Kinara meluruhkan segala asa yang ada. Menangis sejadi-jadinya tatkala menatap sang Ibu yang sudah tidak bernyawa lagi. Termasuk Lusi yang sekarang ikut menangis histeris.
Semua yang melihat ikut memprihatin, mendoakan yang terbaik untuk Runi agar diterima di sisi-Nya. Hingga menit berikutnya jenazah Runi langsung dipulangkan dengan segera.Selang beberapa jam kemudian."Ini salah Kakak! Kalau saja kakak menjaga Ibu dengan baik, mungkin Ibu enggak bakal ninggalin kita. Mungkin sekarang Ibu masih hidup berkumpul di rumah ini," ujar Karin, adik pertama Kinara.Dia menatap marah Kinara, seakan kejadian ini memang kesalahan kakaknya itu.Kinara terdiam, dia hanya menatap lurus dengan tatapan kosong.Setelah proses pemakaman Runi selesai, Kinara hanya diam tanpa banyak bicara. Menangis kemudian menghapus air matanya. Menangis kembali berakhir menghapusnya.Tidak bisa dipungkiri. Hatinya masih belum ikhlas akan kepergian Ibunya. Belum menerima sepenuh hati atas apa yang terjadi. Karena di sisi lain pula, ia menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang terjadi pada Ibunya.Jika saja operasi itu lebih dulu dilakukan mungkin masih ada harapan untuk Runi bertahan hidup. Tapi tidak, dia bahkan pergi sebelum memeluk sang anak untuk yang terakhir kalinya."Sudahlah Rin, ini semua udah takdir. Semua ini bukan salah kakak kamu," ucap Andara suami Karin. Pria itu menenangkan Karin dengan mengusap-usap punggungnya."Tetap aja, Mas! Ini salah Kakak! Dia sudah ceroboh dengan membiarkan Ibu sakit begitu saja." Tampaknya Karin pun belum ikhlas akan kepergian sang Ibu membuat dia menyalahkan Kinara terus-menerus."Jangan menyalahkan Kak Kinar terus, Kak! Ini juga kesalahan kita. Semenjak Ibu sakit, apa Kakak pernah menjenguk Ibu?" Kini Dara yang angkat suara. Adik kedua Kinara itu membuka suara untuk menyangkal tuduhan kakak keduanya."Jadi kamu menyalahkan Kakak?" tanya Karin dengan nafas memburu."Dara bukan nyalahin Kakak. Tapi Dara cuman membetulkan kalau sakitnya Ibu, itu juga kesalahan kita. Kak Kinar udah bersusah payah dalam menjaga Ibu selama ini, tapi, apa pernah kita tahu akan hal itu? Tidak kan? Kita bahkan hanya disibuki untuk menjaga suami saja," ujar Dara membuat Karin terdiam."Kak Kinar bahkan rela enggak nikah demi kita, lalu, apa Kakak masih mau menyalahkan Kak Kinar?" Dara menatap Karin dengan sendu, membuat pandangan adik-kakak itu saling bertemu."Sekarang lebih baik kita---""Pergi kalian dari sini!" ujar Kinara memotong ucapan Dara."Kak?""Aku bilang pergi dari sini!" ulang Kinara tanpa menoleh ke arah siapapun."Kak, maafin Karin.""Sudah aku bilang pergi dari sini!" Untuk ketiga kalinya nafas Kinara memburu. Menatap antara Karin dan Dara bergantian.Hingga detik berikutnya mau tak mau kedua adiknya itu berakhir pergi. Pulang ke rumah suaminya dengan perasaan dongkol.Kinara menghela nafas pelan. Permasalahan yang terjadi sudah cukup membuat Kinara mengerti. Kalau adik-adiknya tidak pernah memperdulikan akan keadaan dirinya dan Ibunya selama ini. Kedua adiknya itu hanya bisa merasakan enaknya tanpa mau mengeluarkan keringat sedikit pun.Menyalahkan tanpa mau merasakan penderitaan. Termasuk Dara yang sedari tadi hanya berpura-pura saja. Seolah-olah dia membelanya, padahal kenyataannya ada maksud lain yang tengah dia perbuat.Namun walaupun begitu, sampai kapanpun Kinara tidak bisa membenci mereka. Karena keduanya adalah adik yang ia sayangi.