjelasan, sedangkan Harry terus menggenggam telapak tangan istrinya yang berbaring di atas ranjang. Keduanya saling melirik sejenak, lalu kembali menatap layar di depan mereka tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dari ekspresinya, tampak bukan hanya Alena yang merasa dag dig dug di dadanya, tapi juga Harry sangat tidak sabaran menanti hasil dari pemeriksaan dokter wanita itu. Lihat saja, dia berulang kali menelengkan kepala seperti orang yang tengah berpikir, kala menatap layar yang menunjukkan bagian rahim istrinya.
“Apa itu sangat sulit?” celetuk Harry. “Lalu apa gunanya bersekolah bertahun-tahun jika untuk membacakan hasilnya saja terlalu lama?” sambungnya lagi, untuk meredahkan debaran jantung yang kian tak terkendali.
Dia benar-benar tak sabar dan terus berceloteh mengenai sekolah dokter, membuat Alena merasa sedikit tidak enak hati pada dokter itu. Pasalnya, ini bukan dokter kandungan langganan Ale
Kehamilan kali ini sangat menyenangkan bagi Alena. Dia tidak merasakan mual, pusing, dan segala keluhan wanita hamil pada umumnya. Dia bisa menikmati harinya dengan menikmati semua makanan kesukaan, bisa tidur nyenyak tanpa diganggu insomnia, dan menjalankan berbagai aktifitas. Tapi jangan ditanya dengan Harry. Lelaki penakluk yang sangat terkenal kegarangannya itu, menjadi lelaki lemah oleh siksaan mual dan sering pusing. Harry benar-benar merasa ini adalah ujian terberatnya selama hidup di dunia, di mana dia tidak ingin mengeluh. “Sayang, di mana obat peredah mualnya? Huek!” Lelaki itu baru saja memakan sedikit sarapannya, dan sekarang sudah mual. Harry buru-buru mengejar wastafel untuk mengeluarkan lagi makanan yang baru dia telan. Melihat suaminya bersandar pada sisi wastafel, Alena menjadi sedikit tertawa. Ini mengingatkan ketika dirinya mengandung Zoe. Alena sering mual dan pusing saat itu. “Di sini, Sayang, ini.” Alena meraih botol obat
“Harry! Kau di mana, Harry?”Alena berlarian kecil di dalam kamar mereka, mencari Harry yang belum dilihatnya sejak dia terbangun dari tidur. Tidak biasanya lelaki itu menghilang sebelum mengganggu Alena dan membuatnya terjaga.“Harry, apa kau di dalam?” teriaknya lagi, membuka pintu kamar mandi.Tak ada Harry di bawah showe, juga tidak ada di dalam bath up dan kolam berendam yang luas itu. Alena mengerut kening merasa ada yang aneh pada suaminya pagi ini.“Ke mana dia? Apa dia sudah tidak suka melihatku, sehingga pergi ke kantor sangat pagi?”Sempat dia berdiri di depan cermin rias untuk menatap tubuhnya.Tubuhnya yang biasa mungil sudah melebar ke kiri kanan. Alena mencebikkan bibir kala melihat perut yang juga semakin membuncit. Usia kehamilannya sudah memasuki bulan ke tujuh, dan kehamilan kali ini sangat berbeda dari saat dia mengandung Zoe. Jika dulu hanya perutnya lah yang sangat menonjol, kal
“Bayinya sangat sehat, Tuan,” kata dokter wanita yang tengah melakukan test pada Alena. Harry tidak pernah melewatkan jadwal USG kandungan istrinya. Bahkan ketika Harry sedang di kantor pun dia akan menyempatkan diri pulang hanya untuk melihat janin Alena dari layar monitor besar itu. Mungkin bisa dikatakan, Harry lah yang lebih bersemangat dan tak pernah lupa dengan tanggal yang ditentukan oleh sang dokter. “Tetu saja. Putra keluarga Borisson tentunya akan sehat,” sahut Harry bangga. Matanya tidak lepas menatap layar besar di depan mereka, dan senyumnya selalu mengembang sejak tadi. Kala itu pun janin di perut Alena memutar wajahnya menghadap depan, dan langsung terlihat senyum di bibir janin itu. Harry menunjuk penuh semangat, suaranya bahkan tak bisa dia tahan. “Lihat, Sayang, putra kita tersenyum di dalam sana,” kata Harry sambil mengecup kening Alena. “Dia tersenyum. Putra kita pasti sangat senang melihat wajah kita di sini.” Betapa k
“Harry! Harry!” Alena berlarian dari dalam kamar dan langsung menuju ruang kerja suaminya. Para pelayan yang berpapasan ikut terkejut melihat nyonya rumah yang tampak panik di wajahnya. Tiffany yang bertepatan sedang bermain dengan zoe, lantas meletakkan anak itu dan ikut berlari ke dalam ruang kerja Harry. “Harry!” seru Alena, menghentikan jemari suaminya yang sedang mengetik sesuatu di keyboard laptop. Harry mengangkat wajahnya menatap Alena dan tampak lelaki itu ikut panik. “Sayang? Ada apa denganmu? Kau merasa sakit?” tanya Harry, berdiri cepat untuk menghampiri istrinya. “Di mana? Di mana kau merasa sakit?” Tangannya bergerak menyentuh punggung dan tubuh Alena yang lainnya, untuk memastikan apa keluhan istrinya saat ini. “Aku ...” Melihat Lukas juga berada di ruangan itu, Alena sedikit berjinjit untuk mendekatkan wajahnya ke telinga Harry dan berbisik di sana. “Sepertinya bayi kita akan segera lahir. Aku melihat tanda di dalamanku,” katanya, waja
