Kini mobil itu kembali melaju membelah jalan. Melewati kendaraan lain dengan cepat. Sampai di sebuah belokan, Aarav membelokkan mobil tersebut untuk masuk ke jalan sana. "Kinar?""Iya, Pak?" jawab Kinara langsung. Dia menoleh pada Aarav yang fokus mengemudi. "Nanti kalau sudah di rumah, kau panggil saya Mas, ya? Jangan Bapak," ucapnya membuat kening Kinara mengernyit. "Kenapa, Pak? Saya belum terbiasa memanggil Bapak dengan sebutan selain, Pak!""Turuti saja perintahku! Lagian saya masih muda, sangat tidak pantas kau panggil Bapak," tutur Aarav tanpa mengalihkan fokusnya. Sekali saja lihat wajah Kinara, maka fokus Aarav akan terbuyarkan karenanya. "Tapi Bapak kan atasan saya, dan---""Kau ingin ngebantah saya?""Eh tidak, tidak Pak! Maksud saya, saya belum terbiasa, jadi ... paling saya bakal pelan-pelan untuk belajar manggil Bapak dengan nama 'Mas?"Aarav terdiam saat Kinara mengatakan Mas padanya. Ingin sekali tersenyum namun ia harus tetap berdiri dalam pendiriannya. Sebenarn
"Jadi, perempuan ini yang kamu nikahi, Aarav?" Suara penuh tegas nan intimidasi membuat Aarav mengangguk yakin. Sedang Kinara menunduk takut.Selepas Kinara puas menertawakan Aarav yang sama groginya, kini pasangan itu harus di hadapkan dengan sang Kakek. Kakek dari Aarav. Dan keduanya kini benar-benar grogi. Ah tidak, mungkin hanya Kinara yang merasakan kecanggungan, berbeda dengan Aarav yang hanya menampilkan raut datarnya. "Kenapa kalian harus menyembunyikan pernikahan ini, ha?""Kami tidak menyembunyikannya, Kek. Bukankah aku sekarang ada di hadapan kakek?" jawab Aarav membalas tatapan Vanzo. "Dalam keadaan seperti ini kau masih merasa tidak takut?" tanya Vanzo melihat Aarav yang hanya duduk tenang saja. Padahal ia sudah menunjukkan raut marahnya akan informasi mendadak ini. "Untuk apa aku takut, Kek. Untuk menikah apa harus takut?" jawab kembali Aarav membuat Vanzo kehabisan sabar nya. "Bukan seperti itu, Aarav! Tapi, jika saja kau memberitahukan pernikahan ini sejak awal pa
"Kalian harus makan yang banyak, biar kalian cepat besar dan tentu sehat," ujar Vanzo menatap kedua perempuan bawaan Aarav. Mereka tak lain Kinara dan Lusi. Mereka duduk di samping sedang Vanzo duduk di kursi paling ujung, tepat di kursi utama kepala keluarga. Kinara merasakan canggung saja. Vanzo—kakek Aarav begitu baik padanya, sampai-sampai apapun dia perlihatkan untuknya dan untuk sang adik. "Terima kasih Kakek, tapi, ini terlalu kebanyakan kek. Saya enggak bakal bisa menampungnya," ujar Kinara dengan sopan. Begitu banyak menu yang di sajikam di atas meja ini, berjejer dari ujung kiri sampai ke ujung kanan. Huh, padahal yang makan hanya tiga orang saja. Tapi makanan begitu banyak dihidangkan. Sekelebat akan orang-orang yang kurang mampu membuat Kinara merasa kasihan. Begitu banyak di luar sana yang tidak pernah mendapatkan makanan seenak dan semewah ini. Termasuk dirinya sendiri. Ya, bagi Kinara yang biasanya hanya bermakan lauk-pauk biasa tentu menjadi sebuah kesyukuran kala
