"Ya Allah ... apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus menggunakan baju ini?" tanya Kinara sembari menatap baju merah pekat tersebut. Baju yang kurang bahan, terdapat bolong-bolong di setiap inci baju tersebut. Bahkan jika dipakai pun terlihat sudah seperti tengah telanjang.
Bagi Kinara yang setiap harinya memakai jilbab menutup seluruh tubuh jelas membuatnya uring-uringan sendiri. Antara mengiyakan permintaan Aarav atau mungkin ... mencari alasan agar malam ini tidak terjadi? "Ah! Apa yang harus aku lakukan?" Kinara frustasi sendiri. Dia meremas kepalanya dengan resah nan gelisah. Diusianya yang sudah berkepala tiga membuat dirinya semakin takut saja. Padahal seharusnya dia bersyukur karena sudah menikah, tidak dikatakan perawan tua lagi. Apalagi oleh para tetangga yang sukanya menjudge dirinya. Bukankah ini kesempatan bagus untuk menutup mulut mereka yang selama ini menghina dirinya? Tapi, membalas dendam pun bukanlah jalan terbaik. Karena yang jadi masalahnya ... Ia akan dilempar jauh oleh suami setelah dirinya melahirkan seorang anak! Argghh!"Aku hanya perlu mencari alasan, kan?" gumam Kinara dengan pikiran yang berkecamuk. "Ya! Aku hanya perlu mencari alasan. Tapi, alasan apa?" Kini pikiran itu semakin membebani Kinara. Seakan beban itu ingin terus menumpuk di dalam otaknya membuat otak tersebut ingin pecah sudah. Kinara menatap wajah sang Adik yang sudah tertidur pulas. Ah, adiknya tidak tahu saja bahwa hidup kakaknya tengah dipertahurkan antara hidup dan mati. Pada akhirnya Kinara menghela nafas panjang lebih dahulu. Beranjak kemudian berdiri di depan cermin yang berukuran besar. Dia menatap pantulan dirinya sendiri. Kemudian mengangkat tinggi-tinggi lingerie merah pekat itu. Ingin rasanya Kinara menangis, menjerit dan melempar barang yang ada. Situasi ini benar-benar membuat jantungan hampir mau copot. "Tidak apa, Kinar. Semuanya akan baik-baik saja!" ucap Kinara meyakinkan dirinya. Dia mengepalkan kedua tangannya. "Yo Kinar. Kamu pasti bisa menolaknya untuk malam ini!" ucapnya kembali. Untuk kesekian kali Kinara menarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya. Tarikkk keluarkan ... tariikk keluarkan ... tarikkk keluarkan ... Tarikkkk---Sebentar? Kok, jadi kayak melahirkan ya? Kinara menggeleng cepat. Bisa-bisanya ia seperti orang bodoh. Ish! "Ayo Kinar, semangat!"Kinara menggenggam erat lingeri tersebut. Berjalan menuju kamar yang disuruh Aarav padanya. Tenggorokannya kering, bibirnya terkatup rapat. Kakinya bergetar begitu hebat. Tidak lupa, keringat membasahi pelipis, berjatuhan menuju pipi. Hingga saat keringat itu jatuh ke bibir dia menelannya tanpa tahu malu. "Eum, enak juga ternyata keringatku," celetuk Kinar yang kini sudah berdiri di ambang pintu. Ancang-ancang untuk membuka pintunya dia malah menempelkan telinganya di daun pintu. Tidak terdengar apapun, hanya suara jangkrik yang terdengar di jendela luar sana. Menambah ketegangan yang dirasa Kinara. "Huhhh ... okke, bismillah!"KrrrriiiieeettttttttSuara derit pintu yang di putar seakan ikut tegang. Membuat atmosfer yang ada semakin mencengkam. Kinara yang sambil intip-intip di celah pintu menyipitkan matanya. Menatap ke depan untuk melihat keadaan di dalam. Yang mana tidak ada siapa-siapa, membuat jantung Kinara