Anja dan teman-temannya baru saja melewati jalur yang berada di sebelah kanan kawah. Jalan setapak yang menanjak itu dipasangi tali tambang karena cukup curam. Mereka juga melalui akar-akar pepohonan yang menyembul dari dalam tanah. Semakin ke atas, jalur itu kian terasa licin, terutama saat berpijak pada akar-akar pohon. Bahkan, di beberapa bagian mereka harus menggapai akar agar bisa terus memanjat. Mereka bukan hanya meninggalkan tenda, tetapi juga tas gunung. Anja dan Gugun mengenakan tas berkapasitas 10 liter untuk membawa makanan ringan dan air kemasan botol 600 mililiter. Sementara Kiman dan Candra menaruh minuman mereka di tas yang dipakai Anja dan Gugun. Nanti saat kembali ke kawah mereka bergantian mengenakan tas itu. Karena pagi ini tidaklah terlampau dingin, mereka tidak mengenakan jaket. Pakaian untuk menahan dingin dan angin itu mereka taruh di tenda. Kini mereka harus lebih berhati-hati. Pasalnya, jalur melipir menanjak ke kanan, di mana jurang menganga di sisinya. Ent
Tidak hanya Kiman, Candra, dan Gugun yang merasa kalau Anja akan baik-baik saja turun sendirian ke kawah, Anja sendiri pun meyakini hal itu. Bukan meremehkan jalur Gunung Pulosari, tetapi perhitungan Anja meyakini untuk kembali ke area kawah tidaklah terlampau sulit meski melangkah seorang diri. Padahal, gunung tinggi atau pendek tetaplah gunung; jalur sulit atau mudah tetaplah jalur gunung; dan mendaki gunung adalah kegiatan yang berisiko tinggi. Berjalan sendirian di gunung atau di hutan, itu artinya terlalu banyak mengambil risiko. Anja bergerak tidak terburu-buru atau terlampau lambat. Dia melangkah biasa saja, dalam artian seperti itulah dia ketika mendaki. Lagi pula sebenarnya dia tidak terlalu kebelet buang air besar. Dengan berjalan seperti itu, dia yakin mulesnya akan tetap terkendali setibanya dia di WC di area kawah. Sebelum meninggalkan teman-temannya, Anja juga tahu kalau ada empat pendaki yang belum lama ini turun
“Kayaknya kita harus nyari si Anja, deh,” cetus Gugun yang mengubah topik obrolannya dengan Kiman dan Candra. Sehabis makan siang tadi, mereka bercakap-cakap sambil mengopi. Gugun tidak tahu apakah hanya dia yang dirasuki firasat buruk karena ketiadaan Anja yang sudah terbilang lama. Dia mendapati Kiman dan Candra tetap asyik bercengkerama seolah-olah melupakan Anja. “Iya, ya, ke mana tuh anak?” Candra memakai topinya untuk bersiap mencari Anja. “Kita cari ke warung dulu aja.” Kiman berdiri. Gugun melangkah paling depan menuju warung yang berada di sisi jalur menuju kawah. Setibanya, mereka tidak mendapati Anja di balai-balai depan warung tersebut. Bahkan, di sana tidak satu pun pendaki yang bersantai atau tengah membeli sesuatu. Mereka pun ke warung yang lebih dekat dengan kawah. “Gak ada juga.” Kiman menggelengkan kepalanya. “Ke mana tuh anak?” Candra
Seorang pria berkulit sawo matang duduk di kursi kayu sambil merokok. Dia berada di sisi barisan WC umum. Di dekatnya ada kotak yang terbuat dari papan kayu, di mana di bagian atas tepat di tengah ada lubang untuk memasukkan uang. Dia mengisap rokoknya dalam-dalam, lalu diembuskannya asap secara perlahan dengan paras begitu puas dan nikmat. Dia kemudian membuang puntung rokok ke tanah, lalu menginjaknya sampai baranya mati Dia menyeruput kopi ketika Gugun, Kiman, dan Candra mendekatinya. “Halo, Pak, maaf ganggu,” sapa Gugun dengan sopan. “Saya mau tanya, apa Bapak lihat teman saya ini?” Dia memperlihatkan layar ponselnya. Penjaga WC bernama Harun itu mengamati wajah Anja. “Saya gak lihat,” katanya kemudian seraya mengusap wajahnya yang agak berminyak. “Maaf, Pak, coba dilihat lagi.” Kiman tersenyum agar Pak Harun tidak tersinggung. Pak Harun mengerjap-ngerjapkan matanya sambil kembali memperhatikan layar ponsel Gugun. Beberapa detik kemudian dia menggeleng-geleng pelan. “Benar, s
Pak Harun terus melangkah diikuti Gugun, Kiman, dan Candra. Mereka kembali menuju puncak. Mereka menapaki jalur menanjak berupa tanah dengan akar-akar pohon yang licin.Langkah Pak Harun begitu cekatan. Sementara Gugun, Kiman, dan Candra sangat hati-hati, ditambah perasaan yang sungguh khawatir terhadap Anja, membuat ketiganya berjalan diselimuti kecemasan yang kian meninggi.“Ada kemungkinan gak ya kalo Anja tersesat ke jalur lain?” tanya Gugun yang menatap punggung Pak Harun.“Di jalur ini gak ada jalur lain, tapi kemungkinan terserat ke arah lain ya bisa aja,” sahut Pak Harun tanpa menoleh ke belakang. Dia terus berjalan memimpin pencarian.“Susah dipercaya kalo Anja melipir dari jalur,” cetus Kiman.Candra menimpali, “Iya, dia ‘kan bukan pendaki baru, masa gak bisa lihat jalur yang jelas kayak gini?”“Kalo ternyata dia udah kebelet banget dan nyari tempat boker, gimana? