"Apa kau sudah mendapatkan informasi tentang Harlan, Jefry?" Edgard mengajak Jefry ke ruang kerjanya malam itu untuk mendengarkan laporan Jefry. "Maaf, Bos, untuk saat ini belum ada. Aku meminta dua orang untuk mengikuti Harlan dan Bu Miriam, tapi beberapa hari ini mereka nyaris selalu bersama. Di mana ada Bu Miriam, di sana ada Harlan, sama sekali tidak ada yang mencurigakan dari pergerakan mereka." "Dan Bu Miriam pun kebanyakan berada di rumah. Kalau dia keluar pun, tempat yang dikunjunginya hanya Orion untuk mencari Pak Devan atau perusahaan lain yang masih dia urus. Ah, dia juga ke rumah Grandma satu kali tadi siang." Jefry melaporkan semua yang Harlan dan Miriam lakukan dan Edgard hanya mengangguk mengerti. "Lalu yang lain-lain? Aku memintamu menyelidiki apa yang Harlan lakukan dulu, apa kau sudah berhasil?" "Itulah yang belum berhasil, Bos. Tapi aku sedang dalam tahap pendekatan dengan manager finance di sana." Edgard memicingkan mata mendengarnya. "Manager finance? Wanit
"Dah, Mama ...." Janice terus tertawa, namun ada rasa sedih juga saat melepas Collin dan Calista masuk ke kelasnya untuk pertama kalinya. Guru di sekolah mengijinkan Janice dan Edgard masuk, tapi hanya mengantar sampai ke depan kelas saja karena pelajaran akan segera dimulai. Collin dan Calista memang masuk di pertengahan semester. Awalnya Janice berniat memasukkan anaknya sekalian waktu SD saja, tapi Grandma memaksa anak-anak itu harus sekolah di TK. Grandma pun menyiapkan semuanya dengan kilat dan di sinilah Collin dan Calista berada. Rasanya Janice begitu terharu sampai terus merekam anak-anaknya sampai masuk ke kelas untuk nanti diberikan pada Nara agar ibunya itu juga bisa melihat cucu-cucunya di hari pertama mereka bersekolah. Edgard sendiri ternyata juga sama antusiasnya mengantarkan anaknya bersekolah pada hari pertama. Jefry sendiri tidak ikut mengantar karena Jefry harus mengurus rapat yang ditinggalkan Edgard demi mengantar anak-anaknya sekolah, tapi Tito dan bebera
"Uhuk ... uhuk ...." Edgard langsung menepuk-nepuk dadanya sendiri. "Eh, kau kenapa, Edgard? Hati-hati kalau minum!" tegur Elizabeth. "Ah, aku tidak apa, Grandma. Aku hanya terkejut mendengar ucapan absurd Grandma." "Apanya yang absurd? Siapa tahu saja Janice memang hamil dan si kembar akan punya adik." "Eh, Collin mau punya adik?" pekik Collin kaget."Calista juga mau punya adik? Calista mau adik girl, Mama ...." "Collin mau adik boy, Mama ...." Mereka pun terkikik karena tadi di sekolah mereka belajar tentang boy dan girl. "Girl saja, Collin!" seru Calista gemas. "Boy saja!" balas Collin tidak terima. "Girl saja! Collin kan sudah punya banyak teman bermain, ada Uncle Jefry, ada Uncle Tito! Jadi girl saja!" seru Calista lagi. "Boy saja!" Dengan cepat, Collin dan Calista pun terlibat perdebatan seperti biasa sampai Janice memutar bola matanya kesal. "Collin, Calista, sudah cukup, jangan bertengkar di depan Grandma buyut!" "Calista duluan, Mama ...." "Collin duluan ...."
