"Apa-apaan ini, Edgard?" Janice tidak berhenti mengomel saat Edgard akhirnya berhasil memaksanya masuk ke mobil dan Edgard pun langsung melajukan mobilnya ke rumah sakit. Sebelumnya Edgard sempat mengajak serta Collin dan Calista juga lalu mengantarnya ke rumah Elizabeth dulu agar mereka tidak cemas meninggalkan si kembar di rumah. Edgard sendiri sudah membuat janji dengan dokter sehingga mereka tidak perlu mengantri nanti. "Kau hamil, Janice. Kau harus diperiksa!" "Aku tidak hamil!" "Kau mengalami gejala kehamilan, Janice." "Seperti kau tahu saja seperti apa gejala kehamilan itu."Edgard pun melirik kesal pada Janice. "Walaupun aku belum punya istri tapi aku tidak bodoh, Janice. Aku tahu gejala kehamilan persis seperti yang kau alami, lagipula kita pernah melakukannya kan? Jadi kau pasti sedang hamil anakku."Janice terdiam mendengarnya. Sungguh awalnya Janice tidak berpikir kalau ia hamil. Bahkan ia hampir melupakan kalau Edgard pernah menodainya secara paksa. Bukan lupa, ta
Janice menahan napasnya mendengar ucapan Edgard di telepon dan ia pun membelalak menatap Edgard. "Tapi ... Edgard. .. menikah ...," ucap Janice dengan suara yang hanya terdengar seperti sebuah bisikan saja. Edgard pun mengabaikan Janice dan fokus pada teleponnya. "Tidak perlu berlebihan, tidak perlu apa pun, aku hanya perlu menikah secara sah di mata hukum! Dan juga urus semua dokumen Collin dan Calista karena harus ada nama keluargaku di nama belakang mereka!" titah Edgard lagi di telepon yang langsung membuat Janice lemas seketika. Entah apa lagi yang Edgard katakan di telepon karena Janice sudah tidak bisa mendengarnya dengan jelas. Kepalanya terlalu pusing saat mendadak ia harus menikah besok pagi? Entah pernikahan macam apa yang bisa diurus begitu cepat. Janice pun masih berpikir keras saat tiba-tiba Edgard menutup teleponnya dan melajukan mobilnya. "Edgard, kita benar-benar akan menikah besok?" tanya Janice ragu setelah ia menenangkan napasnya. "Hmm, kau tidak mau? Waktu
Janice tidak berhenti tersipu sejak Edgard menanyakan tentang pernikahan impiannya. Janice sama sekali tidak bisa menjawabnya karena ia memang belum memikirkannya. Namun, cara Edgard bertanya dan menatapnya tadi membuat jantungnya berdebar kencang sampai ia salah tingkah sendiri. Apalagi disaksikan oleh Grandma dan kedua anaknya, ini canggung sekali sampai Janice akhirnya mengalihkan pembicaraan.Dan sekarang saat Janice sudah duduk di mobil bersama Edgard dan si kembar, Janice pun terus memalingkan wajahnya ke arah jendela luar, masih terasa canggung bertatapan dengan Edgard. Edgard sendiri masih menyetir dalam diam walaupun suara di belakang begitu ribut.Collin dan Calista terus mengoceh dan terkikik di jok belakang sampai Edgard pun sesekali melirik kaca spionnya dan tersenyum. Dulu suara ribut anak-anak begitu mengganggu, namun sekarang sebaliknya, bahkan Edgard akan merasa aneh kalau tidak mendengar suara anak-anaknya. Sambil tetap tersenyum, Edgard pun menoleh ke arah Jan
"Aku sudah mendapatkannya, Bos! Akhirnya Bu Fonny bicara tentang Harlan!" Jefry langsung menceritakan pada Edgard di telepon tentang kesaksian dari Fonny dan Edgard pun langsung menggeram mendengarnya. "Sial, jadi itu benar kalau Harlan mengancam Janice!""Yap, kurasa hampir pasti kalau Harlan adalah pelaku yang menyuruh Janice mencelakaimu." Edgard terdiam sejenak, sebelum ia mengangguk. "Hati-hati pada pria itu, Jefry! Akhirnya kita tahu kalau Janice tidak berbohong tapi Harlan yang berbohong. Hanya saja, aku masih tidak yakin kalau motifnya adalah warisan. Tapi apa pun itu, aku harus melindungi Janice. Dan aku akan mempercepat pernikahanku karena kalau Janice berstatus sebagai istriku pasti Harlan tidak akan bisa mengusiknya lagi." "Aku mengerti, Bos." Edgard pun menutup teleponnya dan ia langsung mencari Janice yang masih duduk di kamarnya. Edgard masuk ke sana dan langsung menghampiri Janice dan duduk di sampingnya di ranjang. Janice pun langsung gugup melihat Edgard. "E