**Kinara berjalan mengikuti Aarav dari belakang. Merangkul Lusi yang ia ajak untuk ikut dengannya.Atas apa yang terjadi hari ini membuat Kinara mau tidak mau harus ikut ke mana suami barunya pergi, karena memang ia sudah menjadi hak suaminya itu. Membuatnya harus menurut saja."Ahhh, shhhh ... pelan-pelan ... akh!""Eum, ahh ...."Suara desahan yang tiba-tiba terdengar membuat Kinara menolehkan lirikan matanya,termasuk Lusi yang kini dalam rangkulan Kinara.Suara itu terdengar semakin jelas ke dalam telinga keduanya."Hiraukan suara itu, nanti kau pun tidak jauh akan berteriak sepertinya," ujar Aarav seakan tahu apa yang dipikirkan Kinara."Akh!""Eh, pocong! Pocong!" Kinara menarik jas yang dikenakan Aarav kala suara itu kembali terdengar dengan keras. Bersembunyi dibalik ketiak milik lelaki tersebut dengan mata terpejam karena takut."Kakak, suara apa itu?"Lusi, sang adik berumur 15 tahun itu membeo, yang mana membuat Kinara lupa akan adiknya. Namun detik berikutnya Kinara yang sadar telah memepet pada Aarav langsung menjauh."Ma--maaf Pak. Saya benar-benar tidak sengaja. Ha--habisnya, teriakan itu membuatku takut," ucap Kinara terbata-bata. Dia langsung kembali ke tempat asalnya. Merangkul Lusi yang tadi dia tinggalkan.Duh malunya. Mana main narik-narik jas Aarav lagi. Membuat sang empu menatapnya datar.Seperti biasa, Aarav hanya menampilkan raut tanpa ekspresi. Bagaikan tembok yang dimasukan ke dalam kulkas. Dingin nan datar. Eh, kok tembok ke kulkas sih?Kinara mulai merasakan canggung, menghiraukan suara aneh yang sedari terdengar. Mana keras lagi membuat bulu kuduknya ikut meremang.Ah, ia jadi teringat pula akan perjanjiannya dengan Pak Aarav itu. Bahwa ia akan melahirkan keturunan untuk sang CEO. Setelah tadi proses akad nikah, kemudian Ibunya yang meninggal membuat Kinara harus mengurus jenazah sang Ibu lebih dulu.Diikuti beberapa tetangga lain yang ikut membantu. Sang adiknya Karin dan Dara ikut datang karena memang itulah kewajiban seorang anak kala orangtuanya sudah pergi. Membuat proses pemakaman tersebut tidak menghabiskan banyak waktu.Dan sekarang di sinilah Kinara berada. Ia dibawa oleh Aarav setelah masalah dengan kedua adiknya terselesaikan.Entah akan dibawa ke mana takdir ini. Setelah kepergian Ayah dan Ibunya membuat Kinara tidak tahu ke arah mana ia harus menuju. Apa ia akan mengikuti sang suami saja? Bahkan perjanjian itu pun hanya bernilai tawaran di atas kertas. Membuat Kinara yakin bahwa kelak saat ia mengandung dan melahirkan, maka ia akan dilempar sedemikian jauh oleh pria tanpa ekspresi itu."Ganti pakaianmu. Untuk sekarang kita akan tinggal di sini," ucap Aarav membuyarkan