"Masakan kamu enak juga, enak banget malah," ujar Aavar kembali menarik Mie melalui sumpit, ditunggu sejenak sampai asap yang mengepul keluar sudah. "Ini masakan instant lah, Mas. Jadi ya mudah aja bikinnya," jawab Kinara sembari menyendokkan kembali sosis tersebut, mendinginkannya kemudian siap untuk menyuapi Aavar. "Omong-omong soal ilmu kedokteran, kamu sebelumnya emang sempet punya keinginan pengen jadi dokter ya?" tanya Aavar di sela-sela makannya. "Iya. Sebelumnya itu memang cita-cita saya, Mas." Aavar terdiam sejenak, dia menatap Kinara yang terdiam kembali tanpa melanjutkan. "Kenapa ingin jadi Dokter? Kan banyak tuh profesi lainnya?" tanya Aavar merasa heran. Pasalnya dia wanita baik-baik, barangkali wanita seperti itu ingin jadi seorang Ustazah mungkin? Atau profesi Guru? "Eum, karena apa ya ...?" Kinara tampak berpikir. Mengetuk-ngetuk dagunya dengan jari telunjuk. "Mungkin karena saya sering melihat orang-orang yang kesusahan, atau orang yang sakit membuat saya memil
Kinara menutup pintu setelah masuk ke dalam. Menutupnya dengan ritme pelan, takut bilamana ternyata Aarav sudah tidur. Namun tidak, ternyata Aarav tidak ada di kamar kala mata Kinara menjelajahi seisi ruangan tersebut. "Ke mana dia?" Kinara berjalan menuju ruang ganti. Tidak ada. Kemudian berjalan menuju kamar mandi, juga tidak ada. Ke mana tuh pak suami? Kinara beralih menatap ke arah jendela yang mana gordennya terbuka sudah. Kening Kinara mengernyit sudah, kemudian berjalan menuju jendela sana yang ternyata sebuah balkon.Di sana Kinara melihat Aarav tengah duduk seorang diri. Termenung sembari kepalanya yang tengah mendongak—menatap bulan bintang. Kinara ikut termenung. 'Kenapa dengan Pak Aarav? Kenapa tengah malam begini dia duduk di luar? Apa dia tidak takut bilamana ada makhluk halus?' tanya Kinara di dalam hatinya. Kinara menghela nafas sejenak untuk menetralkan degup jantungnya. Kemudian kakinya melangkah menuju Aarav yang masih sibuk melamun. "Pak?" sahut Kinara. Dia
Pagi ini Kinara sudah bangun lebih awal. Jam di atas dinding sana sudah menunjukkan pukul empat pagi, membuatnya harus beringsut untuk ke kamar mandi, mengambil air kemudian melaksanakan salat sembahyang. Jangan katakan bahwa ia seorang alim. Bukan, ia bukan wanita seperti itu. Justru dirinya hanya sedang memperbaiki dirinya saja, tidak lebih tiduk kurang. Sebelum itu Kinara menoleh pada Aarav terlebih dahulu, terlihat raut wajah yang tampak kelelahan, wajahnya sayu, bagaikan bunga yang sudah lama tidak terawat. Ah, pasti karena pekerjaannya yang semakin menumpuk itu membuat suaminya kurang istirahat. Iseng, Kinara beranjak dari duduknya, berjalan menuju tepi Aarav yang tertidur dengan pulas. Kinara terkekeh kecil. Menatap setiap lekukan indah yang dimiliki Aarav. "Bapak kenapa tampan banget sih? Mana Bapak punya kembaran lagi, buat Kinara susah dalam memilih mana Bapak dan mana Mas Aavar," ujar Kinara pelan. Kinara tersenyum, menatap seksama wajah Aarav dari dekat. Seolah ingin
