"Mama ...." Collin dan Calista mengunjungi Janice bersama Nara dan Jefry pagi itu dan Janice begitu senang melihat keluarganya. "Collin, Calista ...." Janice merentangkan tangannya dan anak kembarnya itu pun masuk ke dalam pelukannya. "Mama jangan lama-lama pulangnya ...," bisik Calista manja. "Mama juga mau cepat pulang, Sayang ...." "Collin mau tidur sama Mama nanti kalau Mama sudah pulang." "Mama mau, Sayang! Mama mau! Kita tidur sama-sama di ranjang besar ya," sahut Janice sambil menciumi kening Collin. Collin dan Calista pun mengangguk dan memeluk Janice makin erat. Nara, Jefry, dan Edgard pun hanya tersenyum melihatnya. "Ibu senang kondisimu sudah membaik, Janice." Nara mendekati Janice dan membelai kepalanya sayang. "Hmm, aku sudah lebih baik, Ibu," jawab Janice sambil tersenyum. "Tentang kemarin ...." Nara yang mau bicara pun ditatap oleh Janice dan Janice pun menggeleng. Nara pun mengerti maksudnya dan tidak melanjutkan ucapannya lagi. Yang penting sekarang sem
Suasana masih begitu sedih di rumah Elizabeth saat mendadak Elizabeth menghampiri Edgard dan Devan yang memang duduk bersebelahan dan hampir berlutut di depan mereka. "Apa yang Grandma lakukan? Jangan begini!" Edgard yang melihatnya langsung menangkap Elizabeth dan membawanya kembali duduk di sofa. Elizabeth pun akhirnya duduk di tengah Edgard dan Devan dan Nenek tua itu pun langsung membawa kedua cucunya itu ke dalam pelukannya. "Maafkan Grandma! Maafkan Grandma! Mungkin Grandma yang sudah salah mendidik anak Grandma!" ucap Elizabeth dengan nada yang begitu pilu. "Tidak, Grandma! Tidak! Grandma tidak salah!" sahut Edgard yang berusaha bijak. "Grandma tahu Grandma salah, Edgard. Tidak usah membela Grandma lagi! Kalau anak Grandma menjadi buruk, itu adalah salah Grandma!" tegas Elizabeth lagi. Elizabeth pun menoleh ke arah Devan yang juga masih berada di dalam pelukannya. "Maafkan Grandma juga, Devan! Ibumu menjadi seperti ini pasti karena dia tidak setuju dengan semua keputu
Beberapa hari berlalu dan kondisi Janice pun makin membaik, namun dokter masih belum mengijinkannya pulang karena dokter masih ingin memantau kondisi Janice beberapa hari lagi. Janice hanya masih sering melow saat mengingat janin di perutnya yang harus pergi dengan cara seperti itu. "Apa yang kau pikirkan, Janice?" tanya Edgard yang menghampiri Janice dan berdiri di samping ranjangnya. Janice menggeleng. "Tidak ada," dusta Janice."Jangan bohong, Janice! Aku bisa melihat ekspresimu yang begitu melow. Apa kau memikirkan anak kita lagi?" Janice yang mendengarnya pun menatap Edgard lebih lama, sebelum ia menunduk dengan tatapan yang kembali melow. Edgard pun langsung membawa Janice ke dalam pelukannya dan membelai kepala Janice dengan sayang. "Sudah, Janice! Dia sudah mendapatkan tempat yang terbaik di sana, mungkin saja dia sudah bertemu dengan kedua orang tuaku di surga dan orang tuaku akan sangat senang bermain bersama cucu mereka." Janice langsung menangis mendengarnya, sedang
Devan masih termenung di kamarnya malam itu. Entah sudah berapa hari ia seperti ini. Devan mengurung dirinya di rumah, tidak bekerja, dan tidak berbicara dengan siapa pun. Perasaannya belum pernah benar sejak mengetahui kenyataan yang menyakitkan itu. Namun, Devan sama sekali tidak berani memberitahu ayahnya maupun Devina, adiknya. Untungnya juga Elizabeth pun berhasil meredam berita ini agar tidak sampai keluar ke mana pun karena akan merusak reputasi mereka sebagai pengusaha. Devan yang sudah lelah dengan perasaannya pun akhirnya keluar dari kamarnya dan melangkah ke ruang kerja Miriam, mencoba mencari apa yang bisa ia temukan di sana karena sampai sekarang ibunya itu belum diketahui keberadaannya. Namun, langkah kaki Devan mendadak terhenti saat ia melihat seorang bodyguard masuk ke ruang kerja Miriam. Sontak Devan pun mengernyit melihatnya. "Apa yang dia lakukan di sana?" gumam Devan sambil mengikuti pria itu. Pria bernama Emir yang merupakan anak buah Harlan itu pun sempa
