Setelah puas beristirahat di Curug Putri, Anja dan teman-temannya melanjutkan perjalanan. Dari area itu mereka memasuki jalur dengan tanjakan yang lumayan berat, sehingga beberapa kali mereka berhenti untuk meredakan pinggang yang terasa pegal. Sebelumnya, dari aliran air curug, mereka menyeberang melewati tebing batu yang miring memilih jalur anak tangga. Memasuki jalur di sisi kanan jurang, mereka lebih berhati-hati meski area itu cukup aman untuk dilalui. Tak lama sesudah itu, mereka melewati warung yang dijaga seorang lelaki paruh baya. Mereka ditawari mampir, tetapi memilih melanjutkan pendakian. “Masih lama gak, sih?” tanya Candra yang punggungnya terasa pegal. “Kenapa? Lu udah capek?” kata Kiman balik bertanya dengan nada mengejek, tetapi terdengar bercanda. “Bukan capek,” sahut Candra, “tapi laper.” Dia terkekeh. “Dasar perut kadut!” sembur Gugun tanpa menoleh ke belakang. Dia terus saja melangkah perlahan. “Pas n
Anja dan teman-temannya baru saja melewati jalur yang berada di sebelah kanan kawah. Jalan setapak yang menanjak itu dipasangi tali tambang karena cukup curam. Mereka juga melalui akar-akar pepohonan yang menyembul dari dalam tanah. Semakin ke atas, jalur itu kian terasa licin, terutama saat berpijak pada akar-akar pohon. Bahkan, di beberapa bagian mereka harus menggapai akar agar bisa terus memanjat. Mereka bukan hanya meninggalkan tenda, tetapi juga tas gunung. Anja dan Gugun mengenakan tas berkapasitas 10 liter untuk membawa makanan ringan dan air kemasan botol 600 mililiter. Sementara Kiman dan Candra menaruh minuman mereka di tas yang dipakai Anja dan Gugun. Nanti saat kembali ke kawah mereka bergantian mengenakan tas itu. Karena pagi ini tidaklah terlampau dingin, mereka tidak mengenakan jaket. Pakaian untuk menahan dingin dan angin itu mereka taruh di tenda. Kini mereka harus lebih berhati-hati. Pasalnya, jalur melipir menanjak ke kanan, di mana jurang menganga di sisinya. Ent
Tidak hanya Kiman, Candra, dan Gugun yang merasa kalau Anja akan baik-baik saja turun sendirian ke kawah, Anja sendiri pun meyakini hal itu. Bukan meremehkan jalur Gunung Pulosari, tetapi perhitungan Anja meyakini untuk kembali ke area kawah tidaklah terlampau sulit meski melangkah seorang diri. Padahal, gunung tinggi atau pendek tetaplah gunung; jalur sulit atau mudah tetaplah jalur gunung; dan mendaki gunung adalah kegiatan yang berisiko tinggi. Berjalan sendirian di gunung atau di hutan, itu artinya terlalu banyak mengambil risiko. Anja bergerak tidak terburu-buru atau terlampau lambat. Dia melangkah biasa saja, dalam artian seperti itulah dia ketika mendaki. Lagi pula sebenarnya dia tidak terlalu kebelet buang air besar. Dengan berjalan seperti itu, dia yakin mulesnya akan tetap terkendali setibanya dia di WC di area kawah. Sebelum meninggalkan teman-temannya, Anja juga tahu kalau ada empat pendaki yang belum lama ini turun
“Kayaknya kita harus nyari si Anja, deh,” cetus Gugun yang mengubah topik obrolannya dengan Kiman dan Candra. Sehabis makan siang tadi, mereka bercakap-cakap sambil mengopi. Gugun tidak tahu apakah hanya dia yang dirasuki firasat buruk karena ketiadaan Anja yang sudah terbilang lama. Dia mendapati Kiman dan Candra tetap asyik bercengkerama seolah-olah melupakan Anja. “Iya, ya, ke mana tuh anak?” Candra memakai topinya untuk bersiap mencari Anja. “Kita cari ke warung dulu aja.” Kiman berdiri. Gugun melangkah paling depan menuju warung yang berada di sisi jalur menuju kawah. Setibanya, mereka tidak mendapati Anja di balai-balai depan warung tersebut. Bahkan, di sana tidak satu pun pendaki yang bersantai atau tengah membeli sesuatu. Mereka pun ke warung yang lebih dekat dengan kawah. “Gak ada juga.” Kiman menggelengkan kepalanya. “Ke mana tuh anak?” Candra
