Beranda / Romansa / Melahirkan Keturunan Untuk CEO / Bab 5. Si Dingin Dari Kutub

Share

Bab 5. Si Dingin Dari Kutub

Penulis: Melisristi
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Pagi telah tiba. Suara beduk azan membuat mata Kinara mengerjap. Terbangun sudah kala suara azan mengumandang.

Kinara membaca doa lebih dahulu kemudian tatapan matanya jatuh pada seseorang yang terbaring di sampingnya.

Kinara membelalakan mata kala menyadari kalau Aarav? Tidur dengannya?

"Aku, seranjang dengannya?" tanya Kinara pelan. Tapi, baju nan kerudung yang ia kenakan masih baik-baik saja kok. Itu berarti dirinya masih perawan kan?

"Hah, untung ...." Kinara menghela nafas pelan. Pandangan matanya menatap lurus sang suami. Ah Mas suami. Eh?

Kinara senyum-senyum sendiri, melihat Aarav yang tidur tenang seperti itu malah terkesan manis nan kalem. Tidak seperti monster kala dia terbangun. Jika ditanya lebih tampan mana? Ya lebih tampan Aarav yang lagi tidur. Ketampanannya plus-plus.

Kinara cungar-cengir sendiri namun sedetik kemudian dia memikirkan kehidupannya di masa depan yang akan datang. Kira-kira, apa yang telah Allah rencanakan di masa depan sana ya?

Apa setelah ini ia akan diusir? Tinggal berdua bersama sang adik? Atau, setelah melahirkan apa dirinya tidak akan bertemu dengan Aarav? Duh, melakukan hubungan suami-istri saja belum, tapi kok udah takut duluan ya?

Kinara beranjak setelah pikirannya itu sedikit tenang, matanya merotasi ke sekeliling yang tidak terlihat baju. Apa, di sini memang tidak ada baju?

Kemarin, ia lupa tidak membawa baju dari rumahnya. Karena memang Aarav sendiri yang menyuruhnya untuk tidak membawa apa-apa.

Kinara menatap sebuah lemari berukuran besar. Berpikir kalau di lemari ini pasti ada baju, handuk atau apalah.

"Kok susah dibuka?" tanyanya sendiri kala tangan itu menarik gagang pintu.

Kinara terus menarik-narik pegangan tersebut, berharap lemari itu terbuka lebar. Tapi, kenapa masih susah?

"Ih, ini bukanya gimana sih? Kenapa susah banget," ucap Kinara kembali mencoba membuka lemari tersebut. Bukan hanya di tarik, dia juga menggeserkannya ke kanan tapi masih saja susah.

Karna lemari yang kian terdengar membuat tidur Aarav harus terganggu. Pria itu membuka mata kala mendengar sedikit kericuhan. Melihat sang pelaku yang tampak tidak punya kerjaankerjaan, menganggu tidurnya yang terasa masih lelah itu.

"Ck, ini gimana sih?" gerutu Kinara mulai kesal. Bingung juga bagaimana caranya untuk membuka hal seperti ini. Padahal terlihat sepele.

Namun detik berikutnya bola mata Kinara membola tatkala Aarav membuka lemari tersebut dalam sekali gerakan. Yang mana hanya di geser ke kiri saja?

Mata Kinara mengedip untuk beberapa saat.

"Nyusahin saja!" Aarav sudah berdiri di samping Kinara. Membuka lebar-lebar lemari tersebut yang banyak dipenuhi berbagai baju—miliknya.

"Maaf, habisnya saya enggak tahu," jawab Kinara merasakan kecanggungan. Bodoh! Itulah julukan yang pantas untuknya sekarang.

"Lagian masih pagi, kenapa malah ribut sendiri? Ganggu saja!" Aarav sudah kembali menuju tidurnya yang sempat terganggu. Pria itu menarik selimut kemudian menutup badannya.

"Bapak enggak salat?" Pertanyaan itu sontak membuat Aarav membuka kembali matanya.

"Ah maaf. Sa--saya hanya bertanya." Kinara dengan cepat mengambil sebuah baju atau mungkin mukena untuk hari ini salat.

"Di sana enggak ada barang untuk salat," ucap Aarav membuyarkan gerakan Kinara yang tengah mencari mukena. "Untuk baju pakai yang ada!"

Pria itu nampak berdecak. Namun kemudian terbangun kembali untuk duduk.

"Ambilkan saya ponsel di sana," titahnya pada Kinara.

