“Celana dalam?” Clara tidak dapat mempercayai penglihatannya sendiri.
“Ya, setelah berhubungan, aku akan membelikanmu celana dalam baru,” ujar Sebastian.
Ucapan Sebastian mengingatkan Clara pada kejadian semalam. Di mana Sebastian menciumi celana dalam miliknya yang sudah terpakai. Mendapati Sebastian berbicara hal semacam ini dengan keras, mungkinkah semua orang di rumah ini sudah tahu kebiasaan Sebastian?
Clara memperhatikan sekitar dan melihat Andrew si kepala pelayan yang berdiri di sudut ruangan. Beberapa pelayan wanita juga tampak berlalu lalang, entah mengapa mendengar Sebastian bicara begitu, Clara jadi malu sendiri.
“Kamu tenang saja, semua orang yang bekerja di sini telah disumpah untuk tidak membocorkan apa pun yang terjadi di rumah ini.”
Seolah tahu isi kepala Clara, Sebastian segera menjelaskan, dan itu membuat kegelisahan di hati Clara menghilang.
“Karena kamu sudah melayani aku semalaman, hari ini aku membebaskan kamu dari pekerjaan,” ucap Sebastian.
Mendengar hal itu, senyum Clara seketika melebar sempurna. “Terima kasih banyak, Tuan. Kebetulan saya harus pergi ke rumah sakit untuk mengurus masalah biaya.”
“Itu terserah kamu, Clara. Asalkan saat aku memanggilmu, kamu harus segera datang,” kata Sebastian. Dia berbicara tanpa memandang Clara, raut wajahnya terlihat agak kesal.
Clara tidak memusingkan hal itu, dan hanya mengiyakan ucapan Sebastian. Yang terpenting dirinya telah mendapatkan uangnya. Selesai sarapan, Clara segera berpamitan untuk pergi ke rumah sakit.
“Satu hal lagi, Clara!”
Clara yang hendak bangkit dari duduknya seketika mengurungkan niatnya saat mendengar ucapan Sebastian. Dia menatap atasannya itu dengan kening mengkerut.
“Ya, Tuan Bastian,” ucap Clara.
“Jangan sekali-kali kamu menggunakan perasaan saat bermain denganku, ingat, hubungan ini terjalin atas dasar simbiosis mutualisme, apa kau mengerti?”
“Tentu saja saya mengerti, kalau begitu saya permisi.” Setelah mengatakan hal itu, Clara segera beranjak dari tempat duduknya. Kemudian membawa langkahnya menjauhi Sebastian.
Sebastian menatap punggug wanita yang menjadi asisten pribadinya. Ada yang berbeda dengan cara berjalannya, tidak seperti biasa. Sebastian berpikir, itu terjadi karena dirinya. Meski begitu, Sebastian merasa sangat senang karena dirinya menjadi yang pertama menikmati manisnya milik Clara. Dan pada akhirnya William hanya mendapatkan sisa.
Clara mengendarai taksi dan segera menuju ke rumah sakit. Satu hari penuh, Clara tidak bertemu William. Siang hari dirinya harus bekerja, lalu setelah itu mencari pinjaman. Dan berakhir di rumah Sebastian. Malamnya, dia menghabiskan waktu bersama Sebastian karena kesepakatan yang telah diambil.
Clara teringat pergulatan panas bersama Sebastian, kemudian menatap wajah William yang terlihat pucat. Rasa bersalah menelusup dada. Dengan sadar Clara telah menghianati ikatan suci pernikahannya bersama William dan menjual tubuhnya pada pria lain.
“William, tolong maafkan aku,” ucap Clara sembari menggenggam tangan William yang terkulai lemas. Sesekali dia mengecupnya. Bagaimanapun, dirinya dan William adalah suami istri, dan telah berjanji setia dalam keadaan sehat maupun sakit.
Clara menyeka sudut matanya, keadaan ini membuatnya sangat sedih. Satu tahun sudah, William tebaring lemah dengan alat medis yang terpasang di tubuhnya. Selama itu pula tidak ada tanda-tanda suaminya ini akan bangun. Dan itu membuat Clara terkurung rasa rindu.
“William, aku merindukanmu. Maafkan aku telah mengkhianatimu. Aku melakukan semua ini demi kamu, jadi cepatlah bangun!” Clara tidak berhenti menyalahkan diri sendiri.
Pintu ruangan terbuka, dan mengalihkan atensi Clara dari William.
Sepasang suami istri memasuki ruangan dan terkejut melihat keberadaan Clara. Julia segera menghampiri Clara.