"Ck, sebenarnya apa rencana Kakek dalam hal ini? Kenapa dia harus mengeluarkan ku dari rumahku sendiri?" tanya Aarav yang kini dibuat mondar-mandir tidak jelas. Setelah pengusiran yang dilakukan Vanzo padanya membuat Aarav berdiri tetap di depan pintu. Berharap kakeknya membuka pintu. Namun, menunggu hanyalah menunggu. Pintu itu sama sekali tidak dibuka. Sudah hampir satu jam Aarav menunggu, dan setengah jam berikutnya masih sama saja. Jangan bertanya kenapa tidak jalan lain? Bisa saja, hanya saja jika sudah mendapat perintah sang kepala keluarga dapat dipastikan semuanya akan mengusirnya. Tidak ada bedanya! Namun didetik berikutnya Aarav langsung menoleh kala suara pintu terdengar diputar. Yang mana sang Kakek sudah berdiri. Tersenyum dengan senyuman mengejek. Aarav mendengus, menatap sang pelaku dengan kesal. "Awas Kek, Aarav pengen lihat Kinar," sergah Aarav menyerobot untuk masuk ke dalam. "Eitsss, tidak bisa. Apa-apaan kamu? Tidak, tidak." Vanzo menahan Aarav yang ingin m
"Kak?"Tok Tok TokSuara ketukan pintu terdengar dari luar membuat Kinara melirik pada pintu tersebut. "Kak Kinar, ini Lusi," ujar Lusi membuat Kinara dengan sigap bangun dari baringan. Berjalan menuju pintu untuk ia buka. "Apa Lus?""Kak, kakak bisa antar aku tidak?""Ke mana?""Ke rumah temen, mau minjam tugas buat ujian sekolah Lusi," ucapnya dengan memohon. "Kamu kan lagi sakit, Lusi. Mana ada orang sakit keluar-keluar dulu," ucap Kinara. "Tapi ini juga penting, dua hari lalu Lusi enggak masuk, sekarang pun Lusi enggak masuk. Sedangkan ujian kenaikan untuk masuk SMA butuh nilai yang bagus kan, kak? Dan lagian, Lusi gak punya HP merek android, jadi susah buat minta sama temen."Perkataan Lusi membuat Kinara tersentil. Terasa hatinya tengah dicubit.Benar juga. Lusi kelas tiga SMP, yang mana ia lebih difokuskan ke ujian-ujian akhir. Tidak boleh bolos, tugas harus terpenuhi, dan tentu semakin diperketat dalam pembelajaran. Selain itu pula, Lusi memang tidak Kinara beri HP melai
Kinara memundurkan langkahnya. Menatap wajah suaminya yang ada dua. "Hey, nona manis? Kenapa kau ketakutan seperti itu?" tanya lelaki yang sempat Kinara peluk. Kinara ingin menjawab tapi sebelum itu. "Ada apa? Kenapa kau ketakutan seperti ini?" tanya lelaki berwajah Aarav. Dia menangkup pipi Kinara yang basah karena menangis. Kinara yang mendapat respon tersebut jelas terkejut. "Saya Aarav, yang tadi kamu peluk saudara saya," ucapnya kemudian, menjawab sudah pertanyaan Kinara yang kini tengah kebingungan.Kinara mendongak untuk menatap Aarav, namun kemudian dia memeluknya dengan perasaan bungkah nan takut. Aarav tersentak kala Kinara langsung memeluknya secara tiba-tiba. Jantungnya berdetak kembali dengan cepat. "Den, Aden Aarav ... di dalam, ada Papa aden!" Suara Bi Wawa baru muncul. Dia berlari tergesa menuju kedua kembar itu. "Eh, den Aavar?" seru Bi Wawa kemudian. Dia menatap Aavar yang mana kembaran Aarav. Ya, mereka saudara kembar. Sangat mirip. Saking miripnya kadang k
"Ikut denganku," ujar Aarav menarik paksa lengan Kinara. "Bi?! bawa Lusi ke kamarnya, jangan sampai pria tua itu menyakiti mereka untuk yang kedua kalinya!" teriak Aarav sebelum dia menarik paksa lengan Kinara agar ikut dengannya. Kinara menoleh terlebih dahulu ke belakang di mana Lusi dibawa oleh Bi Wawa, sedang Darren nampaknya tengah berdebat kembali dengan saudara kembar Aarav. "Pak?"Kinara merasakan sakit kala Aarav mencekal kuat-kuat pergelangan tangannya. Menarik sampai masuk ke dalam lift untuk menuju lantai dua. Keduanya saling terdiam, berkecamuk dengan isi pikiran masing-masing. Kinara menunduk takut, melihat pergelangan tangan yang masih setia di genggam erat oleh sang suami. Merasakan bahwa atmosfer kemarahan itu masih meluap-luap di dalam diri Aarav. Ting! Suara lift terbuka, membuat Aarav kembali menarik lengan Kinara. Kini cekalan itu tidak terlalu kuat, melonggar tatkala ruang kamar keduanya sudah ada di depan mata. Aarav melepaskan cekalan tangan tersebut kala
