Miriam berlari dan terus berlari sambil sesekali menoleh ke belakang, melihat apa ada orang yang mengejarnya namun untungnya tidak ada sama sekali. Miriam sudah tidak tahu dan tidak mau peduli lagi pada Harlan saat ini karena Miriam hanya tahu kalau ia harus menyelamatkan dirinya. Bahkan Harlan yang begitu tangguh saja bisa dipukuli oleh Edgard, bagaimana dengan dirinya. "Sial, Edgard! Sial! Mengapa jadi seperti ini! Akkhh!" Miriam pun meringis merasakan sepatu hak tingginya yang membuatnya hampir terjatuh. Namun, Miriam segera berdiri lagi sambil terus berlari kecil. Beberapa orang di sekitarnya nampak menatap ke arah Miriam dengan penuh tanya sampai Miriam merasa begitu tidak nyaman. Namun, Miriam mengabaikannya dan terus berlari sampai ke parkiran mobil. Dengan cepat, Miriam merogoh tasnya untuk mencari kunci mobilnya, namun sialnya kunci itu tidak ada. "Akhh, kunci mobilnya ada di Harlan karena dia yang menyetir mobilnya! Akkhh! Aku harus pergi dari sini! Ya, aku harus pe
"Apa yang Ibu lakukan? Mengapa Ibu berkemas?"Devan mengernyit menatap Miriam yang pulang ke rumah dalam keadaan gelisah. Miriam pun tidak banyak bicara dan langsung mengemasi bajunya ke dalam koper sampai Devan pun tidak berhenti bertanya. "Ibu, aku sedang bertanya! Apa yang Ibu lakukan malam-malam begini? Bukankah Ibu baru saja dari rumah sakit untuk melihat Janice? Dan juga, mana Harlan? Mengapa aku tidak melihatnya? Mobil Ibu juga tidak ada." "Apa yang terjadi, Ibu? Bicaralah! Ceritakan padaku! Jangan membuatku bingung seperti ini!" Devan terus berceloteh dan bertanya pada Miriam tentang apa yang terjadi, namun Miriam tidak pernah benar-benar menjawabnya. "Jangan bertanya lagi, Devan! Jangan bertanya lagi dan biarkan Ibu menyelesaikan semuanya karena Ibu tidak punya banyak waktu!" kecam Miriam sambil menutup kopernya. Miriam pun melangkah ke ruang kerjanya dan mengambil barang berharga lainnya lalu mengemasnya menjadi satu di koper yang sama. Devan sendiri terus mengikuti M
Nara terus menangis malam itu saat mendengar apa yang hampir menimpa Janice. Nara yang selalu dijaga oleh Tito pun bernapas lega karena akhirnya Harlan bisa tertangkap, namun hatinya tetap masih tidak bisa tenang. "Tolong jaga Janice, Edgard! Tolong jaga Janice! Jangan biarkan Janice menghadapi semuanya sendiri! Kumohon! Janice sudah kehilangan janinnya! Tolong!" Nara hanya bisa memohon pada Edgard karena ia tidak bisa pergi ke rumah sakit dan meninggalkan anak-anak sendirian di rumah. Entah sudah berapa kali Nara meminta Edgard untuk menjaga Janice karena hanya itu yang bisa ia lakukan."Tante tenang saja. Aku sudah bilang aku akan menjaga Janice kan? Aku bersumpah akan menjaga Janice, Tante!" sahut Edgard penuh kesungguhan. Nara pun mengangguk dan tersenyum. "Terima kasih, Edgard! Terima kasih! Bagaimana dia sekarang?" "Dia sudah tidur, Tante. Tapi Jefry sudah pulang untuk menjaga Tante dan anak-anak. Jangan takut akan apa pun karena semua orang di rumah akan melindungi kalian
"Mama ...." Collin dan Calista mengunjungi Janice bersama Nara dan Jefry pagi itu dan Janice begitu senang melihat keluarganya. "Collin, Calista ...." Janice merentangkan tangannya dan anak kembarnya itu pun masuk ke dalam pelukannya. "Mama jangan lama-lama pulangnya ...," bisik Calista manja. "Mama juga mau cepat pulang, Sayang ...." "Collin mau tidur sama Mama nanti kalau Mama sudah pulang." "Mama mau, Sayang! Mama mau! Kita tidur sama-sama di ranjang besar ya," sahut Janice sambil menciumi kening Collin. Collin dan Calista pun mengangguk dan memeluk Janice makin erat. Nara, Jefry, dan Edgard pun hanya tersenyum melihatnya. "Ibu senang kondisimu sudah membaik, Janice." Nara mendekati Janice dan membelai kepalanya sayang. "Hmm, aku sudah lebih baik, Ibu," jawab Janice sambil tersenyum. "Tentang kemarin ...." Nara yang mau bicara pun ditatap oleh Janice dan Janice pun menggeleng. Nara pun mengerti maksudnya dan tidak melanjutkan ucapannya lagi. Yang penting sekarang sem