“Kenapa kamu di sini? Mana uangnya?!” Baru datang, Julia sudah memaki Clara.
Clara menghembuskan napas kasar, kemudian menjawab. “Tenang saja, Ma. Aku sudah mendapatkannya.”
Julia tertawa sinis. “Bagus! Segera kirimkan ke rekeningku, biar aku yang urus.”
Mendengar itu, Clara merasa aneh. Meski begitu, dia tidak membantah. Selama ini dia selalu mempercayai kedua mertuanya, sehingga Clara menuruti keinginan Julia.
Clara segera membuka aplikasi banking miliknya kemudian mentransfer uang yang dikirimkan Sebastian pada rekening Julia.
“Sudah, Ma.”
“Bagus, kamu memang bisa diandalkan.”
Clara tersenyum kecut. Ben dan Julia adalah ayah dari suaminya. Clara sudah menganggap mereka seperti orang tuanya sendiri. Jadi Clara akan melakukan apa pun yang membuat mereka senang. Pun selama ini Ben dan Julia sudah berusaha keras membiayai rumah sakit suaminya.
Sementara Julia melakukan pelunasan, Clara berkata pada Ben akan menjaga Sebastian seharian penuh karena Sebastian memberikan cuti.
Tanpa terasa hari sudah gelap. Ben dan Julia berpamitan pulang, dan meninggalkan William bersama dengan Clara.
Malam ini, Clara akan tidur di ruangan William, meski tidak melakukan kegiatan layaknya suami istri, berada di dekat William saja, tidak masalah bagi Clara. Baru saja Clara memejamkan mata, ponselnya di atas meja berdering. Tertera nama Sebastian, dan Clara segera menjawab.
“Halo, Tuan,” ucap Clara.
“Clara, datanglah!”
Clara sudah merasa curiga saat mendapati nama Sebastian di layar ponselnya. Ketika dirinya menjawab panggilan itu, Sebastian menyuruhnya datang.“Sekarang, Tuan?” tanya Clara.“Tahun depan, tentu saja sekarang!" jawab Sebastian yang terdengar ketus.Clara menggigit kecil bibir bawahanya. Dirinya sudah berjanji pada kedua orang tua William untuk bermalam di rumah sakit dan menjaga William. Apa jadinya jika dirinya tiba-tiba pergi?Sesaat, Clara merasa ragu. Namun, saat mengingat surat perjanjian yang dia tanda tangani tadi pagi, seketika itu keraguan dalam hatinya lenyap. Dari mana dirinya mendapat uang sebanyak itu untuk membayar denda?“Kenapa diam? Jawab aku, Clara!” teriak Sebastian.Suara Sebastian menyentakkan Clara, gegas dia menjawab. “Ya, Tuan. Saya ke sana sekarang.”“Bagus, aku tunggu sepuluh menit.” “Apa?”Clara hendak melayangkan protes kepada Sebastian, namun panggilan lebih dulu ditutup. Clara mengumpat dalam hati. Jarak antara rumah sakit dan rumah Sebastian cukup jau
“Tuan,” panggil Clara.“Kamu boleh tidur.” Seolah tidak terganggu dengan suara Clara, Sebastian berkata demikian sembari terus menciumi kain segitiga milik Clara.Bukannya tidur, Clara justru turun dari atas kasur, meraih pakaian miliknya lalu memakainya dengan gerakan yang cepat. Hal itu baru menarik atensi Sebastian.“Kamu mau ke mana, Clara?” tanya Sebastian.“Saya harus kembali ke rumah sakit, Tuan,” jawab Clara.Sebastian menatap jam di dinding. Jarum pendek mengarah pada angka 3 kemudian kembali menatap Clara/“Dini hari begini?” tanya Sebastian heran.“Saya sudah berjanji pada mertua saya untuk menjaga suami saya, jadi saya harus kembali sebelum fajar muncul. Lagi pula saya sudah menunaikan kewajiban saya sesuai keinginan Anda,” ujar Clara. Dia telah selesai berpakain, lantas meraih sling bag miliknya, siap meninggalkan kamar. Akan tetapi, suara Sebastian menghentikan langkahnya.“Tunggu, Clara. Aku akan antar kamu.”Mendengar hal itu, Clara menatap Sebastian dengan tatapan her
