Janice begitu gelisah setelah menerima telepon dari Harlan. Bahkan saking takutnya, kali ini ia sama sekali tidak berani menceritakan apa pun pada Edgard. Begitu sulit bersikap biasa saja di depan Edgard, Nara, dan semua orang. Namun, Janice bertahan. Bahkan Janice mulai berpikir untuk meninggalkan Edgard saja kalau memang itu bisa membuat semuanya selamat. Hanya saja, masih ada keraguan di hati Janice sampai membuatnya begitu gelisah sepanjang hari. "Kau kenapa, Janice? Seperti apa yang kau pikirkan?" tanya Edgard saat mereka sudah berada di kamar mereka malam itu. "Eh, aku tidak apa, Edgard," dusta Janice.Edgard pun berusaha mengerti Janice karena memang katanya mood ibu hamil selalu tidak stabil. Namun, Edgard berusaha membuat Janice santai dengan membicarakan tentang pernikahan mereka. "Hmm, kau saja yang mengatur semuanya," sahut Janice sambil memaksakan senyumnya. Malam itu pun Janice terlihat lebih banyak diam. Bahkan sampai keesokan harinya, Janice tetap gelisah sepa
Jantung Janice sudah berdebar tidak karuan melihat Collin yang berlari menyeberang sendirian di saat jalanan begitu ramai. Dengan cepat Janice pun mengejar anaknya itu namun suara klakson mobil membuatnya kaget dan langsung menoleh. Tin tin tin tin Suara klakson itu makin keras dan makin dekat dengan Collin yang sudah berteriak ketakutan. Janice sendiri terus menggeleng dengan air mata yang sudah bercucuran. "Collin!!!" teriak Janice yang berlari makin kencang dan dengan cepat menyambar tubuh anaknya itu. Rasanya Janice tidak peduli lagi pada apa pun dan ia hanya peduli pada keselamatan Collin, sekalipun ia harus mengorbankan nyawanya sendiri. Kejadiannya begitu cepat saat akhirnya Janice berhasil mendorong Collin menjauh, namun sayangnya ia sendiri tidak sempat menyelamatkan dirinya. "Aarrghh!" pekik Janice tertahan saat sebuah mobil menyambar tubuhnya. Brak!"Arrgghh!" pekik para pengguna jalan yang melihatnya. Untuk sesaat dunia seolah berhenti berputar dan semua berjalan
Dua hari menanti dengan perasaan yang tidak karuan membuat Edgard seperti orang gila. Edgard tidak bisa melakukan apa pun selain meratapi, berdoa, dan menemani Janice. Hingga akhirnya, hari itu, Janice mulai menunjukkan gerakannya. Nara, Elizabeth, Edgard, dan Jefry sudah berkumpul di sana saat Janice mulai bergerak dan Jefry pun langsung memanggil dokter.Edgard sendiri fokus pada Janice dan langsung menggenggam erat tangan Janice. "Janice, Janice! Kau sudah sadar? Kau sudah sadar?" Edgard menatap Janice sambil tersenyum penuh kelegaan. "Janice, akhirnya kau sadar, Janice! Akhirnya kau sadar!" Edgard membelai kepala Janice dengan sayang. Namun, Janice hanya mengedipkan matanya lemah. Untuk sesaat, Janice nampak linglung dan ia masih belum sadar di mana dirinya. Janice merasa seperti baru saja tidur panjang. Tidur yang sangat panjang tanpa mimpi apa pun dan tanpa perasaan apa pun. Dan saat ia sadar, semuanya terasa seperti baru lagi sampai ia benar-benar butuh waktu untuk meny
"Aku mempunyai sebuah firasat kalau kecelakaan ini juga direkayasa," kata Edgard terang-terangan saat semua orang sudah keluar dari kamar Janice. Elizabeth dan Nara pun membelalak mendengarnya. Sampai detik ini Edgard sama sekali belum menceritakan apa pun tentang Harlan dan Miriam pada Elizabeth karena itu, Elizabeth masih tidak mengerti apa pun. Namun, Nara mulai merinding membayangkan ini mungkin perbuatan Miriam dan Harlan. "Apa maksudmu, Edgard? Grandma tidak mengerti." "Nanti, Grandma. Aku akan menjelaskan nanti saat aku sudah punya bukti. Yang jelas, ada orang yang membenciku dan berusaha mencelakai Janice." Elizabeth menahan napas mendengarnya. "Jangan sembarangan kau, Edgard! Siapa dia? Mengapa kau tidak melapor ke polisi saja?" "Ini tidak semudah itu, Grandma. Tapi aku minta tolong, bekerja samalah denganku kali ini!" Edgard pun memberitahu Elizabeth apa yang harus ia katakan mengenai kondisi Janice dan Mefi yang mendengar perintah Edgard hanya melirik sambil mengangg
