Clara berdiri di ambang pintu, mengantar suaminya yang hendak pergi bekerja. Ini adalah tradisi rutin. Sebelum berangkat ke kantor, Sebastian harus mendapat kecupan dari istrinya. Menurut pria itu, hal tersebut dapat meningkatkan kualitas kinerja otaknya. Meski Clara tidak benar-benar menganggapnya sebagai sesuatu yang benar. Namun, dirinya tetapi memberikannya. "Mungkin aku akan terlambat, kamu tidur saja. Jangan menungguku!" Sebastian memberitahu. Clara mengulas senyum. Tangannya terulur mengencangkan ikatan dasi suaminya kemudian berkata, "Baiklah!" Satu kecupan diberikan di bibir, hidung, mata dan juga dahi. Setelah mendapatkan apa yang dia inginkan, Sebastian segera melesat memasuki mobil. Lambaian tangan mengiringi kendaraan hitam itu, bergerak menuju pintu gerbang raksasa. Setelah memastikan kendaraan suaminya menghilang dari pandangan, Clara hendak melangkah masuk ke dalam rumah. Namun, langkahnya terhenti ketika suara deru mesin kendaraan terdengar semakin mendekat.
Ziyon menyunggingkan senyum tipis, seolah menikmati setiap detik keterkejutan yang tergambar jelas di wajah Dareen. Ekspresi itu begitu tenang, namun menyimpan makna yang sulit ditebak. Sorot matanya menyipit, bukan karena cahaya atau kelelahan, melainkan karena tarikan sudut bibirnya yang membentuk senyum dingin dan penuh perhitungan. Tatapan Ziyon tajam, menusuk, seakan ingin menyelami isi pikiran Dareen yang masih berusaha memahami situasi. Dia berdiri tegak, penuh percaya diri, menunjukkan bahwa Dia mengendalikan keadaan sepenuhnya. Dalam diamnya, senyum itu seolah berkata bahwa semua telah direncanakan dengan cermat—dan kini waktunya bagi Dareen untuk menyadari kenyataan yang tak terelakkan. "Kenapa? Kaget?" ejek Ziyon. Tatapannya yang semua dingin kini berubah tajam dan gelap, penuh dengan rencana yang Dareen sendiri tidak tahu tujuannya. Dareen membeku untuk beberapa saat. Berusaha mencerna sebuah sebab akibat dari kejadian yang terjadi saat ini. Mengapa Ziyon sampai ber
Sania yang datang hari itu akhirnya membantu menyusun mainan tersebut, menyortir, mengelompokkan mainan sesuai dengan usia. Mainan-mainan tersebut akan disimpan, dan dipakai jika sudah waktunya nanti. Mainan yang dikirimkan Maxime sangat lengkap, bahkan ada yang bisa digunakan saat Kaisar umur 2 tahun nanti. Kaisar sempat terbangun dan meminta Asi. Clara memberikannya sampai tertidur kembali. Setelah Selesai, Clara kembali bergabung bersama Sania yang terlihat sangat antusias mengurus mainan-mainan itu. "Ini banyak sekali, Clara," ucap Sania yang tampak bosan karena sejak tadi tidak kunjung selesai. "Mom benar. Bagaimana jika kita menyumbangkan pada panti asuhan sebagian?" Clara menatap Sania penuh harap. "Itu ide bagus, Clara. Kalau begitu, aku akan menelpon panti asuhan milik kenalanku," ucap Sania antusias. Dalam hati Clara mengucap syukur karena Sania memiliki pemikiran yang sama. Sementara Sania menelpon pemilik panti asuhan. Clara mencoba mengirim pesan pada suaminya. Dia
Dareen tersentak kala Ziyon melempar sesuatu tepat di wajahnya. Benda itu jatuh ke lantai yang kusam setelahnya. Dareen melihat ke bawah, ternyata dua kartu kredit miliknya yang tak berguna. Kemudian Dareen menatap ke arah Ziyon. Wajahnya tampak dipenuhi amarah. Kemungkinan pria itu baru saja menggunakan kartu tersebut. Dan sama seperti dirinya yang dibuat kesal oleh kartu kredit sialan itu. "Sudah kubilang 'kan, kartu itu memang tidak ada isinya." Dareen menertawakan kebodohan Ziyon. Padahal Dareen sudah memberitahu sebelumnya. Akan tetapi, pria itu malah tidak percaya. "Kamu benar-benar membuat aku marah!" teriak Ziyon. Frustasi. Saat mendengar bahwa Dareen bersenang-senang di luar negeri. Dengan segenap harta yang tersisa, Ziyon berniat menyusul, untuk merampas semua yang Dareen miliki. Nyatanya, pria itu tidak memiliki apa-apa. Ziyon tidak bisa menyentuh Sebastian karena dia tidak memiliki kuasa apa pun. Aset dan seluruh harta maupun saham telah habis. Kedua orang tuanya sem