Clara seketika tercekat, tangannya refleks menyentuh lehernya. Clara melupakan sesuatu. Saat di rumah Sebastian, dia melihat tanda yang dimaksud oleh Julia. Ini adalah tanda merah yang dihasilkan dari hubungan terlarangnya bersama Sebastian. Dan dengan cerobohnya Clara tanpa sengaja memperlihatkan ini kepada Julia.“Kenapa diam? Kau tidak tuli ‘kan, Clara?” tanya Julia sinis.“Em…ini, aku lupa kalau aku alergi kacang merah, kemarin aku tidak sengaja memakannya,” jelas Clara. Dia tidak percaya bahwa dirinya kini pandai sekali membual.Kening Julia mengkerut. Memperhatikan tanda merah itu dengan teliti.Melihat itu, Clara segera meraih syal dari dalam tas kemudian melingkarkan di leher.“Maaf, Ma. Aku harus pergi bekerja.” Clara segera meraih sling bag miliknya kemudian menyingkir dari hadapan Julia. Clara bahkan tidak sempat berpamitan kepada William. Ini semua gara-gara Julia.Meski suaminya itu tidak bisa melihat dan mendengar, Clara terbiasa meminta izin kepada William sebelum pergi
Clara menatap Sebastian tidak berkedip sedikit pun. Dia terkejut ketika mendengar penuturan Sebastian. Apa yang baru saja pria itu katakan? Hari ini banyak jadwal penting. Akan tetapi pria itu justru ingin membatalkannya.“Tuan, apa maksud Anda?” tanya Clara lagi. Dia seketika menundukkan pandangannya ketika tatapan tajam Sebastian menghujam ke arahnya.“Sudah kukatakan berapa kali? Aku tidak suka mengulang ucapanku!” sergah Sebastian.“Maafkan saya, Tuan.” Clara segera menyadari kesalahannya.“Kemari, Clara!” Sebastian kembali mengulurkan tangan.Clara menatap Sebastian, mencoba mencari tahu maksud dari uluran tangan itu. Sepertinya Sebastian ingin dirinya mendekat. Takut-takut, Clara melangkah maju. Dia menatap tangan Sebastian.Clara menyambut uluran tangan itu, dia tersentak kala tubuhnya ditarik dan tanpa sengaja terjatuh di pangkuan Sebastian. Untuk sesaat, Clara merasa canggung. Apa boleh begini? Ini adalah kantor.“Rambut ini.” Sebastian menyentuh surai panjang milik Clara. “A
Clara sedikit terperangah, meski begitu dia tidak protes kali ini, dia segera mengikuti ke mana langkah Sebastian. Tatapan iri dan tidak suka mengiringi langkah Clara yang kini berjalan di belakang Sebastian. Apa yang Clara pikirkan? Bukankah itu sudah biasa? Jadi Clara tidak perlu memusingkannya.Pasalnya, banyak yang mengincar posisi asisten pribadi. Siapa yang tidak ingin dekat dengan pria tampan seperti Sebastian? Dan asal mereka tahu saja, hal itu tidak akan mudah dilakukan. Tiga tahun Clara menahan diri untuk tidak mengumpati Sebastian. Terlebih beberapa hari terakhir, sikapnya sangat menyebalkan.Meski begitu, Clara harus berterima kasih kepada Sebastian karena telah membantunya. Tidak, dirinya juga sudah memberikan sesuatu yang berharga kepada pria itu yaitu kesuciannya.“Masuk!” Sebastian membukakan pintu mobil untuk Clara.Clara patuh, dan segera masuk.Sebastian menutup pintu mobil, kemudian berjalan memutari kendaraan, mendudukkan dirinya di kursi kemudi. Dia sengaja tidak
Mendengar itu, Leonard dan Sania saling bertukar pandang. Rona kebahagiaan terpancar di wajah keduanya. Bukan hanya sesepuh saja yang menginginkan seorang bayi penerus, Leonard dan sania pun sama halnya. Mereka berdua ingin segera menimang cucu mengingat usia Sebastian yang sudah cukup matang.“Kalau begitu kau setuju untuk menikah?” tanya Sania. Dia tidak sabar untuk menantikan hal semacam itu.Kening Sebastian mengkerut. “Aku tidak bilang akan menikah.”“Lalu?” Leonard menaikkan sebelah alisnya.“Kakek hanya meminta seorang penerus ‘kan. Kalian tenang saja, dalam waktu dekat aku akan memberikannya.” Sebastian berdiri dari duduknya.Sania mendongak menatap putra semata wayangnya dengan tatapan bingung sekaligus khawatir. Dia masih tidak mengerti dengan ucapan Sebastian.“Nak, tolong jelaskan pada Mom. Apa maksudnya dengan memberikan bayi tapi tidak menikah?” tanya Sania.Sebastian menyunggingkan senyumnya. Dia menatap wanita bergelar ibu sejenak lalu melanjutkan langkah meninggalkan
