Ziyon dan kedua rekannya tertawa puas, suara mereka menggema di antara dinding tebing yang curam. Tawa itu bukan sekadar luapan kegembiraan, melainkan ejekan yang menyayat—sebuah perayaan atas keberhasilan mereka menyingkirkan Dareen. Dari atas tebing, mereka menyaksikan tubuh pria malang itu terjatuh, kemudian lenyap ditelan deburan ombak yang ganas. Tidak ada rasa bersalah, tidak pula keraguan. Yang tersisa hanyalah kesombongan, seolah mereka baru saja menuntaskan misi penting tanpa cela. "Mampus kamu, Dareen." Senyum jahat terukir di bibir Ziyon ketika tatapannya mengarah pada riak air, titik di mana Dareen baru saja menghilang. Kepuasan, kemenangan tampak terlihat di wajah tampan pria itu. Meski bukan kemenangan sepenuhnya, sebab dirinya tidak mendapatkan apa-apa, hanya sebuah luapan kemarahan akibat apa yang terjadi pada dirinya. Hidupnya hancur dan itu semua karena Dareen. Selanjutnya, Ziyon memiliki rencana untuk membalas pada Sebastian, tetapi dia harus memikirkan rencana
Sebastian seketika menarik napas panjang begitu berhasil muncul ke permukaan air. Udara segar segera memenuhi paru-parunya yang terasa seolah hampir meledak akibat kekurangan oksigen. Dengan tubuh yang basah kuyup dan napas terengah-engah, dia mengusap wajahnya yang dipenuhi air asin. Rasa perih segera menusuk kedua matanya, namun dia tidak memedulikannya. Pandangannya segera tertuju pada sosok yang tak sadarkan diri di dekatnya. Pegangannya sangat erat pada kerah pakaian Dareen. mencoba mempertahankan agar tak terlepas. "Menyusahkan saja!" gerutunya. Meski begitu, Sebastian melanjutkan usahanya menyelamatkan Dareen. Tanpa membuang waktu, Sebastian segera menarik tubuh Dareen yang terasa berat akibat pakaian basah dan beban tubuh yang lemas. Arus laut masih berusaha menarik keduanya kembali ke tengah, tetapi Sebastian bertahan, menolak menyerah. Dengan segenap tenaga, ia menyeret tubuh Dareen menuju tepian. Setiap langkah di dalam air yang dalam dan berarus kuat terasa seperti mel
Beberapa jam yang lalu. Sebastian menggeser kursinya mendekati Clara. Mencondongkan tubuhnya, ke arah istrinya, mengikis jarak yang tersisa, hingga menyisakan setengah jengkal saja. Wanita itu mengernyitkan dahi, dia dapat merasakan hangatnya deru napas Sebastian yang teratur. Aroma parfum maskulin yang begitu kuat, memikat. Beradu dengan aroma minyak rambut yang sedikit slowly. "Sudah sepi," katanya dengan nada dengan. Clara mengerutkan alis. Dia dapat melihat dua iris milik suaminya menjelajahi setiap jengkal tubuhnya. Hal yang mampu membungkam Clara dari kata-kata yang akan terucap, meski begitu dia tidak diam begitu saja. "Kamu sungguh ingin melakukannya di sini? Di tempat terbuka seperti ini?" tanya Clara tak kalah tenang. Mencoba menyamakan dengan sikap suaminya."Kita bahkan pernah melakukannya di sungai," pungkasnya seolah mematahkan ucapan Clara. Ingatan beberapa bulan yang lalu kembali mencuat. Di mana dirinya dan Sebastian berjalan-jalan di hutan area Mansion. Bermain
