“Apa?” Clara menatap Sebastian tak percaya.
“Clara, kamu sungguh membuatku kesal!” Kehilangan kesabaran, Sebastian berdiri dari duduknya. Melangkah cepat menghampiri Clara.
Clara termundur ke belakang. “Tuan, Anda mau apa?” tanya Clara takut-takut.
“Diam dan patuh!”
Ucapan Sebastian membuat Clara diam seribu bahasa. Dia hanya bisa pasrah ketika Sebastian melepas simpul tali handuk kimono yang dia kenakan. Detik selanjutnya, kain yang membungkus tubuhnya itu terjatuh ke lantai, menampilkan tubuh seksi menawan Clara yang hanya mengenakan pakaian dalam.
Sebelah sudut Sebastian tertarik ke samping ketika melihatnya. Dia merasa desiran aneh menjalar ke sekujur tubuhnya.
“Sepertinya kamu lebih bagus tanpa mengenakan ini.” Sebastian merengkuh pinggang Clara, dan menarik tengkuk wanita itu lalu mendaratkan kecupan di bibir.
Clara terkesiap, serangan ini begitu mendadak. Meski begitu, dia tidak berniat menolak sentuhan yang Sebastian berikan.
Puas dengan permainan bibir, Sebastian beralih pada anggota tubuh lainnya. Posisi ini membuat Sebastian tidak nyaman. Dia menggiring Clara ke atas kasur dan kembali menyerangnya.
Kali ini dia bermain-main dengan dua buah keranuman milik Clara. Tangan Sebastian memutar, meremas dan memilin. Bagai bayi besar, Sebastian begitu menikmati ujung yang telah mencuat.
Clara meloloskan lenguhannya akibat ulah Sebastian. Tanpa sadar, tangannya meremas rambut Sebastian dan menyebut nama pria itu dengan rintihan penuh kenikmatan.
“Tuan, Sebastian!”
Sebastian telah terkurung hasrat, segera melancarkan aksinya. Kain segitiga yang menutupi area kewanitaan Clara diturunkan, dia segera menyatukan miliknya dengan milik Clara. Saat memasukinya, Sebastian merasakan sesuatu yang sangat mengejutkan.
“Clara, kamu masih perawan?”
Clara terpejam. Air mata Clara lolos begitu saja. Satu-satunya mahkota yang dia jaga hanya untuk sang suami kini terenggut sudah. Meski semua terjadi bukan karena keinginannya. Akan tetapi, Clara tetap merasa bersalah. Rasa sakit akibat area intimnya yang diterobos secara paksa tak sebanding dengan rasa sakit dalam hatinya.
“Mohon pelan sedikit, Tuan.” Clara merasa tubuhnya seolah terbelah.
Sebastian memang sudah bergerak pelan, akan tetapi, ini yang pertama kali bagi Clara. Jelas saja wanita itu akan kesakitan.
Sementara Sebastian merasa terkejut kala mendapati Clara masih virgin saat pertama kali memasukinya. Seperti yang dia tahu, Clara telah menikah satu tahun yang lalu. Siapa sangka wanita itu masih perawan.
“Mppphhhhh!” Suara desahan Clara menggema di ruangan. Tanpa sadar menikmati permainan panas bersama Sebastian. Malam pertama yang seharusnya dia lakukan bersama sang suami, justru dihabiskan bersama pria lain yang tak lain adalah bosnya sendiri.
Yang Clara sesalkan adalah, Clara melakukan semua ini karena uang. Kenyataan bahwa Clara juga menikmatinya membuat Clara mengumpati diri sendiri. Sebagai wanita yang telah bersuami, bohong jika Clara tidak ingin disentuh, namun karena kondisi suaminya yang tidak memungkinkan. Membuat Clara harus menerima sentuhan dari pria lain.
Clara hanyut dalam permainan penuh hasrat hingga melupakan William.
Sebastian mempercepat ritme gerakanannya.
