Gugun sangat terkejut ditabrak oleh Anja, terlebih kepala belakangnya membentur lantai. Dia mendadak pening dengan pandangan memburam. Kendati dalam kondisi telentang seperti itu, dia tetap refleks mencekik leher Anja yang kini berada di atas tubuhnya. Gendang telinganya dipukul oleh suara geraman Anja yang menakutkan, tetapi karena itu pandangannya kembali fokus. Dia pun sadar betul tengah dalam kondisi genting, di mana nyawanya seolah hendak dicabut oleh Anja.
Kedua mata Anja yang semerah darah tak pernah berkedip. Kedua tangannya terus menggapai-gapai tubuh Gugun, sampai kemudian berhasil mencekik leher temannya itu. Sambil menggeram, sesekali giginya bergemelutuk karena hendak menggigit Gugun.
“To-tolonggg …,” tandas Gugun seraya menoleh ke kiri. Dia melihat Dokter Idrus dan Suster Ana berjongkok di bawah meja.
Dokter Idrus dan Suster Ana bersitatap dengan wajah tegang. Keduanya masih belum berani bergerak barang sedikit pun. Mereka takut salah mengambil keputusan lantaran tak ingin malah mereka yang celaka.
Gugun tetap berupaya menahan tubuh Anja yang terus bergerak tak terkendali. Ingin rasanya dia mendorong Anja, tetapi tak punya kekuatan untuk melakukan itu. Sedangkan kedua kakinya yang hendak menendang terus ditahan oleh tungkai Anja. Sementara itu, mukanya sudah memerah padam dan napasnya tersendat akibat cekikan Anja. “To-tolonggg …,” pintanya lagi kepada Dokter Idrus dan Suster Ana.
Kali ini ada dorongan dalam batin Dokter Idrus dan Suster Ana untuk segera menolong Gugun. Perasaan itu bukan hanya didasari karena mereka tenaga medis yang terbiasa menolong orang, tetapi juga lantaran cuma mereka yang saat ini bisa membantu Gugun. Di area itu tidak ada orang lain.
Sementara itu, beberapa orang yang berada di dalam tirai pasien hanya mendengar samar akan permintaan tolong Gugun. Mereka berpikir tidak ada keadaan yang mengerikan, yang bisa jadi berimbas ke diri mereka.
Dokter Idrus berdiri. Dengan takut-takut dia menghampiri Anja.
“Tendang aja, Dok,” kata Suster Ana seraya berdiri, tetapi tetap berada di dekat meja.
Dokter Idrus menelan ludahnya. Seumur hidup dia tidak pernah menendang siapa pun, sehingga melakukan itu sulit sekali.
“Ce-cepaattt, Dok,” rengek Gugun yang merasa hampir mati.
Dokter Idrus mengambil ancang-ancang untuk menendang. Belum sempat dia melayangkan kakinya ke tubuh Anja, tiba-tiba saja Suster Ana berlari cepat memukul tubuh Anja menggunakan bangku.
Hantaman itu membuat Anja terpental ke kanan membentur tembok. Namun, dia tampak tidak kesakitan sama sekali. Sepertinya rasa sakit sudah tiada dalam otak dan keseluruhan tubuhnya. Dia pun bangkit berdiri. Kendati kedua tungkainya terlihat goyah, tetapi dia tetap menakutkan. Matanya yang semerah darah benar-benar nyalang melihat Gugun, Suster Ana, dan Dokter Idrus.
Gugun yang terbebas dari cengkeramam Anja langsung berdiri sambil terbatuk-batuk. Dia memegang lehernya yang sakit sembari mundur mendekati Suster Ana. Dia terus mengawasi Anja karena khawatir temannya itu kembali menyerangnya. Kali ini dia harus siap menghindar atau melawan.
Anja kembali menggeram.
“Nja, sadar, Nja!” seru Gugun.
Anja tidak mendengarkan ucapan Gugun. Dia kini memfokuskan pandangannya kepada Suster Ana.
“Dia bukan lagi temanmu,” tandas Dokter Idrus.
“Apa maksud, Dokter?” Gugun bertanya tanpa melihat Dokter Idrus. Dia terus menatap Anja yang mulai mengangkat kedua tangan untuk siap kembali menerkam.
“Mungkin dia kerasukan setan,” terka Suster Ana.
Tanpa aba-aba lagi, Anja berlari menuju suster Ana. Dia kembali menyerang dengan geraman dan raut muka yang seperti kelaparan. Namun, gerakannya terhenti karena tubuhnya terkena bangku yang dilempar Suster Ana.
“Sus, cepat panggil sekuriti!” kata Dokter Idrus.
Suster Ana tidak menyahut karena pikirannya kalang kabut. Kendati tadi dia cukup berani, tetapi kali ini merasa takut lagi.
“Ayo!” Gugun menarik lengan suster Ana untuk keluar dari IGD.
