Aarav termenung dengan nafas terengah-engah, merasa lemas setelah habis bergelut dengan Kinara. Perempuan itu bahkan sudah tertidur atas apa yang dia lakukan pada Aarav. Memaksanya bagaikan dirinyalah yang diperkosa oleh Kinara. Ya, nyatanya Kinara memaksanya dalam acara panas ini. Berolahraga malam yang malah membuat Aarav tersiksa sendiri. Rasanya Aarav ingin menangis saja, biasanya seorang perempuan lah yang menjadi korban pelecehan. Sekarang, malah dirinya yang jadi korban atas pelecehan ini. Karena yang jadi masalahnya ... Aarav tidak bisa melakukan apapun selain menerima balik serangan Kinara. Ingin rasanya Aarav melakukan lebih dari ini, melakukan hal yang lebih panas pada Kinara. Memberikan cap bahwa Kinara adalah miliknya, seutuhnya. Tapi sialnya Kinara sedang haid, membuat Aarav tau akan batasan seorang wanita yang tidak boleh dia sentuh. Di bawah sana Aarav merasakan sesak. Ingin keluar memasukan sarang. Andai ... andai saja Kinara tidak sedang haid dan semua ini terjadi
Flashback onn! "Hai?" Mendengar seseorang menyapa membuat Kinara yang hendak pergi terurung sudah. Dia berbalik saat suara itu kembali terdengar dengan memanggil namanya. "Kamu Kinar, kan?"Sebuah pernyataan yang berhasil membuat Kinara melotot. Bukan, bukan pada pertanyaan yang dia ajukan, melainkan wajah pria itu yang membuat Kinara terkejut. "Devan?" Kinara menyebut nama tersebut dengan raut tidak percaya. Dia bahkan menelan salivanya agak kasar tatkala pria itu berjalan lebih dekat pada Kinara. Pria itu terkekeh kecil. "Ku kira kau melupakanku setelah hari itu," ucapnya menatap Kinara teduh. Kinara merasa suasana ini tampak canggung, apalagi dalam pertemuan yang sudah lama ini.Devan Prasetya, teman masa SMA yang paling dipopuleri kala itu. Menjadi sorotan kaum hawa yang berhasil Devan labui. Akan ketampanan yang pria itu punya membuat pria itu sedikit besar kepala. Namun dibalik itu, Devan adalah pria yang dicap baik. Selain berprestasi pria itu juga disenangi oleh para guru
"Terakhir kali aku bertemu dengan seorang laki-laki, Mas. Dia ... temanku. Namun aku tidak merasa minum sesuatu, aku bahkan langsung pergi setelah pertemuan itu," ungkap Kinara akan kesadaran yang terakhir kali ia ingat. Setelah pertemuan itu rasanya Kinara langsung pulang tapi ... Kinara terdiam sejenak. Memikirkan satu hal yang terasa terlewatkan. Detik berikutnya Kinara tersadar, melebarkan pupil matanya tatkala kesadaran lain melintas dipikirannya. Sebelum itu, sebelum pembicaraan diantara keduanya berlanjut, Devan, pria itu menawarkan sebuah minum, dan memang saat itu Kinara meminumnya. Sedikit. Kenapa ia bisa melupakan hal itu? "Baiklah jika benar adanya. Mungkin kau lupa atas kejadian kemarin," sahut Aarav tidak ingin menuntut. Bagaimana pun ini hotel, pasti ada saja orang iseng yang tidak sengaja memasukan obat tersebut ke dalam minuman. Berakhir Kinara yang jadi korban atas minuman tersebut. Kinara hanya terdiam, tidak mungkin mengatakan kalau Devan sendirilah yang mun
