Tatapan Miriam masih mengarah pada kedua anak kembar di hadapannya saat sebuah suara terdengar mendekat. "Collin, Calista!" Janice memanggil anak-anaknya sambil melangkah dengan santai ke ruang tamu dan ia langsung menegang menatap Miriam dan Harlan di sana. Jantung Janice kembali berdebar begitu kencang, apalagi saat tatapan Miriam terarah padanya dengan begitu tajam, membuat Janice makin yakin kalau Miriam adalah dalang kejahatan Harlan selama ini. Miriam sendiri menatap Janice dengan tidak suka. Wanita di hadapannya ini benar-benar batu sandungan yang harus ia singkirkan selamanya dari hidup Edgard dan Miriam tidak bisa membiarkan hidupnya diusik lebih lama lagi. "Apa kabar, Janice?" sapa Miriam duluan dengan nada yang tidak bersahabat. Janice pun masih membelalak menatap Miriam dan Harlan. Dan saat tatapan Janice bertemu dengan tatapan Harlan, Janice pun sontak menunduk lagi tanpa menyahut sedikit pun. Sampai akhirnya Collin pun menegur Janice. "Mama, Grandma itu mengajak
"Papa!" Calista mengendap-endap mengintip ke ruang kerja Edgard dan Edgard pun tersenyum menatap anaknya itu. "Ada apa, Sayang?" "Ada Grandma sama Uncle yang galak itu, Papa! Dia suruh Mama ke taman belakang!" lapor Calista. Edgard yang mendengarnya pun awalnya mengernyit, namun tidak lama kemudian, ia pun menegang. "Grandma dan Uncle galak? Hmm, Calista, kembalilah ke kamarmu dulu, Papa akan mencari Mama!" Edgard pun segera bergegas turun ke taman belakang dan benar saja ada Janice di sana bersama Miriam. "Apa yang dilakukan Tante Miriam di sini?" gumam Edgard sambil menoleh ke sekeliling. Tidak biasanya tidak ada Harlan di sini, tapi baiklah, lebih bagus kalau Harlan tidak ada. Edgard pun melangkah dengan cepat di bagian pinggir taman dan mungkin kegelapan malam membuat Miriam tidak menyadari kedatangannya karena saat ini Miriam masih terlalu serius menatap Janice. Namun dari posisinya, Edgard benar-benar bisa mendengar bagaimana Miriam meminta Janice untuk tidak menikah de
"Dia bilang dia tidak mau aku menikah denganmu dan melahirkan anakmu. Aku mulai takut, Edgard. Tantemu itu ... aku tidak tahu bagaimana mengatakannya tapi kurasa dia sama seperti Harlan." Janice menceritakan dengan jujur apa yang Miriam katakan tadi, memang hanya sekedar ancaman agar Janice tidak menikah karena Edgard sudah keburu datang sebelum Miriam sempat mengatakan hal yang lain. "Aku juga tidak yakin apa yang bisa dia lakukan tapi aku sudah membayangkan banyak hal buruk, Edgard. Tantemu dan Harlan itu sama menakutkannya untukku." Edgard yang mendengarnya pun terus menenangkan Janice. "Tenanglah, Janice! Tidak akan ada yang terjadi dan seperti yang kubilang kita akan tetap menikah. Jadi jangan pikirkan Tante Miriam dan Harlan karena ada aku yang akan melindungimu." Edgard menarik Janice ke dalam pelukannya dan pada saat seperti ini, Janice sama sekali tidak menolak pelukan Edgard. Bahkan Janice balas memeluk Edgard dan memejamkan matanya merasakan kehangatan yang membuatnya
