Selepas magrib kemarin hujan turun dengan lebat diselingi sesekali kilatan dan guntur yang menggelegar. Tim SAR berteduh dalam tenda yang didirikan di sisi kawah gunung, sementara lainnya masuk ke warung dan duduk di balai-balai. Sambil berdiskusi soal rencana pencarian selanjutnya, mereka juga menikmati kopi dan teh untuk menghangatkan tubuh. Hujan dengan intensitas tinggi itu akhirnya berhenti, sampai kemudian pencarian dilanjutkan bakda subuh. Tim pertama yang dipimpin Hamdan, kembali menuruni jurang. Dia, Cokro, Wawan, beserta dua rekannya dari Basarnas ingin mengejar jejak kepergian Anja dari dasar jurang. Mereka tentu paham barangkali benar ada jejak pada tanah, tapi bekas tapak sepatu Anja itu bisa jadi telah hilang akibat hujan. Namun, berbekal ilmu yang dimiliki, mereka tidak akan mudah menyerah. Sementara itu, hasil diskusi semalam, tim kedua yang dipimpin salah satu warga yang mengenal medan hutan mengajak anggota lainnya untuk kembali ke area air t
Kedua tim pencari terus bergerak ke arah berlawanan. Mereka mengamati seluruh area dengan saksama. Karena tak ada jalan setapak, mereka lebih berhati-hati dalam melangkah. Bagaimanapun area yang mereka tapaki bukanlah jalur yang sering atau belum pernah dilalui manusia. Barangkali di bagian-bagian tertentu terdapat hewan buas. Kedua tim tidak merasa lelah, terlebih cuaca pagi itu yang cukup cerah, sehingga menambah semangat dalam pencarian. Meski begitu, tak bisa dimungkiri beberapa di antara mereka kian khawatir. Semakin lama Anja ditemukan, semakin tipis pula harapan Anja hidup. Bagaimanapun, bertahan sendirian di dalam hutan bukanlah perkara gampang. “Monitor, Pak Aris.” HT yang dipegang salah satu polisi yang berada di tim kedua bersuara. Pak Aris langsung meraih HT dari pinggangnya. Dia mendekatkan alat komunikasi itu ke mulutnya. “Masuk, Mas Ham,” sahutnya kemudian harap-harap cemas. “Alhamdulillah kami udah nemuin si A
Gugun menghentikan ceritanya. Dia mengusap wajah dengan gelisah. Dia tercenung karena masih tak mau memercayai kenyataan ini. Dia menyesal telah melakukan pendakian. Kalau saja tidak mendaki gunung, barangkali keadaan kacau ini tidak akan pernah terjadi. Apa yang dia pikirkan itu muncul dari keputusasaan akan keadaan yang terus menekan, seakan-akan dia tak bisa keluar dari situasi mengerikan ini.“Apa jangan-jangan temanmu itu bukan orang?” tanya Bu Novi membuyarkan lamunan Gugun.“Apa maksud, Ibu?” Gugun balik bertanya karena tak paham.Pak Sapto dan Suster Ana juga menatap Bu Novi dengan sorot mata meminta penjelasan.“Mungkin cowok yang kalian temukan di hutan itu bukan si Anja? Dia itu manusia jadi-jadian,” terka Bu Novi dengan wajah serius.“Apa iya di hutan ada manusia jadi-jadian kayak gitu?” kata Pak Sapto sangsi.“Mungkin aja,” sahut Bu Novi cepat. “Apa, sih, yang gak ada di Indonesia? Di sini banyak yang aneh-aneh di luar nalar kita, Pak.”Pak Sapto terdiam. Dia meny
