Menjelang jam dua siang Anja pulang dari warkop. Dia berpisah dengan Kiman dan Candra yang tinggal di RT sebelah. Anja masuk ke rumahnya tanpa mengucapkan salam terlebih dahulu, padahal di teras depan ada Pak Diko yang baru saja mau jualan bakso dengan gerobak.
“Dari mana lu?” tanya Pak Diko dengan raut wajah yang kesal.
“Ngopi di warkop, Pak,” sahut Anja. “Habisnya di rumah kagak ada kopi.”
“Bukannya masih ada di dapur.”
“Udah abis, Pak. Gula pasir juga udah tinggal dikit.”
“Boros banget
Jam sepuluh malam ini Gugun sudah berada di Warkop Eli. Setelah menyandarkan tas gunungnya pada tembok dekat meja pojok, dia menghampiri Mbak Eli yang sedang mengaduk kopi pesanan seorang sopir yang tengah beristirahat. “Mbak, anak-anak belum ada yang nongol, ya?” “Siapa? Si Anja?” “Iya, si Kiman dan Candra juga.” “Belum ada, tuh.” Gugun mengangguk pelan sebagai tanda bahwa dia paham dengan penjelasan Mbak Eli. “Saya kopi itemnya satu, ya,” pesannya kemudian. 
Hampir pukul dua belas malam Gugun dan teman-temannya menunggu dijemput sopir Travel Backpacker. Gugun dan sopir bernama Hadi itu memang sudah sepakat untuk berangkat sekitar jam dua belas dari titik penjemputan. “Jadi rencananya kita berangkat dari sini jam dua belasan, gitu?” Anja menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Gugun mengangguk. “Kata Pak Hadi, biasanya dia emang ngantar tengah malam gitu. Jadi, pas sampe basecamp udah pagi, lalu bisa pendakian, dah,” jelasnya kemudian. “Ya gak apa-apa, sih, kita juga masih bisa tidur di mobil, ‘kan?” timpal Kiman. “Paling nyampe sana sebelum subuh,” kata Candra. Sebuah mobil berwarna hitam berhenti di depan Warkop Eli. Ponsel Gugun berdering. Dia lantas mengangkat panggilan telepon itu, “Halo, Pak?” “Halo, Mas Gun. Saya udah sampe di Warkop Eli.” “Iya, Pak, saya juga udah ada di dalam warkop.” “Oh ya udah saya ke situ.” Gugun menutup sambungan telepon itu. Dia dan teman-temannya melihat seorang lelaki berusia 40 ta
Pagi masih gelap ketika Anja dan teman-temannya sampai di kaki Gunung Pulosari. Menjelang jam lima itu mereka sedang beristirahat di balai-balai depan warung. Di warung lainnya pun ada sekelompok pendaki yang sudah siap mendaki. Sedangkan Anja dan teman-temannya berencana pendakain dimulai saat pagi sudah terang. Kini, mereka bercengkerama sambil menikmati kopi panas dan mengisap rokok. Obrolan ringan mereka diselingi gelak tawa. Sementara itu, udara dingin makin menyelimuti. Sampai beberapa saat kemudian cahaya matahari muncul dari arah barat. Anja dan teman-temannya sarapan dengan suasana yang lumayan hangat. Setelah beres, Anja menemani Gugun ke pos dekat gerbang masuk untuk mendaftar pendakian. Kelompok mereka diketuai oleh Gugun dengan perizinan dua hari satu malam. Sesudah mengurus segala sesuatunya, mereka pun mulai mendaki. Sementara Pak Hadi menunggu mereka di warung. Gugun melangkah di depan. Dia diikuti oleh Kiman, Candra, dan Anja yang paling belak
Setelah puas beristirahat di Curug Putri, Anja dan teman-temannya melanjutkan perjalanan. Dari area itu mereka memasuki jalur dengan tanjakan yang lumayan berat, sehingga beberapa kali mereka berhenti untuk meredakan pinggang yang terasa pegal. Sebelumnya, dari aliran air curug, mereka menyeberang melewati tebing batu yang miring memilih jalur anak tangga. Memasuki jalur di sisi kanan jurang, mereka lebih berhati-hati meski area itu cukup aman untuk dilalui. Tak lama sesudah itu, mereka melewati warung yang dijaga seorang lelaki paruh baya. Mereka ditawari mampir, tetapi memilih melanjutkan pendakian. “Masih lama gak, sih?” tanya Candra yang punggungnya terasa pegal. “Kenapa? Lu udah capek?” kata Kiman balik bertanya dengan nada mengejek, tetapi terdengar bercanda. “Bukan capek,” sahut Candra, “tapi laper.” Dia terkekeh. “Dasar perut kadut!” sembur Gugun tanpa menoleh ke belakang. Dia terus saja melangkah perlahan. “Pas n
