Devan melangkah keluar dari ruang kerja Miriam dengan kesal. Bukannya ia kurang ajar, tapi ia hanya tidak sepaham dengan ibunya. Walaupun ibunya selama ini sangat perhatian dan baik pada Edgard, tapi Devan tahu kalau ibunya selalu ingin Devan menjadi lebih baik daripada Edgard. Dan Devan sendiri bukannya tidak mampu. Devan hanya tidak ingin ada persaingan antara keluarga. Hidupnya pun sudah damai seperti ini dan ia tidak mau semuanya rusak hanya karena gila kekuasaan. Devan pun terus melangkah saat tidak jauh dari sana akhirnya ia bertemu dengan Harlan lagi. Devan langsung memicingkan mata tidak suka menatap Harlan. Bukankah Harlan itu asisten Miriam yang paling setia dan kalau Miriam punya rencana apa pun, pasti Harlan yang akan menjadi kaki tangannya. Seketika Devan pun teringat bagaimana Edgard menyebut Harlan sebagai pria brengsek tadi dan Devan pun akhirnya menghentikan langkahnya di dekat Harlan. "Pak Devan." Lagi-lagi Harlan menyapa dengan sopan. "Apa yang sudah kau la
"Tante, apa ini? Tante minta aku bersabar tapi malah Edgard akan menikah dengan wanita itu!" Anneth mengamuk pagi itu dan menerobos masuk ke ruang kerja Miriam walaupun Harlan sudah menahannya. Kedua mata Anneth nampak penuh amarah dan tidak terima sama sekali. Harlan yang melihatnya pun langsung meraih lengan Anneth dan menariknya kasar. "Jangan kurang ajar pada Bu Miriam!" tegas Harlan. Namun, Anneth malah melotot menatap Harlan. "Ini bukan urusanmu! Minggir!" Anneth menarik lengannya dari Harlan, namun kedua mata Harlan langsung menajam, seolah sudah siap menunjukkan sifat aslinya. Tapi untung saja Miriam segera menghentikan semuanya. "Biarkan saja, Harlan! Lepaskan dia!" titah Miriam. Harlan pun terdiam sejenak dan langsung melirik Miriam singkat, sebelum akhirnya ia mengangguk dan melepaskan lengan Anneth. "Keluarlah, Harlan! Tidak apa!" titah Miriam lagi. Harlan pun terlihat menatap Anneth dengan tajam dan Anneth pun ikut melotot dengan kesal menatap Harlan, bahkan te
"Apa Janice sedang menelepon seseorang? Mengapa teleponnya sibuk terus?" Edgard yang sedang menyetir mobilnya setelah mengantar Collin dan Calista pun mencoba menelepon Janice untuk menanyakan apa Janice mau dibelikan sesuatu sebelum Edgard berangkat ke kantor, namun telepon Janice sedang sibuk. Edgard pun mencoba menelepon sekali lagi namun masih tetap nada sibuk sampai Edgard berpikir untuk menelepon Nara saja. Dengan cepat, Edgard pun mencari nama Nara di ponselnya saat tiba-tiba telepon dari Jefry pun masuk dan Edgard langsung mengangkatnya. "Halo, Jefry, ada apa?" "Bos, ada tamu penting yang mendadak datang menemuimu." "Ah, benarkah?" Jefry memberitahunya kalau ada perwakilan dari rekan kerjanya yang datang secara mendadak dan Edgard pun akhirnya memutuskan untuk mengirim pesan ke ponsel Janice saja, sebelum ia melajukan mobilnya langsung ke kantor. Tanpa Edgard ketahui, telepon Janice sedang sibuk karena saat ini Janice sedang menerima telepon dari seseorang yang membuat
Janice begitu gelisah setelah menerima telepon dari Harlan. Bahkan saking takutnya, kali ini ia sama sekali tidak berani menceritakan apa pun pada Edgard. Begitu sulit bersikap biasa saja di depan Edgard, Nara, dan semua orang. Namun, Janice bertahan. Bahkan Janice mulai berpikir untuk meninggalkan Edgard saja kalau memang itu bisa membuat semuanya selamat. Hanya saja, masih ada keraguan di hati Janice sampai membuatnya begitu gelisah sepanjang hari. "Kau kenapa, Janice? Seperti apa yang kau pikirkan?" tanya Edgard saat mereka sudah berada di kamar mereka malam itu. "Eh, aku tidak apa, Edgard," dusta Janice.Edgard pun berusaha mengerti Janice karena memang katanya mood ibu hamil selalu tidak stabil. Namun, Edgard berusaha membuat Janice santai dengan membicarakan tentang pernikahan mereka. "Hmm, kau saja yang mengatur semuanya," sahut Janice sambil memaksakan senyumnya. Malam itu pun Janice terlihat lebih banyak diam. Bahkan sampai keesokan harinya, Janice tetap gelisah sepa
