Dokter Idrus berdiri kaku ketika Anja menabraknya. Dia tak sanggup menghindar, seolah otak dan kedua kakinya dibekukan oleh jantungnya yang berdebar-debar. Punggung dan kepala belakangnya membentur lantai dengan keras. Sementara dia tahu betul Anja menyerangnya dengan semakin beringas.
Karena tak sempat menahan atau melawan, Dokter Idrus langsung kepayahan. Ketakutan benar-benar membuatnya tak berdaya. Sesaat dia menyesal, kenapa tadi tak bisa berlari atau dia saja yang memanggil sekuriti? Tak bisa dia berpikir lagi, Anja langsung menerkam lehernya. Bagian otot yang menghubungkan kepala dengan badan itu digerogot Anja.
Seperti setan kelaparan Anja menarik daging leher Dokter Idrus. Namun, dia tidak mengunyah dan menelan otot yang terlepas dari leher Dokter Idrus, tetapi dia memuntahkannya ke lantai. Dia kembali menggigit luka menganga di leher Dokter Idrus yang mengeluarkan darah. Lalu kelenjar air liurnya berproduksi sangat cepat dan lebih banyak. Air liur itu menodai pembuluh darah dan jaringan saraf leher Dokter Idrus, bahkan air liur tersebut mengalir cepat memasuki arteri karotid dan vena jugularis. Air liur yang sudah dicemari sari pati jamur itu terus menyebar ke seluruh organ internal dan mengacaukan otak Dokter Irus.
Anja menoleh dengan cepat ke arah Gugun, Suster Ana, dan beberapa orang yang berdiri di antara ranjang pasien. Dengan mata memancarkan kemerahan yang mengancam, dia bersiap untuk menyerang semua orang.
Sementara itu, Dokter Idrus merasakan sakit luar biasa pada lehernya. Dia memegang luka menganga di lehernya itu. Dia hendak menekan luka tersebut agar bisa menghentikan pendarahan, tetapi usaha itu sia-sia. Darah terus keluar dari luka itu karena pembuluh darah dan saraf lehernya ada yang putus dan rusak, terlebih sudah diracuni oleh air liur Anja. Bahkan, tubuhnya menjadi kejang-kejang akibat reaksi dari inti sari jamur yang sudah bercampur dengan air liur Anja. Tak lama setelah itu, jantungnya berhenti dan seketika itu pula dia mati.
“Aaaaa …!” teriak seorang ibu dengam batin syok dan wajah ketakutan. Alih-alih berlalu dari tempat itu, dia cuma mampu mundur satu langkah.
Seorang perempuan muda berlari keluar IGD berniat memanggil sekuriti. Hanya dia satu-satunya orang yang berhasil bergerak menjauh dari area itu, meski sekujur tubuhnya merinding.
Gugun, Suster Ana, dan beberapa orang lainnya masih diam di tempat. Mereka belum juga bereaksi untuk segera melarikan diri. Dalam pikiran mereka sama, yakni mencerna apa yang kiranya tengah terjadi pada Anja.
Darah keluar dari mulut Anja sampai ke dagunya, lalu cairan merah itu menetes menodai pakaiannya. Kini kedua tangannya direntangkan ke depan. Dia berlari sambil menggeram menuju semua orang.
Kali ini yang lebih dulu bergerak adalah Suster Ana. Dia spontan menarik lengan Gugun. Dia berlari ke sisi kiri, membuka pintu toilet, masuk bersama Gugun, lalu menutupnya dengan rapat.
Sementara beberapa orang lain ada yang bergegas keluar dari IGD. Ada yang pula bersembunyi di kolong ranjang pasien. Sebagian dari mereka tak bisa berpikir jernih untuk segera menyelamatkan diri ke tempat yang aman. Bagi mereka, yang penting lebih dulu menghindari serangan Anja.
“Kunci,” kata Gugun kepada Suster Ana yang masih memegang lengannya dengan tangan gemetar.
Suster Ana melepaskan tangannya dari lengan Gugun dengan perasaan malu. Dia sungguh tidak sadar telah menarik lengan Gugun. Sebelumnya, dia tidak pernah berpegangan tangan dengan laki-laki. Dia yang terbilang cantik, tetapi belum memiliki dambaan hati. Padahal, yang menaksir dirinya ada beberapa orang, tetapi dia masih enggan menjalin hubungan asmara.
“Lekas dikunci!” perintah Gugun lagi dengan suara lebih keras. Pasalnya, Suster Ana berada di depannya yang lebih dekat dengan gagang pintu. Sedangkan dia berdiri di belakang Suster Ana, di atas WC jongkok.
Suster Ana tersadar dari kecanggungannya, lalu mengunci pintu yang terbuat dari plastik berwarna putih itu dengan menekan tombol pada gagang pintu. Kendati begitu, dia dan Gugun tetap saja waswas. Keduanya berpikir sama, bahwa pintu tersebut bisa saja didobrak oleh Anja.
