Miriam masih menyeringai di meja kerjanya saat mendengar laporan tentang kondisi Janice. "Benarkah dia keguguran dan kritis?" "Begitulah yang aku dengar, Bu. Tapi aku belum memastikan sendiri karena Pak Edgard terus berada di kamar itu." "Hmm, lebih bagus lagi kalau dia mati saja, Harlan. Tidak ada bayi lagi, tidak ada Janice lagi. Selanjutnya kita tinggal merekayasa tes DNA anak kembar itu lalu mendepak mereka semua dari rumah itu. Sempurna sekali!" "Hmm, Anda mau aku melakukan sesuatu, Bu?" "Tentu saja, Harlan! Aku sedang mempertimbangkan untuk mempercepat kematian wanita itu. Kita akan melihat langsung kondisinya, Harlan."Harlan yang mendengarnya hanya mengangguk, namun belum sempat ia mengatakan apa-apa lagi, pintu ruang kerja sudah dibuka dan Devan pun pulang dari kantornya untuk memberitahu Miriam tentang kondisi Janice sesuai dengan instruksi Edgard. "Aku mau bicara dengan ibuku, kau keluarlah!" Seperti biasa, Devan selalu tidak nyaman dengan keberadaan Harlan. "Baiklah
Edgard baru saja selesai menelepon Jefry dan melangkah kembali ke ruangan Janice saat ia melihat Miriam dan Harlan yang masuk ke sana. Sontak saja Edgard langsung mengurungkan niatnya masuk dan segera pergi ke ruang tunggu di sisi yang lain. Buru-buru Edgard menyalakan ponselnya yang sudah terhubung dengan kamera yang ada di ruangan Janice dan ia pun memasang handsfree dan mengeraskan suaranya sambil menatap layar ponselnya. Terlihat Miriam masuk bersama Harlan dan menyapa Janice. Awalnya Miriam hanya terdengar sinis namun saat Janice memaksanya, akhirnya Miriam mengakui sesuatu yang membuat Edgard langsung patah hati terhadap sosok wanita yang selama ini ia anggap sebagai pengganti ibunya itu. "Aku, Janice! Aku! Sudah kubilang kau akan menyesal kalau tidak menurutiku kan? Dan inilah akhirnya, Janice! Jangan pernah menganggap ucapanku main-main karena setelah kau, maka kedua anakmu dan ibumu juga akan menyusul!" ancam Miriam begitu tegas sampai Edgard pun menggertakkan giginya ge
Janice masih bernapas lega saat akhirnya jarum suntik yang dipegang oleh Harlan jatuh ke lantai. Walaupun Janice tidak tahu suntikan apa itu, tapi Janice tahu kalau suntikan itu pasti berbahaya. Namun sialnya, kelegaan Janice tidak bertahan lama saat mendadak Harlan malah melingkarkan tangan di leher Janice dan mencekiknya. "Akhh, lepas! Lepas!" Janice pun terus memukul tangan Harlan tapi Harlan mencekiknya makin keras. "Mati kau, Janice! Menyusahkan saja!" seru Harlan geram. "Akhh, akhh ...." Janice masih terus berusaha melepaskan tangan Harlan sampai akhirnya suara Miriam terdengar menyuruh Harlan menyuntik Janice saja. Dalam hatinya, Janice sudah merasa bahwa mungkin ini akhir hidupnya. Namun, baru saja Miriam memungut jarum suntik dari lantai, mendadak pintu kamar terbuka dan Edgard pun muncul dengan napasnya yang tersengal. "Apa yang kalian lakukan di sini, Tante Miriam?" Sontak Miriam dan Harlan menoleh dengan kaget sampai mereka membelalak. Miriam langsung menyembunyi