Clara menelan saliva, bayangan permainannya bersama Sebastian berkelebat di kepala Clara. Hal itu mungkin bukan yang pertama lagi bagi Clara. Namun, saat hendak melakukannya lagi, Clara merasa gugup. Tanpa sadar kedua tangan di atas pangkuannya bergetar. Jantung Clara berdegup dengan sangat kencang. Tatapannya yang mengarah pada luar jendela terlihat goyah.Sementara Sebastian terlihat sangat tenang. Raut wajahnya sangat dingin seolah tanpa emosi. Sesekali melirik ke arah samping di mana sang asisten berada. Sebelah sudut bibirnya ditarik ke samping."Ku peringatkan sekali lagi, Clara. Jangan pernah menggunakan hatimu dalam hubungan ini."Mendengar itu, Clara segera tersadar. Bahwa hubungan ini terbangun atas dasar simbiosis mutualisme. Di mana kedua belah pihak saling diuntungkan. Benar yang dikatakan oleh Sebastian, tidak seharusnya dirinya menggunakan perasaan saat berhubungan dengan pria itu.“Tentu saja, Tuan.” Hanya itu yang bisa Clara katakan saat ini.Kendaraan melaju dengan c
Clara refleks mengalungkan kedua tangan pada leher Sebastian ketika tubuhnya diangkat dan digendong. Selanjutnya, tubuhnya dibawa mendekati ranjang kemudian diletakkan dengan sangat hati-hati.Tatapan dalam Sebastian telak menghujam dirinya, Clara segera memejamkan mata, ketika wajah pria itu mendekat ke arahnya sebelum akhirnya mendarat ke area leher jenjang dan tenggelam di sana.Clara mendongak ketika sebuah benda basah menyapu area leher hingga turun ke tulang selangka. Sekuat tenaga Clara berusaha untuk tidak mengeluarkan suara. Bahkan ketika kain penutup busa miliknya dilepas, Clara tetap bungkam.Sebastian menarik diri, kemudian melihat Clara yang memejamkan mata. Kedua tangannya bergerak lincah memainkan ujung buah keranuman yang telah mencuat, sementara bibirnya mulai meraup kasar bibir Clara.“Mppppphhhhh!” Clara tersentak kaget. Dia merasakan indera perasa milik Sebastian mulai menerobos memasuki isi mulutnya.Clara membiarkan Sebastian melakukan apa yang diinginkan. Sement
Malam itu, nyatanya Sebastian ketagihan untuk kembali memainkan sebuah permainan. Dengan semangat, Sebastian mencoba berbagai jenis permainan yang tersedia. Ia memulai dengan permainan dart, di mana ia harus tepat mengenai balon-balon kecil yang digantung.Setelah beberapa kali mencoba, ia berhasil memenangkan hadiah kecil berupa gantungan kunci denga bentuk yang sangat unik dan juga menarik.“Ini untukmu!” Lagi-lagi, Sebastian memberikan hadiah itu kepada Clara dan segera diterima oleh wanita cantik itu.“Terima kasih, Tuan.”Tidak puas hanya dengan itu, Sebastian melanjutkan ke permainan memancing ikan mainan. Dengan hati-hati, ia mengarahkan pancingannya, berusaha menangkap ikan plastik yang terus bergerak di dalam kolam kecil. Tepuk tangan riuh dari Clara terdengar ketika ia berhasil menangkap beberapa ekor ikan sekaligus.Hadiah kali ini berupa bantal berbentuk hati dengan hiasan bulu di tepian bantal. Clara jelas saja menerima hadiah itu dengan senang hati.Permainan terakhir ya
“Apa?” Clara jelas kaget, pantas saja, tempat yang biasanya ramai ini terlihat sangat sepi, hanya ada beberapa penjaga gerai dan wahana yang bertugas. “Tapi kenapa? Bukannya lebih bagus kalau banyak orang, apa lagi anak-anak, pasti akan sangat seru!” ucap Clara.“Tidak, aku lebih suka seperti ini, karena aku tidak suka diganggu,” ujar Sebastian. “Anak-anak sangat berisik,” imbuhnya.Clara mendelik. “Anda tidak suka anak-anak? Ah, kasihan sekali nanti yang menjadi anak Anda,” gerutu Clara.“Tentu saja beda, aku akan menyayangi anakku sendiri dengan sepenuh hati,” kata Sebastian. Clara mencebik tak percaya dan itu membuat Sebastian gemas, diraihnya pinggang wanita itu, kemudian hendak memberikan kecupan.“Tunggu, Tuan. Bagaimana kalau kita naik wahana, ayo…” Clara melepaskan diri dan segera berjalan menjauh Sebastian.Pria itu mendelik. “Awas saja kamu ya, aku akan mendapatkanmu nanti.”Clara tampak sangat bahagia saat berada di pasar malam yang penuh dengan gemerlap lampu dan keceriaan
