"Perkenalkan, nama saya Aarav, calon suami Kinara." Dengan pelan Aarav menyalami Runi. Mencium punggung tangan wanita berkepala empat itu.
"Kamu? Calon suami Kinar?" tanya Runi dengan tatapan tidak percaya. Lirikan matanya beralih menatap Kinara yang termenung dengan melamun."Kamu sudah punya calon, Kinar? Tapi, kenapa kamu enggak kasih tau Ibu?" Tatapan Runi mengarah pada Kinara yang menatap Aarav. Dia masih tercengang atas ungkapan Aarav padanya.Apa maksudnya? Menikahinya?"Kinar, Kinar berani nyembunyiin masalah ini dari Ibu? Kamu bilang gak ada yang mau sama kamu. Tapi ini apa? Bahkan ini lebih dari sempurna Kinar. Ya Allah ...." Terdapat raut senang dari wajah Runi kala menatap Aarav.Tidak senang bagaimana? Wajah Aarav yang putih berseri begitu memenuhi wajahnya. Alisnya tebal, hidung mancung, kulit putih. Tidak lupa, bibir yang manis saat tadi dia tersenyum membuat Runi yakin bahwa Aarav pria yang telah Allah pilihkan untuk putrinya ini."Bu, i--ini bukan---""Saya akan menikahi Kinara secepatnya Tante. Kalaupun mau sekarang, saya siap untuk menikahi Kinara." Ucapan Kinara terpotong kala Aarav langsung menyahut. Dia menatap Runi tanpa melihat Kinara yang sudah melotot dibuatnya."Ya Allah ... alhamdulillah. Putri Ibu akan segera menikah. Alhamdulillah ...."Kinara menelan salivanya pelan. Dia menatap sang Ibu yang begitu kentara akan kebahagiaan. Terasa menggetarkan hati Kinara yang kini dibuat bimbang akan semuanya.Kinara mengerti akan raut bahagia itu. Raut kebahagiaan yang sangat menginginkan putri pertamanya ini untuk segera menikah.Bagaimana tidak? Kinara yang sudah memasuki umur 30 tahun, tapi menikah belum juga dia lakukan. Bukan tidak ingin, hanya saja sejak itu Kinara lebih memfokuskan dirinya dalam mencari uang untuk sang Ibu dan adik-adiknya.Kinara punya adik tiga. Dan semuanya perempuan, sedang Kinara sendiri anak pertama dari empat bersaudara.Diumur 20 tahun, Kinara mencari uang untuk membiayai sekolah adik-adiknya. Dia berpikir akan menikah jika tanggungan sang adik sudah selesai. Minimal adik-adiknya lulus SMA lebih dahulu, setelah itu dia akan membiarkan adiknya untuk memilih antara bekerja atau kuliah.Saat itu Kinara tidak terlalu memikirkan akan nasib dirinya yang sudah berumur. Diumur yang seharusnya menikah malah Kinara habiskan dengan mencari uang. Karena ternyata harapannya tidak sesuai ekspetasi.Ia kira kedua adiknya akan bekerja setelah lulus dari SMA, tapi ternyata tidak. Mereka nganggur tanpa mau bekerja. Katanya pekerjaan di Jakarta susah, membuat mereka jenuh sendiri karena pekerjaan tak kunjung mereka dapatkan.Kinara memaklumi mereka, dengan begitu dia semakin bekerja keras dalam mencari uang. Apapun pekerjaan akan Kinara lakukan demi membiayai ekomomi keluarganya. Seakan anak pertama adalah tulang punggung membuat Kinara melakukannya dengan sepenuh hati.Tidak ingat umur, tidak ingat akan menikah. Tidak ingat pula untuk menabung uang kelak untuk masa depan. Semuanya Kinara lakukan hanya untuk keluarganya.Hingga tepat saat Kinara berumur 26 tahun, Adiknya Karin