lamunan Kinara.Kinara terdiam baru sadar bahwa ia sudah berada di kamar hotel, membuat bola mata hitamnya menelusur dalam menatap ke sekeliling.Kamar yang didesain mewah, begitu rapi nan wangi. Kursi empuk berjejer di dekat jendela. Kasur yang besar pun terlihat pula di sana. Terlihat nyaman. Kinara pun belum pernah merasakan suasana seindah dan senyaman ini."Bersihkan badanmu, setelah itu kau boleh menidurkan adikmu itu. Tapi setelah adikmu tertidur, datang ke kamarku dengan pakaian ini." Aarav menyodorkan sebuah baju berwarna merah pekat pada Kinara.Diambilnya baju tersebut oleh sang empu, kemudian tatapan matanya mengarah pada Aarav yang sudah pergi begitu saja menuju kamar lain.Tanpa ekspresi tanpa senyuman pria itu meninggalkan Kinara yang termenung."Kakak? Itu apa?" tanya Lusi menatap pada baju merah tersebut.Kinara menunduk, dia juga tidak tahu baju apa ini. Namun tepat saat Kinara menjuntaikan bajunya ke bawah seketika matanya membelakak. Detik berikutnya dia menyembunyikan baju tersebut dibalik jilbab panjangnya."Udah, sekarang Lusi bersih-bersih. Kita tidur!" sela Kinara mengalihkan topik."Kakak, yang tadi itu suami kakak, kan? Apa itu berarti kita tidak tinggal di rumah dulu lagi?" tanya Lusi sebelum berjalan menuju kamar mandi.Kinara menatap sendu adiknya. Namun kemudian dia mengangguk."Untuk sekarang Lusi bakal ikut kakak. Tapi nanti, setelah semua urusan ini selesai, kakak bakal bawa kamu pergi jauh dari sini, hm? Jadi Lusi enggak perlu khawatir," ucap Kinara sembari mengusap bahu Lusi pelan."Kenapa Kak? Padahal kakak itu tampan, Lusi suka sama dia," celetuk Lusi dengan tampang binar."Ck, udah sana pergi. Kita tidur," ujar Kinara kembali menyuruh Lusi agar membersihkan dirinya.Lusi menurut, dia pergi setelah berhasil menertawakan sang kakak."Ganteng sih ganteng, cuman sayang. Dingin banget kayak kulkas sepuluh pintu! Mana muka datar banget lagi, gak ada belokan sama sekali!" gerutu Kinara setelah Lusi pergi dari hadapannya.Kinara menghela nafas. Tangannya seketika bergetar kala menarik kembali baju tersebut.Yang mana ...Sebuah lingerie berbahan tipis tercekat jelas di sana."Ya Allah ... habis sudah nasibku sekarang!""Ya Allah ... apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus menggunakan baju ini?" tanya Kinara sembari menatap baju merah pekat tersebut. Baju yang kurang bahan, terdapat bolong-bolong di setiap inci baju tersebut. Bahkan jika dipakai pun terlihat sudah seperti tengah telanjang. Bagi Kinara yang setiap harinya memakai jilbab menutup seluruh tubuh jelas membuatnya uring-uringan sendiri. Antara mengiyakan permintaan Aarav atau mungkin ... mencari alasan agar malam ini tidak terjadi? "Ah! Apa yang harus aku lakukan?" Kinara frustasi sendiri. Dia meremas kepalanya dengan resah nan gelisah. Diusianya yang sudah berkepala tiga membuat dirinya semakin takut saja. Padahal seharusnya dia bersyukur karena sudah menikah, tidak dikatakan perawan tua lagi. Apalagi oleh para tetangga yang sukanya menjudge dirinya. Bukankah ini kesempatan bagus untuk menutup mulut mereka yang selama ini menghina dirinya? Tapi, membalas dendam pun bukanlah jalan terbaik. Karena yang jadi masalahnya ... Ia akan dile
