Tiada hari tanpa ketegangan. Itulah yang Janice rasakan saat ini. Jantungnya yang sudah memacu kencang pun memacu makin tidak karuan saat melihat Harlan berdiri di sana dengan tegak dan menatapnya dengan tajam. Harlan berdiri di sana tanpa rasa takut akan ketahuan siapa pun sampai membuat Janice yang malah ketakutan. "Ibu ... Ibu ...," panggil Janice cepat sambil tetap menatap Harlan. Nara yang dipanggil pun mengernyit. "Ada apa, Janice?" "Itu Harlan, Ibu! Itu Harlan! Dia menatapku! Dia menatapku! Dia yang melakukan semuanya, Ibu!" seru Janice sambil akhirnya menatap Nara. Nara pun makin mengernyit melihatnya. "Apa, Janice? Kau ini bicara apa, Janice?" "Ada Harlan di depan sana dan dia menatapku! Dia seolah memberitahu kalau dia yang melakukan semuanya!" Janice menunjuk ke depan. "Coba Ibu lihat! Ibu bisa berdiri? Atau lihat dari jendela sana saja! Tito! Tito, cepat lihat! Itu Harlan! Kau melihatnya kan? Di seberang sana, itu Harlan!" pekik Janice memberitahu Tito yang sedang b
"Apa kau bilang, Tito?" Tito yang baru saja mengantar Janice dan Nara pulang akhirnya menelepon Edgard untuk melaporkan semua yang terjadi dan Edgard begitu kaget mendengarnya. "Seperti yang kubilang, Pak. Janice ketakutan sekali dan dia terus merasa seperti diteror." Edgard pun menggeram kesal dan mengangguk. "Baiklah, jaga mereka! Aku akan segera pulang!" "Baik, Pak!" Edgard segera menutup teleponnya sambil tidak berhenti mengumpat. Rasanya apa yang dialami Janice ini sudah cukup serius dan sudah sangat mengganggu. Edgard harus melakukan sesuatu, namun sebelumnya ia harus melihat keadaan Janice dulu. Dengan cepat, Edgard pun menyerahkan semua pekerjaan pada Jefry dan ia pun pulang ke rumah. Begitu tiba di rumah, Edgard langsung disambut Collin dan Calista yang langsung mengajaknya ke kamar Nara. "Tante tidak apa?" tanya Edgard yang cemas melihat kaki Nara yang diperban dan bau minyak gosok di kamar itu. "Tidak apa, Edgard. Hanya sedikit terkilir dan memar saja." "Aku sud
Tuduhan yang tidak berdasar? Rasanya Edgard begitu kesal mendengarnya. Bahkan Edgard sudah mengepalkan tangannya dan menatap geram pada Miriam. Namun, Edgard masih waras untuk tidak membuat keributan di sini, apalagi karena Miriam benar, Edgard tidak punya bukti. Bahkan bukti untuk menjerat Harlan saja ia tidak punya. Hanya Janice yang melihat Harlan berdiri menatapnya dan menerornya tapi yang lain tidak. Tito maupun Nara tidak ada yang melihatnya. Siapa yang akan percaya ucapan Janice tanpa adanya bukti?"Sial!" Edgard pun mengumpat tanpa bisa dicegah di hadapan Miriam. Miriam yang mendengarnya pun menaikkan alis. Lagi-lagi ia kembali kaget dan tidak suka mendengar Edgard mengumpat di depannya. "Tante terkejut melihat sikapmu yang berubah di hadapan Tante, Edgard. Tante berharap kau kembali seperti dirimu yang dulu karena Tante merasa kau menjadi aneh sejak bersama wanita itu dan Tante tidak menyukainya. Kau tahu, Edgard? Wanita yang baik itu adalah wanita yang bisa membuatmu
"Singkirkan mereka! Dimulai dari wanita itu dulu!"Perintah tegas Miriam itu langsung diikuti oleh anggukan kepala Harlan dan membuat seorang pria yang berdiri di depan pintu pun menegang. Entah bagaimana cara Harlan menutup pintu tadi atau pintunya memang sudah rusak karena pintu itu tertutup tapi tidak sempurna. Sehingga saat Devan baru saja menggenggam gagang pintunya, mendadak pintunya langsung menganga.Devan pun mendengar semuanya dengan mata membelalak dan jantung yang berdebar kencang. Entah siapa yang harus disingkirkan karena Devan tidak mendengarkan pembicaraan itu sejak awal namun mendadak Devan waspada dengan maksud Miriam, disingkirkan. Tanpa menunggu lama, Devan pun membuka pintu itu dan langsung masuk begitu saja ke ruang kerja Miriam. Miriam dan Harlan pun langsung menoleh dengan kaget menatap Devan. "D-Devan? Apa yang kau lakukan di sini?" seru Miriam yang masih sedikit syok. "Seharusnya aku yang bertanya apa yang sedang kalian bicarakan, Ibu! Dan siapa yang h