ingin menikah.Saat itu Runi menolak siapa saja untuk menikah. Bukan tidak ingin, hanya saja Runi ingin Kinara lah yang lebih dulu menikah ketimbang anak yang lain. Katanya melangkahi perempuan pertama adalah 'Pamali' membuat Runi takut jika Kinara tidak kunjung ada yang mau nantinya.Namun takdir tidak ada yang tahu. Adiknya Kinara keukeuh ingin menikah, sampai adik yang satunya bernama Dara juga ikut-ikutan ingin menikah. Hingga saat itu, Kinara harus dilangkahi langsung oleh kedua adik perempuannya.Mereka sudah menikah, sedang Kinara semakin susah dalam mencari pasangan. Tidak ada yang mau menikah dengannya. Semua lelaki seakan tahu bahwa Kinara bukanlah perempuan yang cocok untuk mereka.Kinara menyerah. Dia menyerah dalam keinginan untuk menikah. Karena pada akhirnya dia akan ditolak kembali. Pernah dia melamar seorang laki-laki,tentu dengan perantara dari orang lain, melalui sebuah surat Kinara menuliskan keinginan dalam melamarnya. Namun lagi, dia ditolak.Setelah hari itu, Kinara tidak pernah berpikir untuk menikah. Dia sudah memasrahkan semuanya kepada Allah. Jika memungkinkan, dia lebih baik tidak menikah saja. Sudah lelah akan segalanya. Hatinya, jiwanya. Kinara sudah lelah.Hingga tepat saat dirinya berumur 30 tahun, seseorang tiba-tiba saja mengatakan ingin menikahinya, hal yang jelas membuat Kinara menatap tidak percaya. Mematung bagaikan mayat hidup. Dia menatap pria yang secara tiba-tiba mau menikahi perawan tua sepertinya.Entah senang atau tidak tapi ... melihat senyum ibunya yang merekah membuat Kinara terenyuh akan semuanya. Seakan dunianya kembali hadir, semangatnya dalam hidup kembali membara."Nak Aarav, kalau nikahnya hari ini, boleh tidak? Ibu sangat ingin sekali melihat putri Ibu ini menikah," ucap Runi membuat kesadaran Kinara tersadarkan. Ah, dia bahkan tidak tahu apa yang sedari tadi mereka bicarakan.Namun detik berikutnya Kinara menggeleng. "Bu, kalau nikah secepat itu---""Bisa kok. Hari ini pun saya siap, Ma!"Kinara melotot saat Aarav menatapnya, dia bahkan sudah memanggil Runi dengan nama 'Mama.Ish! Sejak kapan mereka jadi sedekat itu?"Saya akan menyiapkan segalanya. Kalian tidak perlu khawatir," ucap Aarav kemudian berlalu begitu saja.Kinara menatap kepergian Aarav dengan raut tidak percaya. Terlihat dia sedang bertelfon dengan seseorang yang entah siapa."Alhamdulillah ... akhirnya Ibu bisa lihat kamu menikah, Kinar. Ibu benar-benar bahagia," ucap Runi tersenyum haru. Dia menggenggam erat Kinara dengan tampang bahagia.Kinara membalas senyuman sang Ibu dengan senang. Menautkan telapak tangannya untuk menggenggam sang Ibu.Niat hati ingin mengatakan kalau Aarav itu bukan siapa-siapa selain orang yang ingin meminjamkan uang untuknya, tapi melihat keceriaan dari sang Ibu membuat niat itu terurungkan. Rasa bahagia melihat Ibunya tersenyum membuat Kinara tidak bisa berkata-kata. Karena bahagianya jelas ada pada Ibunya ini.Namun dibalik itu, rasa resah nan bimbang Kinara rasakan pula kala Aarav benar-benar ingin menikahinya. Entah sebuah keberuntungan atau kesialan, tapi