“Tuan,” panggil Clara.“Kamu boleh tidur.” Seolah tidak terganggu dengan suara Clara, Sebastian berkata demikian sembari terus menciumi kain segitiga milik Clara.Bukannya tidur, Clara justru turun dari atas kasur, meraih pakaian miliknya lalu memakainya dengan gerakan yang cepat. Hal itu baru menarik atensi Sebastian.“Kamu mau ke mana, Clara?” tanya Sebastian.“Saya harus kembali ke rumah sakit, Tuan,” jawab Clara.Sebastian menatap jam di dinding. Jarum pendek mengarah pada angka 3 kemudian kembali menatap Clara/“Dini hari begini?” tanya Sebastian heran.“Saya sudah berjanji pada mertua saya untuk menjaga suami saya, jadi saya harus kembali sebelum fajar muncul. Lagi pula saya sudah menunaikan kewajiban saya sesuai keinginan Anda,” ujar Clara. Dia telah selesai berpakain, lantas meraih sling bag miliknya, siap meninggalkan kamar. Akan tetapi, suara Sebastian menghentikan langkahnya.“Tunggu, Clara. Aku akan antar kamu.”Mendengar hal itu, Clara menatap Sebastian dengan tatapan her
Clara seketika tercekat, tangannya refleks menyentuh lehernya. Clara melupakan sesuatu. Saat di rumah Sebastian, dia melihat tanda yang dimaksud oleh Julia. Ini adalah tanda merah yang dihasilkan dari hubungan terlarangnya bersama Sebastian. Dan dengan cerobohnya Clara tanpa sengaja memperlihatkan ini kepada Julia.“Kenapa diam? Kau tidak tuli ‘kan, Clara?” tanya Julia sinis.“Em…ini, aku lupa kalau aku alergi kacang merah, kemarin aku tidak sengaja memakannya,” jelas Clara. Dia tidak percaya bahwa dirinya kini pandai sekali membual.Kening Julia mengkerut. Memperhatikan tanda merah itu dengan teliti.Melihat itu, Clara segera meraih syal dari dalam tas kemudian melingkarkan di leher.“Maaf, Ma. Aku harus pergi bekerja.” Clara segera meraih sling bag miliknya kemudian menyingkir dari hadapan Julia. Clara bahkan tidak sempat berpamitan kepada William. Ini semua gara-gara Julia.Meski suaminya itu tidak bisa melihat dan mendengar, Clara terbiasa meminta izin kepada William sebelum pergi
Clara menatap Sebastian tidak berkedip sedikit pun. Dia terkejut ketika mendengar penuturan Sebastian. Apa yang baru saja pria itu katakan? Hari ini banyak jadwal penting. Akan tetapi pria itu justru ingin membatalkannya.“Tuan, apa maksud Anda?” tanya Clara lagi. Dia seketika menundukkan pandangannya ketika tatapan tajam Sebastian menghujam ke arahnya.“Sudah kukatakan berapa kali? Aku tidak suka mengulang ucapanku!” sergah Sebastian.“Maafkan saya, Tuan.” Clara segera menyadari kesalahannya.“Kemari, Clara!” Sebastian kembali mengulurkan tangan.Clara menatap Sebastian, mencoba mencari tahu maksud dari uluran tangan itu. Sepertinya Sebastian ingin dirinya mendekat. Takut-takut, Clara melangkah maju. Dia menatap tangan Sebastian.Clara menyambut uluran tangan itu, dia tersentak kala tubuhnya ditarik dan tanpa sengaja terjatuh di pangkuan Sebastian. Untuk sesaat, Clara merasa canggung. Apa boleh begini? Ini adalah kantor.“Rambut ini.” Sebastian menyentuh surai panjang milik Clara. “A
