Arus kendaraan Jalan Tol Jakarta-Cikampek siang ini ramai lancar. Dari arah Bekasi ke Jakarta maupun sebaliknya didominasi kendaraan pribadi. Cahaya matahari cukup terik menyinari sehingga aspal jalanan tampak panas, terlebih suhu di kota ini mencapai 34 derajat celcius. Sebuah mobil berwarna hitam berpindah dari lajur cepat ke lajur lambat. Sang sopir kemudian mengarahkan mobilnya keluar dari tol menyusuri jalur menuju Gerbang Tol Bekasi Barat. Sopir bernama Hadi ini menghentikan mobilnya karena harus mengantre lima mobil di depan gerbang tol tersebut. Gugun yang duduk di sebelah Pak Hadi menoleh ke belakang karena mendengar Anja terbatuk-batuk. “Nanti pas sampe rumah, lu harus istirahat total,” tegurnya kemudian. Laki-laki berkulit putih dan bermata sipit ini tampak khawatir pada Anja, terlebih dia yang paling dituakan dalam kelompok pertemanan. Anja tidak menyahut. Cowok berkulit sawo matang berusia 18 tahun ini menatap Gugun dengan m
Gugun dan teman-temannya dikuasai kesedihan. Mereka terdiam dalam keterkejutan. Ingin rasanya tidak percaya bahwa Anja telah meninggal dunia. Namun, mereka dihadapkan pada bukti bahwa tubuh Anja sudah tidak bergerak, dan memang sudah tidak ada kehidupan lagi di wajah teman mereka itu. Sampai kemudian Gugun tersadar kalau dia yang sepatutnya paling bisa diandalkan. Gugun harus mampu mengatasi situasi sulit ini. Setelah sekilas melihat Anja yang sudah ditutupi selimut putih, Gugun berbicara kepada Candra, “Can, sekarang lu pulang.” Candra yang berdiri lunglai tidak mendengar ucapan Gugun. Dia menunduk dengan pikiran yang kacau. Gugun mendekati Candra. Dia mengguncang kedua bahu temannya itu. “Can, dengarin gue!” katanya dengan suara lebih keras. Candra mengangkat wajahnya. Kedua matanya berkaca-kaca. Parasnya menampilkan kebingungan yang kian kentara. “Lu pulang. Taro semua tas di rumah lu atau titip aja di warkop Mbak Eli. Ter
Gugun sangat terkejut ditabrak oleh Anja, terlebih kepala belakangnya membentur lantai. Dia mendadak pening dengan pandangan memburam. Kendati dalam kondisi telentang seperti itu, dia tetap refleks mencekik leher Anja yang kini berada di atas tubuhnya. Gendang telinganya dipukul oleh suara geraman Anja yang menakutkan, tetapi karena itu pandangannya kembali fokus. Dia pun sadar betul tengah dalam kondisi genting, di mana nyawanya seolah hendak dicabut oleh Anja.Kedua mata Anja yang semerah darah tak pernah berkedip. Kedua tangannya terus menggapai-gapai tubuh Gugun, sampai kemudian berhasil mencekik leher temannya itu. Sambil menggeram, sesekali giginya bergemelutuk karena hendak menggigit Gugun. “To-tolonggg …,” tandas Gugun seraya menoleh ke kiri. Dia melihat Dokter Idrus dan Suster Ana berjongkok di bawah meja. Dokter Idrus dan Suster Ana bersitatap dengan wajah tegang. Keduanya masih belum berani bergerak barang sedikit pun. Mereka takut salah
Dokter Idrus berdiri kaku ketika Anja menabraknya. Dia tak sanggup menghindar, seolah otak dan kedua kakinya dibekukan oleh jantungnya yang berdebar-debar. Punggung dan kepala belakangnya membentur lantai dengan keras. Sementara dia tahu betul Anja menyerangnya dengan semakin beringas. Karena tak sempat menahan atau melawan, Dokter Idrus langsung kepayahan. Ketakutan benar-benar membuatnya tak berdaya. Sesaat dia menyesal, kenapa tadi tak bisa berlari atau dia saja yang memanggil sekuriti? Tak bisa dia berpikir lagi, Anja langsung menerkam lehernya. Bagian otot yang menghubungkan kepala dengan badan itu digerogot Anja. Seperti setan kelaparan Anja menarik daging leher Dokter Idrus. Namun, dia tidak mengunyah dan menelan otot yang terlepas dari leher Dokter Idrus, tetapi dia memuntahkannya ke lantai. Dia kembali menggigit luka menganga di leher Dokter Idrus yang mengeluarkan darah. Lalu kelenjar air liurnya berproduksi sangat cepat dan lebih banyak.