Kinara patuh, dengan segera perempuan itu mengambil ponsel yang tersimpan di atas nakas pinggir lemari.

"Ini, Pak."

Dengan cepat Aarav merampas ponsel tersebut, menekan ikon panggilan yang entah siapa.

"Bawakan saya barang untuk salat ke kamar ini. Dan tolong untuk bawakan juga sebagian gaun untuk perempuan."

".... "

"Ambil semua ukuran yang ada!Tidak pakai lama!"

Tut!

Aarav mematikan sambungan terlfonnya. Matanya melirik pada Kinara yang menunduk.

Menghela nafas sejenak kemudian dia berucap, "ajarkan saya bacaan salat setelah ini," ucap Aarav kemudian melengos pergi menuju kamar mandi.

Berbeda dengan Kinara. Untuk terakhir kalinya bola mata itu membola sempurna.

"Dia---? Si kulkas itu ingin salat?"

"Alhamdulillah ya Allah ..." Detik berikutnya Kinara bersujud pertanda syukur atas suami barunya ini. Merasa senang karena suaminya yang mulai ada perubahan walau sebenarnya tidak.

**

"Kinar, ini gimana sih cara pakainya?" tanya Aarav yang terus memutar-mutarkan sarungnya. Sedari tadi dia hanya berkutit dengan sarung yang sama sekali tidak ingin melingkar di pinggangnya.

Adapun terpasang malah longgar, berakhir jatuh lagi ke bawah.

Kinara yang sudah memakai mukena menoleh pada Aarav yang nampak kesusahan. Sebuah senyum melengkung indah melihat suaminya kesusahan sendiri.

"Sini, biar Kinar bantu." Kinara dengan sigap mengambil alih sarung tersebut membuat Aarav refleks terdiam.

"Tangan Bapaknya angkat dulu," ucap Kinar sembari menarik sarung tersebut hingga batas dada.

Untuk pertama kalinya, Aarav dibuat patung kala Kinara terus sibuk menempatkan sarung tersebut agar melekat di pinggangnya.

"Pak, tolong pegang bagian tengahnya."

"Yang mana?" tanya Aarav menundukkan kepala.

"Itu yang tengah."

"Tengah mana?"

"Tengah itu lho pak, tengah dada Bapak," jawab Kinara masih setia merentangkan sarung tersebut. Karena yang jadi masalahnya Kinara susah sendiri kalau bagian tengah dada tidak ditahan lebih dahulu membuat sarung tersebut harus kembali jatuh.

"Kok dada?" Pertanyaan Aarav sontak membuat Kinara mendongak. Seketika pandangan keduanya bertemu dengan atmosfer yang tiba-tiba mendadak kaku.

Pipi Kinara memerah karena memandang wajah Aarav yang Masya Allah, lebih tampan nan adem. Terlihat pula muka so polos di jarak dekat seperti ini. Kenapa jadi so pura-pura polos ya? Kan malah terlihat lucu.

Kinara langsung membuang muka, menolah pada kasur yang ternyata ada satu sarung lagi.

'Ah, lebih baik dengan cara ini saja!' ucap Kinara di dalam hatinya.

"Bapak pegang dulu sarung ini, Pak. Jangan dilepas," ujar Kinara membuat Aarav memegang kedua ujung sarungnya. Menatap Kinara yang sudah mengambil sarung lain.

"Bapak bisa lihat saya. Nanti biar Bapak bisa sendiri juga." Dengan muka serius Kinara memakai sarung tersebut, kemudian memberikan cara-cara awal yang diikuti Aarav setelahnya.

Kinara tersenyum kala sarung itu melekat di bagian bawahnya. Namun berbeda dengan Aarav ...

Sekali lagi. Kinara harus dibuat sabar oleh sang suami akan hal ini.

**

"Kakak?"

Tok tok tok

"Kak?"

Suara Lusi di luar sana membuat Kinara menoleh ke asal pintu. Dia menatap Aarav terlebih dahulu yang tengah bersiap-siap.

Atas insiden tadi pada akhirnya Aarav memakai celana bersih dahulu saja. Dikarenakan belum benar-benar bisa membuat pria itu pada akhirnya menyerah.

Yah, memang. Terlihat pula bahwa Aarav jauh dari pemahaman perkara agama.

Sebenarnya Kinara mengerti, toh dirinya juga bukan wanita alim yang sudah pandai ilmu agama. Ia juga bukan lulusan pondok pesantren ternama, ia hanya sekolah madrasah biasa saja. Dirinya memakai jilbab pun saat berumur 25 tahun. Memulai dengan cara konsisten.