“Ahhhhhh!” suara lenguhan panjang dari bibir keduanya terdengar nyaring sebagai tanda bahwa permainan telah mencapai puncak.
Sebastian merunduk, mengecup kening Clara dan berucap, “Terima kasih, Clara. Aku sangat puas!”
Clara memejamkan mata. Dalam hati menolak perlakuan Sebastian terhadap dirinya, namun reaksi tubuh Clara berbeda. Dia merasa bahwa Sebastian melakukannya dengan sangat lembut dan penuh cinta. Sesuatu yang tidak pernah dia dapatkan dari William, suaminya.
“Besok, kamu pergilah ke dokter obgyn, periksakan kondisi rahimmu, aku ingin kamu segera mengandung anakku!” titah Sebastian.
“Baik, Tuan.” Clara juga berpikir bahwa lebih cepat lebih baik. Mengandung bukanlah hal yang mudah. Clara juga harus berpikir bagaimana cara untuk menghindari kedua orang tua William selama dirinya mengandung anak Sebastian.
Selesai melakukan permainan panas, Clara berpamitan ke kamar mandi. Dia menatap dirinya melalui pantulan di cermin. Jejak kemerahan terlihat nyaris di semua anggota tubuhnya. Dalam sekejap, Clara telah berubah menjadi seorang penghianat.
Bagaimana tidak, suaminya telah berjuang di antara hidup dan mati, tetapi dirinya justru bertukar peluh bersama pria lain, bahkan menerima tawaran untuk mengandung benih pria itu. Clara merasa dirinya benar-benar sangat buruk. Clara juga merasa dirinya telah gagal menjadi istri.
Clara hanya berharap apa yang dia lakukan ini tidak sia-sia. Demi kesembuhan William, dia rela menukar harga dirinya dengan uang.
Sementara di kamar, Sebastian menyunggingkan senyumnya kala melihat noda merah yang terdapat pada sprei tempat tidur, hal itu menandakan bahwa Clara benar-benar masih perawan. Oleh karena itu, Sebastian akan memperlakukan Clara dengan layak sebagai hadiah karena telah memberikan keperawanannya kepada dirinya.
Saat keluar dari kamar mandi, aroma daging panggang menyentuh indera penciuman Clara. Dia tertegun ketika melihat meja telah terisi penuh dengan makanan, dia memandang Sebastian yang sudah mengenakan kembali jubah tidurnya.
Dengan senyum lebarnya Sebastian berkata, “Kemari, ayo makan. Setelah ini kita akan bermain ronde selanjutnya.”
“Apa?”
Clara sedikit kesal saat Sebastian mengatakan ronde selanjutnya. Nyatanya, pria itu memberinya makan hanya untuk digempur habis-habisan. Sepertinya Sebastian memang tidak mau rugi, sehingga dengan pandai memanfaatkan kesempatan ini. “Tuan, izinkan saya memejamkan mata sebentar,” pinta Clara. Dia merasa sangat lelah setelah melayani hasrat Sebastian untuk yang kesekian kalinya. “Baiklah, kamu aku izinkan beristirahat. Setelah itu kita lanjut,” balas Sebastian. Clara tidak peduli dengan ucapan Sebastian dan hanya mengiyakan. Yang terpenting dirinya bisa tidur guna memulihkan tenaganya yang terkuras habis demi melayani Sebastian. Pukul 03.00 dini hari, Clara terbangun karena sebuah sentuhan. Dia membuka mata, dan terkejut melihat Sebastian berada di atas tubuhnya. Wajahnya begitu dekat, seolah-olah ingin memangsa dirinya hidup-hidup. Clara kembali menegang. "Tuan...Anda...!" Clara seolah kehilangan kemampuan bicaranya. Namun, Sebastian justru meresponnya dengan sebuah senyum seri
