"Singkirkan mereka! Dimulai dari wanita itu dulu!"Perintah tegas Miriam itu langsung diikuti oleh anggukan kepala Harlan dan membuat seorang pria yang berdiri di depan pintu pun menegang. Entah bagaimana cara Harlan menutup pintu tadi atau pintunya memang sudah rusak karena pintu itu tertutup tapi tidak sempurna. Sehingga saat Devan baru saja menggenggam gagang pintunya, mendadak pintunya langsung menganga.Devan pun mendengar semuanya dengan mata membelalak dan jantung yang berdebar kencang. Entah siapa yang harus disingkirkan karena Devan tidak mendengarkan pembicaraan itu sejak awal namun mendadak Devan waspada dengan maksud Miriam, disingkirkan. Tanpa menunggu lama, Devan pun membuka pintu itu dan langsung masuk begitu saja ke ruang kerja Miriam. Miriam dan Harlan pun langsung menoleh dengan kaget menatap Devan. "D-Devan? Apa yang kau lakukan di sini?" seru Miriam yang masih sedikit syok. "Seharusnya aku yang bertanya apa yang sedang kalian bicarakan, Ibu! Dan siapa yang h
Devan melangkah keluar dari ruang kerja Miriam dengan kesal. Bukannya ia kurang ajar, tapi ia hanya tidak sepaham dengan ibunya. Walaupun ibunya selama ini sangat perhatian dan baik pada Edgard, tapi Devan tahu kalau ibunya selalu ingin Devan menjadi lebih baik daripada Edgard. Dan Devan sendiri bukannya tidak mampu. Devan hanya tidak ingin ada persaingan antara keluarga. Hidupnya pun sudah damai seperti ini dan ia tidak mau semuanya rusak hanya karena gila kekuasaan. Devan pun terus melangkah saat tidak jauh dari sana akhirnya ia bertemu dengan Harlan lagi. Devan langsung memicingkan mata tidak suka menatap Harlan. Bukankah Harlan itu asisten Miriam yang paling setia dan kalau Miriam punya rencana apa pun, pasti Harlan yang akan menjadi kaki tangannya. Seketika Devan pun teringat bagaimana Edgard menyebut Harlan sebagai pria brengsek tadi dan Devan pun akhirnya menghentikan langkahnya di dekat Harlan. "Pak Devan." Lagi-lagi Harlan menyapa dengan sopan. "Apa yang sudah kau la
"Tante, apa ini? Tante minta aku bersabar tapi malah Edgard akan menikah dengan wanita itu!" Anneth mengamuk pagi itu dan menerobos masuk ke ruang kerja Miriam walaupun Harlan sudah menahannya. Kedua mata Anneth nampak penuh amarah dan tidak terima sama sekali. Harlan yang melihatnya pun langsung meraih lengan Anneth dan menariknya kasar. "Jangan kurang ajar pada Bu Miriam!" tegas Harlan. Namun, Anneth malah melotot menatap Harlan. "Ini bukan urusanmu! Minggir!" Anneth menarik lengannya dari Harlan, namun kedua mata Harlan langsung menajam, seolah sudah siap menunjukkan sifat aslinya. Tapi untung saja Miriam segera menghentikan semuanya. "Biarkan saja, Harlan! Lepaskan dia!" titah Miriam. Harlan pun terdiam sejenak dan langsung melirik Miriam singkat, sebelum akhirnya ia mengangguk dan melepaskan lengan Anneth. "Keluarlah, Harlan! Tidak apa!" titah Miriam lagi. Harlan pun terlihat menatap Anneth dengan tajam dan Anneth pun ikut melotot dengan kesal menatap Harlan, bahkan te