"Nah, calon pengantin baru datang niehh," seru Vanzo kala melihat Aarav dan Kinara baru turun dari lift yang mereka gunakan.Kinara yang mendapat respon hangat tersebut jelas tersenyum ceria, merasa begitu diterima dirinya di rumah ini. "Wahhh, ayo nona manis, duduk di sini." Suara Aavar tiba-tiba berseru, dia menepuk-nepuk kursi sampingnya agar Kinara duduk dengannya. "Jangan berani menggodanya, Ava!" tegas Aarav mulai membuka mode dingin nan datarnya. Dengan sigap pria itu menarik lengan Kinara agar berjauhan dengan Aavar. Sang empu yang mendapat respon seperti itu jelas merasa heran. "Kau duduk di sini saja, jangan berani dekat atau berbicara dengan dua orang aneh yang kini sedang duduk." Tatapan Aarav menelisik tajam antara Aavar dan Vanzo. Tatapan hunus bak pedang, siapapun akan Aarav tebas jika sampai menggoda istrinya seperti kemarin-kemarin. "Dua orang yang duduk ya? Itu berarti kakek enggak," ujar Vanzo dengan tampang binar. Dengan muka berseri-seri pria berumur 60-an itu
"Kelas berapa Dek?" tanya Aavar pada Lusi. Pria itu kini tengah berbincang dengan Lusi. Yah, niatnya ingin mengenal lebih jauh kedua perempuan manis itu. "Kelas tiga, Kak," jawab Lusi dengan canggung. "Baru kelas tiga aja udah cantik, apalagi kalau sudah besar ya?" Tampaknya mode buaya Aavar tengah kumat, membuat dia senang dalam menggombal. "Mau Abang halalin gak?" Pertanyaan berikutnya berhasil membuat Aavar kena pukulan. Bukan dari Lusi, melainkan dari Aarav yang baru datang diantara perbincangan tersebut. "Jangan gila Ava! Dia masih kelas tiga, masih sekolah!" sergah Aarav dengan wajah tegasnya. Aavar yang mendapatkan hal tersebut tentu mencebik. "Untuk jatuh cinta tidak melihat umur, Rav. Oh, kalau tidak dengan adiknya, bisa dong dengan Kakaknya?" tanya Aavar menaik-turunkan alisnya. "Sekali kau menggombal dengan mulut busukmu itu, ku pastikan kau tidak akan bisa berbicara lagi, Ava. Tidak perduli jika kau saudaraku sendiri.""Kalau yang kukatakan bukan gombalan, bagaimana?
"Katakan, kau sudah mengajak makan siang Kinara?" Pertanyaan di sebrang telfon membuat Aarav menghembuskan nafas kasar. "Maksudmu?" tanya Aarav mulai was-was akan rencana saudara kembarnya ini. Ya, yang sekarang tengah menelfon dirinya tak lain adalah Aavar."Ck! Seharusnya kau ajak Kinara makan siang Aarav, bawa dia ke sebuah tempat yang paling romantis untuk kalian kunjungi." Hari ini adalah jam istirahat siang, menjadikan setiap karyawan yang bekerja akan mengisi jam istirahatnya dengan makan siang. Dan lain hal pun dengan Aavar, dia menyuruhnya untuk mengajak Kinara makan di luar. "Terus apa yang harus aku lakukan? Hanya mengajaknya, begitu?" Pertanyaan Aarav jelas membuat Aavar menepuk jidatnya. Tentu tanpa sepengetahuan Aarav. "Allahu, kau masih bertanya apa yang akan kau lakukan? Ayolah, Rav. Ini sebuah kesempatan untuk kau dekat dengannya. Sebuah kesempatan untuk mencuri hatinya. Dan, sebuah kesempatan untuk kau terbiasa dengannya. Lihat saja, kau akan menemukan arti cinta
Setelah acara makan siang selesai keduanya kembali menuju mobil, pulang menuju kantor kembali. Tidak ada pembicaraan setelah itu, hanya saling melirik kemudian fokus dengan pikirannya sendiri. Suara deru mesin mobil menjadi pemicu diantara keheningan yang ada. Menjadi pemenang untuk meluapkan rasa yang canggung. Sebenarnya Aarav ingin sekali berbincang dengan istrinya ini tetapi ia juga bingung harus mengawalinya dari mana. Berbeda dengan Kinara dia malah difokuskan pikirannya akan Karin