Miriam berlari dan terus berlari sambil sesekali menoleh ke belakang, melihat apa ada orang yang mengejarnya namun untungnya tidak ada sama sekali. Miriam sudah tidak tahu dan tidak mau peduli lagi pada Harlan saat ini karena Miriam hanya tahu kalau ia harus menyelamatkan dirinya. Bahkan Harlan yang begitu tangguh saja bisa dipukuli oleh Edgard, bagaimana dengan dirinya. "Sial, Edgard! Sial! Mengapa jadi seperti ini! Akkhh!" Miriam pun meringis merasakan sepatu hak tingginya yang membuatnya hampir terjatuh. Namun, Miriam segera berdiri lagi sambil terus berlari kecil. Beberapa orang di sekitarnya nampak menatap ke arah Miriam dengan penuh tanya sampai Miriam merasa begitu tidak nyaman. Namun, Miriam mengabaikannya dan terus berlari sampai ke parkiran mobil. Dengan cepat, Miriam merogoh tasnya untuk mencari kunci mobilnya, namun sialnya kunci itu tidak ada. "Akhh, kunci mobilnya ada di Harlan karena dia yang menyetir mobilnya! Akkhh! Aku harus pergi dari sini! Ya, aku harus pe
"Apa yang Ibu lakukan? Mengapa Ibu berkemas?"Devan mengernyit menatap Miriam yang pulang ke rumah dalam keadaan gelisah. Miriam pun tidak banyak bicara dan langsung mengemasi bajunya ke dalam koper sampai Devan pun tidak berhenti bertanya. "Ibu, aku sedang bertanya! Apa yang Ibu lakukan malam-malam begini? Bukankah Ibu baru saja dari rumah sakit untuk melihat Janice? Dan juga, mana Harlan? Mengapa aku tidak melihatnya? Mobil Ibu juga tidak ada." "Apa yang terjadi, Ibu? Bicaralah! Ceritakan padaku! Jangan membuatku bingung seperti ini!" Devan terus berceloteh dan bertanya pada Miriam tentang apa yang terjadi, namun Miriam tidak pernah benar-benar menjawabnya. "Jangan bertanya lagi, Devan! Jangan bertanya lagi dan biarkan Ibu menyelesaikan semuanya karena Ibu tidak punya banyak waktu!" kecam Miriam sambil menutup kopernya. Miriam pun melangkah ke ruang kerjanya dan mengambil barang berharga lainnya lalu mengemasnya menjadi satu di koper yang sama. Devan sendiri terus mengikuti M
Nara terus menangis malam itu saat mendengar apa yang hampir menimpa Janice. Nara yang selalu dijaga oleh Tito pun bernapas lega karena akhirnya Harlan bisa tertangkap, namun hatinya tetap masih tidak bisa tenang. "Tolong jaga Janice, Edgard! Tolong jaga Janice! Jangan biarkan Janice menghadapi semuanya sendiri! Kumohon! Janice sudah kehilangan janinnya! Tolong!" Nara hanya bisa memohon pada Edgard karena ia tidak bisa pergi ke rumah sakit dan meninggalkan anak-anak sendirian di rumah. Entah sudah berapa kali Nara meminta Edgard untuk menjaga Janice karena hanya itu yang bisa ia lakukan."Tante tenang saja. Aku sudah bilang aku akan menjaga Janice kan? Aku bersumpah akan menjaga Janice, Tante!" sahut Edgard penuh kesungguhan. Nara pun mengangguk dan tersenyum. "Terima kasih, Edgard! Terima kasih! Bagaimana dia sekarang?" "Dia sudah tidur, Tante. Tapi Jefry sudah pulang untuk menjaga Tante dan anak-anak. Jangan takut akan apa pun karena semua orang di rumah akan melindungi kalian
"Mama ...." Collin dan Calista mengunjungi Janice bersama Nara dan Jefry pagi itu dan Janice begitu senang melihat keluarganya. "Collin, Calista ...." Janice merentangkan tangannya dan anak kembarnya itu pun masuk ke dalam pelukannya. "Mama jangan lama-lama pulangnya ...," bisik Calista manja. "Mama juga mau cepat pulang, Sayang ...." "Collin mau tidur sama Mama nanti kalau Mama sudah pulang." "Mama mau, Sayang! Mama mau! Kita tidur sama-sama di ranjang besar ya," sahut Janice sambil menciumi kening Collin. Collin dan Calista pun mengangguk dan memeluk Janice makin erat. Nara, Jefry, dan Edgard pun hanya tersenyum melihatnya. "Ibu senang kondisimu sudah membaik, Janice." Nara mendekati Janice dan membelai kepalanya sayang. "Hmm, aku sudah lebih baik, Ibu," jawab Janice sambil tersenyum. "Tentang kemarin ...." Nara yang mau bicara pun ditatap oleh Janice dan Janice pun menggeleng. Nara pun mengerti maksudnya dan tidak melanjutkan ucapannya lagi. Yang penting sekarang sem