Kinara merasa bersyukur kala seorang lelaki ingin menikahinya. Secara mendadak lagi.Hingga selang beberapa menit orang-orang dengan berpenampilan jas dan kopea memasuki ruangan di mana Kinara berada.Mereka, tak lain wali hakim dan para saksi. Masuk dengan penuh kharisma."Waktu baik sebaiknya dilakukan dari sekarang, untuk calon mempelai laki-laki, silahkan Anda duduk di sebelah kanan. Dan untuk mempelai perempuan silahkan duduk di sebelah mempelai laki-laki," ucap wali hakim menegaskan.Sumpah demi apapun, kegiatan akad nikah diselenggarakan secara mendadak. Benar-benar mendadak! Membuat Kinara harus gelagapan sendiri. Gemetar sudah kaki dan tangannya.Jantungnya berdebar sangat kencang, antara percaya dan tidak percaya akan semua ini. Bahwa sebentar lagi, dirinya akan benar-benar berganti status.Di atas ranjang sana, Runi menangis terharu tatkala Aarav mengucapkan ijab qobulnya. Yang mana detik itu juga putrinya Kinara resmi berstatus suami-istri.Benar-benar, tidak ada kebahagiaan yang paling Runi inginkan kecuali melihat sang putri pertamanya menikah. Apalagi dengan pria yang begitu terlihat baik nan rupawan. Membuat Runi mengucap syukur terus-menerus.Proses akad terlaksana sudah. Kinara menangis dengan penuh haru. Menunduk dengan terisak."Karena kalian sudah resmi menjadi suami-istri, sekarang sang istri bisa mencium punggung tangan sang suami. Dan untuk suami, bisa mencium kening istrinya," ucap penghulu tersebut.Kinara dengan patuh segera menyalami punggung Aarav yang kini resmi sudah menjadi suaminya. Bergetar pula tangannya saat genggaman halus itu ia rasakan.Menunduk malu, Kinara memejamkan matanya saat sebuah ciuman mendarat halus di keningnya. Hingga detik berikutnya hanya rasa kehangatan yang kini hadir dalam hati Kinara.Namun, kebahagiaan itu tidak cukup lama. Karena tepat saat Aarav mencium kening Kinara.Sang Ibu sudah menghembuskan nafas untuk terakhir kalinya. Memejam dengan bibir melengkung ke atas. Satu butir air mata jatuh di kelopak matanya. Hingga detik berikutnya Kinara berteriak histeris saat mengetahui kalau sang Ibu ... sudah tidak bernyawa lagi.Kinara meluruhkan segala asa yang ada. Menangis sejadi-jadinya tatkala menatap sang Ibu yang sudah tidak bernyawa lagi. Termasuk Lusi yang sekarang ikut menangis histeris. Semua yang melihat ikut memprihatin, mendoakan yang terbaik untuk Runi agar diterima di sisi-Nya. Hingga menit berikutnya jenazah Runi langsung dipulangkan dengan segera. Selang beberapa jam kemudian. "Ini salah Kakak! Kalau saja kakak menjaga Ibu dengan baik, mungkin Ibu enggak bakal ninggalin kita. Mungkin sekarang Ibu masih hidup berkumpul di rumah ini," ujar Karin, adik pertama Kinara. Dia menatap marah Kinara, seakan kejadian ini memang kesalahan kakaknya itu. Kinara terdiam, dia hanya menatap lurus dengan tatapan kosong. Setelah proses pemakaman Runi selesai, Kinara hanya diam tanpa banyak bicara. Menangis kemudian menghapus air matanya. Menangis kembali berakhir menghapusnya. Tidak bisa dipungkiri. Hatinya masih belum ikhlas akan kepergian Ibunya. Belum menerima sepenuh hati atas apa yang terjadi. Karen
