Kinara menatap kepergian mobil sang suami. Teringat akan isi pesan yang dikirimkan saudara kembarnya itu. Akan suatu hal ... yang membuatnya tidak mengerti. [Kusuruh kau untuk menggenggam tangannya malah tidak kau lakukan. ][Menyuruhmu pula untuk mencium kening, bibir atau bahkan apalah pada Kinara malah tidak!]Isi pesan tersebut jelas masih terekam jelas dalam penglihatannya, berpura-pura bahwa ia tidak membaca saat Aarav bertanya. Padahal jelas ia membaca semua pesan tersebut. "Sebenarnya, apa yang tengah mereka sembunyikan?" tanya Kinara. "Dan apa maksud dari percakapan mereka ini?"Tidak ingin pikirannya ditambah pening Kinara lebih baik menyelesaikan pekerjaannya lebih dahulu. Untung tadi ia sempat salat dulu, bersama Aarav dia menunaikan kewajiban. Dengan begitu ia akan langsung bekerja kembali. Di dalam pikirannya Kinara baru sadar, akhir-akhir ini ... ada sedikit perubahan mengenai Aarav. Bukan hanya pada sikapnya yang pelan-pelan mulai berubah, tapi juga dirinya yang terl
"Ya Allah ... apa yang harus aku lakukan untuk operasi Ibu? Aku tidak mempunyai uang sebanyak itu untuk operasinya." Lirih, Kinara berujar lirih dengan air mata yang berhasil turun membasahi pipinya. Tidak sengaja mendengar suara tangis membuat langkah pria berumur 25 tahun itu terhenti. Dia yang tengah berjalan menuju mobilnya mendekatkan diri untuk melihat siapa yang tengah menangis. "Aku tidak mau kehilangan Ibu ... tapi, aku juga bingung harus melakukan apa. Meminjam uang? Pasti tidak akan ada yang mau meminjamkannya." Kembali menangis, Kinara menangis dengan suara pelan dan tertahan. Kening pria itu mengernyit. Dia yang tak lain Aarav --mengintip di balik mobil belakang. Bertanya kenapa sore-sore begini ada suara tangisan. Padahal hari sudah pukul lima sore, tapi tangis itu tetap berlanjut. Karena penasaran membuat Aarav mengintip dalam diam, berpikir kalau itu adalah suara tangis perempuan. Dan benar saja, seorang perempuan tengah menangis sembari memeluk tas ranselnya. Dia
Waktu sudah menunjukan pukul empat sore, membuat Kinara dengan segera membereskan alat-alat kebersihannya. Ini adalah sesi terakhirnya untuk bekerja dibagian office girl, untuk besok entah akan ke mana ia dipindahkan karena memang Aarav sendiri yang akan mengaturnya. Buru-buru Kinara mengganti baju seragamnya dengan baju gamis. Setiap hari Kinara memang seperti ini, kala bekerja ia akan menggunakan seragam beserta celana. Sedang ketika ia pulang? Maka pakaian gamislah yang ia pakai. Teringat akan ucapan Aarav untuk pulang bersama membuat Kinara dengan segera keluar dari kantor. "Semoga aku yang lebih dulu di sana, kalau Mas Aarav? Jelas aku tidak enak padanya," gumam Kinara dengan terburu-buru. Saat hendak keluar dari pintu tiba-tiba Kinara dibuat mundur kembali pasca matanya tak sengaja berpapasan dengan ... Aarav? Ah tidak, bukan hanya Aarav, Aavar pun juga ada, saling berdiri bersisian. Kinara memundurkan langkah tatkala ia merasa telah menghalangi jalan mereka, karena diras