Maka untuk itu, ia juga memaklumi Aarav akan hal ini. Justru ia bersyukur karena melihat ada keinginan di mata Aarav akan perkara agama. Terbukti bahwa dia serius saat tadi dirinya memberika contoh bacaan yang sangat wajib.

Dan entah kenapa, dalam mode begitu Aarav terlihat begitu menggemaskan. Tidak menyeramkan sama sekali.

Namun dibalik itu pun satu hal yang sudah melekat di diri Aarav. Dia tidak pernah tersenyum!

"Kak?"

"Ah, iya Dek?" Kinara dengan segera membuka pintu, menatap Lusi yang nampak resah.

"Kakak, Lusi mau pergi sekolah tapi ...." Ucapan Lusi tercekat. Dia menatap Kinara yang sudah mengerti akan kondisinya.

"Maaf ya, kakak lupa gak bawa seragam Lusi. Untuk sekarang kamu jangan sekolah dulu ya, nanti kakak bakal ambilin dulu seragam sekolah Lusi," ujar Kinara merasa bersalah. Ah, semua ini karena suaminya itu. Jika saja ia tidak menurut perkataan pria itu sudah pasti Lusi tidak akan bolos seperti ini.

"Terus sekarang Lusi harus apa?" tanya Lusi dengan tatapan sendu. "Lusi juga lapar Kak. Dari kemarin Lusi belum makan."

Kinara menatap sayu sang adik, segera menariknya ke dalam dekapan.

"Maafin Kakak ya, Lus. Setelah Pak Aarav pergi, kakak bakal bawa kamu buat makan, sekarang Lusi sabar aja, karena sebentar lagi Pak Aarav akan pergi dari sini. Dengan begitu---"

"Kau mengusir saya dari tempat saya sendiri?"

Suara bariton yang penuh intimidasi membuat Kinara terperangah. Terkejut setengah mati.

"Eee--eh, Pak. Bu--bukan seperti itu,"

"Kalau kau yang seharusnya pergi, bagaimana?" tanya Aarav dengan ucapan datar.

Kinara menelan salivanya pelan. Nyalinya menciut kala atmosfer dingin seakan memenuhi ruangan ini. Entah kenapa tapi ... perkataan itu membuatnya merasakan sakit. Hatinya seakan tersentil oleh rasa sakit nan sesak.

Padahal niatnya bukan maksud mengusir pria itu. Mengusir di sini karena ia menghormati dia sebagai seorang suami, takutnya malah terkesan tidak sopan jika ia harus pergi lebih dahulu dari kamar ini.

Kinara menarik Lusi ke dalam rangkulannya. Sepertinya mode dinginnya kembali membeku. Tidak seperti tadi, mencair, membuat Kinara harus diam seribu bahasa.

"Maaf." Hanya kalimat itu yang keluar dari bibir Kinara. Tidak berani menatap Aarav yang tengah menatapnya dengan tatapan datar.

"Kita makan di luar!" Setelahnya hanya ucapan itu yang melintas di telinga Kinara. Pria itu pergi dengan sifat dinginnya. Tidak menoleh ke belakang yang mana Kinara menitikian air matanya.

Entah perasaan apa tapi, tiba-tiba saja ingatkan bersama sang Ibu dan Ayah melintas begitu saja dalam pikiran Kinara.

'Ibu, Ayah ... Kinar rindu kalian ...,' ucapnya di dalam hati.

Karena tidak ingin membuat Aarav semakin marah, dengan cepat Kinara menarik Lusi agar ikut dengannya.

Komen (6)
goodnovel comment avatar
Niyeh Kur
Bagus banget ceritanya
goodnovel comment avatar
Iin Komala Sari
ceritanyah bagus terkadang tegang pokonyah bikin penasaran kelanjutannyah
goodnovel comment avatar
Jajang Thile
anjiirr bikin em0si gw naik ajah tuh laki2
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Melahirkan Keturunan Untuk CEO   Bab 6. Tentang Aarav