Jantung Miriam masih berdebar tidak karuan dan ia begitu panik saat melihat mobilnya dikepung oleh mobil polisi di depan dan mobil Edgard di belakang. "Sial! Sial! Bagaimana ini? Mereka memperlakukan aku seperti buronan!" pekik Miriam frustasi sambil berusaha memundurkan mobilnya lagi, namun mobil Edgard sudah menutup jalan di belakang. Edgard sendiri pun langsung keluar dari mobilnya dan berteriak ke arah mobil Miriam. "Kau sudah terkepung, Tante Miriam! Menyerah saja!"Miriam makin membelalak mendengarnya. Walaupun pintu dan jendela Miriam tertutup, namun suara Edgard begitu keras sampai Miriam bisa mendengarnya dengan jelas. "Sial!" Miriam tidak berhenti mengumpat, namun Miriam masih tidak mau keluar sama sekali dari mobilnya. Bahkan Miriam mengunci pintunya dan tidak akan membiarkan siapa pun membukanya. Edgard yang melihatnya pun langsung mencoba membuka pintu mobil Miriam sambil menggedor jendelanya. Buk buk buk!"Tante, buka pintunya! Tante sudah dikepung! Lebih baik Tan
Jantung Miriam masih memacu kencang saat ia berlari begitu cepat dengan sepatu hak tingginya. Suara para polisi terus berteriak memanggilnya, namun Miriam mengabaikannya dan terus berlari.Hingga tidak lama kemudian, sebuah mobil itu tiba di sampingnya dan kaca mobil itu terbuka. Miriam pun menahan napasnya sejenak melihat seorang pria yang menyetir di sana. "Masuklah ke mobil!" titah pria itu sambil membuka pintu mobilnya. Untuk sesaat, Miriam masih mematung sampai akhirnya suara itu terdengar lagi. "Masuk kubilang, Ibu! Ibu mau dipermalukan seperti ini, hah? Ibu mau tertangkap oleh Kak Edgard dan para polisi itu?"Dan Miriam pun langsung gemetar sambil menelan salivanya. "D-Devan?" "Masuk, Ibu!" geram Devan. Dua polisi yang tadinya di belakang pun sudah kembali berlari mengejar Miriam. "Berhenti di sana!" teriak polisi itu. Miriam pun begitu panik sampai akhirnya ia pun masuk ke mobil dengan cepat dan Devan pun langsung melajukan mobilnya dengan cepat juga pergi dari sana.
"Sial, ke mana Devan membawa Tante Miriam?" Edgard masih melajukan mobilnya mengikuti mobil Devan yang sudah melaju jauh di depan, namun Edgard mengernyit saat ia merasa mengenali jalan yang ia lewati. Untuk sesaat, Edgard berpikir keras, ke mana Devan akan membawa Miriam? Apa ke kantor polisi? Atau ke mana? Edgard tahu Devan adalah pria yang bijak dan ia selalu memutuskan semuanya dengan dewasa. Edgard pun berharap dugaannya ini tidak salah dan Devan benar-benar membawa Miriam ke kantor polisi. Namun, Edgard tetap tidak bisa melepaskan mobil Devan begitu saja sampai ia memastikan kalau Devan benar-benar membawa Miriam ke sana. Edgard pun menginjak gasnya makin kencang dan makin fokus mengejar mobil Devan saat tiba-tiba sebuah mobil menabrak mobilnya dari belakang. Brak!"Akkhh!" pekik Edgard saat tubuhnya tersentak ke depan. Edgard pun segera melihat lewat kaca spionnya dan ternyata mobil Emir kembali mengikutinya dari belakang. "Sialan! Emir lagi! Apa dia berhasil mengalahk
Beberapa polisi nampak keluar dari kantor polisi karena menerima telepon dari Edgard yang akhirnya melihat mobil Devan menuju ke kantor polisi. Namun, sialnya Edgard masih belum bisa mengejar Miriam karena Emir terus menabrak mobilnya. Bahkan Edgard harus berteriak di telepon dengan suara yang terputus-putus sampai akhirnya ponselnya malah terjatuh entah ke mana. Edgard yang akhirnya tiba di depan kantor polisi pun melihat orang-orang berlari dan langsung melajukan mobilnya ke sana. Suasana malam itu langsung begitu riuh saat para polisi mengejar Miriam sambil menodongkan senjatanya. "Berhenti, Bu Miriam! Berhenti!" "Jangan tembak! Jangan tembak! Ibu, berhenti!" teriak Devan yang masih berlari sekuat tenaga mengejar Miriam sampai begitu jauh. Air mata Devan sudah kembali berderai, begitu juga dengan air mata Miriam. Kakinya juga kembali lemas kali ini dan ia merasakan lecet serta basah di kakinya namun Miriam terus berlari dan ia tidak boleh berhenti. Devan terus memohon agar