Seorang pria nampak mengendap-endap naik ke arah kamar tidur Edgard, tempat Edgard dan Janice biasanya tidur. Pria itu yang merupakan mata-mata Harlan mendapat tugas untuk melenyapkan barang bukti yang dikirim Harlan untuk Janice, namun sialnya hingga dua hari berlalu, ia belum juga berhasil. Alasannya karena bodyguard tidak punya kepentingan masuk ke dalam rumah apalagi sampai ke kamar utama. Dan alasan yang kedua adalah Nara bersama si kembar maupun Tito selalu berada di dekat kamar sampai ia tidak bisa berkutik. Namun, siang itu pria bernama Edo itu berhasil naik ke kamar setelah ia melirik ke sekeliling. Edo pun sudah mematikan CCTV sehingga CCTV itu tidak merekam kedatangannya. Edo terus melangkah sampai ke kamar Edgard, namun tanpa ia ketahui Tito yang sedang menemani Collin bermain pun melihatnya. "Sstt, Collin! Tunggu sebentar, jangan bersuara! Kita ke kamar Papa ya!" ajak Tito yang tadinya masih ada di taman dan barusan masuk ke rumah. Tito sudah curiga melihat Edo ya
Miriam masih menyeringai di meja kerjanya saat mendengar laporan tentang kondisi Janice. "Benarkah dia keguguran dan kritis?" "Begitulah yang aku dengar, Bu. Tapi aku belum memastikan sendiri karena Pak Edgard terus berada di kamar itu." "Hmm, lebih bagus lagi kalau dia mati saja, Harlan. Tidak ada bayi lagi, tidak ada Janice lagi. Selanjutnya kita tinggal merekayasa tes DNA anak kembar itu lalu mendepak mereka semua dari rumah itu. Sempurna sekali!" "Hmm, Anda mau aku melakukan sesuatu, Bu?" "Tentu saja, Harlan! Aku sedang mempertimbangkan untuk mempercepat kematian wanita itu. Kita akan melihat langsung kondisinya, Harlan."Harlan yang mendengarnya hanya mengangguk, namun belum sempat ia mengatakan apa-apa lagi, pintu ruang kerja sudah dibuka dan Devan pun pulang dari kantornya untuk memberitahu Miriam tentang kondisi Janice sesuai dengan instruksi Edgard. "Aku mau bicara dengan ibuku, kau keluarlah!" Seperti biasa, Devan selalu tidak nyaman dengan keberadaan Harlan. "Baiklah
Edgard baru saja selesai menelepon Jefry dan melangkah kembali ke ruangan Janice saat ia melihat Miriam dan Harlan yang masuk ke sana. Sontak saja Edgard langsung mengurungkan niatnya masuk dan segera pergi ke ruang tunggu di sisi yang lain. Buru-buru Edgard menyalakan ponselnya yang sudah terhubung dengan kamera yang ada di ruangan Janice dan ia pun memasang handsfree dan mengeraskan suaranya sambil menatap layar ponselnya. Terlihat Miriam masuk bersama Harlan dan menyapa Janice. Awalnya Miriam hanya terdengar sinis namun saat Janice memaksanya, akhirnya Miriam mengakui sesuatu yang membuat Edgard langsung patah hati terhadap sosok wanita yang selama ini ia anggap sebagai pengganti ibunya itu. "Aku, Janice! Aku! Sudah kubilang kau akan menyesal kalau tidak menurutiku kan? Dan inilah akhirnya, Janice! Jangan pernah menganggap ucapanku main-main karena setelah kau, maka kedua anakmu dan ibumu juga akan menyusul!" ancam Miriam begitu tegas sampai Edgard pun menggertakkan giginya ge
Janice masih bernapas lega saat akhirnya jarum suntik yang dipegang oleh Harlan jatuh ke lantai. Walaupun Janice tidak tahu suntikan apa itu, tapi Janice tahu kalau suntikan itu pasti berbahaya. Namun sialnya, kelegaan Janice tidak bertahan lama saat mendadak Harlan malah melingkarkan tangan di leher Janice dan mencekiknya. "Akhh, lepas! Lepas!" Janice pun terus memukul tangan Harlan tapi Harlan mencekiknya makin keras. "Mati kau, Janice! Menyusahkan saja!" seru Harlan geram. "Akhh, akhh ...." Janice masih terus berusaha melepaskan tangan Harlan sampai akhirnya suara Miriam terdengar menyuruh Harlan menyuntik Janice saja. Dalam hatinya, Janice sudah merasa bahwa mungkin ini akhir hidupnya. Namun, baru saja Miriam memungut jarum suntik dari lantai, mendadak pintu kamar terbuka dan Edgard pun muncul dengan napasnya yang tersengal. "Apa yang kalian lakukan di sini, Tante Miriam?" Sontak Miriam dan Harlan menoleh dengan kaget sampai mereka membelalak. Miriam langsung menyembunyi