    "Turun di sini!" Kinara menolehkan pandangan matanya pada pria di sampingnya.Setelah tadi mereka makan di restoran kini mereka meluncur pergi ke kantor. Karena memang kantor dirinya bekerja dan Aarav sama. Namun sebelum itu Aarav mengantar terlebih dahulu Lusi ke kamar hotelnya. Dan kini keduanya sudah berada di depan kantor. Ah tidak, bahkan Aarav menyuruhnya untuk turun sebelum kantor itu ada di hadapannya. "Baik," jawab Kinara tanpa bantahan apapun. Ia mengerti, sungguh sangat paham. Bahwa seorang CEO, mana bisa berdamping dengan dirinya yang miskin ini? Tanpa sepatah kata apapun mobil hitam milik Aarav melaju meninggalkan Kinara yang kini termenung. Menghela nafas panjang kemudian membuangnya sesuai ritme. Dalam diam Kinara berjalan. Sebenarnya hari ini Kinara sangat malas untuk pergi bekerja. Inginnya tiduran di atas kasur empuk, main hp atau bersantai-santai di kamar hotel itu. Tapi tidak, karena ia sadar kalau dirinya bekerja di Cavern grup membuatnya tidak boleh bolos.

  • Melahirkan Keturunan Untuk CEO   Bab 7. Hanya Kutu?

    Sore ini pekerjaan Kinara sudah selesai, dengan begitu ia akan pulang lebih awal. Kasihan pula pada adiknya yang menunggu di sana. Ah, jika bukan karena memenuhi kebutuhan hidup, Kinara lebih baik bersama adiknya Lusi. Derrttt DerttSuara dering ponsel terdengar di dalam tasnya, membuat Kinara dengan segera mengeluarkan ponsel tersebut. Menatap siapa penelfon di sore hari begini. Karin. Ah, adik keduanya. Dengan segera Kinara menekan ikon hijau. "Kak? Kakak enggak lagi di rumah?" tanya di seberang sana. "Biasakan dulu buat ucap salam Karin. Sudah berapa kali kakak bilang kalau---""Iya maaf Kak. Assalamu'alaikum. "Kinara menghela nafas sejenak. Namun dengan begitu ia membalas salam tersebut. "Kak, kunci rumah di mana?" tanya Karin setelah beberapa detik terdiam."Kenapa? Kenapa nanyain kunci rumah?" tanya Kinara mulai merasakan tidak enak hati. "Karin mau tinggal di rumah almarhumah ibu aja kak. Gak mau tinggal seatap sama mertua!"Benar saja akan firasat Kinara, pasti ada apa

  • Melahirkan Keturunan Untuk CEO   Bab 8. Surat Kontrak

    "Duduk di sana, ada suatu hal yang akan saya bicarakan," titah Aarav kala keduanya sudah berada di kamar hotel.Kinara menurut, segera duduk di sebuah ruangan yang entah apa itu. Karena kebanyakan di sini hanya dipenuhi oleh berbagai buku.Ah tidak, pajangan buku di balik lemari besar begitu tersimpan rapi di dalamnya. Terdapat kaca besar dibalik jendela yang mengarah langsung ke Ibukota Jakarta. Di sisi-sisi jendela tersebut terdapat sebuah bunga hiasan, berjejer rapi dengan warna-warni. Ruangan yang begitu rapi, indah, nyaman nan sejuk membuat Kinara merasakan adem. Apalagi AC ruangan ini yang juga menyala, menambah kesejukan yang ada. Ia baru tahu kalau ruangan ini ternyata bukan hanya ada kamar, ruang tamu dan toilet, ternyata di sini ada ruangan lain.Kinara menatap lurus ke depan di mana ada sebuah kursi putar yang berukuran besar. Kursi yang hanya di gunakan oleh mereka sang pengusaha-pengusaha.Seulas senyum terbit kala Kinara menatap kursi tersebut dengan seksama."Hahaha, A

  • Melahirkan Keturunan Untuk CEO   Bab 9. Peresmian

    "Karena saya ... perempuan yang sudah tua Pak. Saya, perawan tua."Kinara benar-benar menunduk. Malu sudah mukanya untuk menatap pria muda di depannya ini. Perbedaan usia yang begitu jauh membuat Kinara cukup sadar diri. Bahwa ia tak lain hanyalah sebuah batu dihamparan debu. Sedang perempuan di luaran sana? Mereka bagaikan berlian di tengah bebatuan yang ada. Indah, begitu memikat dalam pandangan. Sedang ia? Begitu kumuh, jelek dan ... tidak enak dipandang. "Seharusnya Bapak tidak menikahi saya, Pak ... saya hanya akan memalukan Bapak saja. ah atau tidak, Bapak bisa kok langsung ceraikan saya." Kinara memberanikan dirinya dalam menatap Aarav, terdapat rona merah di pipinya. Bukan marah, hanya saja Kinara merasa bahwa memang dirinya tidak pantas untuk siapapun, membuatnya ingin menangis saja. Apalagi untuk pria muda di depannya ini. "Saya akan menerima dengan ikhlas kalau Bapak mentalak saya. Karena saya sadar, seharusnya perempuan seperti saya tidak bersanding dengan Bapak. Seharus