“Lingerie?” Clara mengernyitkan dahi. Pakaian tembus pandang berwarna merah itu tampak indah, namun, entah mengapa Clara merasa aneh kala melihatnya. “Ya, aku suka melihatmu memakai Lingerie,” ujar Sebastian. Ucapan Sebastian mengingatkan Clara pada kejadian malam-malam sebelumnya. Di mana Sebastian terlihat bernafsu ketika melihat dirinya mengenakan baju tembus pandang ini. Clara memperhatikan sekitar dan melihat Andrew si kepala pelayan yang berdiri di sudut ruangan. Beberapa pelayan wanita juga tampak berlalu lalang, entah mengapa mendengar Sebastian bicara begitu, Clara jadi malu sendiri. “Kamu tenang saja, semua orang yang bekerja di sini telah disumpah untuk tidak membocorkan apa pun yang terjadi di rumah ini.” Seolah tahu isi kepala Clara, Sebastian segera menjelaskan, dan itu membuat kegelisahan di hati Clara menghilang. “Karena kamu sudah melayani aku semalaman, hari ini aku membebaskan kamu dari pekerjaan,” ucap Sebastian. Mendengar hal itu, senyum Clara seketika mel
Clara sudah merasa curiga saat mendapati nama Sebastian di layar ponselnya. Ketika dirinya menjawab panggilan itu, Sebastian menyuruhnya datang. “Sekarang, Tuan?” tanya Clara. “Tahun depan, tentu saja sekarang!" jawab Sebastian yang terdengar ketus. Clara menggigit kecil bibir bawahanya. Dirinya sudah berjanji pada kedua orang tua William untuk bermalam di rumah sakit dan menjaga William. Apa jadinya jika dirinya tiba-tiba pergi? Sesaat, Clara merasa ragu. Namun, saat mengingat surat perjanjian yang dia tanda tangani tadi pagi, seketika itu keraguan dalam hatinya lenyap. Dari mana dirinya mendapat uang sebanyak itu untuk membayar denda? “Kenapa diam? Jawab aku, Clara!” teriak Sebastian. Suara Sebastian menyentakkan Clara, gegas dia menjawab. “Ya, Tuan. Saya ke sana sekarang.” “Bagus, aku tunggu sepuluh menit.” “Apa?” Clara hendak melayangkan protes kepada Sebastian, namun panggilan lebih dulu ditutup. Clara mengumpat dalam hati. Jarak antara rumah sakit dan rumah Sebastian cu
“Tuan." Clara kembali memanggil setelah panggilan pertama tidak menjawab. Sebastian menoleh setelah menenggak pil dan air putih. Clara mengernyitkan dahi. "Tuan minum obat apa?" tanya Clara penasaran. “Kamu tidak perlu tahu, sebaiknya kamu tidur.” Bukannya tidur, Clara justru turun dari atas kasur, meraih pakaian miliknya lalu memakainya dengan gerakan yang cepat. Hal itu baru menarik atensi Sebastian. “Kamu mau ke mana, Clara?” tanya Sebastian. “Saya harus kembali ke rumah sakit, Tuan,” jawab Clara. Sebastian melotot. "Apa? Aku belum selesai, dan aku baru saja minum obat..." Ucapan Sebastian refleks terhenti setelah dia teringat sesuatu. Alis Clara mengkerut. Dia menyadari itu. "Obat apa, Tuan?" Jujur saja, Clara semakin penasaran. Daripada menjawab, Sebastian malah menatap jam di dinding. Jarum pendek mengarah pada angka 3 kemudian kembali menatap Clara/ “Dini hari begini?” Sebastian sengaja mengalihkan topik pembicaraan. “Saya sudah berjanji pada mertua saya untuk