"Ya Allah ... apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus menggunakan baju ini?" tanya Kinara sembari menatap baju merah pekat tersebut. Baju yang kurang bahan, terdapat bolong-bolong di setiap inci baju tersebut. Bahkan jika dipakai pun terlihat sudah seperti tengah telanjang. Bagi Kinara yang setiap harinya memakai jilbab menutup seluruh tubuh jelas membuatnya uring-uringan sendiri. Antara mengiyakan permintaan Aarav atau mungkin ... mencari alasan agar malam ini tidak terjadi? "Ah! Apa yang harus aku lakukan?" Kinara frustasi sendiri. Dia meremas kepalanya dengan resah nan gelisah. Diusianya yang sudah berkepala tiga membuat dirinya semakin takut saja. Padahal seharusnya dia bersyukur karena sudah menikah, tidak dikatakan perawan tua lagi. Apalagi oleh para tetangga yang sukanya menjudge dirinya. Bukankah ini kesempatan bagus untuk menutup mulut mereka yang selama ini menghina dirinya? Tapi, membalas dendam pun bukanlah jalan terbaik. Karena yang jadi masalahnya ... Ia akan dile
Pagi telah tiba. Suara beduk azan membuat mata Kinara mengerjap. Terbangun sudah kala suara azan mengumandang. Kinara membaca doa lebih dahulu kemudian tatapan matanya jatuh pada seseorang yang terbaring di sampingnya. Kinara membelalakan mata kala menyadari kalau Aarav? Tidur dengannya? "Aku, seranjang dengannya?" tanya Kinara pelan. Tapi, baju nan kerudung yang ia kenakan masih baik-baik saja kok. Itu berarti dirinya masih perawan kan? "Hah, untung ...." Kinara menghela nafas pelan. Pandangan matanya menatap lurus sang suami. Ah Mas suami. Eh? Kinara senyum-senyum sendiri, melihat Aarav yang tidur tenang seperti itu malah terkesan manis nan kalem. Tidak seperti monster kala dia terbangun. Jika ditanya lebih tampan mana? Ya lebih tampan Aarav yang lagi tidur. Ketampanannya plus-plus. Kinara cungar-cengir sendiri namun sedetik kemudian dia memikirkan kehidupannya di masa depan yang akan datang. Kira-kira, apa yang telah Allah rencanakan di masa depan sana ya? Apa setelah ini ia
"Turun di sini!" Kinara menolehkan pandangan matanya pada pria di sampingnya.Setelah tadi mereka makan di restoran kini mereka meluncur pergi ke kantor. Karena memang kantor dirinya bekerja dan Aarav sama. Namun sebelum itu Aarav mengantar terlebih dahulu Lusi ke kamar hotelnya. Dan kini keduanya sudah berada di depan kantor. Ah tidak, bahkan Aarav menyuruhnya untuk turun sebelum kantor itu ada di hadapannya. "Baik," jawab Kinara tanpa bantahan apapun. Ia mengerti, sungguh sangat paham. Bahwa seorang CEO, mana bisa berdamping dengan dirinya yang miskin ini? Tanpa sepatah kata apapun mobil hitam milik Aarav melaju meninggalkan Kinara yang kini termenung. Menghela nafas panjang kemudian membuangnya sesuai ritme. Dalam diam Kinara berjalan. Sebenarnya hari ini Kinara sangat malas untuk pergi bekerja. Inginnya tiduran di atas kasur empuk, main hp atau bersantai-santai di kamar hotel itu. Tapi tidak, karena ia sadar kalau dirinya bekerja di Cavern grup membuatnya tidak boleh bolos.