berpacu semakin cepat saja, apalagi kini pintu itu terbuka dengan sedikit lebar. Dengan pelan Kinara masuk ke dalam. Tidak lupa menutup pintu dengan gerakan paling pelan nan lambat. Sekarang ia yakin Aarav pasti sedang tidur dengan begitu malam ini ia akan selamat. Namun tepat saat ia berbalik badan ... "Ah, ternyata sudah datang ...."Deg! Suara itu? Kinara yang membungkuk dengan kepala menunduk ke bawah menelan salivanya pelan. Tenggorokannya terasa makin kering saja, membuat bibirnya terkatup rapat-rapat. Namun sedetik kemudian Kinara menengadahkan kepala dengan gerakan pelan. Menatap sang pria di depannya ini dengan mata menyipit, takut-takut jika ia langsung di terkam habis-habisan malam ini. "Hm, saya akan ke sana."Bersamaan hal itu mata Kinara jatuh pada Aarav yang tengah membelakanginya, tangannya memegang ponsel yang tersimpan di telinga. Huh, ternyata sedang menelfon toh! "Huh, selamat!" ucap Kinara di dalam hati. Dengan gerakan cepat dia berdiri tegap. Malu juga karena sebelumnya dia jalan dengan mengedap-ngedap seperti maling. Hanya karena ingin menghindari malam pertama ini, Kinara ingin mencari alasan untuk itu. "Baik, kabari saya nanti saja." Setelah mengatakan itu Aarav memutuskan sambungan telfonnya. Kemudian badannya membalik yang mana sudah ada Kinara. "Pa--pak?" "Saya ada urusan. Jika mau tidur kau boleh tidur lebih dahulu," ujar Aarav kemudian melengos melewati Kinara begitu saja. "P-pak? Sebentar?" Dengan cepat Kinara menarik kameja yang dikenakan Aarav membuat pandangan sang empu menggelap. "A--ah, maaf.""Apa menarik-narik baju sudah menjadi kebiasaanmu?" sungut Aarav dengan muka datar bin dingin. Dia menatap Kinara tanpa ekspresi sama sekali. "Maaf, Pak. Tapi saya cuman ingin memberitahukan kalau jas Bapak ada di dalam," ujar Kinara sedikit menunduk. Aarav menatap tubuhnya yang memang tidak memakai jas. "Ambilkan!"Tanpa menunggu lagi Kinara dengan cepat mengambil jas milik Aarav, menyerahkannya karena takut kena amuk lagi. Marahnya Aarav benar-benar seperti monster saja. "Saya pergi," ucap Aarav sebelum akhirnya menghilang di ambang pintu. "Hah! Akhirnya selamat juga ...," ucap Kinara mengelus dadanya. Untung pria itu pergi, membuat ia tenang karena malam ini tidak jadi malam pertama. Tapi, bagimana jika besok? Atau besoknya lagi? Besok, terus besoknya? Kinara bergidik. Memikirkannya saja sudah membuat bulu kuduknya meremang. Mau bagaimana pun ini adalah pengalaman pertama untuknya. Diusia 30 tahun Kinara yang sudah tidak memikirkan menikah malah menikah juga. Kinara berjalan menuju kamarnya. Menutup pintu kemudian menghempaskan bobotnya di atas ranjang. Sebuah lingerie yang semula dalam genggaman terlempar sudah entah ke mana. Ah, untuk saat ini pikirannya benar-benar kacau.Teringat pula akan kejadian dirinya di kantor. Tentang Aarav yang sebenarnya tidak ia ketahui siapa pria itu. Sekilas tentang Aarav. Saat itu Kinara dibuat resah kala sang Ibu harus dioperasi, membuat Kinara ingin pinjam uang ke bagian pihak administrasi. Tapi saat itu sang pihak tersebut menyuruhnya untuk berbicara kepada sang atasan lebih dahulu. Mau bagaimanapun uang itu uang milik perusahaan. Kinara menurut, pergi ke receptions untuk meminta bantuan agar bisa bertemu dengan atasan.Namun lagi, setelah berbicara dengan