Malam ini Kinara tidak bisa tidur, membuat ia uring-uringan di atas kasur besar. Bagaimana tidak uring-uringan? Selepas kejadian tadi suaminya itu pergi lagi yang entah ke mana. Sampai ia harus ditinggal sendiri lagi di ruangan besar ini. Karena bosan Kinara hanya menatap langit-langit atas, terlihat lampu yang menggantung di atasnya. Menghela nafas kemudian menghembuskannya. "Hufft, nasib jadi istri CEO, ya gini. Sering ditinggal sendiri," ucap Kinara berceloteh sendiri. "Padahal di kisah-kisah novel yang sempat aku baca, CEO itu bebas, bisa mengambil cuti kapan saja. Bahkan, lebih dominan menghabiskan waktu bersama sang istri dan anak-anak. Tapi ini? Bahkan untuk tidur pun harus menunggu hingga larut malam tiba."Ya, padahal waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, lebih malah. Tapi suaminya itu masih saja belum pulang. Membuat jiwanya tiba-tiba merasakan rindu saja. Kinara terbangun dari baringannya. Entah kenapa tenggorokannya tiba-tiba terasa kering, membuat Kinara menol
“Assalamu'alaikum…?” Khalifa mengucap salam saat ia masuk ke dalam rumah, ah, bukan hanya Khalifa, Alby juga ada. Keduanya masuk dengan raut muka terlihat capek. “Kak, eum … aku mau mandi dulu ya, seharian kerja bikin aku gerah,” ucap Khalifa pada Alby. Alby tersenyum. “okke, tapi jangan lama-lama ya, udah malam soalnya. Ah iya, pake air hangat biar nggak kedinginan.”Khalifa terkekeh. “Aku bukan kamu yang harus pake air dingin kali, aku kan nggak alergi dingin,” timpal Khalifa menjawab. “Masalahnya kan udah malam, nggak baik buat kesehatan.”“Enggak bakal kak. Udah, lagian aku mandi bakal cepet kok. Dah ya, aku mau mandi dulu!” ucap Khalifa gegas berlari namun dengan cepat Alby menahannya lebih dahulu membuat Khalifa kembali berbalik menatap Alby. “Kalo udah mandi nanti turun ke bawah ya? Aku mau masakin kesukaan kamu. Kita makan bareng,” ucap Alby. Kebetulan sekali keduanya belum makan membuat Khalifa mengangguk antusias. “Cium dulu sini.” Alby menampilkan pipi kanannya. Ia men
Seminggu berlalu…Seorang wanita berjalan dengan menyeret kopernya. Tergesa-gesa sebab terlambat,bahkan saking tergesa-gesanya, wanita itu tanpa sengaja menabrak bahu seseorang membuat wanita itu menyeru minta maaf. “Ya ampun maaf, Mas. Saya enggak sengaja!” ucapnya sedikit menundukkan kepala, detik berikut kepala wanita itu mendongak. Namun… “Lho?” Sesaat pandangan keduanya bertemu. “Gama?”“Khanza?” Keduanya berseru secara berbarengan. Gama dengan pandangan mata menelisik, sedang Khanza menatap dengan tarikan napas. “Kukira siapa, taunya kamu,” ucapnya merubah raut wajah. Khanza menghela napas, tanpa sepatah kata apapun perempuan itu pergi begitu saja. Gama menaikan alisnya, namun sedetik kemudian ia mengedikkan bahu, ikut pergi dengan menyeret kopernya. Ia tahu yang dirinya tabrak, untuk itu tidak peduli baginya.Gama memilih duduk setelah melakukan check up,melalui maskapai yang telah memberitahukannya kini ia duduk menunggu antrian untuk masuk ke dalam pesawat. Gama menghel