Gugun dan Suster Ana mendengar bunyi tirai-tirai yang disingkap dengan kasar, gedebuk seperti orang yang menghantam lantai dan tembok, dan barang-barang yang terjatuh ke lantai. Keduanya bersitatap dengan jantung yang makin berdetak tak keruan. Keduanya pun mau tak mau meningkatkan kewaspadaan, khawatir kalau-kalau Anja berhasil masuk ke tempat persembunyian mereka itu.
“Aaaa !!!”
“Tolonggg …!”
Gugun meletakkan jari telunjuk ke bibirnya, memberi isyarat kepada Suster Ana agar jangan bicara. Setelah dia mendengar suara teriakan seorang perempuan paruh baya dan permintaan tolong seorang gadis itu nyalinya makin ciut.
Suster Ana membekap mulutnya. Sementara kedua matanya memancarkan kehawatiran dan ketakutan yang kian menjadi.
“Bangsat lu!”
“Gggrrr!”
Suster Ana melangkah ke kanan. Dia merapatkan punggungnya pada tembok.
Buk! Buk! Buk!
“Aaaaa …!!!”
Brak!
Sesuatu menghantam pintu toilet.
Suster Ana dan Gugun kembali saling melihat.
Sementara di luar suara gaduh makin terdengar kacau. Tampaknya ruang IGD sudah berantakan. Mungkin juga telah ada korban baru karena serangan Anja. Begitulah terkaan Gugun dan Suster Ana.
Brak!
“Kayaknya pintunya lagi didobrak,” cetus Suster Ana dengan suara pelan, tetapi terdengar jelas di telinga Gugun.
Gugun juga mengkhawatirkan apa yang dikatakan oleh Suster Ana. Dia melihat ke tembok atas dan langit-langit toilet. Dia tidak mendapati jendela atau celah untuk melarikan diri dari kamar kecil itu.
Brak!
Gugun dan Suster Ana terkejut lagi seraya melihat gagang pintu. Keduanya khawatir pintu itu tak lagi bisa menahan dobrakan dari luar, sehingga terbuka dan nyawa keduanya terancam.
BRAK!!!
Pintu toilet terkuak.
***
Anja tak sempat menerkam Gugun atau Suster Ana yang dengan cepat bersembunyi di dalam toilet. Anja lantas mengejar seorang pria berusia lima puluh tahun yang berlari ke balik tirai ranjang pasien. Anja menerjang pria itu, sehingga tirai terlepas dari anternit dan menimbulkan suara gedebuk karena pria itu tertubruk. Dengan ganas Anja menarik-narik tirai sampai mendapati wajah pria yang ditindihnya itu. “To-tolong, jangan bunuh saya,” pinta pria paruh baya itu mengiba. Anja menggeram dan semakin menguatkan tindihan kedua tungkainya. Darah menetes dari sela mulutnya yang menganga.Pria itu mencoba berontak, tapi gerakannya tak bisa menyingkirkan Anja dari atas tubuhnya.Anja memegang kedua lengan pria itu dengan kuat seraya membenamkan wajahnya ke leher pria tersebut.“AAAAA…!” pekik pria itu semakin membuat semua orang yang berada di IGD ketakutan.Seorang gadis usia belasan yang telentang di ranjang pasien dihantam kegentaran dengan tubuh gemetar. Di
Lelaki bernama Adi itu makin tersudut di pojok ruangan IGD. Dia kembali menoleh ke arah kiri, di mana seorang gadis menatapnya dengan sorot mata merah yang tajam. Dia menelan ludahnya dengan perasaan sedih karena adiknya itu telah menjadi mayat hidup. Belum lama ini dia mendampingi gadis bernama Rara itu ke rumah sakit. Setelah diperiksa, ternyata Rara terkena demam berdarah dan harus dirawat. Belum sempat Rara dipindahkan ke ruang rawat inap, malapetaka ini datang. Adi menyesal kenapa tadi tidak menolong Rara, padahal dia tahu bahwa Rara butuh pertolongan. Dia jadi kesal pada dirinya sendiri karena terlalu pengecut. Alih-alih bisa menjaga Rara dengan baik, dia malah berupaya bersembunyi dan menyelamatkan dirinya sendiri. Kini, tidak ada pilihan lagi selain mencari celah untuk menghindar dari terkaman para mayat hidup, termasuk adiknya itu. Adi sontak menoleh ke Anja dan Dokter Idrus karena suara geraman kedua mayat hidup itu. Dia kembali waspada da
