“Apa?” Clara menatap Sebastian tak percaya.
“Clara, kamu sungguh membuatku kesal!” Kehilangan kesabaran, Sebastian berdiri dari duduknya. Melangkah cepat menghampiri Clara.
Clara termundur ke belakang. “Tuan, Anda mau apa?” tanya Clara takut-takut.
“Diam dan patuh!”
Ucapan Sebastian membuat Clara diam seribu bahasa. Dia hanya bisa pasrah ketika Sebastian melepas simpul tali handuk kimono yang dia kenakan. Detik selanjutnya, kain yang membungkus tubuhnya itu terjatuh ke lantai, menampilkan tubuh seksi menawan Clara yang hanya mengenakan pakaian dalam.
Sebelah sudut Sebastian tertarik ke samping ketika melihatnya. Dia merasa desiran aneh menjalar ke sekujur tubuhnya.
“Sepertinya kamu lebih bagus tanpa mengenakan ini.” Sebastian merengkuh pinggang Clara, dan menarik tengkuk wanita itu lalu mendaratkan kecupan di bibir.
Clara terkesiap, serangan ini begitu mendadak. Meski begitu, dia tidak berniat menolak sentuhan yang Sebastian berikan.
Puas dengan permainan bibir, Sebastian beralih pada anggota tubuh lainnya. Posisi ini membuat Sebastian tidak nyaman. Dia menggiring Clara ke atas kasur dan kembali menyerangnya.
Kali ini dia bermain-main dengan dua buah keranuman milik Clara. Tangan Sebastian memutar, meremas dan memilin. Bagai bayi besar, Sebastian begitu menikmati ujung yang telah mencuat.
Clara meloloskan lenguhannya akibat ulah Sebastian. Tanpa sadar, tangannya meremas rambut Sebastian dan menyebut nama pria itu dengan rintihan penuh kenikmatan.
“Tuan, Sebastian!”
Sebastian telah terkurung hasrat, segera melancarkan aksinya. Kain segitiga yang menutupi area kewanitaan Clara diturunkan, dia segera menyatukan miliknya dengan milik Clara. Saat memasukinya, Sebastian merasakan sesuatu yang sangat mengejutkan.
“Clara, kamu masih perawan?”
Clara terpejam. Air mata Clara lolos begitu saja. Satu-satunya mahkota yang dia jaga hanya untuk sang suami kini terenggut sudah. Meski semua terjadi bukan karena keinginannya. Akan tetapi, Clara tetap merasa bersalah. Rasa sakit akibat area intimnya yang diterobos secara paksa tak sebanding dengan rasa sakit dalam hatinya.
“Mohon pelan sedikit, Tuan.” Clara merasa tubuhnya seolah terbelah.
Sebastian memang sudah bergerak pelan, akan tetapi, ini yang pertama kali bagi Clara. Jelas saja wanita itu akan kesakitan.
Sementara Sebastian merasa terkejut kala mendapati Clara masih virgin saat pertama kali memasukinya. Seperti yang dia tahu, Clara telah menikah satu tahun yang lalu. Siapa sangka wanita itu masih perawan.
“Mppphhhhh!” Suara desahan Clara menggema di ruangan. Tanpa sadar menikmati permainan panas bersama Sebastian. Malam pertama yang seharusnya dia lakukan bersama sang suami, justru dihabiskan bersama pria lain yang tak lain adalah bosnya sendiri.
Yang Clara sesalkan adalah, Clara melakukan semua ini karena uang. Kenyataan bahwa Clara juga menikmatinya membuat Clara mengumpati diri sendiri. Sebagai wanita yang telah bersuami, bohong jika Clara tidak ingin disentuh, namun karena kondisi suaminya yang tidak memungkinkan. Membuat Clara harus menerima sentuhan dari pria lain.
Clara hanyut dalam permainan penuh hasrat hingga melupakan William.