"Kinar, sebenarnya saya ...."Ucapan Aarav lagi-lagi harus terjeda, bingung juga untuk bertanya. Sebenarnya ada hal yang sangat ingin Aarav tanyakan perkara Ayah Kinara. Hanya saja ... ia tidak punya keberanian penuh akan hal itu. Sebuah kebenaran yang ia simpan jelas membuatnya selalu merasakan resah. "Saya apa, Mas?" tanya Kinara dengan kening mengerut, pasalnya suaminya itu tidak melanjutkan pembicaraan tersebut. "Enggak ada hal yang serius, saya hanya ingin memberitahukan kalau hari ini kita enggak bakal pulang ke rumah Kakek," ujar Aarav mengalihkan topik yang sempat ia bahas. Tampaknya ia harus mengurungkan niat mengenai Ayah Kinara untuk saat ini. "Kenapa, Mas?" tanya Kinara heran. Aarav tidak langsung menjawab justru ia palingkan wajahnya untuk menelusup ke perut Kinara. Hal yang jelas membuat Kinara merasa tersentak, terkejut karena tiba-tiba Aarav menelusupkan kepalanya di perut depannya ini. Kinara merasa geli dan ... merasakan hal yang aneh. Baru pertama kali ia mel
Kinara melotot terkejut kala merasakan lumatan kecil di area bibirnya. Di sana, mata Aarav terpejam menikmati apa yang dia lakukan pada Kinara, sedang Kinara sendiri jelas dibuat deg deg an akan semua ini. Hingga tepat saat Aarav melepas lumatan itu Kinara kembali memejamkan matanya. Aarav terkekeh. "Tidur yang nyenyak ya sayang." Untuk terakhir kalinya Aarav mencium kening Kinara kemudian pria itu pergi dengan membawa handuk yang tersimpan di pundak. "Hah ... hah ... hah ...." Nafas Kinara memburu tatkala Aarav berhasil pergi dari dirinya. Ya, selepas Aarav pergi Kinara terbangun dari kepura-puraannya dalam ridur, dia langsung duduk dengan nafas yang terengah-engah. Bagaikan habis lari marathon itulah yang Kinara rasakan atas kejadian barusan. Tentu saja, toh tadi dia menahan nafas tatkala Aarav mencium bahkan sedikit memberi lumatan. Bagaimana bisa Kinara akan baik-baik saja? Tidak bisa dipungkiri, kejadian barusan membuat pertanyaan kian bermunculan. Akan siapa sebenarnya Aara
Tidak ada gunanya makan dalam keterdiaman seperti ini. Tidak ada pembicaraan atau candaan apapun, membosankan! Kinara, wanita itu sedari tadi cemberut karena Aarav tidak pernah ingin memulai pembicaraan. Pria itu hanya fokus makan tanpa mau bicara walau sekalimat saja. Padahal tadi ia niatnya ingin menyuapi suaminya dan berbincang. Tapi, suaminya itu malah tampak hirau saja. Menyebalkan! "Saya mau ke belakang dulu," ujar Kinara merasa bosan akan keadaan ini. Ia jadi berbahasa formal kembali, enggan untuk mengatainya dengan nama. Aarav yang melihat Kinara hendak pergi merasa heran. "Tadi bilangnya lapar, berubah pikiran?" tanya Aarav. Aneh, padahal dipiringnya masih belum habis. "Enggak selera, nanti saja saya ke sini lagi. Hanya sebentar kok," jawab Kinara melenggang pergi. Aarav menatap Kinara dikejauhan sana, namun kemudian ia mengedikkan bahunya acuh. "Apa begini sifat perempuan?" tanyanya kembali melanjutkan makan. Berbeda dengan Kinara, dia berjalan untuk mencari angin mala
"Kinar?" Aarav ikut berlari mengejar Kinara. Kesalahannya saat ini, kenapa pula ia harus salah dalam memeluk? Kan jadinya salah paham begini! "Kinar tolong berhenti!" Aarav menghentikan gerakan Kinara yang terus berlari. Ya, dia berhasil mencekal lengan Kinara setelah lama keduanya saling mengejar. "Lepas, Mas!" Kinara menyentakkan lengan Aarav agar terlepas. "Kinar, maaf. Tadi itu kamu salah paham.""Iya lepas dulu, Mas. Sakit ini, ssshhh ...." Kinara meringis sakit dengan raut muka yang