"Apa-apaan ini, Edgard?" Janice tidak berhenti mengomel saat Edgard akhirnya berhasil memaksanya masuk ke mobil dan Edgard pun langsung melajukan mobilnya ke rumah sakit. Sebelumnya Edgard sempat mengajak serta Collin dan Calista juga lalu mengantarnya ke rumah Elizabeth dulu agar mereka tidak cemas meninggalkan si kembar di rumah. Edgard sendiri sudah membuat janji dengan dokter sehingga mereka tidak perlu mengantri nanti. "Kau hamil, Janice. Kau harus diperiksa!" "Aku tidak hamil!" "Kau mengalami gejala kehamilan, Janice." "Seperti kau tahu saja seperti apa gejala kehamilan itu."Edgard pun melirik kesal pada Janice. "Walaupun aku belum punya istri tapi aku tidak bodoh, Janice. Aku tahu gejala kehamilan persis seperti yang kau alami, lagipula kita pernah melakukannya kan? Jadi kau pasti sedang hamil anakku."Janice terdiam mendengarnya. Sungguh awalnya Janice tidak berpikir kalau ia hamil. Bahkan ia hampir melupakan kalau Edgard pernah menodainya secara paksa. Bukan lupa, ta
Janice menahan napasnya mendengar ucapan Edgard di telepon dan ia pun membelalak menatap Edgard. "Tapi ... Edgard. .. menikah ...," ucap Janice dengan suara yang hanya terdengar seperti sebuah bisikan saja. Edgard pun mengabaikan Janice dan fokus pada teleponnya. "Tidak perlu berlebihan, tidak perlu apa pun, aku hanya perlu menikah secara sah di mata hukum! Dan juga urus semua dokumen Collin dan Calista karena harus ada nama keluargaku di nama belakang mereka!" titah Edgard lagi di telepon yang langsung membuat Janice lemas seketika. Entah apa lagi yang Edgard katakan di telepon karena Janice sudah tidak bisa mendengarnya dengan jelas. Kepalanya terlalu pusing saat mendadak ia harus menikah besok pagi? Entah pernikahan macam apa yang bisa diurus begitu cepat. Janice pun masih berpikir keras saat tiba-tiba Edgard menutup teleponnya dan melajukan mobilnya. "Edgard, kita benar-benar akan menikah besok?" tanya Janice ragu setelah ia menenangkan napasnya. "Hmm, kau tidak mau? Waktu
Janice tidak berhenti tersipu sejak Edgard menanyakan tentang pernikahan impiannya. Janice sama sekali tidak bisa menjawabnya karena ia memang belum memikirkannya. Namun, cara Edgard bertanya dan menatapnya tadi membuat jantungnya berdebar kencang sampai ia salah tingkah sendiri. Apalagi disaksikan oleh Grandma dan kedua anaknya, ini canggung sekali sampai Janice akhirnya mengalihkan pembicaraan.Dan sekarang saat Janice sudah duduk di mobil bersama Edgard dan si kembar, Janice pun terus memalingkan wajahnya ke arah jendela luar, masih terasa canggung bertatapan dengan Edgard. Edgard sendiri masih menyetir dalam diam walaupun suara di belakang begitu ribut.Collin dan Calista terus mengoceh dan terkikik di jok belakang sampai Edgard pun sesekali melirik kaca spionnya dan tersenyum. Dulu suara ribut anak-anak begitu mengganggu, namun sekarang sebaliknya, bahkan Edgard akan merasa aneh kalau tidak mendengar suara anak-anaknya. Sambil tetap tersenyum, Edgard pun menoleh ke arah Jan
"Aku sudah mendapatkannya, Bos! Akhirnya Bu Fonny bicara tentang Harlan!" Jefry langsung menceritakan pada Edgard di telepon tentang kesaksian dari Fonny dan Edgard pun langsung menggeram mendengarnya. "Sial, jadi itu benar kalau Harlan mengancam Janice!""Yap, kurasa hampir pasti kalau Harlan adalah pelaku yang menyuruh Janice mencelakaimu." Edgard terdiam sejenak, sebelum ia mengangguk. "Hati-hati pada pria itu, Jefry! Akhirnya kita tahu kalau Janice tidak berbohong tapi Harlan yang berbohong. Hanya saja, aku masih tidak yakin kalau motifnya adalah warisan. Tapi apa pun itu, aku harus melindungi Janice. Dan aku akan mempercepat pernikahanku karena kalau Janice berstatus sebagai istriku pasti Harlan tidak akan bisa mengusiknya lagi." "Aku mengerti, Bos." Edgard pun menutup teleponnya dan ia langsung mencari Janice yang masih duduk di kamarnya. Edgard masuk ke sana dan langsung menghampiri Janice dan duduk di sampingnya di ranjang. Janice pun langsung gugup melihat Edgard. "E
Tatapan Miriam masih mengarah pada kedua anak kembar di hadapannya saat sebuah suara terdengar mendekat. "Collin, Calista!" Janice memanggil anak-anaknya sambil melangkah dengan santai ke ruang tamu dan ia langsung menegang menatap Miriam dan Harlan di sana. Jantung Janice kembali berdebar begitu kencang, apalagi saat tatapan Miriam terarah padanya dengan begitu tajam, membuat Janice makin yakin kalau Miriam adalah dalang kejahatan Harlan selama ini. Miriam sendiri menatap Janice dengan tidak suka. Wanita di hadapannya ini benar-benar batu sandungan yang harus ia singkirkan selamanya dari hidup Edgard dan Miriam tidak bisa membiarkan hidupnya diusik lebih lama lagi. "Apa kabar, Janice?" sapa Miriam duluan dengan nada yang tidak bersahabat. Janice pun masih membelalak menatap Miriam dan Harlan. Dan saat tatapan Janice bertemu dengan tatapan Harlan, Janice pun sontak menunduk lagi tanpa menyahut sedikit pun. Sampai akhirnya Collin pun menegur Janice. "Mama, Grandma itu mengajak