Tiada hari tanpa ketegangan. Itulah yang Janice rasakan saat ini. Jantungnya yang sudah memacu kencang pun memacu makin tidak karuan saat melihat Harlan berdiri di sana dengan tegak dan menatapnya dengan tajam. Harlan berdiri di sana tanpa rasa takut akan ketahuan siapa pun sampai membuat Janice yang malah ketakutan. "Ibu ... Ibu ...," panggil Janice cepat sambil tetap menatap Harlan. Nara yang dipanggil pun mengernyit. "Ada apa, Janice?" "Itu Harlan, Ibu! Itu Harlan! Dia menatapku! Dia menatapku! Dia yang melakukan semuanya, Ibu!" seru Janice sambil akhirnya menatap Nara. Nara pun makin mengernyit melihatnya. "Apa, Janice? Kau ini bicara apa, Janice?" "Ada Harlan di depan sana dan dia menatapku! Dia seolah memberitahu kalau dia yang melakukan semuanya!" Janice menunjuk ke depan. "Coba Ibu lihat! Ibu bisa berdiri? Atau lihat dari jendela sana saja! Tito! Tito, cepat lihat! Itu Harlan! Kau melihatnya kan? Di seberang sana, itu Harlan!" pekik Janice memberitahu Tito yang sedang b
"Apa kau bilang, Tito?" Tito yang baru saja mengantar Janice dan Nara pulang akhirnya menelepon Edgard untuk melaporkan semua yang terjadi dan Edgard begitu kaget mendengarnya. "Seperti yang kubilang, Pak. Janice ketakutan sekali dan dia terus merasa seperti diteror." Edgard pun menggeram kesal dan mengangguk. "Baiklah, jaga mereka! Aku akan segera pulang!" "Baik, Pak!" Edgard segera menutup teleponnya sambil tidak berhenti mengumpat. Rasanya apa yang dialami Janice ini sudah cukup serius dan sudah sangat mengganggu. Edgard harus melakukan sesuatu, namun sebelumnya ia harus melihat keadaan Janice dulu. Dengan cepat, Edgard pun menyerahkan semua pekerjaan pada Jefry dan ia pun pulang ke rumah. Begitu tiba di rumah, Edgard langsung disambut Collin dan Calista yang langsung mengajaknya ke kamar Nara. "Tante tidak apa?" tanya Edgard yang cemas melihat kaki Nara yang diperban dan bau minyak gosok di kamar itu. "Tidak apa, Edgard. Hanya sedikit terkilir dan memar saja." "Aku sud
Tuduhan yang tidak berdasar? Rasanya Edgard begitu kesal mendengarnya. Bahkan Edgard sudah mengepalkan tangannya dan menatap geram pada Miriam. Namun, Edgard masih waras untuk tidak membuat keributan di sini, apalagi karena Miriam benar, Edgard tidak punya bukti. Bahkan bukti untuk menjerat Harlan saja ia tidak punya. Hanya Janice yang melihat Harlan berdiri menatapnya dan menerornya tapi yang lain tidak. Tito maupun Nara tidak ada yang melihatnya. Siapa yang akan percaya ucapan Janice tanpa adanya bukti?"Sial!" Edgard pun mengumpat tanpa bisa dicegah di hadapan Miriam. Miriam yang mendengarnya pun menaikkan alis. Lagi-lagi ia kembali kaget dan tidak suka mendengar Edgard mengumpat di depannya. "Tante terkejut melihat sikapmu yang berubah di hadapan Tante, Edgard. Tante berharap kau kembali seperti dirimu yang dulu karena Tante merasa kau menjadi aneh sejak bersama wanita itu dan Tante tidak menyukainya. Kau tahu, Edgard? Wanita yang baik itu adalah wanita yang bisa membuatmu
"Singkirkan mereka! Dimulai dari wanita itu dulu!"Perintah tegas Miriam itu langsung diikuti oleh anggukan kepala Harlan dan membuat seorang pria yang berdiri di depan pintu pun menegang. Entah bagaimana cara Harlan menutup pintu tadi atau pintunya memang sudah rusak karena pintu itu tertutup tapi tidak sempurna. Sehingga saat Devan baru saja menggenggam gagang pintunya, mendadak pintunya langsung menganga.Devan pun mendengar semuanya dengan mata membelalak dan jantung yang berdebar kencang. Entah siapa yang harus disingkirkan karena Devan tidak mendengarkan pembicaraan itu sejak awal namun mendadak Devan waspada dengan maksud Miriam, disingkirkan. Tanpa menunggu lama, Devan pun membuka pintu itu dan langsung masuk begitu saja ke ruang kerja Miriam. Miriam dan Harlan pun langsung menoleh dengan kaget menatap Devan. "D-Devan? Apa yang kau lakukan di sini?" seru Miriam yang masih sedikit syok. "Seharusnya aku yang bertanya apa yang sedang kalian bicarakan, Ibu! Dan siapa yang h