Derttt DerrtttSuara dering ponsel terdengar tatkala Aarav tengah melakukan meeting dengan beberapa klien lain. Suara getarannya terasa di balik saku celananya membuat ia refleks melihat siapa yang tengah menelfon. Kinara. Aarav sedikit terkejut, namun kemudian ia menetralkan rasa keterkejutannya. "Untuk meeting sekarang kalian bisa berdiskusikan lebih dahulu, saya permisi sebentar," ujar Aarav dengan lugas. Dia segera pergi dari perkumpulan tersebut, kemudian mengangkat telfon tersebut setelah dirasa aman. "Iya?" Aarav langsung menyahut, padahal di sebrang sana Kinara belum memulai. "Assalamu'alaikum, Mas?" Suara lembut penuh kehalusan itu terdengar membuat Aarav mengulum bibirnya. Gugup. "Wa-wa'alaikumsalam. Maaf, lupa." Aarav meremas ponselnya untuk meluapkan rasa canggung ini. Karena ini adalah kali pertamanya berbicara di telfon dengan Kinara. "Bagaimana kabarmu sekarang?" tanya Aarav to the point. "Baik. Tidak lagi merasakan sakit.""Benar? Tidak bohong?""Benar, Mas. U
Tapi ... Aarav tersenyum tipis dalam menanggapi ucapan Kinara. Jika sudah begini bukankah hal yang bagus? Dengan begitu Kinara akan tahu bahwa suaminya itu tidak dingin-dingin amat, justru ada sisi lain yang memang selalu Aarav sembunyikan. Termasuk dari segi hatinya yang tidak ingin Kinara tahu. "Mas, yang kukatakan benar kan?"Aarav mengangguk pasti. Meyakinkan Kinara bahwa Aarav adalah pria yang sangat-sangat mencintai perempuan itu. "Benar. Yang kau katakan benar. Selama ini, bertahun-tahun lamanya, Aarav mencintai kamu Kinar."Mata Kinara melebar sempurna atas ungkapan penuh kejujuran ini. Kinara bisa melihat kejujuran itu di mata Aavar, bahwa yang pria itu katakan memang kebenarannya. Jangan tanyakan atas perasaan Kinara sekarang, jujur ... jantungnya semakin dibuat berdetak. Sangat. Terasa mendesir pula perasaannya setelah mengetahui kalau Aarav mencintainya? Bahagia? Jangan ditanya lagi! Ia benar-benar bahagia setelah mengetahuinya. Rasanya Kinara ingin bergulitik di jala
Tepat di sebelah kanan Kinara sosok suaminya tengah menatapnya dengan tajam. Membuat siapa saja akan dibuat ketar-ketir. "Mas?" Kinara beranjak dari duduk, namun bertepatan itu pula Aarav beranjak —berjalan menuju Kinara.Kinara hanya berdiri mematung, sedang Aavar malah asik makan, menghiraukan kondisi Kinara yang sudah tercyduk ini. "Mas … ada di sini?" tanya Kinara menatap intens Aarav yang sudah berdiri di hadapannya. "Kenapa? Duduklah, makananmu masih banyak," ujar Aarav sembari matanya melirik pada piring milik Kinara. "Makasih." Aarav menepuk pundak saudaranya, kemudian ikut duduk di sebelah Kinara. Hanya sekalimat itu yang terlontar di mulut Aarav membuat Aavar menaikan sebelah alisnya. "Udah jagain Kinar." Seakan mengerti, Aavar hanya berdehem. "Udah tugas gue juga buat jagain Kinar kalau dia terjebak ke dalam masalah," jawab Aavar sembari melirik ke arah Kinara. Yang ditatap malah mengernyit alisnya, tidak mengerti. Aarav tersenyum tipis, lirikan matanya beralih pada
"Kinar?!" Sebuah teriakan dari belakang sana membuat Kinara menoleh. Dia, Aavar dan Vanzo—berlari menuju Kinara. "Apa yang terjadi?" tanya Vanzo tatkala pria berumur 60 tahun itu berdiri di hadapan Kinara. "Katakan Kinar, apa yang terjadi pada Aarav?" Aavar ikut buka suara, wajahnya kentara akan penuh kekhawatiran.Sebelum itu Kinara memang memberitahu pada Aavar setelah suaminya masuk dalam penanganan para dokter. Dan mungkin inilah alasan mereka datang ke sini. Kinara menggeleng pelan, ada