Anja tak sempat menerkam Gugun atau Suster Ana yang dengan cepat bersembunyi di dalam toilet. Anja lantas mengejar seorang pria berusia lima puluh tahun yang berlari ke balik tirai ranjang pasien. Anja menerjang pria itu, sehingga tirai terlepas dari anternit dan menimbulkan suara gedebuk karena pria itu tertubruk. Dengan ganas Anja menarik-narik tirai sampai mendapati wajah pria yang ditindihnya itu. “To-tolong, jangan bunuh saya,” pinta pria paruh baya itu mengiba. Anja menggeram dan semakin menguatkan tindihan kedua tungkainya. Darah menetes dari sela mulutnya yang menganga.Pria itu mencoba berontak, tapi gerakannya tak bisa menyingkirkan Anja dari atas tubuhnya.Anja memegang kedua lengan pria itu dengan kuat seraya membenamkan wajahnya ke leher pria tersebut.“AAAAA…!” pekik pria itu semakin membuat semua orang yang berada di IGD ketakutan.Seorang gadis usia belasan yang telentang di ranjang pasien dihantam kegentaran dengan tubuh gemetar. Di
Lelaki bernama Adi itu makin tersudut di pojok ruangan IGD. Dia kembali menoleh ke arah kiri, di mana seorang gadis menatapnya dengan sorot mata merah yang tajam. Dia menelan ludahnya dengan perasaan sedih karena adiknya itu telah menjadi mayat hidup. Belum lama ini dia mendampingi gadis bernama Rara itu ke rumah sakit. Setelah diperiksa, ternyata Rara terkena demam berdarah dan harus dirawat. Belum sempat Rara dipindahkan ke ruang rawat inap, malapetaka ini datang. Adi menyesal kenapa tadi tidak menolong Rara, padahal dia tahu bahwa Rara butuh pertolongan. Dia jadi kesal pada dirinya sendiri karena terlalu pengecut. Alih-alih bisa menjaga Rara dengan baik, dia malah berupaya bersembunyi dan menyelamatkan dirinya sendiri. Kini, tidak ada pilihan lagi selain mencari celah untuk menghindar dari terkaman para mayat hidup, termasuk adiknya itu. Adi sontak menoleh ke Anja dan Dokter Idrus karena suara geraman kedua mayat hidup itu. Dia kembali waspada da
Di ujung pertigaan koridor banyak pasien rawat jalan yang duduk di depan farmasi sedang menunggu obat. Di sebelah kiri ada tiga petugas perempuan yang duduk di balik meja, yang salah satunya sedang memberi informasi mengenai pendaftaran rawat inap pada seorang pemuda. Sementara itu, beberapa orang melangkah dari dan ke arah IGD. Suster Ana dan Gugun muncul dari IGD. Keduanya berlari secepat yang mereka bisa. Dengan panik dan jantung berdebar-debar, Suster Ana terus bergerak diikuti Gugun yang juga gugup dan takut. “Lariii …!” seru Suster Ana kepada orang-orang yang dia lewati. “Jangan ke IGD!” teriak Gugun kepada semua orang yang berpapasan dengannya. &
Pak Hadi menghentikan mobilnya di depan rumah Anja. Tadinya, dia diminta Kiman untuk mengantar sampai di warkop Mbak Eli di gang depan dekat jalan raya. Namun, karena harus segera menemui Pak Diko, dia akhirnya memilih menurunkan Kiman dan Candra di depan rumah orang tua Anja itu. Kini dia membantu Kiman dan Candra menurunkan empat tas gunung dan menaruhnya bersandar pada bangku plesteran. Setelah beres, dia pergi. Seusai mobil Pak Hadi berlalu, Kiman dan Candra masuk ke halaman depan rumah Anja. Keduanya melihat gerobak bakso milik Pak Diko, itu artinya bapaknya Anja hari ini tidak berdagang. Belum sempat memberi salam, keduanya mendapati Pak Diko membuka pintu dengan wajah agak kesal. “Mana si Anja?” Pak Diko berjalan tertatih. &n