"Apa Janice sedang menelepon seseorang? Mengapa teleponnya sibuk terus?" Edgard yang sedang menyetir mobilnya setelah mengantar Collin dan Calista pun mencoba menelepon Janice untuk menanyakan apa Janice mau dibelikan sesuatu sebelum Edgard berangkat ke kantor, namun telepon Janice sedang sibuk. Edgard pun mencoba menelepon sekali lagi namun masih tetap nada sibuk sampai Edgard berpikir untuk menelepon Nara saja. Dengan cepat, Edgard pun mencari nama Nara di ponselnya saat tiba-tiba telepon dari Jefry pun masuk dan Edgard langsung mengangkatnya. "Halo, Jefry, ada apa?" "Bos, ada tamu penting yang mendadak datang menemuimu." "Ah, benarkah?" Jefry memberitahunya kalau ada perwakilan dari rekan kerjanya yang datang secara mendadak dan Edgard pun akhirnya memutuskan untuk mengirim pesan ke ponsel Janice saja, sebelum ia melajukan mobilnya langsung ke kantor. Tanpa Edgard ketahui, telepon Janice sedang sibuk karena saat ini Janice sedang menerima telepon dari seseorang yang membuat
Janice begitu gelisah setelah menerima telepon dari Harlan. Bahkan saking takutnya, kali ini ia sama sekali tidak berani menceritakan apa pun pada Edgard. Begitu sulit bersikap biasa saja di depan Edgard, Nara, dan semua orang. Namun, Janice bertahan. Bahkan Janice mulai berpikir untuk meninggalkan Edgard saja kalau memang itu bisa membuat semuanya selamat. Hanya saja, masih ada keraguan di hati Janice sampai membuatnya begitu gelisah sepanjang hari. "Kau kenapa, Janice? Seperti apa yang kau pikirkan?" tanya Edgard saat mereka sudah berada di kamar mereka malam itu. "Eh, aku tidak apa, Edgard," dusta Janice.Edgard pun berusaha mengerti Janice karena memang katanya mood ibu hamil selalu tidak stabil. Namun, Edgard berusaha membuat Janice santai dengan membicarakan tentang pernikahan mereka. "Hmm, kau saja yang mengatur semuanya," sahut Janice sambil memaksakan senyumnya. Malam itu pun Janice terlihat lebih banyak diam. Bahkan sampai keesokan harinya, Janice tetap gelisah sepa
Jantung Janice sudah berdebar tidak karuan melihat Collin yang berlari menyeberang sendirian di saat jalanan begitu ramai. Dengan cepat Janice pun mengejar anaknya itu namun suara klakson mobil membuatnya kaget dan langsung menoleh. Tin tin tin tin Suara klakson itu makin keras dan makin dekat dengan Collin yang sudah berteriak ketakutan. Janice sendiri terus menggeleng dengan air mata yang sudah bercucuran. "Collin!!!" teriak Janice yang berlari makin kencang dan dengan cepat menyambar tubuh anaknya itu. Rasanya Janice tidak peduli lagi pada apa pun dan ia hanya peduli pada keselamatan Collin, sekalipun ia harus mengorbankan nyawanya sendiri. Kejadiannya begitu cepat saat akhirnya Janice berhasil mendorong Collin menjauh, namun sayangnya ia sendiri tidak sempat menyelamatkan dirinya. "Aarrghh!" pekik Janice tertahan saat sebuah mobil menyambar tubuhnya. Brak!"Arrgghh!" pekik para pengguna jalan yang melihatnya. Untuk sesaat dunia seolah berhenti berputar dan semua berjalan
Dua hari menanti dengan perasaan yang tidak karuan membuat Edgard seperti orang gila. Edgard tidak bisa melakukan apa pun selain meratapi, berdoa, dan menemani Janice. Hingga akhirnya, hari itu, Janice mulai menunjukkan gerakannya. Nara, Elizabeth, Edgard, dan Jefry sudah berkumpul di sana saat Janice mulai bergerak dan Jefry pun langsung memanggil dokter.Edgard sendiri fokus pada Janice dan langsung menggenggam erat tangan Janice. "Janice, Janice! Kau sudah sadar? Kau sudah sadar?" Edgard menatap Janice sambil tersenyum penuh kelegaan. "Janice, akhirnya kau sadar, Janice! Akhirnya kau sadar!" Edgard membelai kepala Janice dengan sayang. Namun, Janice hanya mengedipkan matanya lemah. Untuk sesaat, Janice nampak linglung dan ia masih belum sadar di mana dirinya. Janice merasa seperti baru saja tidur panjang. Tidur yang sangat panjang tanpa mimpi apa pun dan tanpa perasaan apa pun. Dan saat ia sadar, semuanya terasa seperti baru lagi sampai ia benar-benar butuh waktu untuk meny