Sebastian mempercepat ritme gerakanannya.
“Ahhhhhh!” suara lenguhan panjang dari bibir keduanya terdengar nyaring sebagai tanda bahwa permainan telah mencapai puncak.
Sebastian merunduk, mengecup kening Clara dan berucap, “Terima kasih, Clara. Aku sangat puas!”
Clara memejamkan mata. Dalam hati menolak perlakuan Sebastian terhadap dirinya, namun reaksi tubuh Clara berbeda. Dia merasa bahwa Sebastian melakukannya dengan sangat lembut dan penuh cinta. Sesuatu yang tidak pernah dia dapatkan dari William, suaminya.
“Besok, kamu pergilah ke dokter obgyn, periksakan kondisi rahimmu, aku ingin kamu segera mengandung anakku!” titah Sebastian.
“Baik, Tuan.” Clara juga berpikir bahwa lebih cepat lebih baik. Mengandung bukanlah hal yang mudah. Clara juga harus berpikir bagaimana cara untuk menghindari kedua orang tua William selama dirinya mengandung anak Sebastian.
Selesai melakukan permainan panas, Clara berpamitan ke kamar mandi. Dia menatap dirinya melalui pantulan di cermin. Jejak kemerahan terlihat nyaris di semua anggota tubuhnya. Dalam sekejap, Clara telah berubah menjadi seorang penghianat.
Bagaimana tidak, suaminya telah berjuang di antara hidup dan mati, tetapi dirinya justru bertukar peluh bersama pria lain, bahkan menerima tawaran untuk mengandung benih pria itu. Clara merasa dirinya benar-benar sangat buruk. Clara juga merasa dirinya telah gagal menjadi istri.
Clara hanya berharap apa yang dia lakukan ini tidak sia-sia. Demi kesembuhan William, dia rela menukar harga dirinya dengan uang.
Sementara di kamar, Sebastian menyunggingkan senyumnya kala melihat noda merah yang terdapat pada sprei tempat tidur, hal itu menandakan bahwa Clara benar-benar masih perawan. Oleh karena itu, Sebastian akan memperlakukan Clara dengan layak sebagai hadiah karena telah memberikan keperawanannya kepada dirinya.
Saat keluar dari kamar mandi, aroma daging panggang menyentuh indera penciuman Clara. Dia tertegun ketika melihat meja telah terisi penuh dengan makanan, dia memandang Sebastian yang sudah mengenakan kembali jubah tidurnya.
Dengan senyum lebarnya Sebastian berkata, “Kemari, ayo makan. Setelah ini kita akan bermain ronde selanjutnya.”
“Apa?”
Clara sedikit kesal saat Sebastian mengatakan ronde selanjutnya. Nyatanya, pria itu memberinya makan hanya untuk digempur habis-habisan. Sepertinya Sebastian memang tidak mau rugi, sehingga dengan pandai memanfaatkan kesempatan ini.“Tuan, izinkan saya memejamkan mata sebentar,” pinta Clara. Dia merasa sangat lelah setelah melayani hasrat Sebastian untuk yang kesekian kalinya.“Baiklah, kamu aku izinkan beristirahat. Setelah itu kita lanjut,” balas Sebastian.Clara tidak peduli dengan ucapan Sebastian dan hanya mengiyakan. Yang terpenting dirinya bisa tidur guna memulihkan tenaganya yang terkuras habis demi melayani Sebastian.Pukul 03.00 dini hari, Clara terbangun, dia ingin ke kamar mandi. Akan tetapi, ada sesuatu yang menarik atensinya. Di sofa sudut ruangan, Clara melihat Sebastian tengah duduk dengan kaki saling bertumpuk, tangannya memegang sesuatu yang didekatkan ke area hidung. Clara menajamkan penglihatannya, kain segitiga berbahan renda itu adalah miliknya, akan tetapi, k