Clara seketika tercekat, tangannya refleks menyentuh lehernya. Clara melupakan sesuatu. Saat di rumah Sebastian, dia melihat tanda yang dimaksud oleh Julia. Ini adalah tanda merah yang dihasilkan dari hubungan terlarangnya bersama Sebastian. Dan dengan cerobohnya Clara tanpa sengaja memperlihatkan ini kepada Julia.“Kenapa diam? Kau tidak tuli ‘kan, Clara?” tanya Julia sinis.“Em…ini, aku lupa kalau aku alergi kacang merah, kemarin aku tidak sengaja memakannya,” jelas Clara. Dia tidak percaya bahwa dirinya kini pandai sekali membual.Kening Julia mengkerut. Memperhatikan tanda merah itu dengan teliti.Melihat itu, Clara segera meraih syal dari dalam tas kemudian melingkarkan di leher.“Maaf, Ma. Aku harus pergi bekerja.” Clara segera meraih sling bag miliknya kemudian menyingkir dari hadapan Julia. Clara bahkan tidak sempat berpamitan kepada William. Ini semua gara-gara Julia.Meski suaminya itu tidak bisa melihat dan mendengar, Clara terbiasa meminta izin kepada William sebelum pergi
Clara menatap Sebastian tidak berkedip sedikit pun. Dia terkejut ketika mendengar penuturan Sebastian. Apa yang baru saja pria itu katakan? Hari ini banyak jadwal penting. Akan tetapi pria itu justru ingin membatalkannya.“Tuan, apa maksud Anda?” tanya Clara lagi. Dia seketika menundukkan pandangannya ketika tatapan tajam Sebastian menghujam ke arahnya.“Sudah kukatakan berapa kali? Aku tidak suka mengulang ucapanku!” sergah Sebastian.“Maafkan saya, Tuan.” Clara segera menyadari kesalahannya.“Kemari, Clara!” Sebastian kembali mengulurkan tangan.Clara menatap Sebastian, mencoba mencari tahu maksud dari uluran tangan itu. Sepertinya Sebastian ingin dirinya mendekat. Takut-takut, Clara melangkah maju. Dia menatap tangan Sebastian.Clara menyambut uluran tangan itu, dia tersentak kala tubuhnya ditarik dan tanpa sengaja terjatuh di pangkuan Sebastian. Untuk sesaat, Clara merasa canggung. Apa boleh begini? Ini adalah kantor.“Rambut ini.” Sebastian menyentuh surai panjang milik Clara. “A
Clara sedikit terperangah, meski begitu dia tidak protes kali ini, dia segera mengikuti ke mana langkah Sebastian. Tatapan iri dan tidak suka mengiringi langkah Clara yang kini berjalan di belakang Sebastian. Apa yang Clara pikirkan? Bukankah itu sudah biasa? Jadi Clara tidak perlu memusingkannya.Pasalnya, banyak yang mengincar posisi asisten pribadi. Siapa yang tidak ingin dekat dengan pria tampan seperti Sebastian? Dan asal mereka tahu saja, hal itu tidak akan mudah dilakukan. Tiga tahun Clara menahan diri untuk tidak mengumpati Sebastian. Terlebih beberapa hari terakhir, sikapnya sangat menyebalkan.Meski begitu, Clara harus berterima kasih kepada Sebastian karena telah membantunya. Tidak, dirinya juga sudah memberikan sesuatu yang berharga kepada pria itu yaitu kesuciannya.“Masuk!” Sebastian membukakan pintu mobil untuk Clara.Clara patuh, dan segera masuk.Sebastian menutup pintu mobil, kemudian berjalan memutari kendaraan, mendudukkan dirinya di kursi kemudi. Dia sengaja tidak
Mendengar itu, Leonard dan Sania saling bertukar pandang. Rona kebahagiaan terpancar di wajah keduanya. Bukan hanya sesepuh saja yang menginginkan seorang bayi penerus, Leonard dan sania pun sama halnya. Mereka berdua ingin segera menimang cucu mengingat usia Sebastian yang sudah cukup matang.“Kalau begitu kau setuju untuk menikah?” tanya Sania. Dia tidak sabar untuk menantikan hal semacam itu.Kening Sebastian mengkerut. “Aku tidak bilang akan menikah.”“Lalu?” Leonard menaikkan sebelah alisnya.“Kakek hanya meminta seorang penerus ‘kan. Kalian tenang saja, dalam waktu dekat aku akan memberikannya.” Sebastian berdiri dari duduknya.Sania mendongak menatap putra semata wayangnya dengan tatapan bingung sekaligus khawatir. Dia masih tidak mengerti dengan ucapan Sebastian.“Nak, tolong jelaskan pada Mom. Apa maksudnya dengan memberikan bayi tapi tidak menikah?” tanya Sania.Sebastian menyunggingkan senyumnya. Dia menatap wanita bergelar ibu sejenak lalu melanjutkan langkah meninggalkan