"Aku mempunyai sebuah firasat kalau kecelakaan ini juga direkayasa," kata Edgard terang-terangan saat semua orang sudah keluar dari kamar Janice. Elizabeth dan Nara pun membelalak mendengarnya. Sampai detik ini Edgard sama sekali belum menceritakan apa pun tentang Harlan dan Miriam pada Elizabeth karena itu, Elizabeth masih tidak mengerti apa pun. Namun, Nara mulai merinding membayangkan ini mungkin perbuatan Miriam dan Harlan. "Apa maksudmu, Edgard? Grandma tidak mengerti." "Nanti, Grandma. Aku akan menjelaskan nanti saat aku sudah punya bukti. Yang jelas, ada orang yang membenciku dan berusaha mencelakai Janice." Elizabeth menahan napas mendengarnya. "Jangan sembarangan kau, Edgard! Siapa dia? Mengapa kau tidak melapor ke polisi saja?" "Ini tidak semudah itu, Grandma. Tapi aku minta tolong, bekerja samalah denganku kali ini!" Edgard pun memberitahu Elizabeth apa yang harus ia katakan mengenai kondisi Janice dan Mefi yang mendengar perintah Edgard hanya melirik sambil mengangg
"Daphne Sayang, jangan lari!"Nara begitu gemas memanggil Daphne yang sedang asik merangkak kesana kemari bersama Denzel di sekeliling rumah. Semakin Nara mau menangkapnya, semakin Daphne merangkak kabur sambil terkikik dan berteriak. Collin dan Calista yang melihatnya sampai tertawa begitu senang melihat tingkah adik-adiknya. Nara sendiri pun akhirnya ikut tertawa dan tidak memanggil lagi. Hari ini genap satu tahun umur Daphne dan Denzel. Kedua anak kembar itu sudah begitu gemuk dan makin menggemaskan. Mereka juga sudah pintar merangkak kesana kemari, walaupun mereka belum mulai berjalan. Tingkah kedua anak itu begitu menggemaskan sampai gelak tawa pun tidak berhenti memenuhi rumah keluarga mereka setiap harinya. "Astaga, Sayang, mengapa kau bisa merangkak sampai ke sini!" pekik Janice yang baru saja keluar dari dapur. "Ah, Ibu sudah tidak kuat mengejarnya lagi, Janice! Daphne terlalu lincah!" protes Nara. Janice pun langsung terkekeh sambil mengangkat anaknya yang sudah ber
"Semuanya perkenalkan, ini Viola, calon istriku!" Keluarga Edgard mengadakan makan malam bersama hari itu. Sejak anak Edgard lahir, Edgard memang lebih sering melakukan open house mengundang keluarganya agar rumah selalu ramai. Semua orang akan saling membantu menjaga si kembar Denzel dan Daphne sampai Janice benar-benar terbebas dari yang namanya stres dan baby blues. Sungguh, kali ini Janice memiliki support system terbaik dan Janice sangat bahagia dengan banyak berkat berlimpah dalam hidupnya. Devan pun datang malam itu sambil membawa seorang wanita yang sangat cantik, seorang wanita yang awalnya adalah asisten Devan, tapi benih-benih cinta muncul di sana dan dengan bangga, Devan memperkenalkannya pada semua. Elizabeth yang mendengarnya pun langsung memekik kegirangan. "Wah, selamat, Devan! Selamat! Setelah Edgard, akhirnya sebentar lagi kau akan menyusul, lalu Devina juga menyusul. Semua cucu Grandma akan menikah dan memberikan Grandma banyak cicit! Ini kabar bahagia, sangat