“Celana dalam?” Clara tidak dapat mempercayai penglihatannya sendiri.“Ya, setelah berhubungan, aku akan membelikanmu celana dalam baru,” ujar Sebastian.Ucapan Sebastian mengingatkan Clara pada kejadian semalam. Di mana Sebastian menciumi celana dalam miliknya yang sudah terpakai. Mendapati Sebastian berbicara hal semacam ini dengan keras, mungkinkah semua orang di rumah ini sudah tahu kebiasaan Sebastian?Clara memperhatikan sekitar dan melihat Andrew si kepala pelayan yang berdiri di sudut ruangan. Beberapa pelayan wanita juga tampak berlalu lalang, entah mengapa mendengar Sebastian bicara begitu, Clara jadi malu sendiri.“Kamu tenang saja, semua orang yang bekerja di sini telah disumpah untuk tidak membocorkan apa pun yang terjadi di rumah ini.”Seolah tahu isi kepala Clara, Sebastian segera menjelaskan, dan itu membuat kegelisahan di hati Clara menghilang.“Karena kamu sudah melayani aku semalaman, hari ini aku membebaskan kamu dari pekerjaan,” ucap Sebastian.Mendengar hal itu,
Clara sudah merasa curiga saat mendapati nama Sebastian di layar ponselnya. Ketika dirinya menjawab panggilan itu, Sebastian menyuruhnya datang.“Sekarang, Tuan?” tanya Clara.“Tahun depan, tentu saja sekarang!" jawab Sebastian yang terdengar ketus.Clara menggigit kecil bibir bawahanya. Dirinya sudah berjanji pada kedua orang tua William untuk bermalam di rumah sakit dan menjaga William. Apa jadinya jika dirinya tiba-tiba pergi?Sesaat, Clara merasa ragu. Namun, saat mengingat surat perjanjian yang dia tanda tangani tadi pagi, seketika itu keraguan dalam hatinya lenyap. Dari mana dirinya mendapat uang sebanyak itu untuk membayar denda?“Kenapa diam? Jawab aku, Clara!” teriak Sebastian.Suara Sebastian menyentakkan Clara, gegas dia menjawab. “Ya, Tuan. Saya ke sana sekarang.”“Bagus, aku tunggu sepuluh menit.” “Apa?”Clara hendak melayangkan protes kepada Sebastian, namun panggilan lebih dulu ditutup. Clara mengumpat dalam hati. Jarak antara rumah sakit dan rumah Sebastian cukup jau
“Tuan,” panggil Clara.“Kamu boleh tidur.” Seolah tidak terganggu dengan suara Clara, Sebastian berkata demikian sembari terus menciumi kain segitiga milik Clara.Bukannya tidur, Clara justru turun dari atas kasur, meraih pakaian miliknya lalu memakainya dengan gerakan yang cepat. Hal itu baru menarik atensi Sebastian.“Kamu mau ke mana, Clara?” tanya Sebastian.“Saya harus kembali ke rumah sakit, Tuan,” jawab Clara.Sebastian menatap jam di dinding. Jarum pendek mengarah pada angka 3 kemudian kembali menatap Clara/“Dini hari begini?” tanya Sebastian heran.“Saya sudah berjanji pada mertua saya untuk menjaga suami saya, jadi saya harus kembali sebelum fajar muncul. Lagi pula saya sudah menunaikan kewajiban saya sesuai keinginan Anda,” ujar Clara. Dia telah selesai berpakain, lantas meraih sling bag miliknya, siap meninggalkan kamar. Akan tetapi, suara Sebastian menghentikan langkahnya.“Tunggu, Clara. Aku akan antar kamu.”Mendengar hal itu, Clara menatap Sebastian dengan tatapan her