Ziyon dan kedua rekannya tertawa puas, suara mereka menggema di antara dinding tebing yang curam. Tawa itu bukan sekadar luapan kegembiraan, melainkan ejekan yang menyayat—sebuah perayaan atas keberhasilan mereka menyingkirkan Dareen. Dari atas tebing, mereka menyaksikan tubuh pria malang itu terjatuh, kemudian lenyap ditelan deburan ombak yang ganas. Tidak ada rasa bersalah, tidak pula keraguan. Yang tersisa hanyalah kesombongan, seolah mereka baru saja menuntaskan misi penting tanpa cela. "Mampus kamu, Dareen." Senyum jahat terukir di bibir Ziyon ketika tatapannya mengarah pada riak air, titik di mana Dareen baru saja menghilang. Kepuasan, kemenangan tampak terlihat di wajah tampan pria itu. Meski bukan kemenangan sepenuhnya, sebab dirinya tidak mendapatkan apa-apa, hanya sebuah luapan kemarahan akibat apa yang terjadi pada dirinya. Hidupnya hancur dan itu semua karena Dareen. Selanjutnya, Ziyon memiliki rencana untuk membalas pada Sebastian, tetapi dia harus memikirkan rencana
Dareen merasakan napasnya kian sesak. Udara di sekelilingnya begitu terbatas, dan kegelapan total menyelimuti penglihatannya. Suasana pengap menyiksa, membuatnya sulit bernapas dengan leluasa. Kain karung yang membungkus tubuhnya menambah tekanan psikologis yang mencekam. Dia hanya bisa meringkuk dalam posisi tidak nyaman, dalam kondisi tangan dan kaki terikat. Dareen tidak tahu ke mana dia akan dibawa.Tubuhnya terasa sempit terjepit, dan setiap gerakan kecil hanya membuat dirinya semakin sulit bernapas. Dia sadar bahwa dirinya telah dimasukkan ke dalam karung, lalu dilemparkan ke dalam bagasi mobil. Suara dentuman pelan dari luar, guncangan kendaraan, serta bau menyengat dari ruang sempit itu membuatnya nyaris kehilangan kesadaran. Di tengah ketidakpastian dan rasa takut yang kian membuncah, Dareen hanya bisa berharap ada keajaiban yang menyelamatkannya dari situasi mengerikan ini."Setelah ini, kita harus segera kembali ke Santoria," kata Jordy yang tampak tidak sabar. Beberapa h
Rencana terakhir yang terlintas dalam benak Ziyon adalah menghabisi nyawa Dareen. Dia menilai bahwa pemuda itu sudah tidak lagi memiliki nilai guna dalam skema yang telah dia susun. Segala upaya untuk mendapatkan tebusan dari keluarga Dareen berakhir dengan kegagalan, dan setiap menit yang berlalu hanya meningkatkan risiko terungkapnya keberadaan mereka. Dalam pikirannya yang dingin dan penuh perhitungan, Ziyon menyadari bahwa membiarkan Dareen tetap hidup hanya akan menjadi beban. Lebih dari itu, pria muda itu kini menjadi saksi hidup dari seluruh tindakan penculikan yang telah dia lakukan. Maka dari itu, untuk menghapus jejak dan menutup kemungkinan terburuk, Ziyon mengambil keputusan untuk menghabisi Dareen dan membuang jasadnya ke laut agar tidak pernah ditemukan. Sambil menatap ke luar jendela, Ziyon menyinggungkan senyumnya. Kemudian memberi perintah. "Siapkan segala sesuatunya!" Pria bertopeng yang sejak kemarin membantu Dareen melancarkan aksinya kini membuka suara.