Jantung Janice sudah berdebar tidak karuan melihat Collin yang berlari menyeberang sendirian di saat jalanan begitu ramai. Dengan cepat Janice pun mengejar anaknya itu namun suara klakson mobil membuatnya kaget dan langsung menoleh. Tin tin tin tin Suara klakson itu makin keras dan makin dekat dengan Collin yang sudah berteriak ketakutan. Janice sendiri terus menggeleng dengan air mata yang sudah bercucuran. "Collin!!!" teriak Janice yang berlari makin kencang dan dengan cepat menyambar tubuh anaknya itu. Rasanya Janice tidak peduli lagi pada apa pun dan ia hanya peduli pada keselamatan Collin, sekalipun ia harus mengorbankan nyawanya sendiri. Kejadiannya begitu cepat saat akhirnya Janice berhasil mendorong Collin menjauh, namun sayangnya ia sendiri tidak sempat menyelamatkan dirinya. "Aarrghh!" pekik Janice tertahan saat sebuah mobil menyambar tubuhnya. Brak!"Arrgghh!" pekik para pengguna jalan yang melihatnya. Untuk sesaat dunia seolah berhenti berputar dan semua berjalan
Dua hari menanti dengan perasaan yang tidak karuan membuat Edgard seperti orang gila. Edgard tidak bisa melakukan apa pun selain meratapi, berdoa, dan menemani Janice. Hingga akhirnya, hari itu, Janice mulai menunjukkan gerakannya. Nara, Elizabeth, Edgard, dan Jefry sudah berkumpul di sana saat Janice mulai bergerak dan Jefry pun langsung memanggil dokter.Edgard sendiri fokus pada Janice dan langsung menggenggam erat tangan Janice. "Janice, Janice! Kau sudah sadar? Kau sudah sadar?" Edgard menatap Janice sambil tersenyum penuh kelegaan. "Janice, akhirnya kau sadar, Janice! Akhirnya kau sadar!" Edgard membelai kepala Janice dengan sayang. Namun, Janice hanya mengedipkan matanya lemah. Untuk sesaat, Janice nampak linglung dan ia masih belum sadar di mana dirinya. Janice merasa seperti baru saja tidur panjang. Tidur yang sangat panjang tanpa mimpi apa pun dan tanpa perasaan apa pun. Dan saat ia sadar, semuanya terasa seperti baru lagi sampai ia benar-benar butuh waktu untuk meny
"Aku mempunyai sebuah firasat kalau kecelakaan ini juga direkayasa," kata Edgard terang-terangan saat semua orang sudah keluar dari kamar Janice. Elizabeth dan Nara pun membelalak mendengarnya. Sampai detik ini Edgard sama sekali belum menceritakan apa pun tentang Harlan dan Miriam pada Elizabeth karena itu, Elizabeth masih tidak mengerti apa pun. Namun, Nara mulai merinding membayangkan ini mungkin perbuatan Miriam dan Harlan. "Apa maksudmu, Edgard? Grandma tidak mengerti." "Nanti, Grandma. Aku akan menjelaskan nanti saat aku sudah punya bukti. Yang jelas, ada orang yang membenciku dan berusaha mencelakai Janice." Elizabeth menahan napas mendengarnya. "Jangan sembarangan kau, Edgard! Siapa dia? Mengapa kau tidak melapor ke polisi saja?" "Ini tidak semudah itu, Grandma. Tapi aku minta tolong, bekerja samalah denganku kali ini!" Edgard pun memberitahu Elizabeth apa yang harus ia katakan mengenai kondisi Janice dan Mefi yang mendengar perintah Edgard hanya melirik sambil mengangg
Seorang pria nampak mengendap-endap naik ke arah kamar tidur Edgard, tempat Edgard dan Janice biasanya tidur. Pria itu yang merupakan mata-mata Harlan mendapat tugas untuk melenyapkan barang bukti yang dikirim Harlan untuk Janice, namun sialnya hingga dua hari berlalu, ia belum juga berhasil. Alasannya karena bodyguard tidak punya kepentingan masuk ke dalam rumah apalagi sampai ke kamar utama. Dan alasan yang kedua adalah Nara bersama si kembar maupun Tito selalu berada di dekat kamar sampai ia tidak bisa berkutik. Namun, siang itu pria bernama Edo itu berhasil naik ke kamar setelah ia melirik ke sekeliling. Edo pun sudah mematikan CCTV sehingga CCTV itu tidak merekam kedatangannya. Edo terus melangkah sampai ke kamar Edgard, namun tanpa ia ketahui Tito yang sedang menemani Collin bermain pun melihatnya. "Sstt, Collin! Tunggu sebentar, jangan bersuara! Kita ke kamar Papa ya!" ajak Tito yang tadinya masih ada di taman dan barusan masuk ke rumah. Tito sudah curiga melihat Edo ya