Clara sedikit terperangah, meski begitu dia tidak protes kali ini, dia segera mengikuti ke mana langkah Sebastian. Tatapan iri dan tidak suka mengiringi langkah Clara yang kini berjalan di belakang Sebastian. Apa yang Clara pikirkan? Bukankah itu sudah biasa? Jadi Clara tidak perlu memusingkannya.Pasalnya, banyak yang mengincar posisi asisten pribadi. Siapa yang tidak ingin dekat dengan pria tampan seperti Sebastian? Dan asal mereka tahu saja, hal itu tidak akan mudah dilakukan. Tiga tahun Clara menahan diri untuk tidak mengumpati Sebastian. Terlebih beberapa hari terakhir, sikapnya sangat menyebalkan.Meski begitu, Clara harus berterima kasih kepada Sebastian karena telah membantunya. Tidak, dirinya juga sudah memberikan sesuatu yang berharga kepada pria itu yaitu kesuciannya.“Masuk!” Sebastian membukakan pintu mobil untuk Clara.Clara patuh, dan segera masuk.Sebastian menutup pintu mobil, kemudian berjalan memutari kendaraan, mendudukkan dirinya di kursi kemudi. Dia sengaja tidak
Mendengar itu, Leonard dan Sania saling bertukar pandang. Rona kebahagiaan terpancar di wajah keduanya. Bukan hanya sesepuh saja yang menginginkan seorang bayi penerus, Leonard dan sania pun sama halnya. Mereka berdua ingin segera menimang cucu mengingat usia Sebastian yang sudah cukup matang.“Kalau begitu kau setuju untuk menikah?” tanya Sania. Dia tidak sabar untuk menantikan hal semacam itu.Kening Sebastian mengkerut. “Aku tidak bilang akan menikah.”“Lalu?” Leonard menaikkan sebelah alisnya.“Kakek hanya meminta seorang penerus ‘kan. Kalian tenang saja, dalam waktu dekat aku akan memberikannya.” Sebastian berdiri dari duduknya.Sania mendongak menatap putra semata wayangnya dengan tatapan bingung sekaligus khawatir. Dia masih tidak mengerti dengan ucapan Sebastian.“Nak, tolong jelaskan pada Mom. Apa maksudnya dengan memberikan bayi tapi tidak menikah?” tanya Sania.Sebastian menyunggingkan senyumnya. Dia menatap wanita bergelar ibu sejenak lalu melanjutkan langkah meninggalkan
Clara menelan saliva, bayangan permainannya bersama Sebastian berkelebat di kepala Clara. Hal itu mungkin bukan yang pertama lagi bagi Clara. Namun, saat hendak melakukannya lagi, Clara merasa gugup. Tanpa sadar kedua tangan di atas pangkuannya bergetar. Jantung Clara berdegup dengan sangat kencang. Tatapannya yang mengarah pada luar jendela terlihat goyah.Sementara Sebastian terlihat sangat tenang. Raut wajahnya sangat dingin seolah tanpa emosi. Sesekali melirik ke arah samping di mana sang asisten berada. Sebelah sudut bibirnya ditarik ke samping."Ku peringatkan sekali lagi, Clara. Jangan pernah menggunakan hatimu dalam hubungan ini."Mendengar itu, Clara segera tersadar. Bahwa hubungan ini terbangun atas dasar simbiosis mutualisme. Di mana kedua belah pihak saling diuntungkan. Benar yang dikatakan oleh Sebastian, tidak seharusnya dirinya menggunakan perasaan saat berhubungan dengan pria itu.“Tentu saja, Tuan.” Hanya itu yang bisa Clara katakan saat ini.Kendaraan melaju dengan c
Clara refleks mengalungkan kedua tangan pada leher Sebastian ketika tubuhnya diangkat dan digendong. Selanjutnya, tubuhnya dibawa mendekati ranjang kemudian diletakkan dengan sangat hati-hati.Tatapan dalam Sebastian telak menghujam dirinya, Clara segera memejamkan mata, ketika wajah pria itu mendekat ke arahnya sebelum akhirnya mendarat ke area leher jenjang dan tenggelam di sana.Clara mendongak ketika sebuah benda basah menyapu area leher hingga turun ke tulang selangka. Sekuat tenaga Clara berusaha untuk tidak mengeluarkan suara. Bahkan ketika kain penutup busa miliknya dilepas, Clara tetap bungkam.Sebastian menarik diri, kemudian melihat Clara yang memejamkan mata. Kedua tangannya bergerak lincah memainkan ujung buah keranuman yang telah mencuat, sementara bibirnya mulai meraup kasar bibir Clara.