Kedua tangan Sebastian mengepal kuat di atas pahanya, menandakan amarah yang bergejolak dalam dirinya. Rahangnya mengeras, dan sorot matanya semakin dingin serta tajam, seolah mampu menembus dinding di hadapannya. Dia mendengarkan penjelasan Ramon dengan saksama, namun setiap kata yang terdengar justru menambah bara dalam dadanya.Meskipun hubungan antara dirinya dan Dareen tidak bisa dikatakan dekat, kabar bahwa pria itu menerima ancaman pembunuhan membuat Sebastian tidak bisa tinggal diam. Bukan hanya karena rasa kemanusiaan, tetapi juga karena dirinya merasa tanggung jawab untuk memastikan tidak ada satu pun yang celaka meski itu adalah Dareen si pria menyabalkan. Dia menatap lurus ke depan, diam-diam menyusun langkah berikutnya. "Jadi Ziyon sekarang berubah menjadi seorang kriminal?" Sebastian menatap Ramon dengan sorot mata tajam. Meski amarah Sebastian bukan ditujukan pada dirinya. Tetap saja Ramon merasa bergidik. Namun, dia mencoba bersikap tenang. "Ziyon tidak sendirian,
Tiba di tempat tujuan, Ramon memarkirkan kendaraannya sedikit jauh, dan tersembunyi di balik semak-semak. Setelah kendaraan benar-benar berhenti, Sebastian segera turun. Dia melihat kendaraan lain terparkir tak jauh dari kendaraan miliknya. "Sepertinya itu mobil Ziyon!" Sebastian menyipitkan matanya. "Anda benar, Tuan." Sebastian dan Ramon segera mengubah arah langkah mereka, memilih menyusuri jalur alternatif yang terletak di sisi lain kawasan pantai tersebut. Mereka bergerak dengan penuh kehati-hatian di atas karang-karang tajam dan terjal, menjaga keseimbangan di setiap pijakan agar tidak tergelincir. "Hati-hati, Tuan!" Ramon mengingatkan. Sebastian merespon ucapan asistennya dengan sebuah anggukan. Dalam situasi seperti ini, Sebastian tampak lebih tangguh dan percaya, satu hal yang membuat Ramon takjub pada atasannya itu. Keduanya melanjutkan langkah. Tujuan mereka adalah mencapai bagian tebing yang lebih rendah, tempat yang memungkinkan mereka mengamati situasi tanpa terde
Setelah melalui serangkaian perawatan intensif dan observasi ketat dari tim medis, kondisi Dareen perlahan menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Wajahnya yang semula pucat kini mulai bersemu, dan napasnya pun terdengar lebih teratur. Beberapa hari berlalu dalam keheningan ruang perawatan, hingga akhirnya, pada suatu pagi yang tenang, kelopak matanya perlahan terbuka.Cahaya lampu yang menyusup dari langit-langit menyilaukan pandangannya, namun dalam hitungan detik, potongan-potongan ingatan yang sempat terpendam mulai bermunculan ke permukaan kesadarannya.Dia mengingat sensasi dinginnya air laut, tekanan yang menyesakkan di dadanya, serta keputusasaan yang menyeretnya nyaris tenggelam dalam kegelapan.Namun, dari kegelapan itulah muncul sesosok bayangan samar yang menarik tubuhnya ke permukaan. Sosok itu tampak kuat, sigap, dan penuh tekad. Ketika gambaran itu menjadi lebih jelas, Dareen tercekat. Sosok penyelamat itu bukanlah orang asing—melainkan Sebastian Abraham, pria yang selama
Sania perlahan berdiri dari duduknya, gerakan tubuhnya tampak tegas dan penuh tekanan. Sorot matanya yang tajam serta ekspresi wajah yang mengeras mencerminkan amarah yang sulit dia sembunyikan. Wajah cantiknya yang biasanya memancarkan keteduhan, kini berubah dingin dan penuh ketegangan. Rahang kecil wanita itu mengeras. Terlebih ketika melihat, Louis turun dari kendaraan. Hubungannya dengan kedua adik iparnya, termasuk Louis, memang tidak pernah terjalin secara harmonis. Meski terikat oleh hubungan keluarga, ikatan batin di antara mereka nyaris tak ada. Banyak perbedaan prinsip dan konflik masa lalu yang belum sepenuhnya terselesaikan, membuat hubungan itu terasa kaku dan sarat ketegangan.Kehadiran Louis di rumah besar keluarga Abraham bukanlah sesuatu yang dia harapkan, bahkan cenderung mengusik ketenangannya. Bagi Sania, Louis adalah simbol dari keretakan yang selama ini dia hindari. Maka tak heran jika kemunculannya kembali memicu gejolak emosi yang telah lama dia tekan.Area