Pagi ini Khalifa bangun lebih awal, melihat sosok suaminya yang tertidur pulas. Ah, mungkin efek cairan infus yang masuk ke dalam tubuhnya, membuat pria itu terjaga dari tidurnya. Merasa pegal dibagian lengannya, Khalifa merenggangkan otot-ototnya. Tidur seranjang dengan Alby jelas membuatnya tak bergerak sana-sini, menjadikan ia merasakan pegal. Khalifa menghela napas, ia menunduk melihat pakaiannya yang kotor nan penuh darah, lupa, bahwa memang ia tak mengganti baju. Ah, jangankan untuk mengganti baju, justru hatinya saat itu resah memikirkan Alby. “Aku harus memberitahukan Bunda. Jika tidak mereka pasti khawatir.” Khalifa menatap terlebih dahulu Alby, mumpung pria itu masih tertidur membuat Khalifa gegas pergi. Selain merasa tak nyaman dengan pakaiannya ia juga tak nyaman dengan keadaan ini. Sungguh, walau ada perasaan lega melihat Alby selamat namun ada sisi lain yang membuatnya resah. Mengenai Khanza … Ia belum berani untuk menghadap padanya dan mengatakan yang sejujurnya. *
Lihatlah, wajah Alby yang dulunya tampan kini banyak dipenuhi luka. Beberapa luka itu diperban, entah bagian kepala, rahang, maupun anggota tubuh lainnya. Tak kuasa melihat keadaannya seperti ini, Khalifa menunduk dengan hati penuh sesal. “Maafin, Alifa Kak… maaf ….” Khalifa terduduk di kursi yang berada di pinggir ranjang tersebut, menggenggam tangan Alby yang begitu kekar. Dulu, tangan inilah yang selalu siap siaga menggenggam tangannya. “Andai aku tidak menurutinya, andai kita kabur saat itu mungkin keadaan kamu enggak bakal separah ini Kak. Bodoh, harusnya aku menolak ajakanmu untuk melawan mereka. Bodoh!” Khalifa merutuk dirinya, menarik tangan Alby untuk ia kecup. “Sekarang aku baru menyadarinya, Kak. Kalau aku … benar-benar takut kehilangan kamu. Aku takut ….” Khalifa tak bisa lagi membendung tangis yang kian jatuh menimpa pipinya, bengkak sudah kedua matanya sebab terus menangis. “Setelah kehilangan Mama dan Papa, aku enggak mau kehilangan kamu, Kak. Boleh aku egois? Aku i
Khalifa menunduk, semakin menangis tertahan dengan tangan yang masi menyentuh kepala Alby. “Kak … tolong … jangan tinggalin aku kayak gini … tolong bangunlah….”“Uhuk!”Sebuah semburat darah tiba-tiba keluar di bibir Alby tatkala pria itu terbatuk. “Kak Al?” Terkejut, Khalifa mendapati Alby membuka matanya dengan ringisan kecil yang keluar. “Khalifa….”Sudah menangis deras kini Khalifa menambah tangisnya tatkala suara lembut itu terdengar. Bergetar hatinya mendengar hal itu. “Kak Al….” Khalifa menangis, memeluk kepala Alby. “maafin aku, Kak. Maaf….”Alby memejamkan matanya menahan rasa sakit, ia menggeleng. “aku kembali untuk kamu, Alif….”Khalifa mengangguk, entah harus bagaiamana tapi ia benar-benar senang tatkala Alby kembali. Terbangun untuk menepati janjinya. Menggenggam erat tangan yang amat dingin itu Khalifa berucap, ““Kita harus ke rumah sakit dulu, Kak. Secepatnya luka kakak harus diatasi,” ucap Khalifa melihat keadaan Alby yang kian parah. “Kakak masih sanggup berdiri?