“Jangan berisik,” kata Gugun sambil meletakkan telunjuk ke bibir. Dia kembali menarik tirai sehingga Pak Diko, Bu Novi, dan Suster Ana tak lagi melihat ke pintu kaca. Keheningan keempatnya menjadikan keadaan makin tegang, sampai-sampai bernapas pun begitu hati-hati, seolah takut embusan dan helaan udara menimbulkan suara yang kian membuat para zombi mendatangi mereka.Sementara itu, zombi laki-laki di depan pintu ruang rawat inap itu masih saja berusaha masuk. Zombi itu terus membenturkan kepalanya ke pintu, sehingga suaranya mengusik ketenangan Wati yang sedang tidur.“Pak,” kata Wati seraya menoleh ke kiri, di mana suara gedoran pintu itu berasal. “Bapak!” katanya lagi dengan suara lebih keras.Pak Sapto terkejut. “Itu Wati, anak saya,” katanya dengan suara pelan.Gugun, Bu Novi, dan Suster Ana menatap Pak Sapto dengan paras meminta Pak Sapto segera menemui Wati. Ketiganya tak mau kalau suara Wati malah membuat para zombi menjebol pintu.Pak Sapto merayap melewati kolong ranjang un
Dua lelaki berlari keluar dari rumah sakit. Keduanya panik dikejar beberapa zombi. Saking takutnya, alih-alih berlari menyusuir trotoar, mereka malah menyeberang jalan raya tanpa menoleh ke kanan dan ke kiri terlebih dahulu. Kiranya bisa menghindari kejaran para mayat hidup itu, salah satu lelaki justru tertabrak mobil sedan. Sementara lelaki satunya berhasil menyeberang jalan, tetapi menimbulkan tabrakan beruntun yang mengakibatkan tujuh mobil terhenti di tengah jalan raya.Lelaki yang tertabrak sedan terpental dan terkapar. Belum sempat berteriak minta tolong, dia langsung dikerumuni para zombi. Bukan hanya lehernya yang digigit, tetapi juga lengan dan pipi. Seorang pria dan istrinya keluar dari sedan hendak menolong lelaki yang tertabrak, tapi keduanya malah diserang para zombi.Dari rumah sakit keluar lagi segerombolan zombi. Para mayat hidup itu ada yang mengenakan kaus biasa, kemeja kantoran, seragam sekuriti, pakaian suster dan dokter. Zombi-zombi itu menyerang ora
Zombi laki-laki yang mengenakan seragam petugas kebersihan rumah sakit melangkah perlahan di koridor yang menghubungkan ruang rawat inap dengan kamar jenazah. Dia terpisah dengan zombi lainnya yang menyerang beberapa ruang rawat inap dan keluar dari rumah sakit. Di ujung matanya meneteskan darah. Kedua lubang hidung dan telinganya pun mengeluarkan darah. Giginya bergemeletuk sepereti hendak siap menerkam siapa saja. Kedua tungkainya yang agak lunglai terhenti ketika dia mendapati ada dua lelaki yang berdiri beberapa meter di depannya. Air liur menetes di ujung bibirnya. Kepalanya meneleng ke kiri, sementara pandangannya lurus ke depan menyorot mata dua lelaki itu. Kedua lengannya terangkat lurus ke depan. Giginya bergemeletuk dengan cepat. Ketika mendapati ketakutan di paras dua lelaki itu, dia langsung berlari terhuyung-huyung hendak menyerang.Pak Diko dan Kiman terlonjak kaget dan langsung berbalik mendapati zombi yang mengejar mereka. Dengan panik keduanya memanggil Suster Indri
Beberapa zombi di samping rumah sakit masih mencoba masuk ke kamar jenazah melalui pintu yang mengarah keluar rumah sakit. Mereka membenturkan kepala, menabrakkan diri, serta memukul dan mencakar-cakar pintu kayu itu. Sementara itu, zombi laki-laki juga terus berupaya menobrak pintu kaca buram kamar jenazah dari arah koridor dalam. Suster Indri dan Kiman sekuat tenaga menahan pintu agar tidak dijebol. Zombi itu membenturkan kepalanya berulangkali, sampai-sampai darah yang keluar dari keningnya menodai pintu kaca. Kiman menatap Pak Diko yang meringis kesakitan setelah diserang zombi itu. “Pak, tolong cari sesuatu untuk mengunci pintu ini.” Pak Diko seolah tersadar bahwa keadaan belum aman. Dia melihat Kiman dan Suster Indri sedang kesulitan menahan pintu dari dobrakan zombi. Tanpa menyahuti perkataan Kiman, dia langsung mencari sesuatu yang kiranya bisa mengunci pintu. Dia meneliti seluruh ruangan dengan cepat dan cermat. Dia memperhatikan ranjang-ranjang jenazah dan lemari pendingin