“Mppppphhhhh!” Clara tersentak kaget. Dia merasakan indera perasa milik Sebastian mulai menerobos memasuki isi mulutnya.Clara membiarkan Sebastian melakukan apa yang diinginkan. Sement
Clara merasa Sebastian sengaja mengerjai dirinya. Laporan keuangan 10 tahun yang lalu? Sedangkan dirinya baru bekerja 3 tahun. Yang benar saja?Saat ini Clara sedang berdiri di ambang pintu gudang penyimpanan dokumen. Ditemani Ramon, Clara menatap rak yang berjajar rapi di hadapannya dengan tatapan malas.“Rak sebelah sana adalah rak penyimpanan berkas keuangan. Tuan Bastian ingin Anda mencari laporan bulan yang mengalami penurunan, jika sudah selesai, segera berikan pada saya,” ujar Ramon. Ramon merasa sudah berbaik hati karena telah menunjukkan tempat di mana Clara harus mencari berkas tersebut.“Tuan Ramon, bolehkan saya tanya sesuatu?” tanya Clara.“Silakan!” suara Ramon terdengar tidak senang.“Kalau boleh tahu, untuk apa berkas tersebut? Apakah sangat penting sehingga saya harus mencarinya sedangkan jam kerja berakhir sebentar lagi?” Clara bertanya sembari menatap arloji di pergelangan tangannya.“Kalau Tuan yang meminta, itu artinya sangat penting,” jawab Ramon.“Masih ada oran
"Mom, kamu mendengarku? Aku diculik!" Dareen berteriak di depan layar ponsel yang disodorkan Ziyon ke arahnya. Tidak ada jawaban. Hening. Selanjutnya hanya terdengar suara seseorang berteriak dari kejauhan. "Lucia, Sadarlah!" Itu suara Louis, ayahnya. Wajah Dareen menegang. Apa yang dikatakan oleh ayahnya barusan? Mengapa sang ayah berteriak? Dan Mengapa dia meminta sang ibu untuk sadar? Apa yang terjadi? Apa ibunya sedang pingsan? Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi isi kepala Dareen. Sampai membuatnya ingin meledak. Wajahnya yang ketakutan semakin pucat dengan sudut bibirnya yang pecah dihiasi darah yang telah mengering. "Dad! Jawab aku!" pekik Dareen dengan raut wajah penuh kekhawatiran. Tidak ada jawaban. Dareen menatap layar ponsel. Panggilan masih berlangsung. Ziyon mengamati Dareen, sebelah sudut bibirnya ditarik ke samping. Detik selanjutnya, dia menjauhkan ponsel itu dari Dareen. "Sudah cukup!" Ziyon mengakhiri panggilan. Dareen refleks mendongak. Menatap Ziyon yang t
Dareen tersentak kala Ziyon melempar sesuatu tepat di wajahnya. Benda itu jatuh ke lantai yang kusam setelahnya. Dareen melihat ke bawah, ternyata dua kartu kredit miliknya yang tak berguna. Kemudian Dareen menatap ke arah Ziyon. Wajahnya tampak dipenuhi amarah. Kemungkinan pria itu baru saja menggunakan kartu tersebut. Dan sama seperti dirinya yang dibuat kesal oleh kartu kredit sialan itu. "Sudah kubilang 'kan, kartu itu memang tidak ada isinya." Dareen menertawakan kebodohan Ziyon. Padahal Dareen sudah memberitahu sebelumnya. Akan tetapi, pria itu malah tidak percaya. "Kamu benar-benar membuat aku marah!" teriak Ziyon. Frustasi. Saat mendengar bahwa Dareen bersenang-senang di luar negeri. Dengan segenap harta yang tersisa, Ziyon berniat menyusul, untuk merampas semua yang Dareen miliki. Nyatanya, pria itu tidak memiliki apa-apa. Ziyon tidak bisa menyentuh Sebastian karena dia tidak memiliki kuasa apa pun. Aset dan seluruh harta maupun saham telah habis. Kedua orang tuanya sem