Sore ini pekerjaan Kinara sudah selesai, dengan begitu ia akan pulang lebih awal. Kasihan pula pada adiknya yang menunggu di sana. Ah, jika bukan karena memenuhi kebutuhan hidup, Kinara lebih baik bersama adiknya Lusi. Derrttt DerttSuara dering ponsel terdengar di dalam tasnya, membuat Kinara dengan segera mengeluarkan ponsel tersebut. Menatap siapa penelfon di sore hari begini. Karin. Ah, adik keduanya. Dengan segera Kinara menekan ikon hijau. "Kak? Kakak enggak lagi di rumah?" tanya di seberang sana. "Biasakan dulu buat ucap salam Karin. Sudah berapa kali kakak bilang kalau---""Iya maaf Kak. Assalamu'alaikum. "Kinara menghela nafas sejenak. Namun dengan begitu ia membalas salam tersebut. "Kak, kunci rumah di mana?" tanya Karin setelah beberapa detik terdiam."Kenapa? Kenapa nanyain kunci rumah?" tanya Kinara mulai merasakan tidak enak hati. "Karin mau tinggal di rumah almarhumah ibu aja kak. Gak mau tinggal seatap sama mertua!"Benar saja akan firasat Kinara, pasti ada apa
"Duduk di sana, ada suatu hal yang akan saya bicarakan," titah Aarav kala keduanya sudah berada di kamar hotel.Kinara menurut, segera duduk di sebuah ruangan yang entah apa itu. Karena kebanyakan di sini hanya dipenuhi oleh berbagai buku.Ah tidak, pajangan buku di balik lemari besar begitu tersimpan rapi di dalamnya. Terdapat kaca besar dibalik jendela yang mengarah langsung ke Ibukota Jakarta. Di sisi-sisi jendela tersebut terdapat sebuah bunga hiasan, berjejer rapi dengan warna-warni. Ruangan yang begitu rapi, indah, nyaman nan sejuk membuat Kinara merasakan adem. Apalagi AC ruangan ini yang juga menyala, menambah kesejukan yang ada. Ia baru tahu kalau ruangan ini ternyata bukan hanya ada kamar, ruang tamu dan toilet, ternyata di sini ada ruangan lain.Kinara menatap lurus ke depan di mana ada sebuah kursi putar yang berukuran besar. Kursi yang hanya di gunakan oleh mereka sang pengusaha-pengusaha.Seulas senyum terbit kala Kinara menatap kursi tersebut dengan seksama."Hahaha, A
"Karena saya ... perempuan yang sudah tua Pak. Saya, perawan tua."Kinara benar-benar menunduk. Malu sudah mukanya untuk menatap pria muda di depannya ini. Perbedaan usia yang begitu jauh membuat Kinara cukup sadar diri. Bahwa ia tak lain hanyalah sebuah batu dihamparan debu. Sedang perempuan di luaran sana? Mereka bagaikan berlian di tengah bebatuan yang ada. Indah, begitu memikat dalam pandangan. Sedang ia? Begitu kumuh, jelek dan ... tidak enak dipandang. "Seharusnya Bapak tidak menikahi saya, Pak ... saya hanya akan memalukan Bapak saja. ah atau tidak, Bapak bisa kok langsung ceraikan saya." Kinara memberanikan dirinya dalam menatap Aarav, terdapat rona merah di pipinya. Bukan marah, hanya saja Kinara merasa bahwa memang dirinya tidak pantas untuk siapapun, membuatnya ingin menangis saja. Apalagi untuk pria muda di depannya ini. "Saya akan menerima dengan ikhlas kalau Bapak mentalak saya. Karena saya sadar, seharusnya perempuan seperti saya tidak bersanding dengan Bapak. Seharus