Belum sepenuhnya hilang keterkejutan Clara atas kondisi Lucia yang memprihatinkan, kini ia kembali dikejutkan oleh pernyataan mendadak yang meluncur dari bibir Louis, pamannya. Suasana yang semula hening dan dipenuhi rasa iba, mendadak berubah tegang.Clara terbelalak. Matanya membesar, wajahnya seketika pucat. Jantungnya berdegup lebih cepat, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. "Dareen… diculik?" ulangnya dengan suara nyaris berbisik, seperti mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa ia tidak salah dengar.Ia melangkah satu langkah ke depan, menatap Louis dengan tatapan tak percaya. “Apa yang Paman maksud? Siapa yang menculiknya? Kapan itu terjadi?” Suaranya mulai gemetar, campuran antara kekhawatiran, ketakutan, dan kebingungan.Sania pun tak kalah terkejut. Dia mengerutkan dahi, mencoba mencerna informasi yang begitu tiba-tiba. Segalanya terasa kabur—seolah-olah waktu berhenti sejenak.Sementara itu, Louis hanya menghela napas panjang, seolah menyadari bahwa penga
Keesokan harinya, suasana rumah keluarga Abraham tetap dipenuhi semangat baru. Matahari pagi menyinari halaman luas, membelai kebun kecil tempat Kaisar biasa bermain. Burung-burung berkicau riang seolah turut merayakan kebahagiaan keluarga itu.Sebastian duduk di teras bersama Maxime, sambil menyeruput kopi hangat. Kaisar berlari-lari kecil di halaman, diawasi oleh Clara dan Lucia yang duduk di ayunan."Kaisar benar-benar menjadi pusat dunia kita sekarang," ujar Maxime, matanya tidak pernah lepas dari cucu buyut kecilnya itu.Sebastian tersenyum bangga. "Dia anugerah terbesar kami, Kek. Kami ingin membesarkannya dengan nilai-nilai yang sudah Kakek ajarkan."Maxime mengangguk pelan. Ia tahu, Sebastian bukan hanya berkata-kata. Ia melihat sendiri bagaimana putranya itu kini menjadi sosok pemimpin keluarga yang kuat namun penuh kasih."Kau tahu, Sebastian," kata Maxime setelah beberapa saat hening. "Aku sempat khawatir, ketika dulu semua terasa begitu kacau... Aku takut keluarga ini akan
Keesokan paginya, Sebastian dan Clara kembali mengunjungi rumah sakit. Mereka membawa beberapa barang kesukaan Maxime, seperti selimut hangat, buku bacaan, dan foto-foto keluarga yang telah dipilih Clara semalam. Mereka ingin membuat ruangan rawat Maxime terasa lebih nyaman, lebih seperti rumah.Ketika mereka memasuki ruangan, Maxime tampak sudah jauh lebih segar. Pipi tuanya mulai bersemu merah, matanya tampak berbinar meski tubuhnya masih tampak rapuh."Kakek!" seru Kaisar kecil yang diajak serta. Dengan langkah kaku, balita itu berlari menuju ranjang Maxime.Maxime tertawa kecil, suaranya serak. Ia membuka kedua lengannya. "Kemarilah, jagoan kecilku," katanya lembut.Kaisar memanjat ke atas ranjang dengan bantuan Clara, lalu memeluk Maxime erat-erat. Pemandangan itu membuat Sebastian dan Clara tersenyum haru."Terima kasih kalian sudah datang," ujar Maxime lirih, menatap Sebastian dan Clara dengan penuh kebanggaan."Kami selalu di sini untuk Kakek," jawab Sebastian, mengambil kursi