Bianca kembali ke Jewelry Fashion dengan amarah yang membara. Wajahnya tegang, dan langkah kakinya terdengar berat di lantai. Sesampainya di ruang kerja, ia tidak mampu lagi menahan ledakan emosinya.Dengan penuh emosi, Bianca melampiaskan kemarahannya dengan melempar barang-barang di sekitarnya. Suara benda yang jatuh dan pecah memenuhi ruangan, seolah-olah menggambarkan perasaan yang berkecamuk dalam dirinya.Bianca berdiri dengan tubuh gemetar, matanya memerah menahan luapan emosi yang tak tertahankan. Suaranya menggema di seluruh ruangan saat ia berteriak, meluapkan kemarahan yang telah lama terpendam.Setiap kata yang keluar dari mulutnya menggambarkan betapa dalam perasaan kesalnya, seolah ia tak lagi peduli pada siapa pun yang mendengarkan."Berengsek!" Bianca mengumpat. Sorot matanya berkilat tajam. Wajah Clara kembali berkelebat. Tangannya yang menopang tubuh di atas meja seketika"Wanita itu! Beraninya dia mengambil Bastian dariku!"Selama ini Bianca selalu berpikir bahwa Se
Clara tertegun, nyaris tak percaya mendengar penuturan Sebastian yang begitu mengejutkan. Wajahnya yang semula tenang kini berubah menjadi campuran antara keheranan dan kekagetan.Namun, bukan hanya Clara yang terpaku dalam diam. Bianca, yang duduk tak jauh darinya, turut memperlihatkan raut wajah serupa—mata membulat dan bibir terkatup rapat seolah tak ingin kehilangan satu pun kata yang baru saja terucap.Bahkan, sang asisten yang biasanya tetap tenang dalam situasi apa pun, kini tampak sedikit gelisah, menatap Sebastian dengan sorot mata penuh tanya. Dalam keheningan yang seketika menyelimuti ruangan, setiap orang di sana seolah berusaha mencerna makna di balik kata-kata yang baru saja diutarakan.Clara menatap Bianca dengan canggung, pandangannya sejenak ragu-ragu sebelum akhirnya bertemu dengan mata wanita itu. Ada sesuatu yang menggantung di udara, sesuatu yang tak terucap namun terasa begitu nyata.Ia mencoba mengulas senyum tipis, tetapi senyum itu terasa kaku, nyaris tidak tu
Tatapan Sebastian melebar sempurna. Wanita cantik yang kini berdiri di hadapannya ini tidak asing. Dirinya sudah pernah bertemu beberapa kali di masa kini. Dan terlalu sering di masalalu. Bahkan bisa dibilang Sebastian sangat bosan melihatnya.Sebastian menatap Bianca dengan sorot mata yang tenang dan tanpa ekspresi, seolah berusaha menyembunyikan isi hatinya. Di tengah keheningan yang melingkupi mereka, tatapan itu berbicara lebih banyak daripada kata-kata yang tak terucap.Bianca, yang berdiri di hadapannya, merasakan ada sesuatu yang tak terjangkau dalam tatapan tersebut, namun ia memilih untuk tetap diam, menunggu penjelasan yang mungkin tak pernah datang dengan senyum yang begitu menantang."Ini bukan perusahaanmu, alangkah baiknya kamu mengetuk pintu dulu!" tegur Sebastian dengan nada dingin."Ouh, Maafkan saya, Pak Bastian, mungkin karena saya terlalu bersemangat," ujar Bianca dengan senyum ramah yang terkesan dibuat-buat. "Mungkin karena aku merindukan tempat ini," imbunya lag