yang terus mengiriminya pesan. Pesan yang isinya meminta uang 50 juta, dia terus memohon untuk dirinya memberi pinjaman tersebut. Kinara bisa saja memberikan uang tersebut pada Karin, tetapi ... uang itu pun harus ada izin suaminya. Bilamana suami tidak mengizinkannya? Bagaimana coba? Tring! Suara notifikasi yang berbunyi membuat atensi mata beralih pada asal suara. Bahkan pandangan mata mereka sempat bertemu namun kemudian saling buang muka kembali. Kinara yang memutuskan kontak mata tersebut
Kinara menatap kepergian mobil sang suami. Teringat akan isi pesan yang dikirimkan saudara kembarnya itu. Akan suatu hal ... yang membuatnya tidak mengerti. [Kusuruh kau untuk menggenggam tangannya malah tidak kau lakukan. ][Menyuruhmu pula untuk mencium kening, bibir atau bahkan apalah pada Kinara malah tidak!]Isi pesan tersebut jelas masih terekam jelas dalam penglihatannya, berpura-pura bahwa ia tidak membaca saat Aarav bertanya. Padahal jelas ia membaca semua pesan tersebut. "Sebenarnya, apa yang tengah mereka sembunyikan?" tanya Kinara. "Dan apa maksud dari percakapan mereka ini?"Tidak ingin pikirannya ditambah pening Kinara lebih baik menyelesaikan pekerjaannya lebih dahulu. Untung tadi ia sempat salat dulu, bersama Aarav dia menunaikan kewajiban. Dengan begitu ia akan langsung bekerja kembali. Di dalam pikirannya Kinara baru sadar, akhir-akhir ini ... ada sedikit perubahan mengenai Aarav. Bukan hanya pada sikapnya yang pelan-pelan mulai berubah, tapi juga dirinya yang terl
“Assalamu'alaikum…?” Khalifa mengucap salam saat ia masuk ke dalam rumah, ah, bukan hanya Khalifa, Alby juga ada. Keduanya masuk dengan raut muka terlihat capek. “Kak, eum … aku mau mandi dulu ya, seharian kerja bikin aku gerah,” ucap Khalifa pada Alby. Alby tersenyum. “okke, tapi jangan lama-lama ya, udah malam soalnya. Ah iya, pake air hangat biar nggak kedinginan.”Khalifa terkekeh. “Aku bukan kamu yang harus pake air dingin kali, aku kan nggak alergi dingin,” timpal Khalifa menjawab. “Masalahnya kan udah malam, nggak baik buat kesehatan.”“Enggak bakal kak. Udah, lagian aku mandi bakal cepet kok. Dah ya, aku mau mandi dulu!” ucap Khalifa gegas berlari namun dengan cepat Alby menahannya lebih dahulu membuat Khalifa kembali berbalik menatap Alby. “Kalo udah mandi nanti turun ke bawah ya? Aku mau masakin kesukaan kamu. Kita makan bareng,” ucap Alby. Kebetulan sekali keduanya belum makan membuat Khalifa mengangguk antusias. “Cium dulu sini.” Alby menampilkan pipi kanannya. Ia men
Seminggu berlalu…Seorang wanita berjalan dengan menyeret kopernya. Tergesa-gesa sebab terlambat,bahkan saking tergesa-gesanya, wanita itu tanpa sengaja menabrak bahu seseorang membuat wanita itu menyeru minta maaf. “Ya ampun maaf, Mas. Saya enggak sengaja!” ucapnya sedikit menundukkan kepala, detik berikut kepala wanita itu mendongak. Namun… “Lho?” Sesaat pandangan keduanya bertemu. “Gama?”“Khanza?” Keduanya berseru secara berbarengan. Gama dengan pandangan mata menelisik, sedang Khanza menatap dengan tarikan napas. “Kukira siapa, taunya kamu,” ucapnya merubah raut wajah. Khanza menghela napas, tanpa sepatah kata apapun perempuan itu pergi begitu saja. Gama menaikan alisnya, namun sedetik kemudian ia mengedikkan bahu, ikut pergi dengan menyeret kopernya. Ia tahu yang dirinya tabrak, untuk itu tidak peduli baginya.Gama memilih duduk setelah melakukan check up,melalui maskapai yang telah memberitahukannya kini ia duduk menunggu antrian untuk masuk ke dalam pesawat. Gama menghel