Devan melangkah keluar dari ruang kerja Miriam dengan kesal. Bukannya ia kurang ajar, tapi ia hanya tidak sepaham dengan ibunya. Walaupun ibunya selama ini sangat perhatian dan baik pada Edgard, tapi Devan tahu kalau ibunya selalu ingin Devan menjadi lebih baik daripada Edgard. Dan Devan sendiri bukannya tidak mampu. Devan hanya tidak ingin ada persaingan antara keluarga. Hidupnya pun sudah damai seperti ini dan ia tidak mau semuanya rusak hanya karena gila kekuasaan. Devan pun terus melangkah saat tidak jauh dari sana akhirnya ia bertemu dengan Harlan lagi. Devan langsung memicingkan mata tidak suka menatap Harlan. Bukankah Harlan itu asisten Miriam yang paling setia dan kalau Miriam punya rencana apa pun, pasti Harlan yang akan menjadi kaki tangannya. Seketika Devan pun teringat bagaimana Edgard menyebut Harlan sebagai pria brengsek tadi dan Devan pun akhirnya menghentikan langkahnya di dekat Harlan. "Pak Devan." Lagi-lagi Harlan menyapa dengan sopan. "Apa yang sudah kau la
"Daphne Sayang, jangan lari!"Nara begitu gemas memanggil Daphne yang sedang asik merangkak kesana kemari bersama Denzel di sekeliling rumah. Semakin Nara mau menangkapnya, semakin Daphne merangkak kabur sambil terkikik dan berteriak. Collin dan Calista yang melihatnya sampai tertawa begitu senang melihat tingkah adik-adiknya. Nara sendiri pun akhirnya ikut tertawa dan tidak memanggil lagi. Hari ini genap satu tahun umur Daphne dan Denzel. Kedua anak kembar itu sudah begitu gemuk dan makin menggemaskan. Mereka juga sudah pintar merangkak kesana kemari, walaupun mereka belum mulai berjalan. Tingkah kedua anak itu begitu menggemaskan sampai gelak tawa pun tidak berhenti memenuhi rumah keluarga mereka setiap harinya. "Astaga, Sayang, mengapa kau bisa merangkak sampai ke sini!" pekik Janice yang baru saja keluar dari dapur. "Ah, Ibu sudah tidak kuat mengejarnya lagi, Janice! Daphne terlalu lincah!" protes Nara. Janice pun langsung terkekeh sambil mengangkat anaknya yang sudah ber
"Semuanya perkenalkan, ini Viola, calon istriku!" Keluarga Edgard mengadakan makan malam bersama hari itu. Sejak anak Edgard lahir, Edgard memang lebih sering melakukan open house mengundang keluarganya agar rumah selalu ramai. Semua orang akan saling membantu menjaga si kembar Denzel dan Daphne sampai Janice benar-benar terbebas dari yang namanya stres dan baby blues. Sungguh, kali ini Janice memiliki support system terbaik dan Janice sangat bahagia dengan banyak berkat berlimpah dalam hidupnya. Devan pun datang malam itu sambil membawa seorang wanita yang sangat cantik, seorang wanita yang awalnya adalah asisten Devan, tapi benih-benih cinta muncul di sana dan dengan bangga, Devan memperkenalkannya pada semua. Elizabeth yang mendengarnya pun langsung memekik kegirangan. "Wah, selamat, Devan! Selamat! Setelah Edgard, akhirnya sebentar lagi kau akan menyusul, lalu Devina juga menyusul. Semua cucu Grandma akan menikah dan memberikan Grandma banyak cicit! Ini kabar bahagia, sangat