Candra memarkirkan motornya di beranda rumah. Dia mematikan mesin kendaraan roda duanya itu, lalu melepaskan helm dan menaruhnya menggantung pada setang. Dia harus memberi tahu keadaan dan prediksi Gugun terkait munculnya zombi kepada Mak Ijun dan Hani, tetapi dia wajib bersikap tenang. Jangan sampai informasi darinya malah membuat ibu dan adiknya itu panik.Rupanya Mak Ijun dan Hani masih menonton televisi di ruang tengah. Belum sempat Candra berbicara, keduanya lebih dulu memberondong pertanyaan.“Gimana, Bang? Udah ketemu sama teman-teman Abang?” Hani melihat Candra yang baru saja duduk.“Tadi Rumah Sakit Cakrawala masuk berita, jalanan merahakn ke sana diblokir dan dijaga polisi sama TNI,” ujar Mak Ijun yang mendapati kekhawatiran di wajah Candra. “Kamu bisa masuk ke ruamh sakit itu, gak?” tanyanya kemudian.“Gimana keadaan Bang Anja, Bang?” Hani menatap lekat-lekat Candra.“Itulah,” sahut Candra, lalu mengembuskan napas panjang melalui mulut. Dia ingin segera memberi tahu s
Zombi laki-laki dengan wajah penuh darah mendelik tajam ke ujung koridor. Dia berjalan tertatih-tatih dengan caping hidung kembang kempis. Dia mengendus bau seseorang yang berada beberapa meter darinya. Kedua tangannya terulur ke depan dengan sikap siap menerkam. Kendati langkahnya terhuyung, tetap saja dia tampak ganas dan mengancam.Setibanya di depan area suster, zombi ini mendapati seorang laki-laki yang baru saja memakan wafer. Seketika mata merahnya makin nyalang. Giginya bergemeletuk siap menerkam. Di ujung bibirnya air liur menetes bercampur darah. Dia menggeram siap menyerang, sehingga laki-laki itu terkejut dan menyadari kehadirannya. Dia mendapati ketakutan di wajah laki-laki itu. Dia bisa mencium kengerian yang terpancar dari sikap laki-laki tersebut. Dengan gerakan mendadak dia menyerang laki-laki itu sambil menggeram lebih keras.Kiman yang tak siap dengan serangan zombi itu menjadi syok dan tak bisa bergerak, sehingga dia diterjang zombi tersebut. Dia terjatuh ke bel
Pak Sapto mengusap wajah sembari mengembuskan napas panjang. Entah bagaimana sedari tadi dia memercayai Gugun sebagai teman curhat. Dia menceritakan semua keresahan hati atas masalah yang dihadapi dalam rumah tangganya. Meski menyisakan kekesalan dan kesedihan, tetapi kali ini dia merasa cukup lega, seolah-olah baru saja memuntahkan segala beban yang sudah lama tersimpan.Sementara Gugun tidak menyangka baru saja mendengar kisah Pak Sapto yang akhirnya bercerai dengan Bu Erna. Niatnya yang sekadar menemai waktu jaga Pak Sapto, malah mendapat cerita yang membuatnya semakin berhitung soal pernikahan. Diam-diam dia jadi khawatir unruk berumah tangga. Saat berpikir begitu, dia tersadar akan dua hal. Pertama, dia tidak punya pacar. Kedua, situasinya masih sangat berbahaya dan dia tidak tahu apakah bisa selamat, lalu bertemu perempuan yang dicintai sampai menikah. Dia merasa telah berpikir terlalu jauh akan hal itu. Kini dia menyadarkan diri sendiri untuk fokus pada keselamatan terlebih d
