Sinar matahari yang terik menembus sela-sela dedaunan dan ranting-ranting pohon yang melingkupi Gunung Pulosari. Gugun, Kiman, dan Candra meninggalkan tenda mereka yang berdiri di area kawah gunung tersebut. Mereka memang akan berniat kembali ke sana karena harus mencari Anja lagi. Mereka menuruni gunung hanya membawa tas kecil berisi air minum dan makanan ringan.Hampir jam satu siang itu ketiganya sampai di titik awal pendakian. Mereka lelah karena berusaha melangkah cepat dengan perasaan yang waswas. Mereka seperti dikejar oleh waktu yang setiap detiknya terasa mengerikan, terutama saat ingatan mereka tertuju pada nasib Anja.Gugun, Kiman, dan Candra langsung masuk ke pos pendaftaran yang kebetulan sepi. Di tempat itu hanya ada Pak Ukri yang sedang berjaga. Pria berumur 40 tahun itu sedang duduk santai sambil merokok dan sesekali menyeruput kopi hitam.“Pak, tolong kami, Pak,” kata Kiman yang langsung masuk ke pos mendekati Pak Ukri.“Emangnya ada apa?” tanya Pak Ukri. Pria kurus be
Siang itu pendakian Gunung Pulosari mendadak ditutup sampai waktu yang tidak ditentukan. Keputusan itu diambil dan disetuju oleh pengelola, masyarakat, dan pihak kepolisian setempat. Tujuannya agar Tim SAR gabungan bisa lebih fokus dalam pencarian. Tim pencari dan penyelamatan itu terdiri dari pihak polisi, Basarnas, pengelola pendakian Gunung Pulosari, dan masyarakat setempat. Ada dua tim yang masing-masing terdiri dari delapan orang termasuk Gugun, Kiman, dan Candra. Setelah tim dibentuk dan mendapat pengarahan dari salah satu orang Basarnas, kedua tim itu pun mulai bergerak ke titik diduganya tempat Anja terjatuh. Sementara itu, waktu menunjukkan hampir jam tiga sore. Pergerakan Tim SAR dilingkupi keadaan yang teduh. Langit yang menaungi Gunung Pulosari ditutupi berarakan awan kelabu. Sesekali pula angin mendesir seolah membawa kabar bahwa hujan akan datang. Kedua tim penyelamat itu terus melangkah dengan gegas meski beberapa di antara mereka tak dapat meny
Selepas magrib kemarin hujan turun dengan lebat diselingi sesekali kilatan dan guntur yang menggelegar. Tim SAR berteduh dalam tenda yang didirikan di sisi kawah gunung, sementara lainnya masuk ke warung dan duduk di balai-balai. Sambil berdiskusi soal rencana pencarian selanjutnya, mereka juga menikmati kopi dan teh untuk menghangatkan tubuh. Hujan dengan intensitas tinggi itu akhirnya berhenti, sampai kemudian pencarian dilanjutkan bakda subuh. Tim pertama yang dipimpin Hamdan, kembali menuruni jurang. Dia, Cokro, Wawan, beserta dua rekannya dari Basarnas ingin mengejar jejak kepergian Anja dari dasar jurang. Mereka tentu paham barangkali benar ada jejak pada tanah, tapi bekas tapak sepatu Anja itu bisa jadi telah hilang akibat hujan. Namun, berbekal ilmu yang dimiliki, mereka tidak akan mudah menyerah. Sementara itu, hasil diskusi semalam, tim kedua yang dipimpin salah satu warga yang mengenal medan hutan mengajak anggota lainnya untuk kembali ke area air t
Kedua tim pencari terus bergerak ke arah berlawanan. Mereka mengamati seluruh area dengan saksama. Karena tak ada jalan setapak, mereka lebih berhati-hati dalam melangkah. Bagaimanapun area yang mereka tapaki bukanlah jalur yang sering atau belum pernah dilalui manusia. Barangkali di bagian-bagian tertentu terdapat hewan buas. Kedua tim tidak merasa lelah, terlebih cuaca pagi itu yang cukup cerah, sehingga menambah semangat dalam pencarian. Meski begitu, tak bisa dimungkiri beberapa di antara mereka kian khawatir. Semakin lama Anja ditemukan, semakin tipis pula harapan Anja hidup. Bagaimanapun, bertahan sendirian di dalam hutan bukanlah perkara gampang. “Monitor, Pak Aris.” HT yang dipegang salah satu polisi yang berada di tim kedua bersuara. Pak Aris langsung meraih HT dari pinggangnya. Dia mendekatkan alat komunikasi itu ke mulutnya. “Masuk, Mas Ham,” sahutnya kemudian harap-harap cemas. “Alhamdulillah kami udah nemuin si A