Spanduk bertuliskan "One Month Celebration of Denzel and Daphne" terbentang di pinggir kolam renang rumah Edgard dan Janice hari itu. Hiasan balon-balon yang didominasi warna biru dan merah itu pun memenuhi dinding dan sepanjang jalan di sekitar kolam renang itu. Selain itu banyak hiasan lain yang menambah meriah suasana pagi itu. Hari ini tepat satu bulan bayi kembar Janice lahir ke dunia. Bayi kembar laki-laki dan perempuan itu diberi nama Denzel William dan Daphne William. Bayi kembar yang membawa kebahagiaan bagi keluarga Edgard dan menyempurnakan keluarga mereka yang tidak lagi kecil karena keluarga inti mereka berjumlah enam orang sekarang. Edgard pun akhirnya merasakan bagaimana lelahnya menjadi orang tua baru yang mengurusi dua bayi sekaligus. Walaupun mereka memakai dua orang baby sitter baru untuk bayi kembar mereka, tapi Edgard tetap ingin tidur dengan bayi mereka. Edgard ingin menemani Janice mengurus bayi kembar mereka sekaligus menebus rasa bersalah karena dulu J
Janice terus merasa gelisah dalam tidurnya menjelang subuh hari itu. Saat melahirkan sudah tinggal menghitung hari dan Janice tidak berhenti berdebar sampai membuatnya insomnia beberapa hari ini. Janice pun masih terus gelisah sendiri sampai ia merasakan rasa aneh di bawah tubuhnya. "Apa yang lembab ini? Mengapa perutku juga terasa melilit?" gumam Janice sambil perlahan Janice bangkit berdiri dan melangkah ke kamar mandi. Janice memeriksa dan ternyata ada darah di sana, tanda bahwa ia sudah waktunya melahirkan. Jantung Janice langsung memacu kencang, apalagi rasa sakit di perutnya mulai makin kencang seperti meremat perutnya. "Edgard! Edgard!" panggil Janice sambil melangkah keluar dari kamar mandi. Edgard yang tadinya masih tertidur lelap di samping Janice pun seketika langsung membuka matanya waspada. Sejak Janice hamil, Edgard selalu waspada kapan pun istrinya itu membutuhkannya sehingga hanya perlu sedikit suara untuk membuat Edgard langsung membuka matanya. "Janice, ada
When I was just a little girl ....I asked my mother, what will I be ....Will I be pretty? Will I be rich?Here's what she said to me ....Que sera, sera ....Whatever will be, will be ....The future's not ours to see ....Que sera, sera ....What will be, will be ....Suara Calista bernyanyi terdengar begitu merdu memenuhi ruangan serbaguna yang digunakan untuk acara pementasan sekolah hari itu. Semua orang pun langsung bertepuk tangan begitu acara selesai. Termasuk Edgard, Janice, Nara, dan Grandma Elizabeth yang ikut hadir sebagai penonton. Mereka bertepuk tangan sambil meneteskan air mata begitu bangga melihat Collin dan Calista bersama teman-teman mereka yang menampilkan pertunjukkan drama musical yang begitu indah.Para anak-anak itu berdialog dalam bahasa Inggris, mereka berinteraksi bersama, melangkah kesana kemari, menari, dan diakhiri dengan nyanyian yang begitu merdu dari Calista. Sungguh semua orang tua yang melihatnya begitu bangga pada anak-anak mereka. Nara dan El
Di umur kehamilan Janice yang memasuki lima bulan, Edgard mengajak Janice melakukan babymoon sekaligus berlibur bersama keluarga mereka. Edgard membawa serta Nara, Collin, Calista, dan pengasuh kecil mereka, berlibur ke Bali. "Karena aku tidak mau mengambil resiko, jadi kita akan pergi ke tempat yang dekat saja ya, Sayang. Aku sudah menyuruh Jefry menyiapkan semuanya dan kita tinggal menyusun barang pribadi kita saja," kata Edgard malam itu saat mereka sudah berdua di kamar. "Ya ampun, Edgard, aku sungguh tidak perlu babymoon seperti ini." Edgard tersenyum lalu menangkup kedua tangan istrinya itu. "Janice, Sayang, babymoon memang bukan merupakan keharusan, bahkan honeymoon juga bukan merupakan keharusan." "Semua pasangan akan tetap baik-baik saja tanpa honeymoon maupun babymoon." "Hanya saja bedanya, ada pasangan yang memang menginginkannya dan kalau mereka mampu, mereka akan melakukannya." "Begitu juga dengan aku, Sayang. Aku menginginkannya, menyenangkanmu dan anak-anak kita