Sania yang datang hari itu akhirnya membantu menyusun mainan tersebut, menyortir, mengelompokkan mainan sesuai dengan usia. Mainan-mainan tersebut akan disimpan, dan dipakai jika sudah waktunya nanti. Mainan yang dikirimkan Maxime sangat lengkap, bahkan ada yang bisa digunakan saat Kaisar umur 2 tahun nanti. Kaisar sempat terbangun dan meminta Asi. Clara memberikannya sampai tertidur kembali. Setelah Selesai, Clara kembali bergabung bersama Sania yang terlihat sangat antusias mengurus mainan-mainan itu. "Ini banyak sekali, Clara," ucap Sania yang tampak bosan karena sejak tadi tidak kunjung selesai. "Mom benar. Bagaimana jika kita menyumbangkan pada panti asuhan sebagian?" Clara menatap Sania penuh harap. "Itu ide bagus, Clara. Kalau begitu, aku akan menelpon panti asuhan milik kenalanku," ucap Sania antusias. Dalam hati Clara mengucap syukur karena Sania memiliki pemikiran yang sama. Sementara Sania menelpon pemilik panti asuhan. Clara mencoba mengirim pesan pada suaminya. Dia
Ziyon menyunggingkan senyum tipis, seolah menikmati setiap detik keterkejutan yang tergambar jelas di wajah Dareen. Ekspresi itu begitu tenang, namun menyimpan makna yang sulit ditebak. Sorot matanya menyipit, bukan karena cahaya atau kelelahan, melainkan karena tarikan sudut bibirnya yang membentuk senyum dingin dan penuh perhitungan. Tatapan Ziyon tajam, menusuk, seakan ingin menyelami isi pikiran Dareen yang masih berusaha memahami situasi. Dia berdiri tegak, penuh percaya diri, menunjukkan bahwa Dia mengendalikan keadaan sepenuhnya. Dalam diamnya, senyum itu seolah berkata bahwa semua telah direncanakan dengan cermat—dan kini waktunya bagi Dareen untuk menyadari kenyataan yang tak terelakkan. "Kenapa? Kaget?" ejek Ziyon. Tatapannya yang semua dingin kini berubah tajam dan gelap, penuh dengan rencana yang Dareen sendiri tidak tahu tujuannya. Dareen membeku untuk beberapa saat. Berusaha mencerna sebuah sebab akibat dari kejadian yang terjadi saat ini. Mengapa Ziyon sampai ber
Clara berdiri di ambang pintu, mengantar suaminya yang hendak pergi bekerja. Ini adalah tradisi rutin. Sebelum berangkat ke kantor, Sebastian harus mendapat kecupan dari istrinya. Menurut pria itu, hal tersebut dapat meningkatkan kualitas kinerja otaknya. Meski Clara tidak benar-benar menganggapnya sebagai sesuatu yang benar. Namun, dirinya tetapi memberikannya. "Mungkin aku akan terlambat, kamu tidur saja. Jangan menungguku!" Sebastian memberitahu. Clara mengulas senyum. Tangannya terulur mengencangkan ikatan dasi suaminya kemudian berkata, "Baiklah!" Satu kecupan diberikan di bibir, hidung, mata dan juga dahi. Setelah mendapatkan apa yang dia inginkan, Sebastian segera melesat memasuki mobil. Lambaian tangan mengiringi kendaraan hitam itu, bergerak menuju pintu gerbang raksasa. Setelah memastikan kendaraan suaminya menghilang dari pandangan, Clara hendak melangkah masuk ke dalam rumah. Namun, langkahnya terhenti ketika suara deru mesin kendaraan terdengar semakin mendekat.