Penciumannya mendapati harum masakan. Otaknya lantas memerintahkan matanya terbuka perlahan. Dengan heran Pak Sapto terjaga dari tidurnya. Dia yang telentang di lantai ruang depan bergerak perlahan untuk duduk. Dia melihat Wati tersenyum padanya. Anaknya itu duduk dengan wajah segar sehabis mandi. Dia masih bingung telah tersaji nasi hangat, cah kangkung, telor ceplok diberi bumbu cabai, serta ikan bandeng goreng. Semua makanan itu jelas masih hangat dan menggugah selera. Dia menelan ludah karena perutnya mendadak minta diisi.Bu Erna datang dari ruang tengah sambil membawa seteko teh hangat. “Makan dulu,” katanya pada Pak Sapto dengan ramah. Dia duduk di sebelah Wati, lalu menuangkan teh hangat ke dalam gelas dan menaruhnya di dekat Pak Sapto.Pak Sapto tersenyum canggung. Dia meneguk teh hangat itu perlahan. Dia masih bingung dengan sikap Bu Erna yang mendadak baik. Dia jadi bertanya-tanya, apa yang membuat istrinya itu pulang, lalu bisa dan mau menyediakan makanan sebegini mewah
Sedari pagi Pak Sapto mengojek. Meski penghasilannya tetap sedikit, dia merasa lega. Pasalnya, nanti malam dia akan bertemu dengan pembeli motornya. Hari ini seperti menjadi hari perpisahan dengan motornya itu. Kendati lahir perasaan senang, tetapi dia juga sedih. Dia bahagia karena telah mendapat jalan keluar dari masalahnya. Dia sudah mendapatkan solusi terbaik meski risikonya harus merelakan motor yang sudah bertahun-tahun bersamanya.Dia sempat berpikir menemui Pak Hardi dan Mak Gaple untuk memberi tahu mereka bahwa akan membayar utangnya nanti malam. Namun, dia urung karena diserang perasaan malu. Dia pun memutuskan nanti saja setelah mendapat uang pembayaran motor, dia langsung menemui kedua orang itu dan melunasi utangnya. Meski tetap malu, tetapi membawa uang untuk melunasi semuanya tentu perasaannya jadi lebih lega. Uang akan membuatnya lebih percaya diri.Sudah seminggu ini pula dia tidak menghubungi Bu Erna dan Wati. Dia membiarkan istri dan anaknya itu tetap di rumah me
Pak Sapto terus berusaha melunasi utang-utangnya, terutama terhadap Pak Hardi dan Mak Gaple. Dia masih enggan ke pangkalan ojek karena malu bertemu kedua orang itu. Dia merasa bersalah telah menghancurkan kepercayaan orang-orang baik itu. Namun, upayanya masih sulit. Penghasilannya mengojek cuma bisa buat makan dan beli bensin. Yang paling menyebalkan, dia masih saja membeli rokok. Dia kesal pada diri sendiri karena sudah kecanduan rokok dan tak bisa—lebih tepatnya tak mau—berhenti, sehingga pendapatannya yang sedikit itu habis juga untuk membeli rokok. Dari hari ke hari penghasilan Pak Sapto bukan membaik, tetapi malah menurun. Sudah tahu begitu, dia tetap tidak mau berhenti merokok. Dibelinya juga gulungan tembakau itu. Bahkan, dia rela tidak makan siang asal bisa merokok. Perutnya yang lapar dia ganjal dengan minum kopi. Dalam keputusasaan yang kian mendalam, Pak Sapto menghentikan motornya di sisi jalan raya. Sementara itu, waktu sudah bakda isya. Di dekat taman kota itu dia me
Sementara di sore itu pula Wati hanya bisa menyimak percakapan Pak Sapto dan Bu Erna dari ruang tengah. Dia duduk di tepi ranjang dengan hati sedih dan gelisah. Dia khawatir Pak Sapto dan Bu Erna bertengkar dengan suara keras, tetapi batinnya lumayan melega karena perdebatan kedua orang tuanya bisa teredam. Sebelumnya, dia sangat khawatir Bu Erna marah-marah dengan suara meledak, tetapi kekhawatiran itu tidak terjadi. Namun, dia tahu pasti hati Bu Erna terlukai dengan sikap Pak Sapto. Dia paham betul kalau ibunya sangat kecewa terhadap bapaknya yang ternyata telah berutang ke beberapa orang. Wati sebenarnya juga kecewa kepada Pak Sapto, tetapi dia mau mencoba mengerti posisi bapaknya itu. Dia yakin sekali Pak Sapto terpaksa berutang untuk memenuhi kebutuhan dia dan Bu Erna. Dia berpikir, mungkin Pak Sapto tidak punya cara lain untuk mendapatkan uang supaya dia dan Bu Erna tetap bisa makan selain mendapat tambahan uang dari berutang. Dia paham sekali pendapatan mengojek ja