receptions tersebut dia di suruh untuk menemui CEO langsung. Kepala pimpinan perusahaan ini. Awalnya ia akan ditemui dengan Direktur Utama tapi malah jadi ke pimpinan atas langsung. Namun, mau tak mau Kinara menurut. Menemui sang CEO tersebut untuk meminjam uang. Perlu diketahui juga bahwa perusahaan Cavern sebelumnya tidak mengenal siapa CEO, karena bagi para karyawan yang bekerja di sana hanya tahu Direktur saja.Dan untuk pertama kalinya, Kinara bertemu langsung dengan CEO tersebut. Namun yang jadi mengherankannya. Kenapa dia ingin anak dari dirinya? Mana di tawar dengan uang 500 juta lagi. Terus, dia menikahi dirinya kerap sang Ibu di ujung batas ajalnya. Tanpa memikirkan apapun dia langsung setuju untuk menikah. Ah, memikirkan sang Ibu membuat Kinara meneteskan air matanya. Namun dibalik itu ia bahagia. Bahagia karena bisa memberikan keinginan terakhir sebelum Ibunya benar-benar pergi. Hingga Ibunya tersenyum manis sebelum benar-benar pergi dari dunia ini. "Huammm ..." Kinara menutup mulutnya yang menguap. Berpindah tubuh untuk membaring di sisi ranjang. "Karena aku di suruh tidur duluan, ya sudah. Aku tidur duluan ah," gumam Kinara menarik selimutnya sampai batas dada. Kinara membalik menyamping. Memikirkan akan besok yang terjadi. Semoga, semuanya baik-baik saja.Pagi telah tiba. Suara beduk azan membuat mata Kinara mengerjap. Terbangun sudah kala suara azan mengumandang. Kinara membaca doa lebih dahulu kemudian tatapan matanya jatuh pada seseorang yang terbaring di sampingnya. Kinara membelalakan mata kala menyadari kalau Aarav? Tidur dengannya? "Aku, seranjang dengannya?" tanya Kinara pelan. Tapi, baju nan kerudung yang ia kenakan masih baik-baik saja kok. Itu berarti dirinya masih perawan kan? "Hah, untung ...." Kinara menghela nafas pelan. Pandangan matanya menatap lurus sang suami. Ah Mas suami. Eh? Kinara senyum-senyum sendiri, melihat Aarav yang tidur tenang seperti itu malah terkesan manis nan kalem. Tidak seperti monster kala dia terbangun. Jika ditanya lebih tampan mana? Ya lebih tampan Aarav yang lagi tidur. Ketampanannya plus-plus. Kinara cungar-cengir sendiri namun sedetik kemudian dia memikirkan kehidupannya di masa depan yang akan datang. Kira-kira, apa yang telah Allah rencanakan di masa depan sana ya? Apa setelah ini ia
"Turun di sini!" Kinara menolehkan pandangan matanya pada pria di sampingnya.Setelah tadi mereka makan di restoran kini mereka meluncur pergi ke kantor. Karena memang kantor dirinya bekerja dan Aarav sama. Namun sebelum itu Aarav mengantar terlebih dahulu Lusi ke kamar hotelnya. Dan kini keduanya sudah berada di depan kantor. Ah tidak, bahkan Aarav menyuruhnya untuk turun sebelum kantor itu ada di hadapannya. "Baik," jawab Kinara tanpa bantahan apapun. Ia mengerti, sungguh sangat paham. Bahwa seorang CEO, mana bisa berdamping dengan dirinya yang miskin ini? Tanpa sepatah kata apapun mobil hitam milik Aarav melaju meninggalkan Kinara yang kini termenung. Menghela nafas panjang kemudian membuangnya sesuai ritme. Dalam diam Kinara berjalan. Sebenarnya hari ini Kinara sangat malas untuk pergi bekerja. Inginnya tiduran di atas kasur empuk, main hp atau bersantai-santai di kamar hotel itu. Tapi tidak, karena ia sadar kalau dirinya bekerja di Cavern grup membuatnya tidak boleh bolos.