Pagi ini Khalifa bangun lebih awal, melihat sosok suaminya yang tertidur pulas. Ah, mungkin efek cairan infus yang masuk ke dalam tubuhnya, membuat pria itu terjaga dari tidurnya. Merasa pegal dibagian lengannya, Khalifa merenggangkan otot-ototnya. Tidur seranjang dengan Alby jelas membuatnya tak bergerak sana-sini, menjadikan ia merasakan pegal. Khalifa menghela napas, ia menunduk melihat pakaiannya yang kotor nan penuh darah, lupa, bahwa memang ia tak mengganti baju. Ah, jangankan untuk mengganti baju, justru hatinya saat itu resah memikirkan Alby. “Aku harus memberitahukan Bunda. Jika tidak mereka pasti khawatir.” Khalifa menatap terlebih dahulu Alby, mumpung pria itu masih tertidur membuat Khalifa gegas pergi. Selain merasa tak nyaman dengan pakaiannya ia juga tak nyaman dengan keadaan ini. Sungguh, walau ada perasaan lega melihat Alby selamat namun ada sisi lain yang membuatnya resah. Mengenai Khanza … Ia belum berani untuk menghadap padanya dan mengatakan yang sejujurnya. *
Lihatlah, wajah Alby yang dulunya tampan kini banyak dipenuhi luka. Beberapa luka itu diperban, entah bagian kepala, rahang, maupun anggota tubuh lainnya. Tak kuasa melihat keadaannya seperti ini, Khalifa menunduk dengan hati penuh sesal. “Maafin, Alifa Kak… maaf ….” Khalifa terduduk di kursi yang berada di pinggir ranjang tersebut, menggenggam tangan Alby yang begitu kekar. Dulu, tangan inilah yang selalu siap siaga menggenggam tangannya. “Andai aku tidak menurutinya, andai kita kabur saat itu mungkin keadaan kamu enggak bakal separah ini Kak. Bodoh, harusnya aku menolak ajakanmu untuk melawan mereka. Bodoh!” Khalifa merutuk dirinya, menarik tangan Alby untuk ia kecup. “Sekarang aku baru menyadarinya, Kak. Kalau aku … benar-benar takut kehilangan kamu. Aku takut ….” Khalifa tak bisa lagi membendung tangis yang kian jatuh menimpa pipinya, bengkak sudah kedua matanya sebab terus menangis. “Setelah kehilangan Mama dan Papa, aku enggak mau kehilangan kamu, Kak. Boleh aku egois? Aku i
Khalifa menunduk, semakin menangis tertahan dengan tangan yang masi menyentuh kepala Alby. “Kak … tolong … jangan tinggalin aku kayak gini … tolong bangunlah….”“Uhuk!”Sebuah semburat darah tiba-tiba keluar di bibir Alby tatkala pria itu terbatuk. “Kak Al?” Terkejut, Khalifa mendapati Alby membuka matanya dengan ringisan kecil yang keluar. “Khalifa….”Sudah menangis deras kini Khalifa menambah tangisnya tatkala suara lembut itu terdengar. Bergetar hatinya mendengar hal itu. “Kak Al….” Khalifa menangis, memeluk kepala Alby. “maafin aku, Kak. Maaf….”Alby memejamkan matanya menahan rasa sakit, ia menggeleng. “aku kembali untuk kamu, Alif….”Khalifa mengangguk, entah harus bagaiamana tapi ia benar-benar senang tatkala Alby kembali. Terbangun untuk menepati janjinya. Menggenggam erat tangan yang amat dingin itu Khalifa berucap, ““Kita harus ke rumah sakit dulu, Kak. Secepatnya luka kakak harus diatasi,” ucap Khalifa melihat keadaan Alby yang kian parah. “Kakak masih sanggup berdiri?