"Mom, kamu mendengarku? Aku diculik!" Dareen berteriak di depan layar ponsel yang disodorkan Ziyon ke arahnya. Tidak ada jawaban. Hening. Selanjutnya hanya terdengar suara seseorang berteriak dari kejauhan. "Lucia, Sadarlah!" Itu suara Louis, ayahnya. Wajah Dareen menegang. Apa yang dikatakan oleh ayahnya barusan? Mengapa sang ayah berteriak? Dan Mengapa dia meminta sang ibu untuk sadar? Apa yang terjadi? Apa ibunya sedang pingsan? Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi isi kepala Dareen. Sampai membuatnya ingin meledak. Wajahnya yang ketakutan semakin pucat dengan sudut bibirnya yang pecah dihiasi darah yang telah mengering. "Dad! Jawab aku!" pekik Dareen dengan raut wajah penuh kekhawatiran. Tidak ada jawaban. Dareen menatap layar ponsel. Panggilan masih berlangsung. Ziyon mengamati Dareen, sebelah sudut bibirnya ditarik ke samping. Detik selanjutnya, dia menjauhkan ponsel itu dari Dareen. "Sudah cukup!" Ziyon mengakhiri panggilan. Dareen refleks mendongak. Menatap Ziyon yang t
Clara menyunggingkan senyumnya. Jujur saja, Clara merindukan masa-masa ini. Di mana setiap sentuhan Sebastian bagaimana candu baginya. Dia melirik ke arah box bayi. Kaisar tampak lelap dalam tidurnya. Mungkin ini saatnya dirinya menunaikan ibadah suami istri ini. Clara merespon ajakan Sebastian dengan lengan yang dia lingkarkan di leher suaminya. Dia lantas menegakkan tubuhnya. "Aku juga sudah tidak sabar..." Sesaat, ujung hidung lancip keduanya saling bersentuhan. "Kalau begitu, bawa aku ke kamar kita," bisik Clara. Sebastian agak menjauh, menatap istrinya dengan ujung mata yang menyipit. Lantas bibir seksinya, mengulas sebuah senyuman. "Kita belum pernah melakukannya di sini 'kan?" gumamnya lirih. Clara merasakan deru napas hangat menyapu kulit daun telinga. Memunculkan sensasi aneh yang mendebarkan. Dia lantas memandang suaminya. "Jangan di sini, Sayang. Kita bisa mengganggu Kaisar," balas Clara. Saat berhubungan, dirinya cenderung mengeluarkan suara-suara aneh. Sehingga dia
Pagi itu, Clara terbangun lebih lambat dari biasanya. Tubuhnya masih terasa lelah setelah malam panjang yang dihabiskan bersama Sebastian. Begitu matanya terbuka, dia segera menoleh ke sisi tempat tidur, namun tak menemukan sosok suaminya di sana. Pintu kamar mandi dalam keadaan terbuka. Tidak ada tanda kehidupan apa pun. Rasa penasaran mulai merayapi benaknya.Dia bangkit perlahan, berjalan menuju kamar bayi. Namun, Kaisar pun tidak berada di tempat tidurnya. Kegelisahan mulai tumbuh di dalam dada Clara. Tanpa pikir panjang, dia segera menuruni tangga untuk mencari tahu keberadaan mereka.Begitu tiba di lantai bawah, aroma masakan hangat menyambutnya. Clara melihat Sania, ibu mertuanya, sedang sibuk menyusun piring di meja untuk sarapan dibantu beberapa pelayan dan Andrew. Sementara itu, Sebastian duduk di kursi utama ruang makan, tampak tenang sambil menyeruput kopi dengan selembar surat kabar di tangan. Begitu melihat Clara, Sania menghentikan kegiatannya sejenak dan tersenyum l