Kening Sebastian mengkerut. Ramon memang kerap kali menampakkan wajah masam, namun kali ini ekspresinya berbeda, gelap. Seolah ketegangan menyelimuti area sekitarnya. Sehingga hal itu membuat Sebastian urung menikmati sarapan yang sudah disiapkan. "Ramon? Kamu datang?" tanya Sebastian skeptis. Ramon berhenti tepat di dekat Sebastian, kemudian membungkukkan tubuhnya sejenak. "Maaf, Tuan. Jika kedatangan saya mengganggu waktu sarapan Anda." Sebastian mengangguk. Clara yang duduk di dekat Sebastian menatap ke arah Ramon. Dia mengulas senyum ramah. "Tuan Ramon, bergabunglah bersama kami!" tawar Clara. "Terima kasih, Nyonya. Tapi ada hal yang sangat penting yang harus saya bicarakan dengan Tuan." Seperti sebuah kode, ucapan Ramon membuat Sebastian bangkit dari duduknya dengan gerakan tenang namun penuh ketegasan. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dia mulai melangkah meninggalkan ruang makan. Langkah kakinya mantap, menunjukkan bahwa ia telah mengambil keputusan untuk mem
Clara terkejut mendengar pernyataan Maxime. Matanya mengerjap cepat, otaknya mencoba mencerna apa yang dikatakan Maxime baru saja. "Apa? Kakek, tidak perlu seperti itu," katanya, mencoba menolak. Bagaimanapun, apa yang diberikan Maxime sangat berlebihan menurut Clara. Maxime hanya tersenyum dan menggelengkan kepala. "Aku sudah memutuskan, Nak. Anggap saja ini penebusan dosaku padamu." Sesaat ruangan menjadi hening. Sunyi. Hanya terdengar suara detak jarum jam, yang beradu dengan napas yang sesekali dilepas. Ingatan Clara kembali pada masa-masa sulit dalam hidupnya. Di mana hubungannya dengan Sebastian ditentang oleh seluruh keluarga pria itu terutama Maxime, tetua keluarga Abraham. Clara yang tidak memiliki kuasa apa pun, hanya bisa pasrah. Namun, Sebastian selalu ada, menjadi penguat dan pendukung bagi dirinya. Saat ini, Maxime telah berubah. Entah atas dorongan apa. Mungkin karena kehadiran Kaisar, dan juga sang pencipta yang telah membalikkan hati seseorang. Maxime be
Dareen terkejut dan merasa tidak percaya. Kedua matanya membelalak. Mulutnya terbuka secara spontan. "Apa maksudmu kartuku tidak bisa?" tanyanya dengan nada yang sedikit meninggi. Jantungnya berdegup dengan sangat cepat. Wanita cantik itu menatapnya dengan sopan, namun jelas terlihat sedikit cemas. "Maaf, Tuan. Sistem kami menunjukkan bahwa kartu Anda telah diblokir. Apakah Anda ingin mencoba dengan kartu lain?" Dareen merasa seperti dipukul keras. Bagaimana bisa kartu kreditnya diblokir? Dia yakin bahwa dia memiliki cukup saldo di kartu itu. Bahkan uang yang dia miliki bisa menghidupinya selama berpuluh-puluh tahun lamanya. "Ini tidak mungkin," gumamnya, mencoba menenangkan diri. "Kalau begitu, aku akan mencoba dengan kartu lain," katanya akhirnya, sambil mengeluarkan kartu kredit lainnya dari dompetnya. Kali ini Dareen mengeluarkan jenis kartu yang berbeda. Berwarna emas. Meski isinya tak sebanyak kartu hitamnya, setidaknya dia masih memiliki pegangan. Wanita cantik itu m
Usai acara peringatan yang berlangsung khidmat, keluarga inti perlahan-lahan berpindah ke ruang keluarga. Suasana di ruangan itu tampak tenang, meski tidak benar-benar hangat. Mereka duduk membentuk lingkaran kecil, namun tidak banyak kata yang terucap. Percakapan yang terjalin pun hanya seputar urusan pekerjaan dan kegiatan sehari-hari, tanpa menyentuh hal-hal pribadi yang lebih dalam. Kaisar kembali tertidur. Dan dia segera diletakkan di box bayi, dijaga oleh pengasuh. Atmosfer sekitar ruangan terasa dingin. Clara beberapa kali mencoba mencairkan suasana dengan senyum dan sapaan hangat, namun tetap terasa ada sekat tak kasat mata yang memisahkan mereka. Sebastian duduk bersandar pada sofa dengan tubuh sedikit menegang, sorot matanya tajam dan penuh beban. Wajahnya tampak menggelap, menyiratkan emosi yang sulit dikendalikan. Ketegangan masih membayang akibat perselisihan yang belum terselesaikan dengan Maxime. Perang dingin di antara mereka kian terasa nyata, meskipun tidak di