Seorang pria berkulit sawo matang duduk di kursi kayu sambil merokok. Dia berada di sisi barisan WC umum. Di dekatnya ada kotak yang terbuat dari papan kayu, di mana di bagian atas tepat di tengah ada lubang untuk memasukkan uang. Dia mengisap rokoknya dalam-dalam, lalu diembuskannya asap secara perlahan dengan paras begitu puas dan nikmat. Dia kemudian membuang puntung rokok ke tanah, lalu menginjaknya sampai baranya mati Dia menyeruput kopi ketika Gugun, Kiman, dan Candra mendekatinya. “Halo, Pak, maaf ganggu,” sapa Gugun dengan sopan. “Saya mau tanya, apa Bapak lihat teman saya ini?” Dia memperlihatkan layar ponselnya. Penjaga WC bernama Harun itu mengamati wajah Anja. “Saya gak lihat,” katanya kemudian seraya mengusap wajahnya yang agak berminyak. “Maaf, Pak, coba dilihat lagi.” Kiman tersenyum agar Pak Harun tidak tersinggung. Pak Harun mengerjap-ngerjapkan matanya sambil kembali memperhatikan layar ponsel Gugun. Beberapa detik kemudian dia menggeleng-geleng pelan. “Benar, s
Pak Harun terus melangkah diikuti Gugun, Kiman, dan Candra. Mereka kembali menuju puncak. Mereka menapaki jalur menanjak berupa tanah dengan akar-akar pohon yang licin.Langkah Pak Harun begitu cekatan. Sementara Gugun, Kiman, dan Candra sangat hati-hati, ditambah perasaan yang sungguh khawatir terhadap Anja, membuat ketiganya berjalan diselimuti kecemasan yang kian meninggi.“Ada kemungkinan gak ya kalo Anja tersesat ke jalur lain?” tanya Gugun yang menatap punggung Pak Harun.“Di jalur ini gak ada jalur lain, tapi kemungkinan terserat ke arah lain ya bisa aja,” sahut Pak Harun tanpa menoleh ke belakang. Dia terus berjalan memimpin pencarian.“Susah dipercaya kalo Anja melipir dari jalur,” cetus Kiman.Candra menimpali, “Iya, dia ‘kan bukan pendaki baru, masa gak bisa lihat jalur yang jelas kayak gini?”“Kalo ternyata dia udah kebelet banget dan nyari tempat boker, gimana? Bisa aja ‘kan dia melipir nyari tempat?” tanya Gugun membuat kedua temannya terdiam berpikir.Mereka terus menap
Sinar matahari yang terik menembus sela-sela dedaunan dan ranting-ranting pohon yang melingkupi Gunung Pulosari. Gugun, Kiman, dan Candra meninggalkan tenda mereka yang berdiri di area kawah gunung tersebut. Mereka memang akan berniat kembali ke sana karena harus mencari Anja lagi. Mereka menuruni gunung hanya membawa tas kecil berisi air minum dan makanan ringan.Hampir jam satu siang itu ketiganya sampai di titik awal pendakian. Mereka lelah karena berusaha melangkah cepat dengan perasaan yang waswas. Mereka seperti dikejar oleh waktu yang setiap detiknya terasa mengerikan, terutama saat ingatan mereka tertuju pada nasib Anja.Gugun, Kiman, dan Candra langsung masuk ke pos pendaftaran yang kebetulan sepi. Di tempat itu hanya ada Pak Ukri yang sedang berjaga. Pria berumur 40 tahun itu sedang duduk santai sambil merokok dan sesekali menyeruput kopi hitam.“Pak, tolong kami, Pak,” kata Kiman yang langsung masuk ke pos mendekati Pak Ukri.“Emangnya ada apa?” tanya Pak Ukri. Pria kurus be
Siang itu pendakian Gunung Pulosari mendadak ditutup sampai waktu yang tidak ditentukan. Keputusan itu diambil dan disetuju oleh pengelola, masyarakat, dan pihak kepolisian setempat. Tujuannya agar Tim SAR gabungan bisa lebih fokus dalam pencarian. Tim pencari dan penyelamatan itu terdiri dari pihak polisi, Basarnas, pengelola pendakian Gunung Pulosari, dan masyarakat setempat. Ada dua tim yang masing-masing terdiri dari delapan orang termasuk Gugun, Kiman, dan Candra. Setelah tim dibentuk dan mendapat pengarahan dari salah satu orang Basarnas, kedua tim itu pun mulai bergerak ke titik diduganya tempat Anja terjatuh. Sementara itu, waktu menunjukkan hampir jam tiga sore. Pergerakan Tim SAR dilingkupi keadaan yang teduh. Langit yang menaungi Gunung Pulosari ditutupi berarakan awan kelabu. Sesekali pula angin mendesir seolah membawa kabar bahwa hujan akan datang. Kedua tim penyelamat itu terus melangkah dengan gegas meski beberapa di antara mereka tak dapat meny