Anja dan teman-temannya baru saja melewati jalur yang berada di sebelah kanan kawah. Jalan setapak yang menanjak itu dipasangi tali tambang karena cukup curam. Mereka juga melalui akar-akar pepohonan yang menyembul dari dalam tanah. Semakin ke atas, jalur itu kian terasa licin, terutama saat berpijak pada akar-akar pohon. Bahkan, di beberapa bagian mereka harus menggapai akar agar bisa terus memanjat. Mereka bukan hanya meninggalkan tenda, tetapi juga tas gunung. Anja dan Gugun mengenakan tas berkapasitas 10 liter untuk membawa makanan ringan dan air kemasan botol 600 mililiter. Sementara Kiman dan Candra menaruh minuman mereka di tas yang dipakai Anja dan Gugun. Nanti saat kembali ke kawah mereka bergantian mengenakan tas itu. Karena pagi ini tidaklah terlampau dingin, mereka tidak mengenakan jaket. Pakaian untuk menahan dingin dan angin itu mereka taruh di tenda. Kini mereka harus lebih berhati-hati. Pasalnya, jalur melipir menanjak ke kanan, di mana jurang menganga di sisinya. Ent
Tidak hanya Kiman, Candra, dan Gugun yang merasa kalau Anja akan baik-baik saja turun sendirian ke kawah, Anja sendiri pun meyakini hal itu. Bukan meremehkan jalur Gunung Pulosari, tetapi perhitungan Anja meyakini untuk kembali ke area kawah tidaklah terlampau sulit meski melangkah seorang diri. Padahal, gunung tinggi atau pendek tetaplah gunung; jalur sulit atau mudah tetaplah jalur gunung; dan mendaki gunung adalah kegiatan yang berisiko tinggi. Berjalan sendirian di gunung atau di hutan, itu artinya terlalu banyak mengambil risiko. Anja bergerak tidak terburu-buru atau terlampau lambat. Dia melangkah biasa saja, dalam artian seperti itulah dia ketika mendaki. Lagi pula sebenarnya dia tidak terlalu kebelet buang air besar. Dengan berjalan seperti itu, dia yakin mulesnya akan tetap terkendali setibanya dia di WC di area kawah. Sebelum meninggalkan teman-temannya, Anja juga tahu kalau ada empat pendaki yang belum lama ini turun
“Kayaknya kita harus nyari si Anja, deh,” cetus Gugun yang mengubah topik obrolannya dengan Kiman dan Candra. Sehabis makan siang tadi, mereka bercakap-cakap sambil mengopi. Gugun tidak tahu apakah hanya dia yang dirasuki firasat buruk karena ketiadaan Anja yang sudah terbilang lama. Dia mendapati Kiman dan Candra tetap asyik bercengkerama seolah-olah melupakan Anja. “Iya, ya, ke mana tuh anak?” Candra memakai topinya untuk bersiap mencari Anja. “Kita cari ke warung dulu aja.” Kiman berdiri. Gugun melangkah paling depan menuju warung yang berada di sisi jalur menuju kawah. Setibanya, mereka tidak mendapati Anja di balai-balai depan warung tersebut. Bahkan, di sana tidak satu pun pendaki yang bersantai atau tengah membeli sesuatu. Mereka pun ke warung yang lebih dekat dengan kawah. “Gak ada juga.” Kiman menggelengkan kepalanya. “Ke mana tuh anak?” Candra
Seorang pria berkulit sawo matang duduk di kursi kayu sambil merokok. Dia berada di sisi barisan WC umum. Di dekatnya ada kotak yang terbuat dari papan kayu, di mana di bagian atas tepat di tengah ada lubang untuk memasukkan uang. Dia mengisap rokoknya dalam-dalam, lalu diembuskannya asap secara perlahan dengan paras begitu puas dan nikmat. Dia kemudian membuang puntung rokok ke tanah, lalu menginjaknya sampai baranya mati Dia menyeruput kopi ketika Gugun, Kiman, dan Candra mendekatinya. “Halo, Pak, maaf ganggu,” sapa Gugun dengan sopan. “Saya mau tanya, apa Bapak lihat teman saya ini?” Dia memperlihatkan layar ponselnya. Penjaga WC bernama Harun itu mengamati wajah Anja. “Saya gak lihat,” katanya kemudian seraya mengusap wajahnya yang agak berminyak. “Maaf, Pak, coba dilihat lagi.” Kiman tersenyum agar Pak Harun tidak tersinggung. Pak Harun mengerjap-ngerjapkan matanya sambil kembali memperhatikan layar ponsel Gugun. Beberapa detik kemudian dia menggeleng-geleng pelan. “Benar, s