tampak pucat. "Kinar, kamu kenapa?""Mas, pengen ke kamar ... shh, sakit," rintih Kinara memegang perutnya. "Apa yang terjadi? Kenapa kamu tiba-tiba sakit begini?" Aarav dengan sigap menahan tubuh Kinara yang tampak lemas. Dia masih setia memegang perutnya dengan rintihan yang terus keluar dari bibirnya. "Perut aku sakit, Mas ...." Kinara menyandarkan kepalanya pada dada bidang Aarav membuat pria itu dengan sigap menggendong Kinara ala brydel style. "Kita ke dokter, ya?""Enggak! Aku hanya saki
Aarav termenung dengan nafas terengah-engah, merasa lemas setelah habis bergelut dengan Kinara. Perempuan itu bahkan sudah tertidur atas apa yang dia lakukan pada Aarav. Memaksanya bagaikan dirinyalah yang diperkosa oleh Kinara. Ya, nyatanya Kinara memaksanya dalam acara panas ini. Berolahraga malam yang malah membuat Aarav tersiksa sendiri. Rasanya Aarav ingin menangis saja, biasanya seorang perempuan lah yang menjadi korban pelecehan. Sekarang, malah dirinya yang jadi korban atas pelecehan ini. Karena yang jadi masalahnya ... Aarav tidak bisa melakukan apapun selain menerima balik serangan Kinara. Ingin rasanya Aarav melakukan lebih dari ini, melakukan hal yang lebih panas pada Kinara. Memberikan cap bahwa Kinara adalah miliknya, seutuhnya. Tapi sialnya Kinara sedang haid, membuat Aarav tau akan batasan seorang wanita yang tidak boleh dia sentuh. Di bawah sana Aarav merasakan sesak. Ingin keluar memasukan sarang. Andai ... andai saja Kinara tidak sedang haid dan semua ini terjadi
“Assalamu'alaikum…?” Khalifa mengucap salam saat ia masuk ke dalam rumah, ah, bukan hanya Khalifa, Alby juga ada. Keduanya masuk dengan raut muka terlihat capek. “Kak, eum … aku mau mandi dulu ya, seharian kerja bikin aku gerah,” ucap Khalifa pada Alby. Alby tersenyum. “okke, tapi jangan lama-lama ya, udah malam soalnya. Ah iya, pake air hangat biar nggak kedinginan.”Khalifa terkekeh. “Aku bukan kamu yang harus pake air dingin kali, aku kan nggak alergi dingin,” timpal Khalifa menjawab. “Masalahnya kan udah malam, nggak baik buat kesehatan.”“Enggak bakal kak. Udah, lagian aku mandi bakal cepet kok. Dah ya, aku mau mandi dulu!” ucap Khalifa gegas berlari namun dengan cepat Alby menahannya lebih dahulu membuat Khalifa kembali berbalik menatap Alby. “Kalo udah mandi nanti turun ke bawah ya? Aku mau masakin kesukaan kamu. Kita makan bareng,” ucap Alby. Kebetulan sekali keduanya belum makan membuat Khalifa mengangguk antusias. “Cium dulu sini.” Alby menampilkan pipi kanannya. Ia men
Seminggu berlalu…Seorang wanita berjalan dengan menyeret kopernya. Tergesa-gesa sebab terlambat,bahkan saking tergesa-gesanya, wanita itu tanpa sengaja menabrak bahu seseorang membuat wanita itu menyeru minta maaf. “Ya ampun maaf, Mas. Saya enggak sengaja!” ucapnya sedikit menundukkan kepala, detik berikut kepala wanita itu mendongak. Namun… “Lho?” Sesaat pandangan keduanya bertemu. “Gama?”“Khanza?” Keduanya berseru secara berbarengan. Gama dengan pandangan mata menelisik, sedang Khanza menatap dengan tarikan napas. “Kukira siapa, taunya kamu,” ucapnya merubah raut wajah. Khanza menghela napas, tanpa sepatah kata apapun perempuan itu pergi begitu saja. Gama menaikan alisnya, namun sedetik kemudian ia mengedikkan bahu, ikut pergi dengan menyeret kopernya. Ia tahu yang dirinya tabrak, untuk itu tidak peduli baginya.Gama memilih duduk setelah melakukan check up,melalui maskapai yang telah memberitahukannya kini ia duduk menunggu antrian untuk masuk ke dalam pesawat. Gama menghel