“Kau akan mati ditanganku!” Bugh! Alby langsung menghindar saat orang itu hendak menendang, belati yang dirinya pegang ia tusukkan ke depan untuk mengenal tubuh Alby, namun dengan gesit, Alby menghindar secara agresif. Memilih melawan dari belakang, Alby bisa menghajarnya dari belakang tersebut. Seseorang itu terjatuh, mukanya makin memerah. Satu diantara mereka berjalan maju, membuat Alby harus melawan dua orang sekaligus. Ah tidak, bahkan satunya lagi ikut-ikutan maju, menambah orang yang harus Alby lawan. Cukup kewalahan sebab mereka memiliki senjata masing-masing, sedang Alby hanya menggunakan tangan kosong sebagai tameng dirinya. Satu kali dua kali ia mendapat pukulan yang tak bisa ia hindari, bahkan goresan belati pula harus terkena sampai kulitnya saking keagresifan mereka. Murka, mereka murka sebab merasa terkalahkan oleh Alby. Alby mengatur napasnya dalam-dalam. Melawan 10 orang sekaligus benar-benar menguras tenaganya. Apalagi tidak diberi jeda untuk berhenti se
Khalifa berlari dan langsung memeluk Alby. Ia menangis dengan tubuh bergetar hebat. “Kak Al, makasih, makasih telah kembali….” Alby menelan salivanya pelan, bergetar hatinya kala melihat keadaan Khalifa seperti ini. “Maaf, maafkan aku baru datang Alif. Maaf telah meninggalkan kamu seorang diri.” Khalifa menggeleng, ia melerai pelukannya, mendongak untuk melihat wajah Alby. “Mereka … mereka ingin melecehkan aku, Kak. Aku--aku takut ….” Alby melihat wajah ketakutan itu, ia pegang tangan Khalifa untuk menenangkan gadisnya. Namun, yang ia lihat justru gurat merah dari pergelangan tangannya. Khalifa menunduk, ia masih terisak. “Mereka pegang tangan aku dengan keras Kak… mereka kasar dan menyeramkan….” Mendengar lirihan itu rahang Alby mengeras, menoleh ke kanan, ia dapati 11 orang itu yang tampak tertawa saja. “Ayo kabur, Kak. Mereka bukan tandingan kita,” ucap Khalifa kembali. Alby menatap Khalifa, memilih kabur? Itu bukan dirinya. “Tidak Alif, mereka harus membayar at
Nyatanya bukan sehabis magrib Khalifa pulang, melainkan sehabis isya baru ia bisa pulang. Jangan tanyakan kenapa, karena saat ini Khalifa ingin sendirian, menjadikan ia habiskan beberapa waktu sendirian di kantor. Dan sekarang waktunya ia pulang beberapa security yang jaga pula sebagian sudah pulang, paling hanya beberapa yang tetap berjaga karena bekerja sesuai shif. Khalifa berjalan terburu-buru menuju mobilnya, lantas melaju membelah jalan tanpa menunggu lama. Takut kemalaman Khalifa makin mempercepat lajunya. Sebuah dering ponsel terdengar namun tak Khalifa gubris untuk mengangkatnya. Memilih abai Khalifa terus melajukan mobilnya di tengah keramaian. Namun, kala ia berbelok ia harus di hadapkan dengan jalan yang cukup sepi. “Huft, semoga tidak terjadi apa-apa.” Khalifa mengucap doa dalam hati. Mau bagaimana pun ia perempuan, dan jelas ia takut jika tiba-tiba ada hal aneh yang melintas. Suara bisingnya motor terdengar dari arah belakang, memusat perhatian Khalifa untuk m
Khalifa menangkup kedua pipi di atas meja, bosan melanda hatinya. Hari ini tugas yang diberikan Aavar dalam mempelajari berbagai perbisnisan cukup menguras pikiran dan tenaga. Ternyata susah sekali untuk memahami berbagai persoalan dalam perbisnisan ini. Jika bukan karena otak yang encer mungkin Khalifa memilih tidur saja di atas kasur. Hari ini jam sudah menunjukan pukul empat sore. Tidak terasa, dari pagi sampai saat ini Khalifa menghabiskan waktu hanya di kantor saja, tentunya dengan Khanza. Namun, saat ini perempuan itu entah pergi ke mana, katanya izin keluar sebentar. “Khalifa, Om pulang lebih dulu ya, istri Om kasihan di rumah sendirian.” Tiba-tiba suara Aavar terdengar setelah pintu terbuka. “Kamu pulang lah, besok bisa dilanjutkan.” Punggung Khalifa berdiri tegap. “Nggak deh, Khalifa mau lembur. Soalnya masih banyak banget yang belum dikerjakan Om.” Aavar menoleh. “lembur?” Ia tertawa. “ya ampun Khalifa, ini kan cuma belajar aja. Gak usah terlalu dibuat serius jug