tangis yang berhasil menumpuk di balik kelopak matanya. Siap menjatuhkan pertahanan yang ada. "Saya--saya tidak tahu apa yang terjadi dengan Mas Aarav, Kek …." Sekuat tenaga Kinara membuka suara, walau ada perasaan takut akan keadaan Aarav saat ini. "Katakan saja apa yang sebelumnya terjadi diantara kalian berdua?" ujar Vanzo tak sabaran. Sungguh, ini baru pertama kalinya Aarav masuk ke rumah sakit setelah bertahun-tahun lamanya tidak. Membuat ia merasakan cemas akan cucunya itu. "Kinar, ten
15 tahun yang lalu.... "Ma ... sakit Ma ...." Suara ringisan penuh rintihan terdengar begitu pilu. Seorang anak kecil berumur 9 tahun terbaring tak berdaya di atas kasur king size."Mama .... sa--sakit," rintihnya semakin pilu. Meremas dadanya yang malah semakin terasa sakit. Merasa tidak ada sahutan apapun membuat anak laki-laki itu turun dari ranjang, merangkak pelan menuju pintu yang tertutup. "Tolong--jantung Aarav, s-sakit ...." Ya, dia yang tak lain Aarav. Merangkak pelan menuju pintu, berharap setelah dia keluar dari kamar ini ia bisa menemukan Mamanya. "Uhuk!" Semburat darah keluar dari mulut Aarav kala batuk menyertai. Terasa sakit, sesak nan terasa terhimpit. Pusing melandai kepala Aarav, sudah tidak kuat untuk merangkak menemui Mamanya. "S--sakit---""Ya ampun Aarav?!" Suara teriakan yang menggema membuat Aarav menjatuhkan tubuhnya. Bertepatan dengan itu Keila langsung menyerobot memeluk Aarav. "Ayah?! Aarav, Yah!" Teriakan memekkakan itu terdengar nyaring ke setiap ru
“Assalamu'alaikum…?” Khalifa mengucap salam saat ia masuk ke dalam rumah, ah, bukan hanya Khalifa, Alby juga ada. Keduanya masuk dengan raut muka terlihat capek. “Kak, eum … aku mau mandi dulu ya, seharian kerja bikin aku gerah,” ucap Khalifa pada Alby. Alby tersenyum. “okke, tapi jangan lama-lama ya, udah malam soalnya. Ah iya, pake air hangat biar nggak kedinginan.”Khalifa terkekeh. “Aku bukan kamu yang harus pake air dingin kali, aku kan nggak alergi dingin,” timpal Khalifa menjawab. “Masalahnya kan udah malam, nggak baik buat kesehatan.”“Enggak bakal kak. Udah, lagian aku mandi bakal cepet kok. Dah ya, aku mau mandi dulu!” ucap Khalifa gegas berlari namun dengan cepat Alby menahannya lebih dahulu membuat Khalifa kembali berbalik menatap Alby. “Kalo udah mandi nanti turun ke bawah ya? Aku mau masakin kesukaan kamu. Kita makan bareng,” ucap Alby. Kebetulan sekali keduanya belum makan membuat Khalifa mengangguk antusias. “Cium dulu sini.” Alby menampilkan pipi kanannya. Ia men
Seminggu berlalu…Seorang wanita berjalan dengan menyeret kopernya. Tergesa-gesa sebab terlambat,bahkan saking tergesa-gesanya, wanita itu tanpa sengaja menabrak bahu seseorang membuat wanita itu menyeru minta maaf. “Ya ampun maaf, Mas. Saya enggak sengaja!” ucapnya sedikit menundukkan kepala, detik berikut kepala wanita itu mendongak. Namun… “Lho?” Sesaat pandangan keduanya bertemu. “Gama?”“Khanza?” Keduanya berseru secara berbarengan. Gama dengan pandangan mata menelisik, sedang Khanza menatap dengan tarikan napas. “Kukira siapa, taunya kamu,” ucapnya merubah raut wajah. Khanza menghela napas, tanpa sepatah kata apapun perempuan itu pergi begitu saja. Gama menaikan alisnya, namun sedetik kemudian ia mengedikkan bahu, ikut pergi dengan menyeret kopernya. Ia tahu yang dirinya tabrak, untuk itu tidak peduli baginya.Gama memilih duduk setelah melakukan check up,melalui maskapai yang telah memberitahukannya kini ia duduk menunggu antrian untuk masuk ke dalam pesawat. Gama menghel