Rencana terakhir yang terlintas dalam benak Ziyon adalah menghabisi nyawa Dareen. Dia menilai bahwa pemuda itu sudah tidak lagi memiliki nilai guna dalam skema yang telah dia susun. Segala upaya untuk mendapatkan tebusan dari keluarga Dareen berakhir dengan kegagalan, dan setiap menit yang berlalu hanya meningkatkan risiko terungkapnya keberadaan mereka. Dalam pikirannya yang dingin dan penuh perhitungan, Ziyon menyadari bahwa membiarkan Dareen tetap hidup hanya akan menjadi beban. Lebih dari itu, pria muda itu kini menjadi saksi hidup dari seluruh tindakan penculikan yang telah dia lakukan. Maka dari itu, untuk menghapus jejak dan menutup kemungkinan terburuk, Ziyon mengambil keputusan untuk menghabisi Dareen dan membuang jasadnya ke laut agar tidak pernah ditemukan. Sambil menatap ke luar jendela, Ziyon menyinggungkan senyumnya. Kemudian memberi perintah. "Siapkan segala sesuatunya!" Pria bertopeng yang sejak kemarin membantu Dareen melancarkan aksinya kini membuka suara.
Ziyon dan kedua rekannya tertawa puas, suara mereka menggema di antara dinding tebing yang curam. Tawa itu bukan sekadar luapan kegembiraan, melainkan ejekan yang menyayat—sebuah perayaan atas keberhasilan mereka menyingkirkan Dareen. Dari atas tebing, mereka menyaksikan tubuh pria malang itu terjatuh, kemudian lenyap ditelan deburan ombak yang ganas. Tidak ada rasa bersalah, tidak pula keraguan. Yang tersisa hanyalah kesombongan, seolah mereka baru saja menuntaskan misi penting tanpa cela. "Mampus kamu, Dareen." Senyum jahat terukir di bibir Ziyon ketika tatapannya mengarah pada riak air, titik di mana Dareen baru saja menghilang. Kepuasan, kemenangan tampak terlihat di wajah tampan pria itu. Meski bukan kemenangan sepenuhnya, sebab dirinya tidak mendapatkan apa-apa, hanya sebuah luapan kemarahan akibat apa yang terjadi pada dirinya. Hidupnya hancur dan itu semua karena Dareen. Selanjutnya, Ziyon memiliki rencana untuk membalas pada Sebastian, tetapi dia harus memikirkan rencana
Dareen merasakan napasnya kian sesak. Udara di sekelilingnya begitu terbatas, dan kegelapan total menyelimuti penglihatannya. Suasana pengap menyiksa, membuatnya sulit bernapas dengan leluasa. Kain karung yang membungkus tubuhnya menambah tekanan psikologis yang mencekam. Dia hanya bisa meringkuk dalam posisi tidak nyaman, dalam kondisi tangan dan kaki terikat. Dareen tidak tahu ke mana dia akan dibawa.Tubuhnya terasa sempit terjepit, dan setiap gerakan kecil hanya membuat dirinya semakin sulit bernapas. Dia sadar bahwa dirinya telah dimasukkan ke dalam karung, lalu dilemparkan ke dalam bagasi mobil. Suara dentuman pelan dari luar, guncangan kendaraan, serta bau menyengat dari ruang sempit itu membuatnya nyaris kehilangan kesadaran. Di tengah ketidakpastian dan rasa takut yang kian membuncah, Dareen hanya bisa berharap ada keajaiban yang menyelamatkannya dari situasi mengerikan ini."Setelah ini, kita harus segera kembali ke Santoria," kata Jordy yang tampak tidak sabar. Beberapa h
Rencana terakhir yang terlintas dalam benak Ziyon adalah menghabisi nyawa Dareen. Dia menilai bahwa pemuda itu sudah tidak lagi memiliki nilai guna dalam skema yang telah dia susun. Segala upaya untuk mendapatkan tebusan dari keluarga Dareen berakhir dengan kegagalan, dan setiap menit yang berlalu hanya meningkatkan risiko terungkapnya keberadaan mereka. Dalam pikirannya yang dingin dan penuh perhitungan, Ziyon menyadari bahwa membiarkan Dareen tetap hidup hanya akan menjadi beban. Lebih dari itu, pria muda itu kini menjadi saksi hidup dari seluruh tindakan penculikan yang telah dia lakukan. Maka dari itu, untuk menghapus jejak dan menutup kemungkinan terburuk, Ziyon mengambil keputusan untuk menghabisi Dareen dan membuang jasadnya ke laut agar tidak pernah ditemukan. Sambil menatap ke luar jendela, Ziyon menyinggungkan senyumnya. Kemudian memberi perintah. "Siapkan segala sesuatunya!" Pria bertopeng yang sejak kemarin membantu Dareen melancarkan aksinya kini membuka suara.