Pagi ini Khalifa bangun lebih awal, melihat sosok suaminya yang tertidur pulas. Ah, mungkin efek cairan infus yang masuk ke dalam tubuhnya, membuat pria itu terjaga dari tidurnya. Merasa pegal dibagian lengannya, Khalifa merenggangkan otot-ototnya. Tidur seranjang dengan Alby jelas membuatnya tak bergerak sana-sini, menjadikan ia merasakan pegal. Khalifa menghela napas, ia menunduk melihat pakaiannya yang kotor nan penuh darah, lupa, bahwa memang ia tak mengganti baju. Ah, jangankan untuk mengganti baju, justru hatinya saat itu resah memikirkan Alby. “Aku harus memberitahukan Bunda. Jika tidak mereka pasti khawatir.” Khalifa menatap terlebih dahulu Alby, mumpung pria itu masih tertidur membuat Khalifa gegas pergi. Selain merasa tak nyaman dengan pakaiannya ia juga tak nyaman dengan keadaan ini. Sungguh, walau ada perasaan lega melihat Alby selamat namun ada sisi lain yang membuatnya resah. Mengenai Khanza … Ia belum berani untuk menghadap padanya dan mengatakan yang sejujurnya. *
Lihatlah, wajah Alby yang dulunya tampan kini banyak dipenuhi luka. Beberapa luka itu diperban, entah bagian kepala, rahang, maupun anggota tubuh lainnya. Tak kuasa melihat keadaannya seperti ini, Khalifa menunduk dengan hati penuh sesal. “Maafin, Alifa Kak… maaf ….” Khalifa terduduk di kursi yang berada di pinggir ranjang tersebut, menggenggam tangan Alby yang begitu kekar. Dulu, tangan inilah yang selalu siap siaga menggenggam tangannya. “Andai aku tidak menurutinya, andai kita kabur saat itu mungkin keadaan kamu enggak bakal separah ini Kak. Bodoh, harusnya aku menolak ajakanmu untuk melawan mereka. Bodoh!” Khalifa merutuk dirinya, menarik tangan Alby untuk ia kecup. “Sekarang aku baru menyadarinya, Kak. Kalau aku … benar-benar takut kehilangan kamu. Aku takut ….” Khalifa tak bisa lagi membendung tangis yang kian jatuh menimpa pipinya, bengkak sudah kedua matanya sebab terus menangis. “Setelah kehilangan Mama dan Papa, aku enggak mau kehilangan kamu, Kak. Boleh aku egois? Aku i
Khalifa menunduk, semakin menangis tertahan dengan tangan yang masi menyentuh kepala Alby. “Kak … tolong … jangan tinggalin aku kayak gini … tolong bangunlah….”“Uhuk!”Sebuah semburat darah tiba-tiba keluar di bibir Alby tatkala pria itu terbatuk. “Kak Al?” Terkejut, Khalifa mendapati Alby membuka matanya dengan ringisan kecil yang keluar. “Khalifa….”Sudah menangis deras kini Khalifa menambah tangisnya tatkala suara lembut itu terdengar. Bergetar hatinya mendengar hal itu. “Kak Al….” Khalifa menangis, memeluk kepala Alby. “maafin aku, Kak. Maaf….”Alby memejamkan matanya menahan rasa sakit, ia menggeleng. “aku kembali untuk kamu, Alif….”Khalifa mengangguk, entah harus bagaiamana tapi ia benar-benar senang tatkala Alby kembali. Terbangun untuk menepati janjinya. Menggenggam erat tangan yang amat dingin itu Khalifa berucap, ““Kita harus ke rumah sakit dulu, Kak. Secepatnya luka kakak harus diatasi,” ucap Khalifa melihat keadaan Alby yang kian parah. “Kakak masih sanggup berdiri?