Pagi telah tiba. Suara beduk azan membuat mata Kinara mengerjap. Terbangun sudah kala suara azan mengumandang. Kinara membaca doa lebih dahulu kemudian tatapan matanya jatuh pada seseorang yang terbaring di sampingnya. Kinara membelalakan mata kala menyadari kalau Aarav? Tidur dengannya? "Aku, seranjang dengannya?" tanya Kinara pelan. Tapi, baju nan kerudung yang ia kenakan masih baik-baik saja kok. Itu berarti dirinya masih perawan kan? "Hah, untung ...." Kinara menghela nafas pelan. Pandangan matanya menatap lurus sang suami. Ah Mas suami. Eh? Kinara senyum-senyum sendiri, melihat Aarav yang tidur tenang seperti itu malah terkesan manis nan kalem. Tidak seperti monster kala dia terbangun. Jika ditanya lebih tampan mana? Ya lebih tampan Aarav yang lagi tidur. Ketampanannya plus-plus. Kinara cungar-cengir sendiri namun sedetik kemudian dia memikirkan kehidupannya di masa depan yang akan datang. Kira-kira, apa yang telah Allah rencanakan di masa depan sana ya? Apa setelah ini ia
"Turun di sini!" Kinara menolehkan pandangan matanya pada pria di sampingnya.Setelah tadi mereka makan di restoran kini mereka meluncur pergi ke kantor. Karena memang kantor dirinya bekerja dan Aarav sama. Namun sebelum itu Aarav mengantar terlebih dahulu Lusi ke kamar hotelnya. Dan kini keduanya sudah berada di depan kantor. Ah tidak, bahkan Aarav menyuruhnya untuk turun sebelum kantor itu ada di hadapannya. "Baik," jawab Kinara tanpa bantahan apapun. Ia mengerti, sungguh sangat paham. Bahwa seorang CEO, mana bisa berdamping dengan dirinya yang miskin ini? Tanpa sepatah kata apapun mobil hitam milik Aarav melaju meninggalkan Kinara yang kini termenung. Menghela nafas panjang kemudian membuangnya sesuai ritme. Dalam diam Kinara berjalan. Sebenarnya hari ini Kinara sangat malas untuk pergi bekerja. Inginnya tiduran di atas kasur empuk, main hp atau bersantai-santai di kamar hotel itu. Tapi tidak, karena ia sadar kalau dirinya bekerja di Cavern grup membuatnya tidak boleh bolos.
Sore ini pekerjaan Kinara sudah selesai, dengan begitu ia akan pulang lebih awal. Kasihan pula pada adiknya yang menunggu di sana. Ah, jika bukan karena memenuhi kebutuhan hidup, Kinara lebih baik bersama adiknya Lusi. Derrttt DerttSuara dering ponsel terdengar di dalam tasnya, membuat Kinara dengan segera mengeluarkan ponsel tersebut. Menatap siapa penelfon di sore hari begini. Karin. Ah, adik keduanya. Dengan segera Kinara menekan ikon hijau. "Kak? Kakak enggak lagi di rumah?" tanya di seberang sana. "Biasakan dulu buat ucap salam Karin. Sudah berapa kali kakak bilang kalau---""Iya maaf Kak. Assalamu'alaikum. "Kinara menghela nafas sejenak. Namun dengan begitu ia membalas salam tersebut. "Kak, kunci rumah di mana?" tanya Karin setelah beberapa detik terdiam."Kenapa? Kenapa nanyain kunci rumah?" tanya Kinara mulai merasakan tidak enak hati. "Karin mau tinggal di rumah almarhumah ibu aja kak. Gak mau tinggal seatap sama mertua!"Benar saja akan firasat Kinara, pasti ada apa