"Mau ke mana kamu?" tanya Vanzo menatap cucunya yang hendak pergi. Aarav menoleh pada Vanzo yang diikuti pengawalnya itu. "Aku mau pulang Kek, capek," ujarnya dengan datar. "Pulang ke rumah kakek. Kamu sudah lama tidak berkunjung ke rumah. Mana besok saudara kembar kamu bakal datang ke sini," ucap Vanzo memberitahukan. "Aavar?" Vanzo mengangguk. "Masa peresmian kamu dia tidak datang. Bukankah terasa kurang?" "Kalau begitu besok saja, besok aku bakal ke rumah Kakek," ucap Aarav pada akhirnya. Dia kemudian melengos pergi. "Aarav? Kau tidak punya sopan santun yah?!" teriak sang kakek. Darah di atas ubun-ubunnya naik saja karena sang cucu yang selalu main pergi-pergi saja. Namun darah itu seketika turun kembali kala Aarav berbalik dan berjalan ke arah Vanzo. Ada apa tuh cucu balik lagi? "Kek, ada hal penting yang ingin Aarav katakan," ujar pria jangkung itu. Membuat alis Vanzo naik sebelah. "Apa? Jangan bilang---" "Jangan di sini," ucap Aarav menarik Vanzo agar ikut den
“Assalamu'alaikum…?” Khalifa mengucap salam saat ia masuk ke dalam rumah, ah, bukan hanya Khalifa, Alby juga ada. Keduanya masuk dengan raut muka terlihat capek. “Kak, eum … aku mau mandi dulu ya, seharian kerja bikin aku gerah,” ucap Khalifa pada Alby. Alby tersenyum. “okke, tapi jangan lama-lama ya, udah malam soalnya. Ah iya, pake air hangat biar nggak kedinginan.”Khalifa terkekeh. “Aku bukan kamu yang harus pake air dingin kali, aku kan nggak alergi dingin,” timpal Khalifa menjawab. “Masalahnya kan udah malam, nggak baik buat kesehatan.”“Enggak bakal kak. Udah, lagian aku mandi bakal cepet kok. Dah ya, aku mau mandi dulu!” ucap Khalifa gegas berlari namun dengan cepat Alby menahannya lebih dahulu membuat Khalifa kembali berbalik menatap Alby. “Kalo udah mandi nanti turun ke bawah ya? Aku mau masakin kesukaan kamu. Kita makan bareng,” ucap Alby. Kebetulan sekali keduanya belum makan membuat Khalifa mengangguk antusias. “Cium dulu sini.” Alby menampilkan pipi kanannya. Ia men
Seminggu berlalu…Seorang wanita berjalan dengan menyeret kopernya. Tergesa-gesa sebab terlambat,bahkan saking tergesa-gesanya, wanita itu tanpa sengaja menabrak bahu seseorang membuat wanita itu menyeru minta maaf. “Ya ampun maaf, Mas. Saya enggak sengaja!” ucapnya sedikit menundukkan kepala, detik berikut kepala wanita itu mendongak. Namun… “Lho?” Sesaat pandangan keduanya bertemu. “Gama?”“Khanza?” Keduanya berseru secara berbarengan. Gama dengan pandangan mata menelisik, sedang Khanza menatap dengan tarikan napas. “Kukira siapa, taunya kamu,” ucapnya merubah raut wajah. Khanza menghela napas, tanpa sepatah kata apapun perempuan itu pergi begitu saja. Gama menaikan alisnya, namun sedetik kemudian ia mengedikkan bahu, ikut pergi dengan menyeret kopernya. Ia tahu yang dirinya tabrak, untuk itu tidak peduli baginya.Gama memilih duduk setelah melakukan check up,melalui maskapai yang telah memberitahukannya kini ia duduk menunggu antrian untuk masuk ke dalam pesawat. Gama menghel