Spanduk bertuliskan "One Month Celebration of Denzel and Daphne" terbentang di pinggir kolam renang rumah Edgard dan Janice hari itu. Hiasan balon-balon yang didominasi warna biru dan merah itu pun memenuhi dinding dan sepanjang jalan di sekitar kolam renang itu. Selain itu banyak hiasan lain yang menambah meriah suasana pagi itu. Hari ini tepat satu bulan bayi kembar Janice lahir ke dunia. Bayi kembar laki-laki dan perempuan itu diberi nama Denzel William dan Daphne William. Bayi kembar yang membawa kebahagiaan bagi keluarga Edgard dan menyempurnakan keluarga mereka yang tidak lagi kecil karena keluarga inti mereka berjumlah enam orang sekarang. Edgard pun akhirnya merasakan bagaimana lelahnya menjadi orang tua baru yang mengurusi dua bayi sekaligus. Walaupun mereka memakai dua orang baby sitter baru untuk bayi kembar mereka, tapi Edgard tetap ingin tidur dengan bayi mereka. Edgard ingin menemani Janice mengurus bayi kembar mereka sekaligus menebus rasa bersalah karena dulu J
Janice terus merasa gelisah dalam tidurnya menjelang subuh hari itu. Saat melahirkan sudah tinggal menghitung hari dan Janice tidak berhenti berdebar sampai membuatnya insomnia beberapa hari ini. Janice pun masih terus gelisah sendiri sampai ia merasakan rasa aneh di bawah tubuhnya. "Apa yang lembab ini? Mengapa perutku juga terasa melilit?" gumam Janice sambil perlahan Janice bangkit berdiri dan melangkah ke kamar mandi. Janice memeriksa dan ternyata ada darah di sana, tanda bahwa ia sudah waktunya melahirkan. Jantung Janice langsung memacu kencang, apalagi rasa sakit di perutnya mulai makin kencang seperti meremat perutnya. "Edgard! Edgard!" panggil Janice sambil melangkah keluar dari kamar mandi. Edgard yang tadinya masih tertidur lelap di samping Janice pun seketika langsung membuka matanya waspada. Sejak Janice hamil, Edgard selalu waspada kapan pun istrinya itu membutuhkannya sehingga hanya perlu sedikit suara untuk membuat Edgard langsung membuka matanya. "Janice, ada
When I was just a little girl ....I asked my mother, what will I be ....Will I be pretty? Will I be rich?Here's what she said to me ....Que sera, sera ....Whatever will be, will be ....The future's not ours to see ....Que sera, sera ....What will be, will be ....Suara Calista bernyanyi terdengar begitu merdu memenuhi ruangan serbaguna yang digunakan untuk acara pementasan sekolah hari itu. Semua orang pun langsung bertepuk tangan begitu acara selesai. Termasuk Edgard, Janice, Nara, dan Grandma Elizabeth yang ikut hadir sebagai penonton. Mereka bertepuk tangan sambil meneteskan air mata begitu bangga melihat Collin dan Calista bersama teman-teman mereka yang menampilkan pertunjukkan drama musical yang begitu indah.Para anak-anak itu berdialog dalam bahasa Inggris, mereka berinteraksi bersama, melangkah kesana kemari, menari, dan diakhiri dengan nyanyian yang begitu merdu dari Calista. Sungguh semua orang tua yang melihatnya begitu bangga pada anak-anak mereka. Nara dan El
Di umur kehamilan Janice yang memasuki lima bulan, Edgard mengajak Janice melakukan babymoon sekaligus berlibur bersama keluarga mereka. Edgard membawa serta Nara, Collin, Calista, dan pengasuh kecil mereka, berlibur ke Bali. "Karena aku tidak mau mengambil resiko, jadi kita akan pergi ke tempat yang dekat saja ya, Sayang. Aku sudah menyuruh Jefry menyiapkan semuanya dan kita tinggal menyusun barang pribadi kita saja," kata Edgard malam itu saat mereka sudah berdua di kamar. "Ya ampun, Edgard, aku sungguh tidak perlu babymoon seperti ini." Edgard tersenyum lalu menangkup kedua tangan istrinya itu. "Janice, Sayang, babymoon memang bukan merupakan keharusan, bahkan honeymoon juga bukan merupakan keharusan." "Semua pasangan akan tetap baik-baik saja tanpa honeymoon maupun babymoon." "Hanya saja bedanya, ada pasangan yang memang menginginkannya dan kalau mereka mampu, mereka akan melakukannya." "Begitu juga dengan aku, Sayang. Aku menginginkannya, menyenangkanmu dan anak-anak kita