Pagi itu, Clara terbangun lebih lambat dari biasanya. Tubuhnya masih terasa lelah setelah malam panjang yang dihabiskan bersama Sebastian. Begitu matanya terbuka, dia segera menoleh ke sisi tempat tidur, namun tak menemukan sosok suaminya di sana. Pintu kamar mandi dalam keadaan terbuka. Tidak ada tanda kehidupan apa pun. Rasa penasaran mulai merayapi benaknya.Dia bangkit perlahan, berjalan menuju kamar bayi. Namun, Kaisar pun tidak berada di tempat tidurnya. Kegelisahan mulai tumbuh di dalam dada Clara. Tanpa pikir panjang, dia segera menuruni tangga untuk mencari tahu keberadaan mereka.Begitu tiba di lantai bawah, aroma masakan hangat menyambutnya. Clara melihat Sania, ibu mertuanya, sedang sibuk menyusun piring di meja untuk sarapan dibantu beberapa pelayan dan Andrew. Sementara itu, Sebastian duduk di kursi utama ruang makan, tampak tenang sambil menyeruput kopi dengan selembar surat kabar di tangan. Begitu melihat Clara, Sania menghentikan kegiatannya sejenak dan tersenyum l
Clara menyunggingkan senyumnya. Jujur saja, Clara merindukan masa-masa ini. Di mana setiap sentuhan Sebastian bagaimana candu baginya. Dia melirik ke arah box bayi. Kaisar tampak lelap dalam tidurnya. Mungkin ini saatnya dirinya menunaikan ibadah suami istri ini. Clara merespon ajakan Sebastian dengan lengan yang dia lingkarkan di leher suaminya. Dia lantas menegakkan tubuhnya. "Aku juga sudah tidak sabar..." Sesaat, ujung hidung lancip keduanya saling bersentuhan. "Kalau begitu, bawa aku ke kamar kita," bisik Clara. Sebastian agak menjauh, menatap istrinya dengan ujung mata yang menyipit. Lantas bibir seksinya, mengulas sebuah senyuman. "Kita belum pernah melakukannya di sini 'kan?" gumamnya lirih. Clara merasakan deru napas hangat menyapu kulit daun telinga. Memunculkan sensasi aneh yang mendebarkan. Dia lantas memandang suaminya. "Jangan di sini, Sayang. Kita bisa mengganggu Kaisar," balas Clara. Saat berhubungan, dirinya cenderung mengeluarkan suara-suara aneh. Sehingga dia
"Mom, kamu mendengarku? Aku diculik!" Dareen berteriak di depan layar ponsel yang disodorkan Ziyon ke arahnya. Tidak ada jawaban. Hening. Selanjutnya hanya terdengar suara seseorang berteriak dari kejauhan. "Lucia, Sadarlah!" Itu suara Louis, ayahnya. Wajah Dareen menegang. Apa yang dikatakan oleh ayahnya barusan? Mengapa sang ayah berteriak? Dan Mengapa dia meminta sang ibu untuk sadar? Apa yang terjadi? Apa ibunya sedang pingsan? Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi isi kepala Dareen. Sampai membuatnya ingin meledak. Wajahnya yang ketakutan semakin pucat dengan sudut bibirnya yang pecah dihiasi darah yang telah mengering. "Dad! Jawab aku!" pekik Dareen dengan raut wajah penuh kekhawatiran. Tidak ada jawaban. Dareen menatap layar ponsel. Panggilan masih berlangsung. Ziyon mengamati Dareen, sebelah sudut bibirnya ditarik ke samping. Detik selanjutnya, dia menjauhkan ponsel itu dari Dareen. "Sudah cukup!" Ziyon mengakhiri panggilan. Dareen refleks mendongak. Menatap Ziyon yang t