Satu tahun berlalu, kehidupan keluarga besar Abraham terus dipenuhi dengan kebahagiaan dan keberkahan. Sejak penggabungan resmi antara Abraham Group dan Diamond Company, kedua perusahaan itu tumbuh pesat menjadi satu kekuatan bisnis yang mengagumkan. Di bawah kepemimpinan Sebastian Abraham yang penuh dedikasi, berbagai pencapaian baru terus diraih, mengukuhkan nama Abraham Group sebagai salah satu perusahaan terkuat di negara itu.Sebastian sendiri kini semakin disibukkan dengan berbagai agenda bisnis. Namun, di sela kesibukannya, ia tidak pernah melupakan keluarganya. Kaisar, putra kecilnya yang kini berusia dua tahun, menjadi sumber semangat baru dalam hidupnya dan Clara.Sementara itu, Dareen menunjukkan perkembangan yang luar biasa. Dengan kerja keras dan ketekunan yang tidak pernah surut, ia akhirnya dipercaya oleh Sebastian untuk naik jabatan menjadi seorang manajer. Kenaikan itu bukan semata-mata karena hubungan keluarga, melainkan murni atas kegigihan dan kerja keras yang tela
Minggu-minggu berlalu sejak kepulangan mereka dari Swiss. Kenangan manis liburan itu masih hangat membekas dalam ingatan mereka. Foto-foto perjalanan dipajang di ruang keluarga, Kaisar bahkan masih tidur dengan Luzie, boneka sapi kecil yang kini menjadi sahabat tidurnya.Sejak liburan itu, Clara dan Sebastian mulai menerapkan kebiasaan baru yang mereka sepakati: satu akhir pekan setiap bulan sebagai “Hari Keluarga.” Hari itu menjadi waktu khusus yang tidak boleh diganggu oleh pekerjaan, urusan luar, ataupun janji sosial lainnya. Mereka hanya akan bertiga, melakukan apa pun yang mereka sepakati bersama.Pada bulan pertama, mereka memilih mengunjungi kebun stroberi di daerah Puncak. Kaisar begitu gembira bisa memetik buah sendiri, sementara Clara dan Sebastian duduk di bawah pohon rindang sambil bercakap-cakap santai.“Sebastian,” ujar Clara saat mereka duduk di tikar piknik, “aku merasa sangat beruntung. Bukan karena kita pernah ke Swiss, atau punya rumah yang nyaman. Tapi karena kamu
248. Keesokan paginya, cahaya matahari musim dingin menyelinap lembut melalui jendela besar kamar hotel mereka. Clara terbangun lebih dulu. Ia bangkit perlahan, membiarkan Kaisar dan Sebastian masih terlelap di bawah selimut hangat. Ia berdiri di balkon, memandangi danau yang tenang, permukaannya memantulkan warna langit dan puncak-puncak bersalju.Tak lama kemudian, Sebastian keluar dari kamar mandi dengan rambut masih basah dan senyum di wajahnya. “Selamat pagi, nyonya Sebastian,” ujarnya sambil memeluk Clara dari belakang.Clara tertawa kecil. “Selamat pagi juga, tuan romantis. Si kecil masih tidur?”“Masih. Tapi kurasa tidak lama lagi. Bau sarapan khas Swiss di restoran bawah pasti akan membuatnya bangun,” jawab Sebastian.Mereka pun bersiap untuk menjelajahi hari terakhir liburan mereka. Rencana hari itu cukup sederhana: menikmati sarapan di hotel, lalu berjalan santai di sekitar danau Lucerne sebelum mengunjungi sebuah desa kecil di pegunungan yang terkenal dengan kerajinan tan
247. Clara dan Sebastian kembali menjalani kehidupan mereka yang normal, jauh dari gejolak emosi yang sempat menguji rumah tangga mereka. Kaisar tumbuh sehat dan ceria, menjadi pusat perhatian serta cinta di rumah itu.Setiap akhir pekan, mereka kerap mengunjungi perkebunan milik kedua orang tua Clara yang terletak di dataran tinggi. Perkebunan itu luas dan terawat, penuh dengan tanaman teh dan bunga-bunga yang tumbuh rapi. Udara di sana selalu segar, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang baru disiram embun pagi. Di tempat itulah Clara merasa paling damai.Meski kesibukan kerja kembali menyita waktu Sebastian, ia tidak pernah melewatkan waktu berkualitas bersama keluarganya. Ia menyadari bahwa kebahagiaan rumah tangganya tidak bisa dibeli dengan kesuksesan semata. Oleh sebab itu, setelah melalui berbagai pertimbangan, Sebastian merancang satu rencana besar—liburan untuk mereka bertiga. Bukan liburan singkat ke luar kota, tetapi sebuah perjalanan ke luar negeri. Ia ingin memberi