Sore ini pekerjaan Kinara sudah selesai, dengan begitu ia akan pulang lebih awal. Kasihan pula pada adiknya yang menunggu di sana. Ah, jika bukan karena memenuhi kebutuhan hidup, Kinara lebih baik bersama adiknya Lusi. Derrttt DerttSuara dering ponsel terdengar di dalam tasnya, membuat Kinara dengan segera mengeluarkan ponsel tersebut. Menatap siapa penelfon di sore hari begini. Karin. Ah, adik keduanya. Dengan segera Kinara menekan ikon hijau. "Kak? Kakak enggak lagi di rumah?" tanya di seberang sana. "Biasakan dulu buat ucap salam Karin. Sudah berapa kali kakak bilang kalau---""Iya maaf Kak. Assalamu'alaikum. "Kinara menghela nafas sejenak. Namun dengan begitu ia membalas salam tersebut. "Kak, kunci rumah di mana?" tanya Karin setelah beberapa detik terdiam."Kenapa? Kenapa nanyain kunci rumah?" tanya Kinara mulai merasakan tidak enak hati. "Karin mau tinggal di rumah almarhumah ibu aja kak. Gak mau tinggal seatap sama mertua!"Benar saja akan firasat Kinara, pasti ada apa
"Duduk di sana, ada suatu hal yang akan saya bicarakan," titah Aarav kala keduanya sudah berada di kamar hotel.Kinara menurut, segera duduk di sebuah ruangan yang entah apa itu. Karena kebanyakan di sini hanya dipenuhi oleh berbagai buku.Ah tidak, pajangan buku di balik lemari besar begitu tersimpan rapi di dalamnya. Terdapat kaca besar dibalik jendela yang mengarah langsung ke Ibukota Jakarta. Di sisi-sisi jendela tersebut terdapat sebuah bunga hiasan, berjejer rapi dengan warna-warni. Ruangan yang begitu rapi, indah, nyaman nan sejuk membuat Kinara merasakan adem. Apalagi AC ruangan ini yang juga menyala, menambah kesejukan yang ada. Ia baru tahu kalau ruangan ini ternyata bukan hanya ada kamar, ruang tamu dan toilet, ternyata di sini ada ruangan lain.Kinara menatap lurus ke depan di mana ada sebuah kursi putar yang berukuran besar. Kursi yang hanya di gunakan oleh mereka sang pengusaha-pengusaha.Seulas senyum terbit kala Kinara menatap kursi tersebut dengan seksama."Hahaha, A
"Karena saya ... perempuan yang sudah tua Pak. Saya, perawan tua."Kinara benar-benar menunduk. Malu sudah mukanya untuk menatap pria muda di depannya ini. Perbedaan usia yang begitu jauh membuat Kinara cukup sadar diri. Bahwa ia tak lain hanyalah sebuah batu dihamparan debu. Sedang perempuan di luaran sana? Mereka bagaikan berlian di tengah bebatuan yang ada. Indah, begitu memikat dalam pandangan. Sedang ia? Begitu kumuh, jelek dan ... tidak enak dipandang. "Seharusnya Bapak tidak menikahi saya, Pak ... saya hanya akan memalukan Bapak saja. ah atau tidak, Bapak bisa kok langsung ceraikan saya." Kinara memberanikan dirinya dalam menatap Aarav, terdapat rona merah di pipinya. Bukan marah, hanya saja Kinara merasa bahwa memang dirinya tidak pantas untuk siapapun, membuatnya ingin menangis saja. Apalagi untuk pria muda di depannya ini. "Saya akan menerima dengan ikhlas kalau Bapak mentalak saya. Karena saya sadar, seharusnya perempuan seperti saya tidak bersanding dengan Bapak. Seharus
"Mau ke mana kamu?" tanya Vanzo menatap cucunya yang hendak pergi. Aarav menoleh pada Vanzo yang diikuti pengawalnya itu. "Aku mau pulang Kek, capek," ujarnya dengan datar. "Pulang ke rumah kakek. Kamu sudah lama tidak berkunjung ke rumah. Mana besok saudara kembar kamu bakal datang ke sini," ucap Vanzo memberitahukan. "Aavar?" Vanzo mengangguk. "Masa peresmian kamu dia tidak datang. Bukankah terasa kurang?" "Kalau begitu besok saja, besok aku bakal ke rumah Kakek," ucap Aarav pada akhirnya. Dia kemudian melengos pergi. "Aarav? Kau tidak punya sopan santun yah?!" teriak sang kakek. Darah di atas ubun-ubunnya naik saja karena sang cucu yang selalu main pergi-pergi saja. Namun darah itu seketika turun kembali kala Aarav berbalik dan berjalan ke arah Vanzo. Ada apa tuh cucu balik lagi? "Kek, ada hal penting yang ingin Aarav katakan," ujar pria jangkung itu. Membuat alis Vanzo naik sebelah. "Apa? Jangan bilang---" "Jangan di sini," ucap Aarav menarik Vanzo agar ikut den