Suasana masih begitu sedih di rumah Elizabeth saat mendadak Elizabeth menghampiri Edgard dan Devan yang memang duduk bersebelahan dan hampir berlutut di depan mereka. "Apa yang Grandma lakukan? Jangan begini!" Edgard yang melihatnya langsung menangkap Elizabeth dan membawanya kembali duduk di sofa. Elizabeth pun akhirnya duduk di tengah Edgard dan Devan dan Nenek tua itu pun langsung membawa kedua cucunya itu ke dalam pelukannya. "Maafkan Grandma! Maafkan Grandma! Mungkin Grandma yang sudah salah mendidik anak Grandma!" ucap Elizabeth dengan nada yang begitu pilu. "Tidak, Grandma! Tidak! Grandma tidak salah!" sahut Edgard yang berusaha bijak. "Grandma tahu Grandma salah, Edgard. Tidak usah membela Grandma lagi! Kalau anak Grandma menjadi buruk, itu adalah salah Grandma!" tegas Elizabeth lagi. Elizabeth pun menoleh ke arah Devan yang juga masih berada di dalam pelukannya. "Maafkan Grandma juga, Devan! Ibumu menjadi seperti ini pasti karena dia tidak setuju dengan semua keputu
"Daphne Sayang, jangan lari!"Nara begitu gemas memanggil Daphne yang sedang asik merangkak kesana kemari bersama Denzel di sekeliling rumah. Semakin Nara mau menangkapnya, semakin Daphne merangkak kabur sambil terkikik dan berteriak. Collin dan Calista yang melihatnya sampai tertawa begitu senang melihat tingkah adik-adiknya. Nara sendiri pun akhirnya ikut tertawa dan tidak memanggil lagi. Hari ini genap satu tahun umur Daphne dan Denzel. Kedua anak kembar itu sudah begitu gemuk dan makin menggemaskan. Mereka juga sudah pintar merangkak kesana kemari, walaupun mereka belum mulai berjalan. Tingkah kedua anak itu begitu menggemaskan sampai gelak tawa pun tidak berhenti memenuhi rumah keluarga mereka setiap harinya. "Astaga, Sayang, mengapa kau bisa merangkak sampai ke sini!" pekik Janice yang baru saja keluar dari dapur. "Ah, Ibu sudah tidak kuat mengejarnya lagi, Janice! Daphne terlalu lincah!" protes Nara. Janice pun langsung terkekeh sambil mengangkat anaknya yang sudah ber
"Semuanya perkenalkan, ini Viola, calon istriku!" Keluarga Edgard mengadakan makan malam bersama hari itu. Sejak anak Edgard lahir, Edgard memang lebih sering melakukan open house mengundang keluarganya agar rumah selalu ramai. Semua orang akan saling membantu menjaga si kembar Denzel dan Daphne sampai Janice benar-benar terbebas dari yang namanya stres dan baby blues. Sungguh, kali ini Janice memiliki support system terbaik dan Janice sangat bahagia dengan banyak berkat berlimpah dalam hidupnya. Devan pun datang malam itu sambil membawa seorang wanita yang sangat cantik, seorang wanita yang awalnya adalah asisten Devan, tapi benih-benih cinta muncul di sana dan dengan bangga, Devan memperkenalkannya pada semua. Elizabeth yang mendengarnya pun langsung memekik kegirangan. "Wah, selamat, Devan! Selamat! Setelah Edgard, akhirnya sebentar lagi kau akan menyusul, lalu Devina juga menyusul. Semua cucu Grandma akan menikah dan memberikan Grandma banyak cicit! Ini kabar bahagia, sangat