Pagi ini Khalifa bangun lebih awal, melihat sosok suaminya yang tertidur pulas. Ah, mungkin efek cairan infus yang masuk ke dalam tubuhnya, membuat pria itu terjaga dari tidurnya. Merasa pegal dibagian lengannya, Khalifa merenggangkan otot-ototnya. Tidur seranjang dengan Alby jelas membuatnya tak bergerak sana-sini, menjadikan ia merasakan pegal. Khalifa menghela napas, ia menunduk melihat pakaiannya yang kotor nan penuh darah, lupa, bahwa memang ia tak mengganti baju. Ah, jangankan untuk mengganti baju, justru hatinya saat itu resah memikirkan Alby. “Aku harus memberitahukan Bunda. Jika tidak mereka pasti khawatir.” Khalifa menatap terlebih dahulu Alby, mumpung pria itu masih tertidur membuat Khalifa gegas pergi. Selain merasa tak nyaman dengan pakaiannya ia juga tak nyaman dengan keadaan ini. Sungguh, walau ada perasaan lega melihat Alby selamat namun ada sisi lain yang membuatnya resah. Mengenai Khanza … Ia belum berani untuk menghadap padanya dan mengatakan yang sejujurnya. *
Lihatlah, wajah Alby yang dulunya tampan kini banyak dipenuhi luka. Beberapa luka itu diperban, entah bagian kepala, rahang, maupun anggota tubuh lainnya. Tak kuasa melihat keadaannya seperti ini, Khalifa menunduk dengan hati penuh sesal. “Maafin, Alifa Kak… maaf ….” Khalifa terduduk di kursi yang berada di pinggir ranjang tersebut, menggenggam tangan Alby yang begitu kekar. Dulu, tangan inilah yang selalu siap siaga menggenggam tangannya. “Andai aku tidak menurutinya, andai kita kabur saat itu mungkin keadaan kamu enggak bakal separah ini Kak. Bodoh, harusnya aku menolak ajakanmu untuk melawan mereka. Bodoh!” Khalifa merutuk dirinya, menarik tangan Alby untuk ia kecup. “Sekarang aku baru menyadarinya, Kak. Kalau aku … benar-benar takut kehilangan kamu. Aku takut ….” Khalifa tak bisa lagi membendung tangis yang kian jatuh menimpa pipinya, bengkak sudah kedua matanya sebab terus menangis. “Setelah kehilangan Mama dan Papa, aku enggak mau kehilangan kamu, Kak. Boleh aku egois? Aku i
Khalifa menunduk, semakin menangis tertahan dengan tangan yang masi menyentuh kepala Alby. “Kak … tolong … jangan tinggalin aku kayak gini … tolong bangunlah….”“Uhuk!”Sebuah semburat darah tiba-tiba keluar di bibir Alby tatkala pria itu terbatuk. “Kak Al?” Terkejut, Khalifa mendapati Alby membuka matanya dengan ringisan kecil yang keluar. “Khalifa….”Sudah menangis deras kini Khalifa menambah tangisnya tatkala suara lembut itu terdengar. Bergetar hatinya mendengar hal itu. “Kak Al….” Khalifa menangis, memeluk kepala Alby. “maafin aku, Kak. Maaf….”Alby memejamkan matanya menahan rasa sakit, ia menggeleng. “aku kembali untuk kamu, Alif….”Khalifa mengangguk, entah harus bagaiamana tapi ia benar-benar senang tatkala Alby kembali. Terbangun untuk menepati janjinya. Menggenggam erat tangan yang amat dingin itu Khalifa berucap, ““Kita harus ke rumah sakit dulu, Kak. Secepatnya luka kakak harus diatasi,” ucap Khalifa melihat keadaan Alby yang kian parah. “Kakak masih sanggup berdiri?