Clara seketika tercekat, tangannya refleks menyentuh lehernya. Clara melupakan sesuatu. Saat di rumah Sebastian, dia melihat tanda yang dimaksud oleh Julia. Ini adalah tanda merah yang dihasilkan dari hubungan terlarangnya bersama Sebastian. Dan dengan cerobohnya Clara tanpa sengaja memperlihatkan ini kepada Julia.“Kenapa diam? Kau tidak tuli ‘kan, Clara?” tanya Julia sinis.“Em…ini, aku lupa kalau aku alergi kacang merah, kemarin aku tidak sengaja memakannya,” jelas Clara. Dia tidak percaya bahwa dirinya kini pandai sekali membual.Kening Julia mengkerut. Memperhatikan tanda merah itu dengan teliti.Melihat itu, Clara segera meraih syal dari dalam tas kemudian melingkarkan di leher.“Maaf, Ma. Aku harus pergi bekerja.” Clara segera meraih sling bag miliknya kemudian menyingkir dari hadapan Julia. Clara bahkan tidak sempat berpamitan kepada William. Ini semua gara-gara Julia.Meski suaminya itu tidak bisa melihat dan mendengar, Clara terbiasa meminta izin kepada William sebelum pergi
Clara menatap Sebastian tidak berkedip sedikit pun. Dia terkejut ketika mendengar penuturan Sebastian. Apa yang baru saja pria itu katakan? Hari ini banyak jadwal penting. Akan tetapi pria itu justru ingin membatalkannya.“Tuan, apa maksud Anda?” tanya Clara lagi. Dia seketika menundukkan pandangannya ketika tatapan tajam Sebastian menghujam ke arahnya.“Sudah kukatakan berapa kali? Aku tidak suka mengulang ucapanku!” sergah Sebastian.“Maafkan saya, Tuan.” Clara segera menyadari kesalahannya.“Kemari, Clara!” Sebastian kembali mengulurkan tangan.Clara menatap Sebastian, mencoba mencari tahu maksud dari uluran tangan itu. Sepertinya Sebastian ingin dirinya mendekat. Takut-takut, Clara melangkah maju. Dia menatap tangan Sebastian.Clara menyambut uluran tangan itu, dia tersentak kala tubuhnya ditarik dan tanpa sengaja terjatuh di pangkuan Sebastian. Untuk sesaat, Clara merasa canggung. Apa boleh begini? Ini adalah kantor.“Rambut ini.” Sebastian menyentuh surai panjang milik Clara. “A
Clara sedikit terperangah, meski begitu dia tidak protes kali ini, dia segera mengikuti ke mana langkah Sebastian. Tatapan iri dan tidak suka mengiringi langkah Clara yang kini berjalan di belakang Sebastian. Apa yang Clara pikirkan? Bukankah itu sudah biasa? Jadi Clara tidak perlu memusingkannya.Pasalnya, banyak yang mengincar posisi asisten pribadi. Siapa yang tidak ingin dekat dengan pria tampan seperti Sebastian? Dan asal mereka tahu saja, hal itu tidak akan mudah dilakukan. Tiga tahun Clara menahan diri untuk tidak mengumpati Sebastian. Terlebih beberapa hari terakhir, sikapnya sangat menyebalkan.Meski begitu, Clara harus berterima kasih kepada Sebastian karena telah membantunya. Tidak, dirinya juga sudah memberikan sesuatu yang berharga kepada pria itu yaitu kesuciannya.“Masuk!” Sebastian membukakan pintu mobil untuk Clara.Clara patuh, dan segera masuk.Sebastian menutup pintu mobil, kemudian berjalan memutari kendaraan, mendudukkan dirinya di kursi kemudi. Dia sengaja tidak
Mendengar itu, Leonard dan Sania saling bertukar pandang. Rona kebahagiaan terpancar di wajah keduanya. Bukan hanya sesepuh saja yang menginginkan seorang bayi penerus, Leonard dan sania pun sama halnya. Mereka berdua ingin segera menimang cucu mengingat usia Sebastian yang sudah cukup matang.“Kalau begitu kau setuju untuk menikah?” tanya Sania. Dia tidak sabar untuk menantikan hal semacam itu.Kening Sebastian mengkerut. “Aku tidak bilang akan menikah.”“Lalu?” Leonard menaikkan sebelah alisnya.“Kakek hanya meminta seorang penerus ‘kan. Kalian tenang saja, dalam waktu dekat aku akan memberikannya.” Sebastian berdiri dari duduknya.Sania mendongak menatap putra semata wayangnya dengan tatapan bingung sekaligus khawatir. Dia masih tidak mengerti dengan ucapan Sebastian.“Nak, tolong jelaskan pada Mom. Apa maksudnya dengan memberikan bayi tapi tidak menikah?” tanya Sania.Sebastian menyunggingkan senyumnya. Dia menatap wanita bergelar ibu sejenak lalu melanjutkan langkah meninggalkan