Bu Erna tercenung tidak tenang selepas Bu Ika pulang. Dia sungguh syok mendapati cerita dari perempuan itu. Dia tahu betul bahwa Bu Ika tidak mungkin berbohong. Dia juga berupaya memahami posisi Bu Ika yang terpaksa mendatanginya. Kalau dia berada di posisi Bu Ika, barangkali dia tidak sesabar perempuan itu. Mungkin dia langsug memaki orang yang mengutang pada suaminya di tengah situasi sulit. Dia tidak tahan dengan keadaan busuk ini. Akhirnya dia terpaksa menyeka air mata yang membasahi pipi. Dia sungguh tidak menyangka kalau Pak Sapto sampai berani berutang sana-sini. Dia pikir selama ini uang yang diberikan oleh suaminya itu benar-benar hasil dari mengojek. Dia jadi berpikir ulang. Dia merasa bodoh telah memercayai sepenuhnya omongan Pak Sapto selama ini. Dia tidak tahu bagaimana kelakuan Pak Sapto di luar sana. Bisa jadi memang benar bahwa Pak Sapto jadi kebiasaan mengutang untuk sekadar mengopi dan merokok. Dia jadi kesal saat membayangkan pikiranya itu adalah kenyat
Semakin hari Pak Sapto kian merasa tertekan. Dia tidak bercerita pada Bu Erna kalau uang yang didapat ojek sebenarnya sedikit. Kebanyakan dia dapat dari mengutang sana-sini. Berhari-hari dia berusaha gali lubang tutup lubang menyoal utangnya itu. Namun, lubangnya kian dalam dan membesar, sementara tutupnya justru mengecil. Penghasilannya tidak bisa mencukupi kebutuhannya, terutama untuk anak dan istrinya.Akan tetapi, Pak Sapto terus berupaya terlihat baik-baik saja di depan Bu Erna dan Wati. Dia bersikap seolah tidak sedang mengalami masalah besar bernama utang. Sementara Bu Erna hanya tahu utang-utangnya di warung Bu Yuni bisa terus dibayar dari uang yang diberikan Pak Sapto. Bu Erna tidak tahu uang diberikan Pak Sapto adalah hasil dari utang suaminya itu kepada beberapa orang.Jam lima sore itu Pak Sapto pulang dan langsung duduk di lantai ruang depan. Dia sudah berusaha mencari pengguna ojek pangkalan, tetapi hasilnya tidak seperti harapan. Seharian cuma dapat dua orang yang mi
Jam lima pagi Pak Sapto sudah keluar mengojek. Dia hanya minum teh manis hangat buatan sendiri. Dia tidak mau meminta Bu Erna yang sedang mencuci pakaian di kamar mandi membuat sarapan untuknya. Pertama, memang tidak ada stok makanan. Hanya ada beras tinggal satu liter. Tidak ada nasi sisa semalam. Tidak ada bumbu penyedap. Tidak ada cabai, bawang, dan bumbu dapur lainnya. Kedua, dia tidak mau membuat Bu Erna marah lagi dengan hanya meminta dibuatkan minuman hangat. Daripada pagi yang masih lumayan dingin ini menjadi panas, dia memilih pergi bahkan tanpa pamitan. Semalam juga dia tidur di lantai ruang depan. Dibiarkannya Wati dan Bu Erna tidur di kasur di ruang tengah.Dia sengaja berusaha keluar rumah sepagi mungkin untuk mendapatkan penumpang yang mau berangkat kerja. Meski dia tahu dan sudah merasakan persaingan yang berat melawan ojek daring, tetap saja mau tak mau keadaan itu terus dilalui. Dia tidak dapat berpikir hal lain selain mengojek. Dia tidak punya keahlian lain. Mungki