246. Beberapa minggu berlalu sejak pertemuan sore itu di taman. Hubungan antara Sebastian dan William mulai menemukan bentuk baru. Bukan sebagai rival, melainkan sebagai dua pria dewasa yang memilih saling menghargai, meskipun di masa lalu mereka berdiri di sisi yang berbeda. Kaisar, yang masih terlalu kecil untuk memahami kompleksitas hubungan orang dewasa, menerima kehadiran keduanya dengan gembira. Baginya, selama ada cinta dan perhatian, ia merasa utuh.Clara menyadari perubahan ini dengan rasa syukur. Bagi seorang ibu, tidak ada yang lebih melegakan daripada melihat anaknya dikelilingi kasih sayang, tanpa harus menjadi korban perselisihan orang dewasa. Namun di balik ketenangan itu, Clara tetap waspada. Ia tahu luka di hati William mungkin masih menganga, dan bisa saja berdarah kembali sewaktu-waktu.Suatu pagi yang cerah, Sebastian bersiap-siap untuk berangkat ke kantor. Ia mengenakan jas abu-abu rapi, sambil merapikan dasi di depan cermin. Clara masuk ke kamar membawa secangki
244Langkah kaki William terasa berat saat meninggalkan rumah Clara. Matahari mulai condong ke barat, memantulkan cahaya oranye yang suram di sepanjang jalan. Udara sore terasa pengap, seperti menyesakkan dadanya yang sudah lebih dulu penuh oleh kemarahan dan penyesalan.Ia mengemudi tanpa arah. Jalanan tampak kabur di matanya, bukan karena cuaca, melainkan oleh pikiran yang kacau. Kata-kata Clara tadi terus terngiang-ngiang di telinganya:“Kamu sendiri yang memilih jalan itu.”Ia tahu itu benar. Ia yang meninggalkan Clara, meninggalkan rumah, meninggalkan semua yang pernah dibangun bersama. Tapi saat itu, ia merasa tidak punya pilihan. Tekanan pekerjaan, pertengkaran kecil yang terus membesar, dan rasa tidak percaya diri sebagai suami membuatnya menjauh. Ia berpikir, dengan pergi, semuanya akan membaik.Ternyata tidak. Sejak berpisah, kehidupannya justru kosong. Ia mencoba menjalin hubungan baru, tapi tidak ada yang terasa seperti Clara. Bahkan saat bersama orang lain, pikirannya sel
243Sebastian duduk di beranda rumah mertuanya dengan perasaan lega bercampur haru. Hari itu adalah hari yang telah lama ia nantikan. Setelah sekian lama membuktikan ketulusan dan kesungguhannya, akhirnya restu yang selama ini terasa jauh kini datang mendekat. Richard dan Mariana—kedua orang tua Clara—akhirnya menerima Sebastian sebagai menantu mereka sepenuhnya.Perjalanan menuju titik ini bukan hal yang mudah. Sejak menikahi Clara, Sebastian harus menghadapi pandangan sinis dari Richard yang masih belum sepenuhnya bisa menerima kehadiran pria lain menggantikan posisi William, mantan suami anaknya. Mariana pun, meskipun lebih lembut dalam bersikap, tetap menunjukkan jarak.Namun Sebastian tidak pernah menyerah. Ia datang setiap minggu, membantu apa pun yang ia bisa di rumah orang tua Clara. Ia tak pernah mengeluh saat disuruh memperbaiki keran bocor atau ikut memanen sayur di kebun belakang. Ia bersabar saat omongan Richard menusuk harga dirinya. Ia melakukan semua itu bukan demi puj