Alena masih belum sadar, membuat Harry tidak bisa tenang hanya melihat para medis yang sibuk memberikan pertolongan pertama. Dia terus menggenggam tangan istri yang lemah tak berdaya dan menyerukan nama istrinya berkali-kali. Entah ini sudah yang keberapa, tapi Harry seakan tidak lelah mengulangi nama itu. Dia bahkan berharap Alena hanya bermain-main, sengaja menggoda suaminya. “Sayang, bangun lah kumohon. Aku yang akan mati jika melihat kau seperti ini,” kata Harry, semakin frustasi lelaki itu melihat dokter yang tidak juga berhasil membuat istrinya bangun. “Tuan, bisa Anda keluar sebentar?” Ketika salah satu dokter berkata seperti itu, hati Harry terasa sangat sakit membayangkan ada sesuatu yang tidak beres di sini. Mungkin mereka ingin membuatnya tidak melihat kesakitan yang dirasakan oleh Alena? Tidak ... Harry tidak akan pernah meninggalkan ruang bersalin itu. “Lakukan saja tugas kalian!” sentaknya tidak senang. “Tapi, Tuan. Nyonya Alena
Kata orang, semakin lama usia menikah akan membuat hubungan terasa biasa saja, cinta yang awalnya menggebu di awal-awal menikah akan menjadi terasa hambar di usia pernikahan yang menginjak angka sepuluh tahun. Mungkin itu benar bagi sebagian orang, tapi tidak untuk Harry dan Alena.Hari ini adalah ulang tahun pernikahan mereka yang ke sepuluh, tapi cinta di antara keduanya masih terasa seperti di awal mereka menikah dulu. Bukan karena tidak mendapat guncangan kiri kanan dan masalah lainnya, tapi tepatnya, karena mereka selalu bertahan meski banyak kerikil yang mengganggu cinta mereka.Harry memang suami yang sangat mengerti membangkitkan terus rasa cinta di dada istrinya, dan dia selalu sukses untuk membuat wanitanya itu tersenyum dan tersipu malu.“Kau sudah siap, Sayang?”Lelaki bertungkai panjang itu memasuki ruangan yang dipakai untuk merias Alena, dan melihat istrinya dari pantulan cermin. Dua perias yang ada di sana ikut tersenyum meliha
“Mom, ada apa denganmu?” Zoe berlari mengejar mommy-nya yang tiba-tiba saja menghentikan langkah. Tangan wanita itu memegangi kening, menandakan Alena tidak baik-baik saja. Zoe yang saat ini akan memasuki usia lima belas tahun, sangat khawatir menatap wajah Alena. “Apa yang terjadi, Mom?” ulang Zoe, memegangi pundak Alena. Wanita dengan gulungan rambut tinggi itu lantas menggeleng lemah. “Tidak, Sayang. Mom hanya sedikit merasa pusing. Tapi sekarang sudah baik-baik saja,” sahut Alena, membenarkan tegaknya yang sempat bersandar ke tiang pintu. “Mom yakin?” Zoe memastikan mommy-nya baik-baik saja, dan dibalas anggukan oleh wanita berusia pertengahan tiga puluh itu. “Ya, ini sudah baik-baik saja. Mungkin karena aku belum sarapan sejak pagi.” Alena memang kurang berselera beberapa hari ini. Dia sering meninggalkan jam makannya dan hanya akan makan jika Harry yang memaksa. Karena suaminya sedang mengurus sesuatu bersama Esau, dia pun
“Zoe ...!” Alena berteriak histeri di dalam kamar putri satu-satunya yang di miliki keluarga Borisson. Degup jantungnya berdebar hebat, mata bulat itu terbuka lebar dengan ekspresi kaget luar biasa. Bahkan tubuhnya yang mungil ikut gemetar menatap benda yang dicengkramnya dengan erat. Harry yang tadinya tengah mengenakan pakaian di dalam kamar mereka, segera berlari begitu mendengar teriakan histeris dari sang istri. Bukan hanya Harry, para pelayan juga Esau dan El, adik lelakinya, ikut heboh mendengar teriakan tak biasa dari Alena. Semua orang kelabakan sebab ini adalah suara pertama Alena pernah berteriak sekencang ini.Segera Harry mengejar istri yang terduduk lemah di atas ranjang putri mereka. Wanita itu terduduk di atas ranjang putrinya dengan secarik kertas yang terus dia tatap. Melihatnya, Harry yang baru saja datang lantas berlari untuk menentukan ada apa dengan Alena. “Sayang, ada apa kau teriak?” tanya Harry ikut panik. Tanpa m