  • Melahirkan Keturunan Untuk CEO   Bab 10. Cinta Yang Terpendam

    "Mau ke mana kamu?" tanya Vanzo menatap cucunya yang hendak pergi. Aarav menoleh pada Vanzo yang diikuti pengawalnya itu. "Aku mau pulang Kek, capek," ujarnya dengan datar. "Pulang ke rumah kakek. Kamu sudah lama tidak berkunjung ke rumah. Mana besok saudara kembar kamu bakal datang ke sini," ucap Vanzo memberitahukan. "Aavar?" Vanzo mengangguk. "Masa peresmian kamu dia tidak datang. Bukankah terasa kurang?" "Kalau begitu besok saja, besok aku bakal ke rumah Kakek," ucap Aarav pada akhirnya. Dia kemudian melengos pergi. "Aarav? Kau tidak punya sopan santun yah?!" teriak sang kakek. Darah di atas ubun-ubunnya naik saja karena sang cucu yang selalu main pergi-pergi saja. Namun darah itu seketika turun kembali kala Aarav berbalik dan berjalan ke arah Vanzo. Ada apa tuh cucu balik lagi? "Kek, ada hal penting yang ingin Aarav katakan," ujar pria jangkung itu. Membuat alis Vanzo naik sebelah. "Apa? Jangan bilang---" "Jangan di sini," ucap Aarav menarik Vanzo agar ikut den

  • Melahirkan Keturunan Untuk CEO   Bab 11. Psychopath

    Pagi-pagi begini Kinara dibuat bingung untuk memilih baju yang akan ia pakai hari ini. Karena selain pakaian baju gamis Kinara juga hanya dipenuhi dengan pakaian yang itu-itu saja. Tidak ada yang aneh, terlihat kumuh dan yah ... seperti orangnya. Kinara sebelumnya memang membawa sebagian barang-barang yang tersimpan di rumahnya dulu. Rumah itu masih haknya, soalnya yah ... dia membelinya dengan harga yang lumayan mahal. Tentu semua itu karena pemilik kontrakan menawarkan untuk dijual saja. Dan sekarang yang ia bawa hanya sebagian pakaian milik Lusi dan sebagian kecil miliknya. Sekarang ia bingung mau memakai baju yang mana, pasalnya semua baju ini sering ia gunakan. "Kenapa tidak sekolah, Lusi?" Suara bariton Aarav membuat fokus Kinara teralihkan. Dia menoleh ke belakang di mana Aarav duduk di tepi ranjang. Melihat sang adik yang terbaring dengan selimut. "Dia sedang sakit, Pak," jawab Kinara langsung. Kedua mata itu akhirnya bertemu, namun sedetik kemudian Aarav membuang mukanya

  • Melahirkan Keturunan Untuk CEO   Bab 12. Kecantikan Kinara Yang Sebenarnya

    "Kita harus bisa lari dari sini, Kak," ucap Lusi. Keduanya menatap Aarav yang masih setia tersenyum miring. Kinara mengangguk, menggenggam erat pegangan tangannya pada lengan Lusi. Bersiap untuk lari dari pria gila itu. "Sekarang, Lus. Satu ... dua ... tiga ....""Lariiii!""Aaaaaa!""Kau kenapa?" Deg! Nyali Kinara langsung menciut kala ia mendengar sebuah seruan suara. Melirik pada Aarav yang sudah duduk manis di kursi kemudi. Dia menyimpan terlebih dahulu sebuah barang yang tadi dia bawa. Kinara mengedipkan mata untuk beberapa saat. "Bapak dari mana? Dan itu," tunjuk Kinara pada benda berbentuk panjang yang masih setia di dalam sarungnya. "Oh itu, itu buat Kakek saya. Dia nitip untuk bawa alat ini ke rumahnya," jawab Aarav menatap Kinara yang nampak berkeringat. "Kau baik-baik saja? Kenapa berkeringat seperti itu?" tanya Aarav merasa heran. Kinara menghela nafas lega. 'Hah, ku kira hidupku tidak akan lama lagi. Ternyata itu cuman bayanganku saja,' ucap Kinara di dalam hati