Pagi itu, Clara terbangun lebih lambat dari biasanya. Tubuhnya masih terasa lelah setelah malam panjang yang dihabiskan bersama Sebastian. Begitu matanya terbuka, dia segera menoleh ke sisi tempat tidur, namun tak menemukan sosok suaminya di sana. Pintu kamar mandi dalam keadaan terbuka. Tidak ada tanda kehidupan apa pun. Rasa penasaran mulai merayapi benaknya.Dia bangkit perlahan, berjalan menuju kamar bayi. Namun, Kaisar pun tidak berada di tempat tidurnya. Kegelisahan mulai tumbuh di dalam dada Clara. Tanpa pikir panjang, dia segera menuruni tangga untuk mencari tahu keberadaan mereka.Begitu tiba di lantai bawah, aroma masakan hangat menyambutnya. Clara melihat Sania, ibu mertuanya, sedang sibuk menyusun piring di meja untuk sarapan dibantu beberapa pelayan dan Andrew. Sementara itu, Sebastian duduk di kursi utama ruang makan, tampak tenang sambil menyeruput kopi dengan selembar surat kabar di tangan. Begitu melihat Clara, Sania menghentikan kegiatannya sejenak dan tersenyum l
Clara menyunggingkan senyumnya. Jujur saja, Clara merindukan masa-masa ini. Di mana setiap sentuhan Sebastian bagaimana candu baginya. Dia melirik ke arah box bayi. Kaisar tampak lelap dalam tidurnya. Mungkin ini saatnya dirinya menunaikan ibadah suami istri ini. Clara merespon ajakan Sebastian dengan lengan yang dia lingkarkan di leher suaminya. Dia lantas menegakkan tubuhnya. "Aku juga sudah tidak sabar..." Sesaat, ujung hidung lancip keduanya saling bersentuhan. "Kalau begitu, bawa aku ke kamar kita," bisik Clara. Sebastian agak menjauh, menatap istrinya dengan ujung mata yang menyipit. Lantas bibir seksinya, mengulas sebuah senyuman. "Kita belum pernah melakukannya di sini 'kan?" gumamnya lirih. Clara merasakan deru napas hangat menyapu kulit daun telinga. Memunculkan sensasi aneh yang mendebarkan. Dia lantas memandang suaminya. "Jangan di sini, Sayang. Kita bisa mengganggu Kaisar," balas Clara. Saat berhubungan, dirinya cenderung mengeluarkan suara-suara aneh. Sehingga dia
"Mom, kamu mendengarku? Aku diculik!" Dareen berteriak di depan layar ponsel yang disodorkan Ziyon ke arahnya. Tidak ada jawaban. Hening. Selanjutnya hanya terdengar suara seseorang berteriak dari kejauhan. "Lucia, Sadarlah!" Itu suara Louis, ayahnya. Wajah Dareen menegang. Apa yang dikatakan oleh ayahnya barusan? Mengapa sang ayah berteriak? Dan Mengapa dia meminta sang ibu untuk sadar? Apa yang terjadi? Apa ibunya sedang pingsan? Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi isi kepala Dareen. Sampai membuatnya ingin meledak. Wajahnya yang ketakutan semakin pucat dengan sudut bibirnya yang pecah dihiasi darah yang telah mengering. "Dad! Jawab aku!" pekik Dareen dengan raut wajah penuh kekhawatiran. Tidak ada jawaban. Dareen menatap layar ponsel. Panggilan masih berlangsung. Ziyon mengamati Dareen, sebelah sudut bibirnya ditarik ke samping. Detik selanjutnya, dia menjauhkan ponsel itu dari Dareen. "Sudah cukup!" Ziyon mengakhiri panggilan. Dareen refleks mendongak. Menatap Ziyon yang t