"Kembar lagi? Grandma akan punya cicit kembar lagi?" Elizabeth memekik senang saat Edgard memberitahunya tentang kehamilan Janice. "Benar, Grandma akan punya cicit lagi dan bukan hanya satu bayi tapi dua sekaligus," tegas Edgard. "Oh, Mefi, kau dengar itu? Oh, Grandma senang sekali! Grandma senang sekali! Janice ... oh, cucu Grandma ...." Elizabeth merentangkan kedua tangannya dan Janice pun langsung masuk ke dalam pelukan wanita tua itu. "Oh, cucu Grandma! Dengar ya, mulai hari ini Grandma akan selalu menyiapkan makanan sehat untukmu, Janice. Kau harus punya tenaga untuk menjaga dan melahirkan bayi kembar yang lucu itu. Haha ...." Janice hanya tertawa senang di pelukan Elizabeth dan Janice mengangguk bersemangat. Memang Janice belum sepenuhnya segar karena kehamilan kembar membuatnya begitu mudah lelah dan mengalami morning sickness parah, tapi ia begitu antusias melihat kebahagiaan semua orang. Elizabeth dan Nara pun langsung asik sendiri membayangkan anggota keluarga baru
Beberapa waktu berlalu dan Janice serta Edgard sudah kembali disibukkan dengan banyaknya kegiatan serta pekerjaan mereka. Pekerjaan Edgard makin sibuk dan makin berkembang, sedangkan Janice membantu suaminya dengan sepenuh hati sambil mengurus kedua anaknya. Namun, padatnya kegiatan mereka akhirnya membuat Janice tumbang juga. "Kau yakin tidak perlu ke dokter, Sayang? Aku tidak tega melihatmu seperti ini, apalagi aku harus ke luar kota besok," seru Edgard cemas. "Aku hanya kelelahan. Aku hanya butuh istirahat, Edgard! Sudahlah, tidak usah cemas!" Janice terus menenangkan Edgard sampai Edgard pun akhirnya pasrah. Namun, saat Edgard ke luar kota, Janice mulai mengalami mual-mual dan gejala yang mencurigakan bagi Nara. "Cobalah melakukan tespek, Janice! Ibu rasa kau sedang hamil." "Ah, tidak, Ibu. Aku hanya kelelahan, tidak apa." Janice berdebar mendengar kemungkinan ia hamil, tapi rasa trauma kehilangan janinnya masih membuatnya takut kecewa kalau ternyata ia tidak hamil. Jani
"Cheers!" Edgard dan Janice bersulang malam itu setelah menikmati makan malam romantis di restoran resort. Mereka pun tidak berhenti saling menatap dan melemparkan senyum. Setelah sepanjang sore berjalan bergandengan tangan menyusuri resort, mereka pun begitu kelaparan sampai Janice makan begitu banyak. "Bagaimana rasa winenya, Sayang?" "Hmm, ada rasa manis tapi ada pahitnya juga." "Kau menyukainya?" "Hmm, tidak. Tapi aku mau meminumnya sedikit lagi. Apa ini tidak membuat mabuk?" "Tidak, Sayang. Kecuali kau minum satu botol. Haha!" Edgard hanya tertawa mendengarnya. "Lagipula kalau kau mabuk, kau aman bersamaku, Sayang."Janice pun tertawa lebar mendengarnya dan terus meneguk winenya sambil memejamkan matanya. "Hmm, apa acara kita setelah ini, Edgard?" Edgard menaikkan alis mendengarnya. "Acara kita? Apa yang bisa kita lakukan di malam hari, Sayang? Haha, tentu saja berdua di kamar, bahkan mungkin kita tidak akan keluar sampai besok siang." "Astaga, Edgard! Kau membuatku me