Devan melangkah keluar dari ruang kerja Miriam dengan kesal. Bukannya ia kurang ajar, tapi ia hanya tidak sepaham dengan ibunya. Walaupun ibunya selama ini sangat perhatian dan baik pada Edgard, tapi Devan tahu kalau ibunya selalu ingin Devan menjadi lebih baik daripada Edgard. Dan Devan sendiri bukannya tidak mampu. Devan hanya tidak ingin ada persaingan antara keluarga. Hidupnya pun sudah damai seperti ini dan ia tidak mau semuanya rusak hanya karena gila kekuasaan. Devan pun terus melangkah saat tidak jauh dari sana akhirnya ia bertemu dengan Harlan lagi. Devan langsung memicingkan mata tidak suka menatap Harlan. Bukankah Harlan itu asisten Miriam yang paling setia dan kalau Miriam punya rencana apa pun, pasti Harlan yang akan menjadi kaki tangannya. Seketika Devan pun teringat bagaimana Edgard menyebut Harlan sebagai pria brengsek tadi dan Devan pun akhirnya menghentikan langkahnya di dekat Harlan. "Pak Devan." Lagi-lagi Harlan menyapa dengan sopan. "Apa yang sudah kau la
"Tante, apa ini? Tante minta aku bersabar tapi malah Edgard akan menikah dengan wanita itu!" Anneth mengamuk pagi itu dan menerobos masuk ke ruang kerja Miriam walaupun Harlan sudah menahannya. Kedua mata Anneth nampak penuh amarah dan tidak terima sama sekali. Harlan yang melihatnya pun langsung meraih lengan Anneth dan menariknya kasar. "Jangan kurang ajar pada Bu Miriam!" tegas Harlan. Namun, Anneth malah melotot menatap Harlan. "Ini bukan urusanmu! Minggir!" Anneth menarik lengannya dari Harlan, namun kedua mata Harlan langsung menajam, seolah sudah siap menunjukkan sifat aslinya. Tapi untung saja Miriam segera menghentikan semuanya. "Biarkan saja, Harlan! Lepaskan dia!" titah Miriam. Harlan pun terdiam sejenak dan langsung melirik Miriam singkat, sebelum akhirnya ia mengangguk dan melepaskan lengan Anneth. "Keluarlah, Harlan! Tidak apa!" titah Miriam lagi. Harlan pun terlihat menatap Anneth dengan tajam dan Anneth pun ikut melotot dengan kesal menatap Harlan, bahkan te
"Apa Janice sedang menelepon seseorang? Mengapa teleponnya sibuk terus?" Edgard yang sedang menyetir mobilnya setelah mengantar Collin dan Calista pun mencoba menelepon Janice untuk menanyakan apa Janice mau dibelikan sesuatu sebelum Edgard berangkat ke kantor, namun telepon Janice sedang sibuk. Edgard pun mencoba menelepon sekali lagi namun masih tetap nada sibuk sampai Edgard berpikir untuk menelepon Nara saja. Dengan cepat, Edgard pun mencari nama Nara di ponselnya saat tiba-tiba telepon dari Jefry pun masuk dan Edgard langsung mengangkatnya. "Halo, Jefry, ada apa?" "Bos, ada tamu penting yang mendadak datang menemuimu." "Ah, benarkah?" Jefry memberitahunya kalau ada perwakilan dari rekan kerjanya yang datang secara mendadak dan Edgard pun akhirnya memutuskan untuk mengirim pesan ke ponsel Janice saja, sebelum ia melajukan mobilnya langsung ke kantor. Tanpa Edgard ketahui, telepon Janice sedang sibuk karena saat ini Janice sedang menerima telepon dari seseorang yang membuat
Janice begitu gelisah setelah menerima telepon dari Harlan. Bahkan saking takutnya, kali ini ia sama sekali tidak berani menceritakan apa pun pada Edgard. Begitu sulit bersikap biasa saja di depan Edgard, Nara, dan semua orang. Namun, Janice bertahan. Bahkan Janice mulai berpikir untuk meninggalkan Edgard saja kalau memang itu bisa membuat semuanya selamat. Hanya saja, masih ada keraguan di hati Janice sampai membuatnya begitu gelisah sepanjang hari. "Kau kenapa, Janice? Seperti apa yang kau pikirkan?" tanya Edgard saat mereka sudah berada di kamar mereka malam itu. "Eh, aku tidak apa, Edgard," dusta Janice.Edgard pun berusaha mengerti Janice karena memang katanya mood ibu hamil selalu tidak stabil. Namun, Edgard berusaha membuat Janice santai dengan membicarakan tentang pernikahan mereka. "Hmm, kau saja yang mengatur semuanya," sahut Janice sambil memaksakan senyumnya. Malam itu pun Janice terlihat lebih banyak diam. Bahkan sampai keesokan harinya, Janice tetap gelisah sepa