Sementara itu, beberapa orang mulai keluar dari balik tirai pasien. Mereka saling bertanya karena mendengar suara ribut yang tak kunjung selesai. Kini, mereka menduga ada yang tidak beres di sekitar mereka.
Baru saja Gugun dan Suster Ana sampai di antara ranjang pasien, keduanya mendengar suara gedebuk yang membuat mereka spontan berhenti melangkah. Keduanya membalikkan badan untuk memeriksa keadaan. Bersama orang-orang di sana, keduanya menyaksikan Anja kini menindih dokter Idrus yang telentang di lantai.
Anja membenamkan wajahnya ke leher Dokter Idrus, sementara kepalanya bergerak patah-patah seperti sedang menggigit dan menarik sesuatu dengan giginya. Sementara itu, kedua tungkainya menahan gerakan kaki Dokter Idrus. Sedangkan kedua tangannya mencengkeram kuat lengan Dokter Idrus.
Semua orang makin waswas dengan jatung berdebar-debar, terutama Gugun dan Suster Ana yang tahu betul bagaimana beringasnya Anja. Beberapa orang makin bingung dan bertanya-tanya apa yang tengah dilakukan Anja terhadap Dokter Idrus.
Tiba-tiba Anja menghentikan kegiatannya. Kepalanya berhenti bergerak untuk sesaat. Kemudian dia menoleh dengan gerakan cepat ke arah semua orang. Kedua matanya makin merah membara, sementara mulutnya berlumuran darah. Dia menggeram seraya berdiri dengan gerakan yang siap menyerang semua orang.
Sementara itu, tubuh Dokter Idrus kelojotan. Darah merembas dari leher membahasi pakaiannya dan lantai.
Seorang ibu refleks berteriak histeris melihat Anja. Seorang perempuan belia langsung berlari keluar IGD. Sementara yang lainnya membeku, seakan-akan kedua kaki mereka dipaku ke lantai.
Anja kemudian berlari menuju orang-orang.
***
Dokter Idrus berdiri kaku ketika Anja menabraknya. Dia tak sanggup menghindar, seolah otak dan kedua kakinya dibekukan oleh jantungnya yang berdebar-debar. Punggung dan kepala belakangnya membentur lantai dengan keras. Sementara dia tahu betul Anja menyerangnya dengan semakin beringas. Karena tak sempat menahan atau melawan, Dokter Idrus langsung kepayahan. Ketakutan benar-benar membuatnya tak berdaya. Sesaat dia menyesal, kenapa tadi tak bisa berlari atau dia saja yang memanggil sekuriti? Tak bisa dia berpikir lagi, Anja langsung menerkam lehernya. Bagian otot yang menghubungkan kepala dengan badan itu digerogot Anja. Seperti setan kelaparan Anja menarik daging leher Dokter Idrus. Namun, dia tidak mengunyah dan menelan otot yang terlepas dari leher Dokter Idrus, tetapi dia memuntahkannya ke lantai. Dia kembali menggigit luka menganga di leher Dokter Idrus yang mengeluarkan darah. Lalu kelenjar air liurnya berproduksi sangat cepat dan lebih banyak.
Anja tak sempat menerkam Gugun atau Suster Ana yang dengan cepat bersembunyi di dalam toilet. Anja lantas mengejar seorang pria berusia lima puluh tahun yang berlari ke balik tirai ranjang pasien. Anja menerjang pria itu, sehingga tirai terlepas dari anternit dan menimbulkan suara gedebuk karena pria itu tertubruk. Dengan ganas Anja menarik-narik tirai sampai mendapati wajah pria yang ditindihnya itu. “To-tolong, jangan bunuh saya,” pinta pria paruh baya itu mengiba. Anja menggeram dan semakin menguatkan tindihan kedua tungkainya. Darah menetes dari sela mulutnya yang menganga.Pria itu mencoba berontak, tapi gerakannya tak bisa menyingkirkan Anja dari atas tubuhnya.Anja memegang kedua lengan pria itu dengan kuat seraya membenamkan wajahnya ke leher pria tersebut.“AAAAA…!” pekik pria itu semakin membuat semua orang yang berada di IGD ketakutan.Seorang gadis usia belasan yang telentang di ranjang pasien dihantam kegentaran dengan tubuh gemetar. Di