  • Melahirkan Keturunan Untuk CEO   Bab 13. Gugup Vs Grogi

    Kini mobil itu kembali melaju membelah jalan. Melewati kendaraan lain dengan cepat. Sampai di sebuah belokan, Aarav membelokkan mobil tersebut untuk masuk ke jalan sana. "Kinar?""Iya, Pak?" jawab Kinara langsung. Dia menoleh pada Aarav yang fokus mengemudi. "Nanti kalau sudah di rumah, kau panggil saya Mas, ya? Jangan Bapak," ucapnya membuat kening Kinara mengernyit. "Kenapa, Pak? Saya belum terbiasa memanggil Bapak dengan sebutan selain, Pak!""Turuti saja perintahku! Lagian saya masih muda, sangat tidak pantas kau panggil Bapak," tutur Aarav tanpa mengalihkan fokusnya. Sekali saja lihat wajah Kinara, maka fokus Aarav akan terbuyarkan karenanya. "Tapi Bapak kan atasan saya, dan---""Kau ingin ngebantah saya?""Eh tidak, tidak Pak! Maksud saya, saya belum terbiasa, jadi ... paling saya bakal pelan-pelan untuk belajar manggil Bapak dengan nama 'Mas?"Aarav terdiam saat Kinara mengatakan Mas padanya. Ingin sekali tersenyum namun ia harus tetap berdiri dalam pendiriannya. Sebenarn

Bab terbaru

  • Melahirkan Keturunan Untuk CEO   Extra Chapter II

    “Assalamu'alaikum…?” Khalifa mengucap salam saat ia masuk ke dalam rumah, ah, bukan hanya Khalifa, Alby juga ada. Keduanya masuk dengan raut muka terlihat capek. “Kak, eum … aku mau mandi dulu ya, seharian kerja bikin aku gerah,” ucap Khalifa pada Alby. Alby tersenyum. “okke, tapi jangan lama-lama ya, udah malam soalnya. Ah iya, pake air hangat biar nggak kedinginan.”Khalifa terkekeh. “Aku bukan kamu yang harus pake air dingin kali, aku kan nggak alergi dingin,” timpal Khalifa menjawab. “Masalahnya kan udah malam, nggak baik buat kesehatan.”“Enggak bakal kak. Udah, lagian aku mandi bakal cepet kok. Dah ya, aku mau mandi dulu!” ucap Khalifa gegas berlari namun dengan cepat Alby menahannya lebih dahulu membuat Khalifa kembali berbalik menatap Alby. “Kalo udah mandi nanti turun ke bawah ya? Aku mau masakin kesukaan kamu. Kita makan bareng,” ucap Alby. Kebetulan sekali keduanya belum makan membuat Khalifa mengangguk antusias. “Cium dulu sini.” Alby menampilkan pipi kanannya. Ia men

  • Melahirkan Keturunan Untuk CEO   Extra Chapter

    Seminggu berlalu…Seorang wanita berjalan dengan menyeret kopernya. Tergesa-gesa sebab terlambat,bahkan saking tergesa-gesanya, wanita itu tanpa sengaja menabrak bahu seseorang membuat wanita itu menyeru minta maaf. “Ya ampun maaf, Mas. Saya enggak sengaja!” ucapnya sedikit menundukkan kepala, detik berikut kepala wanita itu mendongak. Namun… “Lho?” Sesaat pandangan keduanya bertemu. “Gama?”“Khanza?” Keduanya berseru secara berbarengan. Gama dengan pandangan mata menelisik, sedang Khanza menatap dengan tarikan napas. “Kukira siapa, taunya kamu,” ucapnya merubah raut wajah. Khanza menghela napas, tanpa sepatah kata apapun perempuan itu pergi begitu saja. Gama menaikan alisnya, namun sedetik kemudian ia mengedikkan bahu, ikut pergi dengan menyeret kopernya. Ia tahu yang dirinya tabrak, untuk itu tidak peduli baginya.Gama memilih duduk setelah melakukan check up,melalui maskapai yang telah memberitahukannya kini ia duduk menunggu antrian untuk masuk ke dalam pesawat. Gama menghel