Pagi-pagi begini Kinara dibuat bingung untuk memilih baju yang akan ia pakai hari ini. Karena selain pakaian baju gamis Kinara juga hanya dipenuhi dengan pakaian yang itu-itu saja. Tidak ada yang aneh, terlihat kumuh dan yah ... seperti orangnya. Kinara sebelumnya memang membawa sebagian barang-barang yang tersimpan di rumahnya dulu. Rumah itu masih haknya, soalnya yah ... dia membelinya dengan harga yang lumayan mahal. Tentu semua itu karena pemilik kontrakan menawarkan untuk dijual saja. Dan sekarang yang ia bawa hanya sebagian pakaian milik Lusi dan sebagian kecil miliknya. Sekarang ia bingung mau memakai baju yang mana, pasalnya semua baju ini sering ia gunakan. "Kenapa tidak sekolah, Lusi?" Suara bariton Aarav membuat fokus Kinara teralihkan. Dia menoleh ke belakang di mana Aarav duduk di tepi ranjang. Melihat sang adik yang terbaring dengan selimut. "Dia sedang sakit, Pak," jawab Kinara langsung. Kedua mata itu akhirnya bertemu, namun sedetik kemudian Aarav membuang mukanya
"Kita harus bisa lari dari sini, Kak," ucap Lusi. Keduanya menatap Aarav yang masih setia tersenyum miring. Kinara mengangguk, menggenggam erat pegangan tangannya pada lengan Lusi. Bersiap untuk lari dari pria gila itu. "Sekarang, Lus. Satu ... dua ... tiga ....""Lariiii!""Aaaaaa!""Kau kenapa?" Deg! Nyali Kinara langsung menciut kala ia mendengar sebuah seruan suara. Melirik pada Aarav yang sudah duduk manis di kursi kemudi. Dia menyimpan terlebih dahulu sebuah barang yang tadi dia bawa. Kinara mengedipkan mata untuk beberapa saat. "Bapak dari mana? Dan itu," tunjuk Kinara pada benda berbentuk panjang yang masih setia di dalam sarungnya. "Oh itu, itu buat Kakek saya. Dia nitip untuk bawa alat ini ke rumahnya," jawab Aarav menatap Kinara yang nampak berkeringat. "Kau baik-baik saja? Kenapa berkeringat seperti itu?" tanya Aarav merasa heran. Kinara menghela nafas lega. 'Hah, ku kira hidupku tidak akan lama lagi. Ternyata itu cuman bayanganku saja,' ucap Kinara di dalam hati
“Assalamu'alaikum…?” Khalifa mengucap salam saat ia masuk ke dalam rumah, ah, bukan hanya Khalifa, Alby juga ada. Keduanya masuk dengan raut muka terlihat capek. “Kak, eum … aku mau mandi dulu ya, seharian kerja bikin aku gerah,” ucap Khalifa pada Alby. Alby tersenyum. “okke, tapi jangan lama-lama ya, udah malam soalnya. Ah iya, pake air hangat biar nggak kedinginan.”Khalifa terkekeh. “Aku bukan kamu yang harus pake air dingin kali, aku kan nggak alergi dingin,” timpal Khalifa menjawab. “Masalahnya kan udah malam, nggak baik buat kesehatan.”“Enggak bakal kak. Udah, lagian aku mandi bakal cepet kok. Dah ya, aku mau mandi dulu!” ucap Khalifa gegas berlari namun dengan cepat Alby menahannya lebih dahulu membuat Khalifa kembali berbalik menatap Alby. “Kalo udah mandi nanti turun ke bawah ya? Aku mau masakin kesukaan kamu. Kita makan bareng,” ucap Alby. Kebetulan sekali keduanya belum makan membuat Khalifa mengangguk antusias. “Cium dulu sini.” Alby menampilkan pipi kanannya. Ia men