Pagi ini Khalifa bangun lebih awal, melihat sosok suaminya yang tertidur pulas. Ah, mungkin efek cairan infus yang masuk ke dalam tubuhnya, membuat pria itu terjaga dari tidurnya. Merasa pegal dibagian lengannya, Khalifa merenggangkan otot-ototnya. Tidur seranjang dengan Alby jelas membuatnya tak bergerak sana-sini, menjadikan ia merasakan pegal. Khalifa menghela napas, ia menunduk melihat pakaiannya yang kotor nan penuh darah, lupa, bahwa memang ia tak mengganti baju. Ah, jangankan untuk mengganti baju, justru hatinya saat itu resah memikirkan Alby. “Aku harus memberitahukan Bunda. Jika tidak mereka pasti khawatir.” Khalifa menatap terlebih dahulu Alby, mumpung pria itu masih tertidur membuat Khalifa gegas pergi. Selain merasa tak nyaman dengan pakaiannya ia juga tak nyaman dengan keadaan ini. Sungguh, walau ada perasaan lega melihat Alby selamat namun ada sisi lain yang membuatnya resah. Mengenai Khanza … Ia belum berani untuk menghadap padanya dan mengatakan yang sejujurnya. *
Lihatlah, wajah Alby yang dulunya tampan kini banyak dipenuhi luka. Beberapa luka itu diperban, entah bagian kepala, rahang, maupun anggota tubuh lainnya. Tak kuasa melihat keadaannya seperti ini, Khalifa menunduk dengan hati penuh sesal. “Maafin, Alifa Kak… maaf ….” Khalifa terduduk di kursi yang berada di pinggir ranjang tersebut, menggenggam tangan Alby yang begitu kekar. Dulu, tangan inilah yang selalu siap siaga menggenggam tangannya. “Andai aku tidak menurutinya, andai kita kabur saat itu mungkin keadaan kamu enggak bakal separah ini Kak. Bodoh, harusnya aku menolak ajakanmu untuk melawan mereka. Bodoh!” Khalifa merutuk dirinya, menarik tangan Alby untuk ia kecup. “Sekarang aku baru menyadarinya, Kak. Kalau aku … benar-benar takut kehilangan kamu. Aku takut ….” Khalifa tak bisa lagi membendung tangis yang kian jatuh menimpa pipinya, bengkak sudah kedua matanya sebab terus menangis. “Setelah kehilangan Mama dan Papa, aku enggak mau kehilangan kamu, Kak. Boleh aku egois? Aku i
Khalifa menunduk, semakin menangis tertahan dengan tangan yang masi menyentuh kepala Alby. “Kak … tolong … jangan tinggalin aku kayak gini … tolong bangunlah….”“Uhuk!”Sebuah semburat darah tiba-tiba keluar di bibir Alby tatkala pria itu terbatuk. “Kak Al?” Terkejut, Khalifa mendapati Alby membuka matanya dengan ringisan kecil yang keluar. “Khalifa….”Sudah menangis deras kini Khalifa menambah tangisnya tatkala suara lembut itu terdengar. Bergetar hatinya mendengar hal itu. “Kak Al….” Khalifa menangis, memeluk kepala Alby. “maafin aku, Kak. Maaf….”Alby memejamkan matanya menahan rasa sakit, ia menggeleng. “aku kembali untuk kamu, Alif….”Khalifa mengangguk, entah harus bagaiamana tapi ia benar-benar senang tatkala Alby kembali. Terbangun untuk menepati janjinya. Menggenggam erat tangan yang amat dingin itu Khalifa berucap, ““Kita harus ke rumah sakit dulu, Kak. Secepatnya luka kakak harus diatasi,” ucap Khalifa melihat keadaan Alby yang kian parah. “Kakak masih sanggup berdiri?