Suasana masih begitu sedih di rumah Elizabeth saat mendadak Elizabeth menghampiri Edgard dan Devan yang memang duduk bersebelahan dan hampir berlutut di depan mereka. "Apa yang Grandma lakukan? Jangan begini!" Edgard yang melihatnya langsung menangkap Elizabeth dan membawanya kembali duduk di sofa. Elizabeth pun akhirnya duduk di tengah Edgard dan Devan dan Nenek tua itu pun langsung membawa kedua cucunya itu ke dalam pelukannya. "Maafkan Grandma! Maafkan Grandma! Mungkin Grandma yang sudah salah mendidik anak Grandma!" ucap Elizabeth dengan nada yang begitu pilu. "Tidak, Grandma! Tidak! Grandma tidak salah!" sahut Edgard yang berusaha bijak. "Grandma tahu Grandma salah, Edgard. Tidak usah membela Grandma lagi! Kalau anak Grandma menjadi buruk, itu adalah salah Grandma!" tegas Elizabeth lagi. Elizabeth pun menoleh ke arah Devan yang juga masih berada di dalam pelukannya. "Maafkan Grandma juga, Devan! Ibumu menjadi seperti ini pasti karena dia tidak setuju dengan semua keputu
Beberapa hari berlalu dan kondisi Janice pun makin membaik, namun dokter masih belum mengijinkannya pulang karena dokter masih ingin memantau kondisi Janice beberapa hari lagi. Janice hanya masih sering melow saat mengingat janin di perutnya yang harus pergi dengan cara seperti itu. "Apa yang kau pikirkan, Janice?" tanya Edgard yang menghampiri Janice dan berdiri di samping ranjangnya. Janice menggeleng. "Tidak ada," dusta Janice."Jangan bohong, Janice! Aku bisa melihat ekspresimu yang begitu melow. Apa kau memikirkan anak kita lagi?" Janice yang mendengarnya pun menatap Edgard lebih lama, sebelum ia menunduk dengan tatapan yang kembali melow. Edgard pun langsung membawa Janice ke dalam pelukannya dan membelai kepala Janice dengan sayang. "Sudah, Janice! Dia sudah mendapatkan tempat yang terbaik di sana, mungkin saja dia sudah bertemu dengan kedua orang tuaku di surga dan orang tuaku akan sangat senang bermain bersama cucu mereka." Janice langsung menangis mendengarnya, sedang
Devan masih termenung di kamarnya malam itu. Entah sudah berapa hari ia seperti ini. Devan mengurung dirinya di rumah, tidak bekerja, dan tidak berbicara dengan siapa pun. Perasaannya belum pernah benar sejak mengetahui kenyataan yang menyakitkan itu. Namun, Devan sama sekali tidak berani memberitahu ayahnya maupun Devina, adiknya. Untungnya juga Elizabeth pun berhasil meredam berita ini agar tidak sampai keluar ke mana pun karena akan merusak reputasi mereka sebagai pengusaha. Devan yang sudah lelah dengan perasaannya pun akhirnya keluar dari kamarnya dan melangkah ke ruang kerja Miriam, mencoba mencari apa yang bisa ia temukan di sana karena sampai sekarang ibunya itu belum diketahui keberadaannya. Namun, langkah kaki Devan mendadak terhenti saat ia melihat seorang bodyguard masuk ke ruang kerja Miriam. Sontak Devan pun mengernyit melihatnya. "Apa yang dia lakukan di sana?" gumam Devan sambil mengikuti pria itu. Pria bernama Emir yang merupakan anak buah Harlan itu pun sempa
Jantung Miriam masih berdebar tidak karuan dan ia begitu panik saat melihat mobilnya dikepung oleh mobil polisi di depan dan mobil Edgard di belakang. "Sial! Sial! Bagaimana ini? Mereka memperlakukan aku seperti buronan!" pekik Miriam frustasi sambil berusaha memundurkan mobilnya lagi, namun mobil Edgard sudah menutup jalan di belakang. Edgard sendiri pun langsung keluar dari mobilnya dan berteriak ke arah mobil Miriam. "Kau sudah terkepung, Tante Miriam! Menyerah saja!"Miriam makin membelalak mendengarnya. Walaupun pintu dan jendela Miriam tertutup, namun suara Edgard begitu keras sampai Miriam bisa mendengarnya dengan jelas. "Sial!" Miriam tidak berhenti mengumpat, namun Miriam masih tidak mau keluar sama sekali dari mobilnya. Bahkan Miriam mengunci pintunya dan tidak akan membiarkan siapa pun membukanya. Edgard yang melihatnya pun langsung mencoba membuka pintu mobil Miriam sambil menggedor jendelanya. Buk buk buk!"Tante, buka pintunya! Tante sudah dikepung! Lebih baik Tan