Seminggu berlalu…Seorang wanita berjalan dengan menyeret kopernya. Tergesa-gesa sebab terlambat,bahkan saking tergesa-gesanya, wanita itu tanpa sengaja menabrak bahu seseorang membuat wanita itu menyeru minta maaf. “Ya ampun maaf, Mas. Saya enggak sengaja!” ucapnya sedikit menundukkan kepala, detik berikut kepala wanita itu mendongak. Namun… “Lho?” Sesaat pandangan keduanya bertemu. “Gama?”“Khanza?” Keduanya berseru secara berbarengan. Gama dengan pandangan mata menelisik, sedang Khanza menatap dengan tarikan napas. “Kukira siapa, taunya kamu,” ucapnya merubah raut wajah. Khanza menghela napas, tanpa sepatah kata apapun perempuan itu pergi begitu saja. Gama menaikan alisnya, namun sedetik kemudian ia mengedikkan bahu, ikut pergi dengan menyeret kopernya. Ia tahu yang dirinya tabrak, untuk itu tidak peduli baginya.Gama memilih duduk setelah melakukan check up,melalui maskapai yang telah memberitahukannya kini ia duduk menunggu antrian untuk masuk ke dalam pesawat. Gama menghel
Pagi ini Khalifa bangun lebih awal, melihat sosok suaminya yang tertidur pulas. Ah, mungkin efek cairan infus yang masuk ke dalam tubuhnya, membuat pria itu terjaga dari tidurnya. Merasa pegal dibagian lengannya, Khalifa merenggangkan otot-ototnya. Tidur seranjang dengan Alby jelas membuatnya tak bergerak sana-sini, menjadikan ia merasakan pegal. Khalifa menghela napas, ia menunduk melihat pakaiannya yang kotor nan penuh darah, lupa, bahwa memang ia tak mengganti baju. Ah, jangankan untuk mengganti baju, justru hatinya saat itu resah memikirkan Alby. “Aku harus memberitahukan Bunda. Jika tidak mereka pasti khawatir.” Khalifa menatap terlebih dahulu Alby, mumpung pria itu masih tertidur membuat Khalifa gegas pergi. Selain merasa tak nyaman dengan pakaiannya ia juga tak nyaman dengan keadaan ini. Sungguh, walau ada perasaan lega melihat Alby selamat namun ada sisi lain yang membuatnya resah. Mengenai Khanza … Ia belum berani untuk menghadap padanya dan mengatakan yang sejujurnya. *
Lihatlah, wajah Alby yang dulunya tampan kini banyak dipenuhi luka. Beberapa luka itu diperban, entah bagian kepala, rahang, maupun anggota tubuh lainnya. Tak kuasa melihat keadaannya seperti ini, Khalifa menunduk dengan hati penuh sesal. “Maafin, Alifa Kak… maaf ….” Khalifa terduduk di kursi yang berada di pinggir ranjang tersebut, menggenggam tangan Alby yang begitu kekar. Dulu, tangan inilah yang selalu siap siaga menggenggam tangannya. “Andai aku tidak menurutinya, andai kita kabur saat itu mungkin keadaan kamu enggak bakal separah ini Kak. Bodoh, harusnya aku menolak ajakanmu untuk melawan mereka. Bodoh!” Khalifa merutuk dirinya, menarik tangan Alby untuk ia kecup. “Sekarang aku baru menyadarinya, Kak. Kalau aku … benar-benar takut kehilangan kamu. Aku takut ….” Khalifa tak bisa lagi membendung tangis yang kian jatuh menimpa pipinya, bengkak sudah kedua matanya sebab terus menangis. “Setelah kehilangan Mama dan Papa, aku enggak mau kehilangan kamu, Kak. Boleh aku egois? Aku i
Khalifa menunduk, semakin menangis tertahan dengan tangan yang masi menyentuh kepala Alby. “Kak … tolong … jangan tinggalin aku kayak gini … tolong bangunlah….”“Uhuk!”Sebuah semburat darah tiba-tiba keluar di bibir Alby tatkala pria itu terbatuk. “Kak Al?” Terkejut, Khalifa mendapati Alby membuka matanya dengan ringisan kecil yang keluar. “Khalifa….”Sudah menangis deras kini Khalifa menambah tangisnya tatkala suara lembut itu terdengar. Bergetar hatinya mendengar hal itu. “Kak Al….” Khalifa menangis, memeluk kepala Alby. “maafin aku, Kak. Maaf….”Alby memejamkan matanya menahan rasa sakit, ia menggeleng. “aku kembali untuk kamu, Alif….”Khalifa mengangguk, entah harus bagaiamana tapi ia benar-benar senang tatkala Alby kembali. Terbangun untuk menepati janjinya. Menggenggam erat tangan yang amat dingin itu Khalifa berucap, ““Kita harus ke rumah sakit dulu, Kak. Secepatnya luka kakak harus diatasi,” ucap Khalifa melihat keadaan Alby yang kian parah. “Kakak masih sanggup berdiri?