Spanduk bertuliskan "One Month Celebration of Denzel and Daphne" terbentang di pinggir kolam renang rumah Edgard dan Janice hari itu. Hiasan balon-balon yang didominasi warna biru dan merah itu pun memenuhi dinding dan sepanjang jalan di sekitar kolam renang itu. Selain itu banyak hiasan lain yang menambah meriah suasana pagi itu. Hari ini tepat satu bulan bayi kembar Janice lahir ke dunia. Bayi kembar laki-laki dan perempuan itu diberi nama Denzel William dan Daphne William. Bayi kembar yang membawa kebahagiaan bagi keluarga Edgard dan menyempurnakan keluarga mereka yang tidak lagi kecil karena keluarga inti mereka berjumlah enam orang sekarang. Edgard pun akhirnya merasakan bagaimana lelahnya menjadi orang tua baru yang mengurusi dua bayi sekaligus. Walaupun mereka memakai dua orang baby sitter baru untuk bayi kembar mereka, tapi Edgard tetap ingin tidur dengan bayi mereka. Edgard ingin menemani Janice mengurus bayi kembar mereka sekaligus menebus rasa bersalah karena dulu J
Janice terus merasa gelisah dalam tidurnya menjelang subuh hari itu. Saat melahirkan sudah tinggal menghitung hari dan Janice tidak berhenti berdebar sampai membuatnya insomnia beberapa hari ini. Janice pun masih terus gelisah sendiri sampai ia merasakan rasa aneh di bawah tubuhnya. "Apa yang lembab ini? Mengapa perutku juga terasa melilit?" gumam Janice sambil perlahan Janice bangkit berdiri dan melangkah ke kamar mandi. Janice memeriksa dan ternyata ada darah di sana, tanda bahwa ia sudah waktunya melahirkan. Jantung Janice langsung memacu kencang, apalagi rasa sakit di perutnya mulai makin kencang seperti meremat perutnya. "Edgard! Edgard!" panggil Janice sambil melangkah keluar dari kamar mandi. Edgard yang tadinya masih tertidur lelap di samping Janice pun seketika langsung membuka matanya waspada. Sejak Janice hamil, Edgard selalu waspada kapan pun istrinya itu membutuhkannya sehingga hanya perlu sedikit suara untuk membuat Edgard langsung membuka matanya. "Janice, ada
When I was just a little girl ....I asked my mother, what will I be ....Will I be pretty? Will I be rich?Here's what she said to me ....Que sera, sera ....Whatever will be, will be ....The future's not ours to see ....Que sera, sera ....What will be, will be ....Suara Calista bernyanyi terdengar begitu merdu memenuhi ruangan serbaguna yang digunakan untuk acara pementasan sekolah hari itu. Semua orang pun langsung bertepuk tangan begitu acara selesai. Termasuk Edgard, Janice, Nara, dan Grandma Elizabeth yang ikut hadir sebagai penonton. Mereka bertepuk tangan sambil meneteskan air mata begitu bangga melihat Collin dan Calista bersama teman-teman mereka yang menampilkan pertunjukkan drama musical yang begitu indah.Para anak-anak itu berdialog dalam bahasa Inggris, mereka berinteraksi bersama, melangkah kesana kemari, menari, dan diakhiri dengan nyanyian yang begitu merdu dari Calista. Sungguh semua orang tua yang melihatnya begitu bangga pada anak-anak mereka. Nara dan El
Di umur kehamilan Janice yang memasuki lima bulan, Edgard mengajak Janice melakukan babymoon sekaligus berlibur bersama keluarga mereka. Edgard membawa serta Nara, Collin, Calista, dan pengasuh kecil mereka, berlibur ke Bali. "Karena aku tidak mau mengambil resiko, jadi kita akan pergi ke tempat yang dekat saja ya, Sayang. Aku sudah menyuruh Jefry menyiapkan semuanya dan kita tinggal menyusun barang pribadi kita saja," kata Edgard malam itu saat mereka sudah berdua di kamar. "Ya ampun, Edgard, aku sungguh tidak perlu babymoon seperti ini." Edgard tersenyum lalu menangkup kedua tangan istrinya itu. "Janice, Sayang, babymoon memang bukan merupakan keharusan, bahkan honeymoon juga bukan merupakan keharusan." "Semua pasangan akan tetap baik-baik saja tanpa honeymoon maupun babymoon." "Hanya saja bedanya, ada pasangan yang memang menginginkannya dan kalau mereka mampu, mereka akan melakukannya." "Begitu juga dengan aku, Sayang. Aku menginginkannya, menyenangkanmu dan anak-anak kita