Gugun menghentikan ceritanya. Dia mengusap wajah dengan gelisah. Dia tercenung karena masih tak mau memercayai kenyataan ini. Dia menyesal telah melakukan pendakian. Kalau saja tidak mendaki gunung, barangkali keadaan kacau ini tidak akan pernah terjadi. Apa yang dia pikirkan itu muncul dari keputusasaan akan keadaan yang terus menekan, seakan-akan dia tak bisa keluar dari situasi mengerikan ini.“Apa jangan-jangan temanmu itu bukan orang?” tanya Bu Novi membuyarkan lamunan Gugun.“Apa maksud, Ibu?” Gugun balik bertanya karena tak paham.Pak Sapto dan Suster Ana juga menatap Bu Novi dengan sorot mata meminta penjelasan.“Mungkin cowok yang kalian temukan di hutan itu bukan si Anja? Dia itu manusia jadi-jadian,” terka Bu Novi dengan wajah serius.“Apa iya di hutan ada manusia jadi-jadian kayak gitu?” kata Pak Sapto sangsi.“Mungkin aja,” sahut Bu Novi cepat. “Apa, sih, yang gak ada di Indonesia? Di sini banyak yang aneh-aneh di luar nalar kita, Pak.”Pak Sapto terdiam. Dia meny
“Jangan berisik,” kata Gugun sambil meletakkan telunjuk ke bibir. Dia kembali menarik tirai sehingga Pak Diko, Bu Novi, dan Suster Ana tak lagi melihat ke pintu kaca. Keheningan keempatnya menjadikan keadaan makin tegang, sampai-sampai bernapas pun begitu hati-hati, seolah takut embusan dan helaan udara menimbulkan suara yang kian membuat para zombi mendatangi mereka.Sementara itu, zombi laki-laki di depan pintu ruang rawat inap itu masih saja berusaha masuk. Zombi itu terus membenturkan kepalanya ke pintu, sehingga suaranya mengusik ketenangan Wati yang sedang tidur.“Pak,” kata Wati seraya menoleh ke kiri, di mana suara gedoran pintu itu berasal. “Bapak!” katanya lagi dengan suara lebih keras.Pak Sapto terkejut. “Itu Wati, anak saya,” katanya dengan suara pelan.Gugun, Bu Novi, dan Suster Ana menatap Pak Sapto dengan paras meminta Pak Sapto segera menemui Wati. Ketiganya tak mau kalau suara Wati malah membuat para zombi menjebol pintu.Pak Sapto merayap melewati kolong ranjang un
Dua lelaki berlari keluar dari rumah sakit. Keduanya panik dikejar beberapa zombi. Saking takutnya, alih-alih berlari menyusuir trotoar, mereka malah menyeberang jalan raya tanpa menoleh ke kanan dan ke kiri terlebih dahulu. Kiranya bisa menghindari kejaran para mayat hidup itu, salah satu lelaki justru tertabrak mobil sedan. Sementara lelaki satunya berhasil menyeberang jalan, tetapi menimbulkan tabrakan beruntun yang mengakibatkan tujuh mobil terhenti di tengah jalan raya.Lelaki yang tertabrak sedan terpental dan terkapar. Belum sempat berteriak minta tolong, dia langsung dikerumuni para zombi. Bukan hanya lehernya yang digigit, tetapi juga lengan dan pipi. Seorang pria dan istrinya keluar dari sedan hendak menolong lelaki yang tertabrak, tapi keduanya malah diserang para zombi.Dari rumah sakit keluar lagi segerombolan zombi. Para mayat hidup itu ada yang mengenakan kaus biasa, kemeja kantoran, seragam sekuriti, pakaian suster dan dokter. Zombi-zombi itu menyerang ora
Zombi laki-laki yang mengenakan seragam petugas kebersihan rumah sakit melangkah perlahan di koridor yang menghubungkan ruang rawat inap dengan kamar jenazah. Dia terpisah dengan zombi lainnya yang menyerang beberapa ruang rawat inap dan keluar dari rumah sakit. Di ujung matanya meneteskan darah. Kedua lubang hidung dan telinganya pun mengeluarkan darah. Giginya bergemeletuk sepereti hendak siap menerkam siapa saja. Kedua tungkainya yang agak lunglai terhenti ketika dia mendapati ada dua lelaki yang berdiri beberapa meter di depannya. Air liur menetes di ujung bibirnya. Kepalanya meneleng ke kiri, sementara pandangannya lurus ke depan menyorot mata dua lelaki itu. Kedua lengannya terangkat lurus ke depan. Giginya bergemeletuk dengan cepat. Ketika mendapati ketakutan di paras dua lelaki itu, dia langsung berlari terhuyung-huyung hendak menyerang.Pak Diko dan Kiman terlonjak kaget dan langsung berbalik mendapati zombi yang mengejar mereka. Dengan panik keduanya memanggil Suster Indri