“Kau akan mati ditanganku!” Bugh! Alby langsung menghindar saat orang itu hendak menendang, belati yang dirinya pegang ia tusukkan ke depan untuk mengenal tubuh Alby, namun dengan gesit, Alby menghindar secara agresif. Memilih melawan dari belakang, Alby bisa menghajarnya dari belakang tersebut. Seseorang itu terjatuh, mukanya makin memerah. Satu diantara mereka berjalan maju, membuat Alby harus melawan dua orang sekaligus. Ah tidak, bahkan satunya lagi ikut-ikutan maju, menambah orang yang harus Alby lawan. Cukup kewalahan sebab mereka memiliki senjata masing-masing, sedang Alby hanya menggunakan tangan kosong sebagai tameng dirinya. Satu kali dua kali ia mendapat pukulan yang tak bisa ia hindari, bahkan goresan belati pula harus terkena sampai kulitnya saking keagresifan mereka. Murka, mereka murka sebab merasa terkalahkan oleh Alby. Alby mengatur napasnya dalam-dalam. Melawan 10 orang sekaligus benar-benar menguras tenaganya. Apalagi tidak diberi jeda untuk berhenti se
Khalifa berlari dan langsung memeluk Alby. Ia menangis dengan tubuh bergetar hebat. “Kak Al, makasih, makasih telah kembali….” Alby menelan salivanya pelan, bergetar hatinya kala melihat keadaan Khalifa seperti ini. “Maaf, maafkan aku baru datang Alif. Maaf telah meninggalkan kamu seorang diri.” Khalifa menggeleng, ia melerai pelukannya, mendongak untuk melihat wajah Alby. “Mereka … mereka ingin melecehkan aku, Kak. Aku--aku takut ….” Alby melihat wajah ketakutan itu, ia pegang tangan Khalifa untuk menenangkan gadisnya. Namun, yang ia lihat justru gurat merah dari pergelangan tangannya. Khalifa menunduk, ia masih terisak. “Mereka pegang tangan aku dengan keras Kak… mereka kasar dan menyeramkan….” Mendengar lirihan itu rahang Alby mengeras, menoleh ke kanan, ia dapati 11 orang itu yang tampak tertawa saja. “Ayo kabur, Kak. Mereka bukan tandingan kita,” ucap Khalifa kembali. Alby menatap Khalifa, memilih kabur? Itu bukan dirinya. “Tidak Alif, mereka harus membayar at
Nyatanya bukan sehabis magrib Khalifa pulang, melainkan sehabis isya baru ia bisa pulang. Jangan tanyakan kenapa, karena saat ini Khalifa ingin sendirian, menjadikan ia habiskan beberapa waktu sendirian di kantor. Dan sekarang waktunya ia pulang beberapa security yang jaga pula sebagian sudah pulang, paling hanya beberapa yang tetap berjaga karena bekerja sesuai shif. Khalifa berjalan terburu-buru menuju mobilnya, lantas melaju membelah jalan tanpa menunggu lama. Takut kemalaman Khalifa makin mempercepat lajunya. Sebuah dering ponsel terdengar namun tak Khalifa gubris untuk mengangkatnya. Memilih abai Khalifa terus melajukan mobilnya di tengah keramaian. Namun, kala ia berbelok ia harus di hadapkan dengan jalan yang cukup sepi. “Huft, semoga tidak terjadi apa-apa.” Khalifa mengucap doa dalam hati. Mau bagaimana pun ia perempuan, dan jelas ia takut jika tiba-tiba ada hal aneh yang melintas. Suara bisingnya motor terdengar dari arah belakang, memusat perhatian Khalifa untuk m
Khalifa menangkup kedua pipi di atas meja, bosan melanda hatinya. Hari ini tugas yang diberikan Aavar dalam mempelajari berbagai perbisnisan cukup menguras pikiran dan tenaga. Ternyata susah sekali untuk memahami berbagai persoalan dalam perbisnisan ini. Jika bukan karena otak yang encer mungkin Khalifa memilih tidur saja di atas kasur. Hari ini jam sudah menunjukan pukul empat sore. Tidak terasa, dari pagi sampai saat ini Khalifa menghabiskan waktu hanya di kantor saja, tentunya dengan Khanza. Namun, saat ini perempuan itu entah pergi ke mana, katanya izin keluar sebentar. “Khalifa, Om pulang lebih dulu ya, istri Om kasihan di rumah sendirian.” Tiba-tiba suara Aavar terdengar setelah pintu terbuka. “Kamu pulang lah, besok bisa dilanjutkan.” Punggung Khalifa berdiri tegap. “Nggak deh, Khalifa mau lembur. Soalnya masih banyak banget yang belum dikerjakan Om.” Aavar menoleh. “lembur?” Ia tertawa. “ya ampun Khalifa, ini kan cuma belajar aja. Gak usah terlalu dibuat serius jug