"Duduk di sana, ada suatu hal yang akan saya bicarakan," titah Aarav kala keduanya sudah berada di kamar hotel.Kinara menurut, segera duduk di sebuah ruangan yang entah apa itu. Karena kebanyakan di sini hanya dipenuhi oleh berbagai buku.Ah tidak, pajangan buku di balik lemari besar begitu tersimpan rapi di dalamnya. Terdapat kaca besar dibalik jendela yang mengarah langsung ke Ibukota Jakarta. Di sisi-sisi jendela tersebut terdapat sebuah bunga hiasan, berjejer rapi dengan warna-warni. Ruangan yang begitu rapi, indah, nyaman nan sejuk membuat Kinara merasakan adem. Apalagi AC ruangan ini yang juga menyala, menambah kesejukan yang ada. Ia baru tahu kalau ruangan ini ternyata bukan hanya ada kamar, ruang tamu dan toilet, ternyata di sini ada ruangan lain.Kinara menatap lurus ke depan di mana ada sebuah kursi putar yang berukuran besar. Kursi yang hanya di gunakan oleh mereka sang pengusaha-pengusaha.Seulas senyum terbit kala Kinara menatap kursi tersebut dengan seksama."Hahaha, A
"Karena saya ... perempuan yang sudah tua Pak. Saya, perawan tua."Kinara benar-benar menunduk. Malu sudah mukanya untuk menatap pria muda di depannya ini. Perbedaan usia yang begitu jauh membuat Kinara cukup sadar diri. Bahwa ia tak lain hanyalah sebuah batu dihamparan debu. Sedang perempuan di luaran sana? Mereka bagaikan berlian di tengah bebatuan yang ada. Indah, begitu memikat dalam pandangan. Sedang ia? Begitu kumuh, jelek dan ... tidak enak dipandang. "Seharusnya Bapak tidak menikahi saya, Pak ... saya hanya akan memalukan Bapak saja. ah atau tidak, Bapak bisa kok langsung ceraikan saya." Kinara memberanikan dirinya dalam menatap Aarav, terdapat rona merah di pipinya. Bukan marah, hanya saja Kinara merasa bahwa memang dirinya tidak pantas untuk siapapun, membuatnya ingin menangis saja. Apalagi untuk pria muda di depannya ini. "Saya akan menerima dengan ikhlas kalau Bapak mentalak saya. Karena saya sadar, seharusnya perempuan seperti saya tidak bersanding dengan Bapak. Seharus
"Mau ke mana kamu?" tanya Vanzo menatap cucunya yang hendak pergi. Aarav menoleh pada Vanzo yang diikuti pengawalnya itu. "Aku mau pulang Kek, capek," ujarnya dengan datar. "Pulang ke rumah kakek. Kamu sudah lama tidak berkunjung ke rumah. Mana besok saudara kembar kamu bakal datang ke sini," ucap Vanzo memberitahukan. "Aavar?" Vanzo mengangguk. "Masa peresmian kamu dia tidak datang. Bukankah terasa kurang?" "Kalau begitu besok saja, besok aku bakal ke rumah Kakek," ucap Aarav pada akhirnya. Dia kemudian melengos pergi. "Aarav? Kau tidak punya sopan santun yah?!" teriak sang kakek. Darah di atas ubun-ubunnya naik saja karena sang cucu yang selalu main pergi-pergi saja. Namun darah itu seketika turun kembali kala Aarav berbalik dan berjalan ke arah Vanzo. Ada apa tuh cucu balik lagi? "Kek, ada hal penting yang ingin Aarav katakan," ujar pria jangkung itu. Membuat alis Vanzo naik sebelah. "Apa? Jangan bilang---" "Jangan di sini," ucap Aarav menarik Vanzo agar ikut den