"Kembar lagi? Grandma akan punya cicit kembar lagi?" Elizabeth memekik senang saat Edgard memberitahunya tentang kehamilan Janice. "Benar, Grandma akan punya cicit lagi dan bukan hanya satu bayi tapi dua sekaligus," tegas Edgard. "Oh, Mefi, kau dengar itu? Oh, Grandma senang sekali! Grandma senang sekali! Janice ... oh, cucu Grandma ...." Elizabeth merentangkan kedua tangannya dan Janice pun langsung masuk ke dalam pelukan wanita tua itu. "Oh, cucu Grandma! Dengar ya, mulai hari ini Grandma akan selalu menyiapkan makanan sehat untukmu, Janice. Kau harus punya tenaga untuk menjaga dan melahirkan bayi kembar yang lucu itu. Haha ...." Janice hanya tertawa senang di pelukan Elizabeth dan Janice mengangguk bersemangat. Memang Janice belum sepenuhnya segar karena kehamilan kembar membuatnya begitu mudah lelah dan mengalami morning sickness parah, tapi ia begitu antusias melihat kebahagiaan semua orang. Elizabeth dan Nara pun langsung asik sendiri membayangkan anggota keluarga baru
Beberapa waktu berlalu dan Janice serta Edgard sudah kembali disibukkan dengan banyaknya kegiatan serta pekerjaan mereka. Pekerjaan Edgard makin sibuk dan makin berkembang, sedangkan Janice membantu suaminya dengan sepenuh hati sambil mengurus kedua anaknya. Namun, padatnya kegiatan mereka akhirnya membuat Janice tumbang juga. "Kau yakin tidak perlu ke dokter, Sayang? Aku tidak tega melihatmu seperti ini, apalagi aku harus ke luar kota besok," seru Edgard cemas. "Aku hanya kelelahan. Aku hanya butuh istirahat, Edgard! Sudahlah, tidak usah cemas!" Janice terus menenangkan Edgard sampai Edgard pun akhirnya pasrah. Namun, saat Edgard ke luar kota, Janice mulai mengalami mual-mual dan gejala yang mencurigakan bagi Nara. "Cobalah melakukan tespek, Janice! Ibu rasa kau sedang hamil." "Ah, tidak, Ibu. Aku hanya kelelahan, tidak apa." Janice berdebar mendengar kemungkinan ia hamil, tapi rasa trauma kehilangan janinnya masih membuatnya takut kecewa kalau ternyata ia tidak hamil. Jani
"Cheers!" Edgard dan Janice bersulang malam itu setelah menikmati makan malam romantis di restoran resort. Mereka pun tidak berhenti saling menatap dan melemparkan senyum. Setelah sepanjang sore berjalan bergandengan tangan menyusuri resort, mereka pun begitu kelaparan sampai Janice makan begitu banyak. "Bagaimana rasa winenya, Sayang?" "Hmm, ada rasa manis tapi ada pahitnya juga." "Kau menyukainya?" "Hmm, tidak. Tapi aku mau meminumnya sedikit lagi. Apa ini tidak membuat mabuk?" "Tidak, Sayang. Kecuali kau minum satu botol. Haha!" Edgard hanya tertawa mendengarnya. "Lagipula kalau kau mabuk, kau aman bersamaku, Sayang."Janice pun tertawa lebar mendengarnya dan terus meneguk winenya sambil memejamkan matanya. "Hmm, apa acara kita setelah ini, Edgard?" Edgard menaikkan alis mendengarnya. "Acara kita? Apa yang bisa kita lakukan di malam hari, Sayang? Haha, tentu saja berdua di kamar, bahkan mungkin kita tidak akan keluar sampai besok siang." "Astaga, Edgard! Kau membuatku me