  • Melahirkan Keturunan Untuk CEO   END

    Pagi ini Khalifa bangun lebih awal, melihat sosok suaminya yang tertidur pulas. Ah, mungkin efek cairan infus yang masuk ke dalam tubuhnya, membuat pria itu terjaga dari tidurnya. Merasa pegal dibagian lengannya, Khalifa merenggangkan otot-ototnya. Tidur seranjang dengan Alby jelas membuatnya tak bergerak sana-sini, menjadikan ia merasakan pegal. Khalifa menghela napas, ia menunduk melihat pakaiannya yang kotor nan penuh darah, lupa, bahwa memang ia tak mengganti baju. Ah, jangankan untuk mengganti baju, justru hatinya saat itu resah memikirkan Alby. “Aku harus memberitahukan Bunda. Jika tidak mereka pasti khawatir.” Khalifa menatap terlebih dahulu Alby, mumpung pria itu masih tertidur membuat Khalifa gegas pergi. Selain merasa tak nyaman dengan pakaiannya ia juga tak nyaman dengan keadaan ini. Sungguh, walau ada perasaan lega melihat Alby selamat namun ada sisi lain yang membuatnya resah. Mengenai Khanza … Ia belum berani untuk menghadap padanya dan mengatakan yang sejujurnya. *

  • Melahirkan Keturunan Untuk CEO   Chapter 97

    Lihatlah, wajah Alby yang dulunya tampan kini banyak dipenuhi luka. Beberapa luka itu diperban, entah bagian kepala, rahang, maupun anggota tubuh lainnya. Tak kuasa melihat keadaannya seperti ini, Khalifa menunduk dengan hati penuh sesal. “Maafin, Alifa Kak… maaf ….” Khalifa terduduk di kursi yang berada di pinggir ranjang tersebut, menggenggam tangan Alby yang begitu kekar. Dulu, tangan inilah yang selalu siap siaga menggenggam tangannya. “Andai aku tidak menurutinya, andai kita kabur saat itu mungkin keadaan kamu enggak bakal separah ini Kak. Bodoh, harusnya aku menolak ajakanmu untuk melawan mereka. Bodoh!” Khalifa merutuk dirinya, menarik tangan Alby untuk ia kecup. “Sekarang aku baru menyadarinya, Kak. Kalau aku … benar-benar takut kehilangan kamu. Aku takut ….” Khalifa tak bisa lagi membendung tangis yang kian jatuh menimpa pipinya, bengkak sudah kedua matanya sebab terus menangis. “Setelah kehilangan Mama dan Papa, aku enggak mau kehilangan kamu, Kak. Boleh aku egois? Aku i

  • Melahirkan Keturunan Untuk CEO   Chapter 96

    Khalifa menunduk, semakin menangis tertahan dengan tangan yang masi menyentuh kepala Alby. “Kak … tolong … jangan tinggalin aku kayak gini … tolong bangunlah….”“Uhuk!”Sebuah semburat darah tiba-tiba keluar di bibir Alby tatkala pria itu terbatuk. “Kak Al?” Terkejut, Khalifa mendapati Alby membuka matanya dengan ringisan kecil yang keluar. “Khalifa….”Sudah menangis deras kini Khalifa menambah tangisnya tatkala suara lembut itu terdengar. Bergetar hatinya mendengar hal itu. “Kak Al….” Khalifa menangis, memeluk kepala Alby. “maafin aku, Kak. Maaf….”Alby memejamkan matanya menahan rasa sakit, ia menggeleng. “aku kembali untuk kamu, Alif….”Khalifa mengangguk, entah harus bagaiamana tapi ia benar-benar senang tatkala Alby kembali. Terbangun untuk menepati janjinya. Menggenggam erat tangan yang amat dingin itu Khalifa berucap, ““Kita harus ke rumah sakit dulu, Kak. Secepatnya luka kakak harus diatasi,” ucap Khalifa melihat keadaan Alby yang kian parah. “Kakak masih sanggup berdiri?

  • Melahirkan Keturunan Untuk CEO   Chapter 95

    “Kau akan mati ditanganku!” Bugh! Alby langsung menghindar saat orang itu hendak menendang, belati yang dirinya pegang ia tusukkan ke depan untuk mengenal tubuh Alby, namun dengan gesit, Alby menghindar secara agresif. Memilih melawan dari belakang, Alby bisa menghajarnya dari belakang tersebut. Seseorang itu terjatuh, mukanya makin memerah. Satu diantara mereka berjalan maju, membuat Alby harus melawan dua orang sekaligus. Ah tidak, bahkan satunya lagi ikut-ikutan maju, menambah orang yang harus Alby lawan. Cukup kewalahan sebab mereka memiliki senjata masing-masing, sedang Alby hanya menggunakan tangan kosong sebagai tameng dirinya. Satu kali dua kali ia mendapat pukulan yang tak bisa ia hindari, bahkan goresan belati pula harus terkena sampai kulitnya saking keagresifan mereka. Murka, mereka murka sebab merasa terkalahkan oleh Alby. Alby mengatur napasnya dalam-dalam. Melawan 10 orang sekaligus benar-benar menguras tenaganya. Apalagi tidak diberi jeda untuk berhenti se