Clara terpejam, kala sebuah sentuhan dia rasakan di bibirnya. Clara dapat merasakan hawa panas yang mengalir dari sentuhan bibir Sebastian. Deru napasnya yang begitu memburu kuat. Kemudian, pegangan di pinggangnya semakin mengencang. Membuat tubuh Clara seketika menegang. Clara refleks menekan kukunnya di pundak Sebastian, menekannya dengan kencang. Setiap pagutan terasa begitu liar, indera perasa Sebastian menjelajah memasuki rongga mulut istrinya. Clara merasakan mulutnya penuh. Dalam hatinya ingin sekali menolak, namun tubuhnya bereaksi berbeda. Bukan hanya sekedar menerima, melainkan mendorongnya untuk melakukan lebih. Sebelum Clara akhirnya benar-benar hanyut dalam permainan panas dan penuh gairah, Clara segera tersadar. Dia menarik diri, dan melepaskan pagutannya. "Sayang..." Dada bidang suaminya itu didorong pelan. Dan itu sempat membuat Sebastian kesal. "Kamu jangan coba menahanku, kamu tahu aku sudah lama berpuasa..." Clara tahu itu bohong. Buktinya saat hamil besar, s
Clara menoleh, matanya yang terang menyipit kala menangkap siluet seseorang yang baru saja menghilang di balik dinding ruangan. Sebelah sudut bibirnya ditarik sedikit. Dia berusaha untuk mengabaikan semua itu, meski dia belum benar-benar bisa melakukannya. Dia mencoba fokus pada puteranya yang kini berada dalam gendongan ibu mertua. Clara ingin sedikit tinggal lebih lama, menikmati momen yang mungkin saja tidak akan kembali terulang. Namun, semakin lama dia tinggal, ada perasaan yang mengusiknya. Dia tidak bisa mengabaikan Sebastian begitu saja. Selanjutnya, Clara beranjak dari kursinya. Kaisar masih terlelap, sementara kedua mertuanya masih ingin Kaisar bersama mereka. Jadi tidak masalah bila Clara meninggalkan mereka. Clara melangkah ke arah di mana siluet tubuh Sebastian menghilang. Tujuannya sudah jelas, Clara tahu ke mana perginya suaminya itu. Ketika sudah dekat, Clara melihat pintu Paviliun tertutup, sunyi. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Meski begitu Clara yakin,
"Clara!" Clara menatap ke arah Sebastian sekilas. Kemudian melangkah mendekati Leonard dan Sania dan berhenti tepat di hadapan mereka. "Apa kalian ingin melihat bayi kami?" Clara memiringkan sedikit tubuhnya, supaya kedua mertuanya dapat melihat bayi yang tertidur lelap, sembari bersembunyi di ketiak ibunya. Sania menatap Leonard berkaca-kaca. Ketika Sang suami mengangguk, dia segera kembali fokus pada wanita di hadapannya. "Apa aku boleh menggendongnya?" Air mata telah menggenang di sudut mata Sania. "Tentu saja," kata Clara dengan senyum ramah. Air mata Sania menetes. Akhirnya dia mendapatkan keinginannya. Memeluk dan menggendong sang cucu. Kaisar menggeliat ketika dipindahkan dalam gendongan Sania, dan itu membuat Sania merasa gemas. Dengan berhati-hati dia mendekap bayi mungil itu supaya tidak terbangun. Dan sesuai dengan keinginannya, Kaisar kembali tertidur seperti semula. Seolah tidak terganggu dengan dunia sekitar. Tangis haru Sania berubah menjadi senyum kebahagiaan.