“Kau akan mati ditanganku!” Bugh! Alby langsung menghindar saat orang itu hendak menendang, belati yang dirinya pegang ia tusukkan ke depan untuk mengenal tubuh Alby, namun dengan gesit, Alby menghindar secara agresif. Memilih melawan dari belakang, Alby bisa menghajarnya dari belakang tersebut. Seseorang itu terjatuh, mukanya makin memerah. Satu diantara mereka berjalan maju, membuat Alby harus melawan dua orang sekaligus. Ah tidak, bahkan satunya lagi ikut-ikutan maju, menambah orang yang harus Alby lawan. Cukup kewalahan sebab mereka memiliki senjata masing-masing, sedang Alby hanya menggunakan tangan kosong sebagai tameng dirinya. Satu kali dua kali ia mendapat pukulan yang tak bisa ia hindari, bahkan goresan belati pula harus terkena sampai kulitnya saking keagresifan mereka. Murka, mereka murka sebab merasa terkalahkan oleh Alby. Alby mengatur napasnya dalam-dalam. Melawan 10 orang sekaligus benar-benar menguras tenaganya. Apalagi tidak diberi jeda untuk berhenti se
Khalifa berlari dan langsung memeluk Alby. Ia menangis dengan tubuh bergetar hebat. “Kak Al, makasih, makasih telah kembali….” Alby menelan salivanya pelan, bergetar hatinya kala melihat keadaan Khalifa seperti ini. “Maaf, maafkan aku baru datang Alif. Maaf telah meninggalkan kamu seorang diri.” Khalifa menggeleng, ia melerai pelukannya, mendongak untuk melihat wajah Alby. “Mereka … mereka ingin melecehkan aku, Kak. Aku--aku takut ….” Alby melihat wajah ketakutan itu, ia pegang tangan Khalifa untuk menenangkan gadisnya. Namun, yang ia lihat justru gurat merah dari pergelangan tangannya. Khalifa menunduk, ia masih terisak. “Mereka pegang tangan aku dengan keras Kak… mereka kasar dan menyeramkan….” Mendengar lirihan itu rahang Alby mengeras, menoleh ke kanan, ia dapati 11 orang itu yang tampak tertawa saja. “Ayo kabur, Kak. Mereka bukan tandingan kita,” ucap Khalifa kembali. Alby menatap Khalifa, memilih kabur? Itu bukan dirinya. “Tidak Alif, mereka harus membayar at
Nyatanya bukan sehabis magrib Khalifa pulang, melainkan sehabis isya baru ia bisa pulang. Jangan tanyakan kenapa, karena saat ini Khalifa ingin sendirian, menjadikan ia habiskan beberapa waktu sendirian di kantor. Dan sekarang waktunya ia pulang beberapa security yang jaga pula sebagian sudah pulang, paling hanya beberapa yang tetap berjaga karena bekerja sesuai shif. Khalifa berjalan terburu-buru menuju mobilnya, lantas melaju membelah jalan tanpa menunggu lama. Takut kemalaman Khalifa makin mempercepat lajunya. Sebuah dering ponsel terdengar namun tak Khalifa gubris untuk mengangkatnya. Memilih abai Khalifa terus melajukan mobilnya di tengah keramaian. Namun, kala ia berbelok ia harus di hadapkan dengan jalan yang cukup sepi. “Huft, semoga tidak terjadi apa-apa.” Khalifa mengucap doa dalam hati. Mau bagaimana pun ia perempuan, dan jelas ia takut jika tiba-tiba ada hal aneh yang melintas. Suara bisingnya motor terdengar dari arah belakang, memusat perhatian Khalifa untuk m
Khalifa menangkup kedua pipi di atas meja, bosan melanda hatinya. Hari ini tugas yang diberikan Aavar dalam mempelajari berbagai perbisnisan cukup menguras pikiran dan tenaga. Ternyata susah sekali untuk memahami berbagai persoalan dalam perbisnisan ini. Jika bukan karena otak yang encer mungkin Khalifa memilih tidur saja di atas kasur. Hari ini jam sudah menunjukan pukul empat sore. Tidak terasa, dari pagi sampai saat ini Khalifa menghabiskan waktu hanya di kantor saja, tentunya dengan Khanza. Namun, saat ini perempuan itu entah pergi ke mana, katanya izin keluar sebentar. “Khalifa, Om pulang lebih dulu ya, istri Om kasihan di rumah sendirian.” Tiba-tiba suara Aavar terdengar setelah pintu terbuka. “Kamu pulang lah, besok bisa dilanjutkan.” Punggung Khalifa berdiri tegap. “Nggak deh, Khalifa mau lembur. Soalnya masih banyak banget yang belum dikerjakan Om.” Aavar menoleh. “lembur?” Ia tertawa. “ya ampun Khalifa, ini kan cuma belajar aja. Gak usah terlalu dibuat serius jug