Pagi-pagi begini Kinara dibuat bingung untuk memilih baju yang akan ia pakai hari ini. Karena selain pakaian baju gamis Kinara juga hanya dipenuhi dengan pakaian yang itu-itu saja. Tidak ada yang aneh, terlihat kumuh dan yah ... seperti orangnya. Kinara sebelumnya memang membawa sebagian barang-barang yang tersimpan di rumahnya dulu. Rumah itu masih haknya, soalnya yah ... dia membelinya dengan harga yang lumayan mahal. Tentu semua itu karena pemilik kontrakan menawarkan untuk dijual saja. Dan sekarang yang ia bawa hanya sebagian pakaian milik Lusi dan sebagian kecil miliknya. Sekarang ia bingung mau memakai baju yang mana, pasalnya semua baju ini sering ia gunakan. "Kenapa tidak sekolah, Lusi?" Suara bariton Aarav membuat fokus Kinara teralihkan. Dia menoleh ke belakang di mana Aarav duduk di tepi ranjang. Melihat sang adik yang terbaring dengan selimut. "Dia sedang sakit, Pak," jawab Kinara langsung. Kedua mata itu akhirnya bertemu, namun sedetik kemudian Aarav membuang mukanya
“Assalamu'alaikum…?” Khalifa mengucap salam saat ia masuk ke dalam rumah, ah, bukan hanya Khalifa, Alby juga ada. Keduanya masuk dengan raut muka terlihat capek. “Kak, eum … aku mau mandi dulu ya, seharian kerja bikin aku gerah,” ucap Khalifa pada Alby. Alby tersenyum. “okke, tapi jangan lama-lama ya, udah malam soalnya. Ah iya, pake air hangat biar nggak kedinginan.”Khalifa terkekeh. “Aku bukan kamu yang harus pake air dingin kali, aku kan nggak alergi dingin,” timpal Khalifa menjawab. “Masalahnya kan udah malam, nggak baik buat kesehatan.”“Enggak bakal kak. Udah, lagian aku mandi bakal cepet kok. Dah ya, aku mau mandi dulu!” ucap Khalifa gegas berlari namun dengan cepat Alby menahannya lebih dahulu membuat Khalifa kembali berbalik menatap Alby. “Kalo udah mandi nanti turun ke bawah ya? Aku mau masakin kesukaan kamu. Kita makan bareng,” ucap Alby. Kebetulan sekali keduanya belum makan membuat Khalifa mengangguk antusias. “Cium dulu sini.” Alby menampilkan pipi kanannya. Ia men
Seminggu berlalu…Seorang wanita berjalan dengan menyeret kopernya. Tergesa-gesa sebab terlambat,bahkan saking tergesa-gesanya, wanita itu tanpa sengaja menabrak bahu seseorang membuat wanita itu menyeru minta maaf. “Ya ampun maaf, Mas. Saya enggak sengaja!” ucapnya sedikit menundukkan kepala, detik berikut kepala wanita itu mendongak. Namun… “Lho?” Sesaat pandangan keduanya bertemu. “Gama?”“Khanza?” Keduanya berseru secara berbarengan. Gama dengan pandangan mata menelisik, sedang Khanza menatap dengan tarikan napas. “Kukira siapa, taunya kamu,” ucapnya merubah raut wajah. Khanza menghela napas, tanpa sepatah kata apapun perempuan itu pergi begitu saja. Gama menaikan alisnya, namun sedetik kemudian ia mengedikkan bahu, ikut pergi dengan menyeret kopernya. Ia tahu yang dirinya tabrak, untuk itu tidak peduli baginya.Gama memilih duduk setelah melakukan check up,melalui maskapai yang telah memberitahukannya kini ia duduk menunggu antrian untuk masuk ke dalam pesawat. Gama menghel