"Tuan, kedua orang tua Anda datang." Bisikan dari penjaga seketika mengusik ketenangan Sebastian. Mendadak wajahnya menggelap, dipenuhi emosi. Kedua tangannya mengepal erat tanpa sadar. Clara menoleh, mengamati raut wajah suaminya yang tak lagi setenang sebelumnya. Keresahan terlihat jelas di wajah tampannya, rahangnya mengeras. Kedua tangannya mengepal. Serta otot di sekitar leher mencuat, menahan sebuah emosi. "Ada apa?" tanya Clara yang seketika menarik perhatian Sebastian dari penjaga. Pria itu menatap sang istri. Tatapannya melembut seketika. Kemudian pria itu menjawab dengan nada setenang mungkin. "Hanya masalah kecil, Sayang kamu tunggu di sini." Sebastian melirik sekilas ke arah bayi yang masih terlelap. Kemudian beranjak dari kursinya. Sebastian lantas beralih pada penjaga lalu mengangguk. Sebelum akhirnya melangkah meninggalkan tempat acara. Clara menatap punggung suaminya yang mulai menjauh dan kemudian menghilang di balik pintu. Keresahan yang semula di rasakan Sebas
Clara menatap suaminya dengan penuh rasa syukur. Sebastian memang bukan tipe pria yang selalu mengungkapkan perasaannya dengan kata-kata, tetapi dari setiap tindakannya, Clara tahu betapa pria itu mencintai dirinya. Perjalanan menuju rumah terasa begitu cepat. Begitu mobil memasuki gerbang besar kediaman mereka, Clara melihat beberapa pelayan dan penjaga sudah berbaris, menunggu kedatangannya. Rumah megah bergaya klasik itu berdiri kokoh, dengan pilar-pilar besar yang menambah kesan elegan. Begitu mobil berhenti di halaman depan, seorang pelayan segera membuka pintu. Sebastian turun lebih dulu, lalu mengulurkan tangan kepada Clara. Dengan hati-hati, dia menggenggam tangan istrinya, membantunya keluar. Begitu kaki Clara menyentuh tanah, seorang pelayan perempuan bergegas mendekat dengan wajah penuh senyum. "Selamat datang kembali, Nyonya. Kami semua sangat senang melihat Anda kembali dengan selamat." Clara membalas senyum itu. "Terima kasih. Aku juga senang bisa kembali ke rumah
Tekad Sania sudah bulat. Keinginannya untuk melihat cucunya sangatlah kuat. Dia ingin tahu bagaimana wajah putera dari anak semata wayangnya itu. Dan ketika dia sampai di ruangan penyimpanan bayi, Sania dibuat tertegun. Sebelumnya, dia sudah mencari tahu tentang keberadaan cucunya secara diam-diam. Di bagian bawah box bayi tertera nama kedua orang tua dan tanggal kelahirannya. Dari situlah Sania dapat memastikan bahwa bayi dengan balutan kain biru yang kini tengah terlelap itu adalah putera dari Sebastian. 'Dia sungguh mirip dengan Bastian,' batin Sania. Ingatannya kembali pada hari di mana kelahiran Sebastian puluhan tahun yang lalu. Kehadirannya disambut suka cita bagi keluarga. Dan ketika dia melihat bayi itu, Sania merasa Dejavu. 'Bagaimana bisa semirip itu?' Dalam pikiran Sania berkecamuk. Pemandangan di hadapannya itu seolah mematahkan dugaannya bahwa bayi yang dikandung Clara bukanlah anak Sebastian. 'Jadi wanita itu benar.' Suara hati Sania terus berbicara tanpa henti.