“Kau akan mati ditanganku!” Bugh! Alby langsung menghindar saat orang itu hendak menendang, belati yang dirinya pegang ia tusukkan ke depan untuk mengenal tubuh Alby, namun dengan gesit, Alby menghindar secara agresif. Memilih melawan dari belakang, Alby bisa menghajarnya dari belakang tersebut. Seseorang itu terjatuh, mukanya makin memerah. Satu diantara mereka berjalan maju, membuat Alby harus melawan dua orang sekaligus. Ah tidak, bahkan satunya lagi ikut-ikutan maju, menambah orang yang harus Alby lawan. Cukup kewalahan sebab mereka memiliki senjata masing-masing, sedang Alby hanya menggunakan tangan kosong sebagai tameng dirinya. Satu kali dua kali ia mendapat pukulan yang tak bisa ia hindari, bahkan goresan belati pula harus terkena sampai kulitnya saking keagresifan mereka. Murka, mereka murka sebab merasa terkalahkan oleh Alby. Alby mengatur napasnya dalam-dalam. Melawan 10 orang sekaligus benar-benar menguras tenaganya. Apalagi tidak diberi jeda untuk berhenti se
Khalifa berlari dan langsung memeluk Alby. Ia menangis dengan tubuh bergetar hebat. “Kak Al, makasih, makasih telah kembali….” Alby menelan salivanya pelan, bergetar hatinya kala melihat keadaan Khalifa seperti ini. “Maaf, maafkan aku baru datang Alif. Maaf telah meninggalkan kamu seorang diri.” Khalifa menggeleng, ia melerai pelukannya, mendongak untuk melihat wajah Alby. “Mereka … mereka ingin melecehkan aku, Kak. Aku--aku takut ….” Alby melihat wajah ketakutan itu, ia pegang tangan Khalifa untuk menenangkan gadisnya. Namun, yang ia lihat justru gurat merah dari pergelangan tangannya. Khalifa menunduk, ia masih terisak. “Mereka pegang tangan aku dengan keras Kak… mereka kasar dan menyeramkan….” Mendengar lirihan itu rahang Alby mengeras, menoleh ke kanan, ia dapati 11 orang itu yang tampak tertawa saja. “Ayo kabur, Kak. Mereka bukan tandingan kita,” ucap Khalifa kembali. Alby menatap Khalifa, memilih kabur? Itu bukan dirinya. “Tidak Alif, mereka harus membayar at
Nyatanya bukan sehabis magrib Khalifa pulang, melainkan sehabis isya baru ia bisa pulang. Jangan tanyakan kenapa, karena saat ini Khalifa ingin sendirian, menjadikan ia habiskan beberapa waktu sendirian di kantor. Dan sekarang waktunya ia pulang beberapa security yang jaga pula sebagian sudah pulang, paling hanya beberapa yang tetap berjaga karena bekerja sesuai shif. Khalifa berjalan terburu-buru menuju mobilnya, lantas melaju membelah jalan tanpa menunggu lama. Takut kemalaman Khalifa makin mempercepat lajunya. Sebuah dering ponsel terdengar namun tak Khalifa gubris untuk mengangkatnya. Memilih abai Khalifa terus melajukan mobilnya di tengah keramaian. Namun, kala ia berbelok ia harus di hadapkan dengan jalan yang cukup sepi. “Huft, semoga tidak terjadi apa-apa.” Khalifa mengucap doa dalam hati. Mau bagaimana pun ia perempuan, dan jelas ia takut jika tiba-tiba ada hal aneh yang melintas. Suara bisingnya motor terdengar dari arah belakang, memusat perhatian Khalifa untuk m
Khalifa menangkup kedua pipi di atas meja, bosan melanda hatinya. Hari ini tugas yang diberikan Aavar dalam mempelajari berbagai perbisnisan cukup menguras pikiran dan tenaga. Ternyata susah sekali untuk memahami berbagai persoalan dalam perbisnisan ini. Jika bukan karena otak yang encer mungkin Khalifa memilih tidur saja di atas kasur. Hari ini jam sudah menunjukan pukul empat sore. Tidak terasa, dari pagi sampai saat ini Khalifa menghabiskan waktu hanya di kantor saja, tentunya dengan Khanza. Namun, saat ini perempuan itu entah pergi ke mana, katanya izin keluar sebentar. “Khalifa, Om pulang lebih dulu ya, istri Om kasihan di rumah sendirian.” Tiba-tiba suara Aavar terdengar setelah pintu terbuka. “Kamu pulang lah, besok bisa dilanjutkan.” Punggung Khalifa berdiri tegap. “Nggak deh, Khalifa mau lembur. Soalnya masih banyak banget yang belum dikerjakan Om.” Aavar menoleh. “lembur?” Ia tertawa. “ya ampun Khalifa, ini kan cuma belajar aja. Gak usah terlalu dibuat serius jug