Tatapan Miriam masih mengarah pada kedua anak kembar di hadapannya saat sebuah suara terdengar mendekat. "Collin, Calista!" Janice memanggil anak-anaknya sambil melangkah dengan santai ke ruang tamu dan ia langsung menegang menatap Miriam dan Harlan di sana. Jantung Janice kembali berdebar begitu kencang, apalagi saat tatapan Miriam terarah padanya dengan begitu tajam, membuat Janice makin yakin kalau Miriam adalah dalang kejahatan Harlan selama ini. Miriam sendiri menatap Janice dengan tidak suka. Wanita di hadapannya ini benar-benar batu sandungan yang harus ia singkirkan selamanya dari hidup Edgard dan Miriam tidak bisa membiarkan hidupnya diusik lebih lama lagi. "Apa kabar, Janice?" sapa Miriam duluan dengan nada yang tidak bersahabat. Janice pun masih membelalak menatap Miriam dan Harlan. Dan saat tatapan Janice bertemu dengan tatapan Harlan, Janice pun sontak menunduk lagi tanpa menyahut sedikit pun. Sampai akhirnya Collin pun menegur Janice. "Mama, Grandma itu mengajak
"Papa!" Calista mengendap-endap mengintip ke ruang kerja Edgard dan Edgard pun tersenyum menatap anaknya itu. "Ada apa, Sayang?" "Ada Grandma sama Uncle yang galak itu, Papa! Dia suruh Mama ke taman belakang!" lapor Calista. Edgard yang mendengarnya pun awalnya mengernyit, namun tidak lama kemudian, ia pun menegang. "Grandma dan Uncle galak? Hmm, Calista, kembalilah ke kamarmu dulu, Papa akan mencari Mama!" Edgard pun segera bergegas turun ke taman belakang dan benar saja ada Janice di sana bersama Miriam. "Apa yang dilakukan Tante Miriam di sini?" gumam Edgard sambil menoleh ke sekeliling. Tidak biasanya tidak ada Harlan di sini, tapi baiklah, lebih bagus kalau Harlan tidak ada. Edgard pun melangkah dengan cepat di bagian pinggir taman dan mungkin kegelapan malam membuat Miriam tidak menyadari kedatangannya karena saat ini Miriam masih terlalu serius menatap Janice. Namun dari posisinya, Edgard benar-benar bisa mendengar bagaimana Miriam meminta Janice untuk tidak menikah de
"Dia bilang dia tidak mau aku menikah denganmu dan melahirkan anakmu. Aku mulai takut, Edgard. Tantemu itu ... aku tidak tahu bagaimana mengatakannya tapi kurasa dia sama seperti Harlan." Janice menceritakan dengan jujur apa yang Miriam katakan tadi, memang hanya sekedar ancaman agar Janice tidak menikah karena Edgard sudah keburu datang sebelum Miriam sempat mengatakan hal yang lain. "Aku juga tidak yakin apa yang bisa dia lakukan tapi aku sudah membayangkan banyak hal buruk, Edgard. Tantemu dan Harlan itu sama menakutkannya untukku." Edgard yang mendengarnya pun terus menenangkan Janice. "Tenanglah, Janice! Tidak akan ada yang terjadi dan seperti yang kubilang kita akan tetap menikah. Jadi jangan pikirkan Tante Miriam dan Harlan karena ada aku yang akan melindungimu." Edgard menarik Janice ke dalam pelukannya dan pada saat seperti ini, Janice sama sekali tidak menolak pelukan Edgard. Bahkan Janice balas memeluk Edgard dan memejamkan matanya merasakan kehangatan yang membuatnya
Tiada hari tanpa ketegangan. Itulah yang Janice rasakan saat ini. Jantungnya yang sudah memacu kencang pun memacu makin tidak karuan saat melihat Harlan berdiri di sana dengan tegak dan menatapnya dengan tajam. Harlan berdiri di sana tanpa rasa takut akan ketahuan siapa pun sampai membuat Janice yang malah ketakutan. "Ibu ... Ibu ...," panggil Janice cepat sambil tetap menatap Harlan. Nara yang dipanggil pun mengernyit. "Ada apa, Janice?" "Itu Harlan, Ibu! Itu Harlan! Dia menatapku! Dia menatapku! Dia yang melakukan semuanya, Ibu!" seru Janice sambil akhirnya menatap Nara. Nara pun makin mengernyit melihatnya. "Apa, Janice? Kau ini bicara apa, Janice?" "Ada Harlan di depan sana dan dia menatapku! Dia seolah memberitahu kalau dia yang melakukan semuanya!" Janice menunjuk ke depan. "Coba Ibu lihat! Ibu bisa berdiri? Atau lihat dari jendela sana saja! Tito! Tito, cepat lihat! Itu Harlan! Kau melihatnya kan? Di seberang sana, itu Harlan!" pekik Janice memberitahu Tito yang sedang b