Pagi ini Khalifa bangun lebih awal, melihat sosok suaminya yang tertidur pulas. Ah, mungkin efek cairan infus yang masuk ke dalam tubuhnya, membuat pria itu terjaga dari tidurnya. Merasa pegal dibagian lengannya, Khalifa merenggangkan otot-ototnya. Tidur seranjang dengan Alby jelas membuatnya tak bergerak sana-sini, menjadikan ia merasakan pegal. Khalifa menghela napas, ia menunduk melihat pakaiannya yang kotor nan penuh darah, lupa, bahwa memang ia tak mengganti baju. Ah, jangankan untuk mengganti baju, justru hatinya saat itu resah memikirkan Alby. “Aku harus memberitahukan Bunda. Jika tidak mereka pasti khawatir.” Khalifa menatap terlebih dahulu Alby, mumpung pria itu masih tertidur membuat Khalifa gegas pergi. Selain merasa tak nyaman dengan pakaiannya ia juga tak nyaman dengan keadaan ini. Sungguh, walau ada perasaan lega melihat Alby selamat namun ada sisi lain yang membuatnya resah. Mengenai Khanza … Ia belum berani untuk menghadap padanya dan mengatakan yang sejujurnya. *
Lihatlah, wajah Alby yang dulunya tampan kini banyak dipenuhi luka. Beberapa luka itu diperban, entah bagian kepala, rahang, maupun anggota tubuh lainnya. Tak kuasa melihat keadaannya seperti ini, Khalifa menunduk dengan hati penuh sesal. “Maafin, Alifa Kak… maaf ….” Khalifa terduduk di kursi yang berada di pinggir ranjang tersebut, menggenggam tangan Alby yang begitu kekar. Dulu, tangan inilah yang selalu siap siaga menggenggam tangannya. “Andai aku tidak menurutinya, andai kita kabur saat itu mungkin keadaan kamu enggak bakal separah ini Kak. Bodoh, harusnya aku menolak ajakanmu untuk melawan mereka. Bodoh!” Khalifa merutuk dirinya, menarik tangan Alby untuk ia kecup. “Sekarang aku baru menyadarinya, Kak. Kalau aku … benar-benar takut kehilangan kamu. Aku takut ….” Khalifa tak bisa lagi membendung tangis yang kian jatuh menimpa pipinya, bengkak sudah kedua matanya sebab terus menangis. “Setelah kehilangan Mama dan Papa, aku enggak mau kehilangan kamu, Kak. Boleh aku egois? Aku i
Khalifa menunduk, semakin menangis tertahan dengan tangan yang masi menyentuh kepala Alby. “Kak … tolong … jangan tinggalin aku kayak gini … tolong bangunlah….”“Uhuk!”Sebuah semburat darah tiba-tiba keluar di bibir Alby tatkala pria itu terbatuk. “Kak Al?” Terkejut, Khalifa mendapati Alby membuka matanya dengan ringisan kecil yang keluar. “Khalifa….”Sudah menangis deras kini Khalifa menambah tangisnya tatkala suara lembut itu terdengar. Bergetar hatinya mendengar hal itu. “Kak Al….” Khalifa menangis, memeluk kepala Alby. “maafin aku, Kak. Maaf….”Alby memejamkan matanya menahan rasa sakit, ia menggeleng. “aku kembali untuk kamu, Alif….”Khalifa mengangguk, entah harus bagaiamana tapi ia benar-benar senang tatkala Alby kembali. Terbangun untuk menepati janjinya. Menggenggam erat tangan yang amat dingin itu Khalifa berucap, ““Kita harus ke rumah sakit dulu, Kak. Secepatnya luka kakak harus diatasi,” ucap Khalifa melihat keadaan Alby yang kian parah. “Kakak masih sanggup berdiri?