Dareen tersentak kala Ziyon melempar sesuatu tepat di wajahnya. Benda itu jatuh ke lantai yang kusam setelahnya. Dareen melihat ke bawah, ternyata dua kartu kredit miliknya yang tak berguna. Kemudian Dareen menatap ke arah Ziyon. Wajahnya tampak dipenuhi amarah. Kemungkinan pria itu baru saja menggunakan kartu tersebut. Dan sama seperti dirinya yang dibuat kesal oleh kartu kredit sialan itu. "Sudah kubilang 'kan, kartu itu memang tidak ada isinya." Dareen menertawakan kebodohan Ziyon. Padahal Dareen sudah memberitahu sebelumnya. Akan tetapi, pria itu malah tidak percaya. "Kamu benar-benar membuat aku marah!" teriak Ziyon. Frustasi. Saat mendengar bahwa Dareen bersenang-senang di luar negeri. Dengan segenap harta yang tersisa, Ziyon berniat menyusul, untuk merampas semua yang Dareen miliki. Nyatanya, pria itu tidak memiliki apa-apa. Ziyon tidak bisa menyentuh Sebastian karena dia tidak memiliki kuasa apa pun. Aset dan seluruh harta maupun saham telah habis. Kedua orang tuanya sem
Sania yang datang hari itu akhirnya membantu menyusun mainan tersebut, menyortir, mengelompokkan mainan sesuai dengan usia. Mainan-mainan tersebut akan disimpan, dan dipakai jika sudah waktunya nanti. Mainan yang dikirimkan Maxime sangat lengkap, bahkan ada yang bisa digunakan saat Kaisar umur 2 tahun nanti. Kaisar sempat terbangun dan meminta Asi. Clara memberikannya sampai tertidur kembali. Setelah Selesai, Clara kembali bergabung bersama Sania yang terlihat sangat antusias mengurus mainan-mainan itu. "Ini banyak sekali, Clara," ucap Sania yang tampak bosan karena sejak tadi tidak kunjung selesai. "Mom benar. Bagaimana jika kita menyumbangkan pada panti asuhan sebagian?" Clara menatap Sania penuh harap. "Itu ide bagus, Clara. Kalau begitu, aku akan menelpon panti asuhan milik kenalanku," ucap Sania antusias. Dalam hati Clara mengucap syukur karena Sania memiliki pemikiran yang sama. Sementara Sania menelpon pemilik panti asuhan. Clara mencoba mengirim pesan pada suaminya. Dia
Ziyon menyunggingkan senyum tipis, seolah menikmati setiap detik keterkejutan yang tergambar jelas di wajah Dareen. Ekspresi itu begitu tenang, namun menyimpan makna yang sulit ditebak. Sorot matanya menyipit, bukan karena cahaya atau kelelahan, melainkan karena tarikan sudut bibirnya yang membentuk senyum dingin dan penuh perhitungan. Tatapan Ziyon tajam, menusuk, seakan ingin menyelami isi pikiran Dareen yang masih berusaha memahami situasi. Dia berdiri tegak, penuh percaya diri, menunjukkan bahwa Dia mengendalikan keadaan sepenuhnya. Dalam diamnya, senyum itu seolah berkata bahwa semua telah direncanakan dengan cermat—dan kini waktunya bagi Dareen untuk menyadari kenyataan yang tak terelakkan. "Kenapa? Kaget?" ejek Ziyon. Tatapannya yang semua dingin kini berubah tajam dan gelap, penuh dengan rencana yang Dareen sendiri tidak tahu tujuannya. Dareen membeku untuk beberapa saat. Berusaha mencerna sebuah sebab akibat dari kejadian yang terjadi saat ini. Mengapa Ziyon sampai ber