Wajah Bianca begitu dingin. Tatapannya tajam, seolah menyimpan sebuah amarah dan dendam. Dan semuanya berhubungan dengan Sebastian dan Clara. Segala cara dia gunakan untuk mendapatkan kembali Sebastian. Akan tetapi, semua hanya berakhir sia-sia. Kedua tangan Bianca mengepal di bawah meja. Rahangnya mengeras tanpa sadar. Ingatannya terlempar pada kenangan masalalu bersama Sebastian. Sebastian memang bukan tipe pria yang romantis terhadapnya. Namun, apa yang selalu diinginkannya, Sebastian selalu memberikannya. Clara menjadi wanita yang sangat beruntung saat itu karena telah menjadi bagian dari hidup Sebastian. Bianca ingin sekali kembali pada masa itu, namun keberadaan Clara menjadi penghalang besar baginya. "Setelah kamu mendapatkan Clara kembali. Kamu harus membawa dia pergi." Bianca mengingatkan pria di hadapannya ini. William yang tengah mengesap kopinya, harus terganggu oleh ucapan Bianca. "Dia mengandung, bagaimana dengan bayinya?" William bertanya dengan nada skept
Senyum lebar tersungging di bibir Sebastian. Rona kebahagiaan kini terpancar jelas di wajahnya. Rasa takut dan khawatir yang tadi menyerangnya seketika terbayar ketika mendengar suara tangis anaknya, dan juga kabar dari Dokter yang menyatakan jenis kelamin si bayi. Dan sesuai dengan keinginannya. Bayinya berjenis kelamin laki-laki, keluar dengan selamat. Beberapa kali melakukan pemeriksaan USG, hasil mengatakan bahwa jenis kelamin bayi adalah laki-laki dan Sebastian sudah menduga ini. Namun, tetap saja dia tidak dapat menahan kebahagiaan yang kini muncul lantaran sang penerus yang dia agungkan telah lahir ke dunia. Secepatnya, Sebastian melesat masuk ke dalam ruang bersalin tanpa meminta persetujuan dari dokter. Begitu Sebastian memasuki ruangan, tatapannya tertuju pada sosok yang kini terbaring di ranjang pasien dengan mata tertutup. Sebastian segera melangkah, mengikis jarak yang membentang di hadapannya. "Sayang," panggilnya lirih. Di sudut ruangan tampak beberapa perawat sedan
Semua orang yang ada di dalam ruangan membeku mendengar ucapan Sebastian. Tatapan Sania tampak kosong, dengan raut wajah yang kaku penuh ketegangan. Setelah lama tidak bertemu puteranya, dia pikir, Sebastian telah banyak berubah. Entah apa yang ada dalam pikirannya benar atau salah. Sebastian tampak berbeda. Lebih ke arah yang positif. Namun, dia masih belum merasakan perubahan itu. Mungkin, dia berubah bila di depan orang yang dia cintai. "Bastian, kamu ingin wanita itu masuk dalam keluarga kita?" Maxime masih tidak percaya bahwa Sebastian menginginkan sesuatu yang lain, sebuah perubahan dalam aturan keluarga. Dan semua demi wanita itu. "Wanita yang kakek sebut itu istriku, dan dia tengah mengandung anakku. Dan aku tidak akan kembali ke keluarga ini tanpanya." Sebastian melirik arloji di pergelangan tangannya. Dia rasa sepertinya sudah cukup dan ingin mengakhiri pembicaraan ini. "Sepertinya waktuku sudah habis. Aku harus pergi." Sebastian beranjak dari kursinya. Bersiap untuk men