“Kau akan mati ditanganku!” Bugh! Alby langsung menghindar saat orang itu hendak menendang, belati yang dirinya pegang ia tusukkan ke depan untuk mengenal tubuh Alby, namun dengan gesit, Alby menghindar secara agresif. Memilih melawan dari belakang, Alby bisa menghajarnya dari belakang tersebut. Seseorang itu terjatuh, mukanya makin memerah. Satu diantara mereka berjalan maju, membuat Alby harus melawan dua orang sekaligus. Ah tidak, bahkan satunya lagi ikut-ikutan maju, menambah orang yang harus Alby lawan. Cukup kewalahan sebab mereka memiliki senjata masing-masing, sedang Alby hanya menggunakan tangan kosong sebagai tameng dirinya. Satu kali dua kali ia mendapat pukulan yang tak bisa ia hindari, bahkan goresan belati pula harus terkena sampai kulitnya saking keagresifan mereka. Murka, mereka murka sebab merasa terkalahkan oleh Alby. Alby mengatur napasnya dalam-dalam. Melawan 10 orang sekaligus benar-benar menguras tenaganya. Apalagi tidak diberi jeda untuk berhenti se
Khalifa berlari dan langsung memeluk Alby. Ia menangis dengan tubuh bergetar hebat. “Kak Al, makasih, makasih telah kembali….” Alby menelan salivanya pelan, bergetar hatinya kala melihat keadaan Khalifa seperti ini. “Maaf, maafkan aku baru datang Alif. Maaf telah meninggalkan kamu seorang diri.” Khalifa menggeleng, ia melerai pelukannya, mendongak untuk melihat wajah Alby. “Mereka … mereka ingin melecehkan aku, Kak. Aku--aku takut ….” Alby melihat wajah ketakutan itu, ia pegang tangan Khalifa untuk menenangkan gadisnya. Namun, yang ia lihat justru gurat merah dari pergelangan tangannya. Khalifa menunduk, ia masih terisak. “Mereka pegang tangan aku dengan keras Kak… mereka kasar dan menyeramkan….” Mendengar lirihan itu rahang Alby mengeras, menoleh ke kanan, ia dapati 11 orang itu yang tampak tertawa saja. “Ayo kabur, Kak. Mereka bukan tandingan kita,” ucap Khalifa kembali. Alby menatap Khalifa, memilih kabur? Itu bukan dirinya. “Tidak Alif, mereka harus membayar at
Nyatanya bukan sehabis magrib Khalifa pulang, melainkan sehabis isya baru ia bisa pulang. Jangan tanyakan kenapa, karena saat ini Khalifa ingin sendirian, menjadikan ia habiskan beberapa waktu sendirian di kantor. Dan sekarang waktunya ia pulang beberapa security yang jaga pula sebagian sudah pulang, paling hanya beberapa yang tetap berjaga karena bekerja sesuai shif. Khalifa berjalan terburu-buru menuju mobilnya, lantas melaju membelah jalan tanpa menunggu lama. Takut kemalaman Khalifa makin mempercepat lajunya. Sebuah dering ponsel terdengar namun tak Khalifa gubris untuk mengangkatnya. Memilih abai Khalifa terus melajukan mobilnya di tengah keramaian. Namun, kala ia berbelok ia harus di hadapkan dengan jalan yang cukup sepi. “Huft, semoga tidak terjadi apa-apa.” Khalifa mengucap doa dalam hati. Mau bagaimana pun ia perempuan, dan jelas ia takut jika tiba-tiba ada hal aneh yang melintas. Suara bisingnya motor terdengar dari arah belakang, memusat perhatian Khalifa untuk m
Khalifa menangkup kedua pipi di atas meja, bosan melanda hatinya. Hari ini tugas yang diberikan Aavar dalam mempelajari berbagai perbisnisan cukup menguras pikiran dan tenaga. Ternyata susah sekali untuk memahami berbagai persoalan dalam perbisnisan ini. Jika bukan karena otak yang encer mungkin Khalifa memilih tidur saja di atas kasur. Hari ini jam sudah menunjukan pukul empat sore. Tidak terasa, dari pagi sampai saat ini Khalifa menghabiskan waktu hanya di kantor saja, tentunya dengan Khanza. Namun, saat ini perempuan itu entah pergi ke mana, katanya izin keluar sebentar. “Khalifa, Om pulang lebih dulu ya, istri Om kasihan di rumah sendirian.” Tiba-tiba suara Aavar terdengar setelah pintu terbuka. “Kamu pulang lah, besok bisa dilanjutkan.” Punggung Khalifa berdiri tegap. “Nggak deh, Khalifa mau lembur. Soalnya masih banyak banget yang belum dikerjakan Om.” Aavar menoleh. “lembur?” Ia tertawa. “ya ampun Khalifa, ini kan cuma belajar aja. Gak usah terlalu dibuat serius jug