“Kau akan mati ditanganku!” Bugh! Alby langsung menghindar saat orang itu hendak menendang, belati yang dirinya pegang ia tusukkan ke depan untuk mengenal tubuh Alby, namun dengan gesit, Alby menghindar secara agresif. Memilih melawan dari belakang, Alby bisa menghajarnya dari belakang tersebut. Seseorang itu terjatuh, mukanya makin memerah. Satu diantara mereka berjalan maju, membuat Alby harus melawan dua orang sekaligus. Ah tidak, bahkan satunya lagi ikut-ikutan maju, menambah orang yang harus Alby lawan. Cukup kewalahan sebab mereka memiliki senjata masing-masing, sedang Alby hanya menggunakan tangan kosong sebagai tameng dirinya. Satu kali dua kali ia mendapat pukulan yang tak bisa ia hindari, bahkan goresan belati pula harus terkena sampai kulitnya saking keagresifan mereka. Murka, mereka murka sebab merasa terkalahkan oleh Alby. Alby mengatur napasnya dalam-dalam. Melawan 10 orang sekaligus benar-benar menguras tenaganya. Apalagi tidak diberi jeda untuk berhenti se
Khalifa berlari dan langsung memeluk Alby. Ia menangis dengan tubuh bergetar hebat. “Kak Al, makasih, makasih telah kembali….” Alby menelan salivanya pelan, bergetar hatinya kala melihat keadaan Khalifa seperti ini. “Maaf, maafkan aku baru datang Alif. Maaf telah meninggalkan kamu seorang diri.” Khalifa menggeleng, ia melerai pelukannya, mendongak untuk melihat wajah Alby. “Mereka … mereka ingin melecehkan aku, Kak. Aku--aku takut ….” Alby melihat wajah ketakutan itu, ia pegang tangan Khalifa untuk menenangkan gadisnya. Namun, yang ia lihat justru gurat merah dari pergelangan tangannya. Khalifa menunduk, ia masih terisak. “Mereka pegang tangan aku dengan keras Kak… mereka kasar dan menyeramkan….” Mendengar lirihan itu rahang Alby mengeras, menoleh ke kanan, ia dapati 11 orang itu yang tampak tertawa saja. “Ayo kabur, Kak. Mereka bukan tandingan kita,” ucap Khalifa kembali. Alby menatap Khalifa, memilih kabur? Itu bukan dirinya. “Tidak Alif, mereka harus membayar at
Nyatanya bukan sehabis magrib Khalifa pulang, melainkan sehabis isya baru ia bisa pulang. Jangan tanyakan kenapa, karena saat ini Khalifa ingin sendirian, menjadikan ia habiskan beberapa waktu sendirian di kantor. Dan sekarang waktunya ia pulang beberapa security yang jaga pula sebagian sudah pulang, paling hanya beberapa yang tetap berjaga karena bekerja sesuai shif. Khalifa berjalan terburu-buru menuju mobilnya, lantas melaju membelah jalan tanpa menunggu lama. Takut kemalaman Khalifa makin mempercepat lajunya. Sebuah dering ponsel terdengar namun tak Khalifa gubris untuk mengangkatnya. Memilih abai Khalifa terus melajukan mobilnya di tengah keramaian. Namun, kala ia berbelok ia harus di hadapkan dengan jalan yang cukup sepi. “Huft, semoga tidak terjadi apa-apa.” Khalifa mengucap doa dalam hati. Mau bagaimana pun ia perempuan, dan jelas ia takut jika tiba-tiba ada hal aneh yang melintas. Suara bisingnya motor terdengar dari arah belakang, memusat perhatian Khalifa untuk m
Khalifa menangkup kedua pipi di atas meja, bosan melanda hatinya. Hari ini tugas yang diberikan Aavar dalam mempelajari berbagai perbisnisan cukup menguras pikiran dan tenaga. Ternyata susah sekali untuk memahami berbagai persoalan dalam perbisnisan ini. Jika bukan karena otak yang encer mungkin Khalifa memilih tidur saja di atas kasur. Hari ini jam sudah menunjukan pukul empat sore. Tidak terasa, dari pagi sampai saat ini Khalifa menghabiskan waktu hanya di kantor saja, tentunya dengan Khanza. Namun, saat ini perempuan itu entah pergi ke mana, katanya izin keluar sebentar. “Khalifa, Om pulang lebih dulu ya, istri Om kasihan di rumah sendirian.” Tiba-tiba suara Aavar terdengar setelah pintu terbuka. “Kamu pulang lah, besok bisa dilanjutkan.” Punggung Khalifa berdiri tegap. “Nggak deh, Khalifa mau lembur. Soalnya masih banyak banget yang belum dikerjakan Om.” Aavar menoleh. “lembur?” Ia tertawa. “ya ampun Khalifa, ini kan cuma belajar aja. Gak usah terlalu dibuat serius jug