"Kembar lagi? Grandma akan punya cicit kembar lagi?" Elizabeth memekik senang saat Edgard memberitahunya tentang kehamilan Janice. "Benar, Grandma akan punya cicit lagi dan bukan hanya satu bayi tapi dua sekaligus," tegas Edgard. "Oh, Mefi, kau dengar itu? Oh, Grandma senang sekali! Grandma senang sekali! Janice ... oh, cucu Grandma ...." Elizabeth merentangkan kedua tangannya dan Janice pun langsung masuk ke dalam pelukan wanita tua itu. "Oh, cucu Grandma! Dengar ya, mulai hari ini Grandma akan selalu menyiapkan makanan sehat untukmu, Janice. Kau harus punya tenaga untuk menjaga dan melahirkan bayi kembar yang lucu itu. Haha ...." Janice hanya tertawa senang di pelukan Elizabeth dan Janice mengangguk bersemangat. Memang Janice belum sepenuhnya segar karena kehamilan kembar membuatnya begitu mudah lelah dan mengalami morning sickness parah, tapi ia begitu antusias melihat kebahagiaan semua orang. Elizabeth dan Nara pun langsung asik sendiri membayangkan anggota keluarga baru
Beberapa waktu berlalu dan Janice serta Edgard sudah kembali disibukkan dengan banyaknya kegiatan serta pekerjaan mereka. Pekerjaan Edgard makin sibuk dan makin berkembang, sedangkan Janice membantu suaminya dengan sepenuh hati sambil mengurus kedua anaknya. Namun, padatnya kegiatan mereka akhirnya membuat Janice tumbang juga. "Kau yakin tidak perlu ke dokter, Sayang? Aku tidak tega melihatmu seperti ini, apalagi aku harus ke luar kota besok," seru Edgard cemas. "Aku hanya kelelahan. Aku hanya butuh istirahat, Edgard! Sudahlah, tidak usah cemas!" Janice terus menenangkan Edgard sampai Edgard pun akhirnya pasrah. Namun, saat Edgard ke luar kota, Janice mulai mengalami mual-mual dan gejala yang mencurigakan bagi Nara. "Cobalah melakukan tespek, Janice! Ibu rasa kau sedang hamil." "Ah, tidak, Ibu. Aku hanya kelelahan, tidak apa." Janice berdebar mendengar kemungkinan ia hamil, tapi rasa trauma kehilangan janinnya masih membuatnya takut kecewa kalau ternyata ia tidak hamil. Jani
"Cheers!" Edgard dan Janice bersulang malam itu setelah menikmati makan malam romantis di restoran resort. Mereka pun tidak berhenti saling menatap dan melemparkan senyum. Setelah sepanjang sore berjalan bergandengan tangan menyusuri resort, mereka pun begitu kelaparan sampai Janice makan begitu banyak. "Bagaimana rasa winenya, Sayang?" "Hmm, ada rasa manis tapi ada pahitnya juga." "Kau menyukainya?" "Hmm, tidak. Tapi aku mau meminumnya sedikit lagi. Apa ini tidak membuat mabuk?" "Tidak, Sayang. Kecuali kau minum satu botol. Haha!" Edgard hanya tertawa mendengarnya. "Lagipula kalau kau mabuk, kau aman bersamaku, Sayang."Janice pun tertawa lebar mendengarnya dan terus meneguk winenya sambil memejamkan matanya. "Hmm, apa acara kita setelah ini, Edgard?" Edgard menaikkan alis mendengarnya. "Acara kita? Apa yang bisa kita lakukan di malam hari, Sayang? Haha, tentu saja berdua di kamar, bahkan mungkin kita tidak akan keluar sampai besok siang." "Astaga, Edgard! Kau membuatku me