  • Melahirkan Keturunan Untuk CEO   Chapter 94

    Khalifa berlari dan langsung memeluk Alby. Ia menangis dengan tubuh bergetar hebat. “Kak Al, makasih, makasih telah kembali….” Alby menelan salivanya pelan, bergetar hatinya kala melihat keadaan Khalifa seperti ini. “Maaf, maafkan aku baru datang Alif. Maaf telah meninggalkan kamu seorang diri.” Khalifa menggeleng, ia melerai pelukannya, mendongak untuk melihat wajah Alby. “Mereka … mereka ingin melecehkan aku, Kak. Aku--aku takut ….” Alby melihat wajah ketakutan itu, ia pegang tangan Khalifa untuk menenangkan gadisnya. Namun, yang ia lihat justru gurat merah dari pergelangan tangannya. Khalifa menunduk, ia masih terisak. “Mereka pegang tangan aku dengan keras Kak… mereka kasar dan menyeramkan….” Mendengar lirihan itu rahang Alby mengeras, menoleh ke kanan, ia dapati 11 orang itu yang tampak tertawa saja. “Ayo kabur, Kak. Mereka bukan tandingan kita,” ucap Khalifa kembali. Alby menatap Khalifa, memilih kabur? Itu bukan dirinya. “Tidak Alif, mereka harus membayar at

  • Melahirkan Keturunan Untuk CEO   Chapter 93

    Nyatanya bukan sehabis magrib Khalifa pulang, melainkan sehabis isya baru ia bisa pulang. Jangan tanyakan kenapa, karena saat ini Khalifa ingin sendirian, menjadikan ia habiskan beberapa waktu sendirian di kantor. Dan sekarang waktunya ia pulang beberapa security yang jaga pula sebagian sudah pulang, paling hanya beberapa yang tetap berjaga karena bekerja sesuai shif. Khalifa berjalan terburu-buru menuju mobilnya, lantas melaju membelah jalan tanpa menunggu lama. Takut kemalaman Khalifa makin mempercepat lajunya. Sebuah dering ponsel terdengar namun tak Khalifa gubris untuk mengangkatnya. Memilih abai Khalifa terus melajukan mobilnya di tengah keramaian. Namun, kala ia berbelok ia harus di hadapkan dengan jalan yang cukup sepi. “Huft, semoga tidak terjadi apa-apa.” Khalifa mengucap doa dalam hati. Mau bagaimana pun ia perempuan, dan jelas ia takut jika tiba-tiba ada hal aneh yang melintas. Suara bisingnya motor terdengar dari arah belakang, memusat perhatian Khalifa untuk m

  • Melahirkan Keturunan Untuk CEO   Chapter 92

    Khalifa menangkup kedua pipi di atas meja, bosan melanda hatinya. Hari ini tugas yang diberikan Aavar dalam mempelajari berbagai perbisnisan cukup menguras pikiran dan tenaga. Ternyata susah sekali untuk memahami berbagai persoalan dalam perbisnisan ini. Jika bukan karena otak yang encer mungkin Khalifa memilih tidur saja di atas kasur. Hari ini jam sudah menunjukan pukul empat sore. Tidak terasa, dari pagi sampai saat ini Khalifa menghabiskan waktu hanya di kantor saja, tentunya dengan Khanza. Namun, saat ini perempuan itu entah pergi ke mana, katanya izin keluar sebentar. “Khalifa, Om pulang lebih dulu ya, istri Om kasihan di rumah sendirian.” Tiba-tiba suara Aavar terdengar setelah pintu terbuka. “Kamu pulang lah, besok bisa dilanjutkan.” Punggung Khalifa berdiri tegap. “Nggak deh, Khalifa mau lembur. Soalnya masih banyak banget yang belum dikerjakan Om.” Aavar menoleh. “lembur?” Ia tertawa. “ya ampun Khalifa, ini kan cuma belajar aja. Gak usah terlalu dibuat serius jug

DMCA.com Protection Status