Dareen tersentak kala Ziyon melempar sesuatu tepat di wajahnya. Benda itu jatuh ke lantai yang kusam setelahnya. Dareen melihat ke bawah, ternyata dua kartu kredit miliknya yang tak berguna. Kemudian Dareen menatap ke arah Ziyon. Wajahnya tampak dipenuhi amarah. Kemungkinan pria itu baru saja menggunakan kartu tersebut. Dan sama seperti dirinya yang dibuat kesal oleh kartu kredit sialan itu. "Sudah kubilang 'kan, kartu itu memang tidak ada isinya." Dareen menertawakan kebodohan Ziyon. Padahal Dareen sudah memberitahu sebelumnya. Akan tetapi, pria itu malah tidak percaya. "Kamu benar-benar membuat aku marah!" teriak Ziyon. Frustasi. Saat mendengar bahwa Dareen bersenang-senang di luar negeri. Dengan segenap harta yang tersisa, Ziyon berniat menyusul, untuk merampas semua yang Dareen miliki. Nyatanya, pria itu tidak memiliki apa-apa. Ziyon tidak bisa menyentuh Sebastian karena dia tidak memiliki kuasa apa pun. Aset dan seluruh harta maupun saham telah habis. Kedua orang tuanya sem
Sania yang datang hari itu akhirnya membantu menyusun mainan tersebut, menyortir, mengelompokkan mainan sesuai dengan usia. Mainan-mainan tersebut akan disimpan, dan dipakai jika sudah waktunya nanti. Mainan yang dikirimkan Maxime sangat lengkap, bahkan ada yang bisa digunakan saat Kaisar umur 2 tahun nanti. Kaisar sempat terbangun dan meminta Asi. Clara memberikannya sampai tertidur kembali. Setelah Selesai, Clara kembali bergabung bersama Sania yang terlihat sangat antusias mengurus mainan-mainan itu. "Ini banyak sekali, Clara," ucap Sania yang tampak bosan karena sejak tadi tidak kunjung selesai. "Mom benar. Bagaimana jika kita menyumbangkan pada panti asuhan sebagian?" Clara menatap Sania penuh harap. "Itu ide bagus, Clara. Kalau begitu, aku akan menelpon panti asuhan milik kenalanku," ucap Sania antusias. Dalam hati Clara mengucap syukur karena Sania memiliki pemikiran yang sama. Sementara Sania menelpon pemilik panti asuhan. Clara mencoba mengirim pesan pada suaminya. Dia
Ziyon menyunggingkan senyum tipis, seolah menikmati setiap detik keterkejutan yang tergambar jelas di wajah Dareen. Ekspresi itu begitu tenang, namun menyimpan makna yang sulit ditebak. Sorot matanya menyipit, bukan karena cahaya atau kelelahan, melainkan karena tarikan sudut bibirnya yang membentuk senyum dingin dan penuh perhitungan. Tatapan Ziyon tajam, menusuk, seakan ingin menyelami isi pikiran Dareen yang masih berusaha memahami situasi. Dia berdiri tegak, penuh percaya diri, menunjukkan bahwa Dia mengendalikan keadaan sepenuhnya. Dalam diamnya, senyum itu seolah berkata bahwa semua telah direncanakan dengan cermat—dan kini waktunya bagi Dareen untuk menyadari kenyataan yang tak terelakkan. "Kenapa? Kaget?" ejek Ziyon. Tatapannya yang semua dingin kini berubah tajam dan gelap, penuh dengan rencana yang Dareen sendiri tidak tahu tujuannya. Dareen membeku untuk beberapa saat. Berusaha mencerna sebuah sebab akibat dari kejadian yang terjadi saat ini. Mengapa Ziyon sampai ber