“Kau akan mati ditanganku!” Bugh! Alby langsung menghindar saat orang itu hendak menendang, belati yang dirinya pegang ia tusukkan ke depan untuk mengenal tubuh Alby, namun dengan gesit, Alby menghindar secara agresif. Memilih melawan dari belakang, Alby bisa menghajarnya dari belakang tersebut. Seseorang itu terjatuh, mukanya makin memerah. Satu diantara mereka berjalan maju, membuat Alby harus melawan dua orang sekaligus. Ah tidak, bahkan satunya lagi ikut-ikutan maju, menambah orang yang harus Alby lawan. Cukup kewalahan sebab mereka memiliki senjata masing-masing, sedang Alby hanya menggunakan tangan kosong sebagai tameng dirinya. Satu kali dua kali ia mendapat pukulan yang tak bisa ia hindari, bahkan goresan belati pula harus terkena sampai kulitnya saking keagresifan mereka. Murka, mereka murka sebab merasa terkalahkan oleh Alby. Alby mengatur napasnya dalam-dalam. Melawan 10 orang sekaligus benar-benar menguras tenaganya. Apalagi tidak diberi jeda untuk berhenti se
Khalifa berlari dan langsung memeluk Alby. Ia menangis dengan tubuh bergetar hebat. “Kak Al, makasih, makasih telah kembali….” Alby menelan salivanya pelan, bergetar hatinya kala melihat keadaan Khalifa seperti ini. “Maaf, maafkan aku baru datang Alif. Maaf telah meninggalkan kamu seorang diri.” Khalifa menggeleng, ia melerai pelukannya, mendongak untuk melihat wajah Alby. “Mereka … mereka ingin melecehkan aku, Kak. Aku--aku takut ….” Alby melihat wajah ketakutan itu, ia pegang tangan Khalifa untuk menenangkan gadisnya. Namun, yang ia lihat justru gurat merah dari pergelangan tangannya. Khalifa menunduk, ia masih terisak. “Mereka pegang tangan aku dengan keras Kak… mereka kasar dan menyeramkan….” Mendengar lirihan itu rahang Alby mengeras, menoleh ke kanan, ia dapati 11 orang itu yang tampak tertawa saja. “Ayo kabur, Kak. Mereka bukan tandingan kita,” ucap Khalifa kembali. Alby menatap Khalifa, memilih kabur? Itu bukan dirinya. “Tidak Alif, mereka harus membayar at
Nyatanya bukan sehabis magrib Khalifa pulang, melainkan sehabis isya baru ia bisa pulang. Jangan tanyakan kenapa, karena saat ini Khalifa ingin sendirian, menjadikan ia habiskan beberapa waktu sendirian di kantor. Dan sekarang waktunya ia pulang beberapa security yang jaga pula sebagian sudah pulang, paling hanya beberapa yang tetap berjaga karena bekerja sesuai shif. Khalifa berjalan terburu-buru menuju mobilnya, lantas melaju membelah jalan tanpa menunggu lama. Takut kemalaman Khalifa makin mempercepat lajunya. Sebuah dering ponsel terdengar namun tak Khalifa gubris untuk mengangkatnya. Memilih abai Khalifa terus melajukan mobilnya di tengah keramaian. Namun, kala ia berbelok ia harus di hadapkan dengan jalan yang cukup sepi. “Huft, semoga tidak terjadi apa-apa.” Khalifa mengucap doa dalam hati. Mau bagaimana pun ia perempuan, dan jelas ia takut jika tiba-tiba ada hal aneh yang melintas. Suara bisingnya motor terdengar dari arah belakang, memusat perhatian Khalifa untuk m
Khalifa menangkup kedua pipi di atas meja, bosan melanda hatinya. Hari ini tugas yang diberikan Aavar dalam mempelajari berbagai perbisnisan cukup menguras pikiran dan tenaga. Ternyata susah sekali untuk memahami berbagai persoalan dalam perbisnisan ini. Jika bukan karena otak yang encer mungkin Khalifa memilih tidur saja di atas kasur. Hari ini jam sudah menunjukan pukul empat sore. Tidak terasa, dari pagi sampai saat ini Khalifa menghabiskan waktu hanya di kantor saja, tentunya dengan Khanza. Namun, saat ini perempuan itu entah pergi ke mana, katanya izin keluar sebentar. “Khalifa, Om pulang lebih dulu ya, istri Om kasihan di rumah sendirian.” Tiba-tiba suara Aavar terdengar setelah pintu terbuka. “Kamu pulang lah, besok bisa dilanjutkan.” Punggung Khalifa berdiri tegap. “Nggak deh, Khalifa mau lembur. Soalnya masih banyak banget yang belum dikerjakan Om.” Aavar menoleh. “lembur?” Ia tertawa. “ya ampun Khalifa, ini kan cuma belajar aja. Gak usah terlalu dibuat serius jug