Di ujung pertigaan koridor banyak pasien rawat jalan yang duduk di depan farmasi sedang menunggu obat. Di sebelah kiri ada tiga petugas perempuan yang duduk di balik meja, yang salah satunya sedang memberi informasi mengenai pendaftaran rawat inap pada seorang pemuda. Sementara itu, beberapa orang melangkah dari dan ke arah IGD. Suster Ana dan Gugun muncul dari IGD. Keduanya berlari secepat yang mereka bisa. Dengan panik dan jantung berdebar-debar, Suster Ana terus bergerak diikuti Gugun yang juga gugup dan takut. “Lariii …!” seru Suster Ana kepada orang-orang yang dia lewati. “Jangan ke IGD!” teriak Gugun kepada semua orang yang berpapasan dengannya. &
Pak Hadi menghentikan mobilnya di depan rumah Anja. Tadinya, dia diminta Kiman untuk mengantar sampai di warkop Mbak Eli di gang depan dekat jalan raya. Namun, karena harus segera menemui Pak Diko, dia akhirnya memilih menurunkan Kiman dan Candra di depan rumah orang tua Anja itu. Kini dia membantu Kiman dan Candra menurunkan empat tas gunung dan menaruhnya bersandar pada bangku plesteran. Setelah beres, dia pergi. Seusai mobil Pak Hadi berlalu, Kiman dan Candra masuk ke halaman depan rumah Anja. Keduanya melihat gerobak bakso milik Pak Diko, itu artinya bapaknya Anja hari ini tidak berdagang. Belum sempat memberi salam, keduanya mendapati Pak Diko membuka pintu dengan wajah agak kesal. “Mana si Anja?” Pak Diko berjalan tertatih. &n
Suster yang menggelepar di luar ruangan di bawah pintu kaca akhirnya berhenti bergerak-gerak. Bisa dipastikan kehidupan baru saja hilang dari dirinya. Sementara darah terus keluar dari luka menganga di lehernya, mengalir masuk ke ruang rawat inap melalui celah bawah pintu. “Mundur … mundur,” kata Gugun kepada Suster Ana, Pak Sapto, dan Bu Novi. “Lebih baik kita ngumpet. Jangan sampe mayat suster itu hidup lagi dan melihat kita. Bisa-bisa dia mendobrak pintu itu.” Tanpa banyak cakap lagi Pak Sapto kembali ke anak gadisnya yang masih tertidur. Bu Novi pun yang takut dan bingung mendekati suaminya yang juga tengah terlelap. Sementara Gugun dan Suster Ana memilih ke ranjang paling ujung untuk bersembunyi. Tanpa bersepakat sebelumnya mereka kompak tidak mau menimbulkan suara, terutama Pak Sapto dan Bu Novi yang langsung merapatkan mulut mereka. Gugun dan Suster Ana duduk di tepi ranjang dengan cemas. Sadar akan bahaya yang tengah terjadi dan bisa saja mendekati teman-temannya, Gugun
Gugun turun bersama beberapa karyawan dari bus jemputan yang berhenti di perempatan jalan raya. Dia lantas menyeberang jalan dan memasuki warung kopi bertuliskan WARKOP ELI. Pukul delapan pagi ini dia baru saja pulang bekerja. Kendati tubuhnya lelah, tetapi dia merasa senang. Pasalnya, besok sudah memasuki libur akhir pekan. “Waduhhh … masih pagi udah pada nongkrong aja lu pada.” Gugun mendapati Anja, Kiman, dan Candra yang sedang mengopi di meja pojok. “Lu pada kagak sekolah?” tanyanya sembari mendaratkan bokong di kursi sebelah Anja. “Udah libur,” sahut Kiman. “Kan gue udah ujian,” kata Candra menambahkan.
Menjelang jam dua siang Anja pulang dari warkop. Dia berpisah dengan Kiman dan Candra yang tinggal di RT sebelah. Anja masuk ke rumahnya tanpa mengucapkan salam terlebih dahulu, padahal di teras depan ada Pak Diko yang baru saja mau jualan bakso dengan gerobak. “Dari mana lu?” tanya Pak Diko dengan raut wajah yang kesal. “Ngopi di warkop, Pak,” sahut Anja. “Habisnya di rumah kagak ada kopi.” “Bukannya masih ada di dapur.” “Udah abis, Pak. Gula pasir juga udah tinggal dikit.” “Boros banget
Jam sepuluh malam ini Gugun sudah berada di Warkop Eli. Setelah menyandarkan tas gunungnya pada tembok dekat meja pojok, dia menghampiri Mbak Eli yang sedang mengaduk kopi pesanan seorang sopir yang tengah beristirahat. “Mbak, anak-anak belum ada yang nongol, ya?” “Siapa? Si Anja?” “Iya, si Kiman dan Candra juga.” “Belum ada, tuh.” Gugun mengangguk pelan sebagai tanda bahwa dia paham dengan penjelasan Mbak Eli. “Saya kopi itemnya satu, ya,” pesannya kemudian.