Lelaki bernama Adi itu makin tersudut di pojok ruangan IGD. Dia kembali menoleh ke arah kiri, di mana seorang gadis menatapnya dengan sorot mata merah yang tajam. Dia menelan ludahnya dengan perasaan sedih karena adiknya itu telah menjadi mayat hidup. Belum lama ini dia mendampingi gadis bernama Rara itu ke rumah sakit. Setelah diperiksa, ternyata Rara terkena demam berdarah dan harus dirawat. Belum sempat Rara dipindahkan ke ruang rawat inap, malapetaka ini datang. Adi menyesal kenapa tadi tidak menolong Rara, padahal dia tahu bahwa Rara butuh pertolongan. Dia jadi kesal pada dirinya sendiri karena terlalu pengecut. Alih-alih bisa menjaga Rara dengan baik, dia malah berupaya bersembunyi dan menyelamatkan dirinya sendiri. Kini, tidak ada pilihan lagi selain mencari celah untuk menghindar dari terkaman para mayat hidup, termasuk adiknya itu. Adi sontak menoleh ke Anja dan Dokter Idrus karena suara geraman kedua mayat hidup itu. Dia kembali waspada da
Di ujung pertigaan koridor banyak pasien rawat jalan yang duduk di depan farmasi sedang menunggu obat. Di sebelah kiri ada tiga petugas perempuan yang duduk di balik meja, yang salah satunya sedang memberi informasi mengenai pendaftaran rawat inap pada seorang pemuda. Sementara itu, beberapa orang melangkah dari dan ke arah IGD. Suster Ana dan Gugun muncul dari IGD. Keduanya berlari secepat yang mereka bisa. Dengan panik dan jantung berdebar-debar, Suster Ana terus bergerak diikuti Gugun yang juga gugup dan takut. “Lariii …!” seru Suster Ana kepada orang-orang yang dia lewati. “Jangan ke IGD!” teriak Gugun kepada semua orang yang berpapasan dengannya. &
Pak Hadi menghentikan mobilnya di depan rumah Anja. Tadinya, dia diminta Kiman untuk mengantar sampai di warkop Mbak Eli di gang depan dekat jalan raya. Namun, karena harus segera menemui Pak Diko, dia akhirnya memilih menurunkan Kiman dan Candra di depan rumah orang tua Anja itu. Kini dia membantu Kiman dan Candra menurunkan empat tas gunung dan menaruhnya bersandar pada bangku plesteran. Setelah beres, dia pergi. Seusai mobil Pak Hadi berlalu, Kiman dan Candra masuk ke halaman depan rumah Anja. Keduanya melihat gerobak bakso milik Pak Diko, itu artinya bapaknya Anja hari ini tidak berdagang. Belum sempat memberi salam, keduanya mendapati Pak Diko membuka pintu dengan wajah agak kesal. “Mana si Anja?” Pak Diko berjalan tertatih. &n
Suster yang menggelepar di luar ruangan di bawah pintu kaca akhirnya berhenti bergerak-gerak. Bisa dipastikan kehidupan baru saja hilang dari dirinya. Sementara darah terus keluar dari luka menganga di lehernya, mengalir masuk ke ruang rawat inap melalui celah bawah pintu. “Mundur … mundur,” kata Gugun kepada Suster Ana, Pak Sapto, dan Bu Novi. “Lebih baik kita ngumpet. Jangan sampe mayat suster itu hidup lagi dan melihat kita. Bisa-bisa dia mendobrak pintu itu.” Tanpa banyak cakap lagi Pak Sapto kembali ke anak gadisnya yang masih tertidur. Bu Novi pun yang takut dan bingung mendekati suaminya yang juga tengah terlelap. Sementara Gugun dan Suster Ana memilih ke ranjang paling ujung untuk bersembunyi. Tanpa bersepakat sebelumnya mereka kompak tidak mau menimbulkan suara, terutama Pak Sapto dan Bu Novi yang langsung merapatkan mulut mereka. Gugun dan Suster Ana duduk di tepi ranjang dengan cemas. Sadar akan bahaya yang tengah terjadi dan bisa saja mendekati teman-temannya, Gugun
Gugun turun bersama beberapa karyawan dari bus jemputan yang berhenti di perempatan jalan raya. Dia lantas menyeberang jalan dan memasuki warung kopi bertuliskan WARKOP ELI. Pukul delapan pagi ini dia baru saja pulang bekerja. Kendati tubuhnya lelah, tetapi dia merasa senang. Pasalnya, besok sudah memasuki libur akhir pekan. “Waduhhh … masih pagi udah pada nongkrong aja lu pada.” Gugun mendapati Anja, Kiman, dan Candra yang sedang mengopi di meja pojok. “Lu pada kagak sekolah?” tanyanya sembari mendaratkan bokong di kursi sebelah Anja. “Udah libur,” sahut Kiman. “Kan gue udah ujian,” kata Candra menambahkan.
Menjelang jam dua siang Anja pulang dari warkop. Dia berpisah dengan Kiman dan Candra yang tinggal di RT sebelah. Anja masuk ke rumahnya tanpa mengucapkan salam terlebih dahulu, padahal di teras depan ada Pak Diko yang baru saja mau jualan bakso dengan gerobak. “Dari mana lu?” tanya Pak Diko dengan raut wajah yang kesal. “Ngopi di warkop, Pak,” sahut Anja. “Habisnya di rumah kagak ada kopi.” “Bukannya masih ada di dapur.” “Udah abis, Pak. Gula pasir juga udah tinggal dikit.” “Boros banget