Sebastian mengangkat Clara dengan lembut dan membawanya menuju sofa yang terletak di ruang tengah. Dengan hati-hati, ia menempatkan Clara di atas sofa tersebut, memastikan agar wanita itu merasa nyaman. Tatapan mereka saling bertemu dalam diam. Mata mereka berbicara lebih dari sekadar kata-kata, menyampaikan perasaan yang mendalam dan penuh makna. Setiap pandangan yang mereka tukar mengandung kerinduan yang tak terucapkan, seolah-olah dunia di sekitar mereka menghilang, hanya ada keduanya dalam kesunyian yang penuh harapan.Clara merasakan detak jantungnya semakin cepat saat Sebastian menatapnya dengan tatapan penuh emosi. Ada begitu banyak yang ingin mereka ungkapkan, namun kata-kata terasa tak cukup untuk menggambarkan apa yang ada di dalam hati mereka. Sebuah perasaan yang sudah lama terpendam kini muncul kembali, seakan tak mampu lagi untuk disembunyikan.Sebastian pun merasakan hal yang sama. Ia tak bisa mengalihkan pandangannya dari Clara, seolah segala kekhawatirannya hilang d
Clara berdiri, pandangannya kosong sejenak, seolah terhanyut dalam ingatan yang tiba-tiba muncul begitu saja. Adegan-adegan lama itu kembali datang, seperti film yang diputar ulang dalam pikirannya.Waktu itu, semuanya terasa begitu nyata, begitu dekat. Tapi sekarang, semua itu hanya kenangan samar yang melayang di udara. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir bayang-bayang masa lalu.Kemudian, matanya bertemu dengan mata Sebastian yang sedang menatapnya, tajam dan penuh arti. Ada sesuatu dalam pandangannya yang membuat Clara merasa seperti dunia ini tiba-tiba berhenti berputar.Semuanya menjadi hening sejenak, seolah waktu tak lagi berjalan. Hati Clara berdebar, dan dia tahu, ada sesuatu yang tak bisa dia hindari. Dia tak bisa terus lari dari kenyataan, dari perasaan yang telah lama terkubur.“Ini tidak mungkin!” Clara merasa ini sangat mustahil. Insting Clara begitu kuat Sebastian adalah teman masa lalunya itu. Teman yang belum sempat dia tanyakan namanya.Sebastian terseny
Clara seketika tercengang. Langkahnya ternundur beberapa langkah. Bagaimana mungkin? Sejak kapan? Dan mengapa? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul di benak Clara. Manik indahnya menyusuri setiap bingkai berukuran besar yang menggantung di setiap sudut dinding. Nyaris tidak ada ruang kosong, semua terisi dengan bingkai dengan ukuran yang berbeda-beda.Yang membuat Clara terkejut adalah, dalam bingkai tersebut terdapat foto seorang wanita yang mirip sekali dengan dirinya. Clara menggeleng, tidak! Itu memang dirinya, bukan orang lain.Clara terus memperhatikan setiap bingkai yang tertatata dengan rapi itu. Dilihat dari pose dalam potret tersebut, diambil secara diam-diam. Clara memperhatikan salah satu foto di mana dirinya baru pertama kali bekerja di Abraham Group.Foto itu diambil tiga tahun yang lalu. Itu artinya Sebastian sudah memperhatikan dirinya selama itu. Namun sekali lagi yang menjadi pertanyaan adalah mengapa?Dari sekian banya foto di dinding, ada satu bingkai yang berisi foto
Sebastian segera menegakkan tubuhnya, kemudian berdeham. Gerakan tangannya begitu cepat membenahi jasnya. Sebastian terlihat salah tingkah, namun, pria itu selalu bisa menguasai dirinya dan kembali bersahaja.“Lain kali kalau masuk ketuk pintu dulu!” protes Sebastian.“Maafkan saya, Tuan.” Andrew membungkukkan tubuhnya sejenak. “Kalau begitu akan saya ulangi.”Andrew menatap pelayan di dekatnya dan memberi kode untuk membawa kembali troli makanan ke depan pintu. Namun, Sebastian lebih dulu menyela."Hentikan, bawa kemari makanannya!" titahnya."Baik, Tuan."Ini kedua kalinya Clara dirawat oleh Sebastian. Alih-alih menyuruh pelayan mengurus dirinya, Sebastian justru turun tangan sendiri. Sempat merasa tidak enak hati, namun Clara sendiri juga tidak bisa protes. Semua dilakukan atas keinginan Sebastian, jadi tidak ada salahnya Clara menerimanya. "Setelah ini minum obat lalu beristirahat," tegur Sebastian."Baik, Tuan."Clara belum pernah merasa diperhatikan seperti ini. Ketika diri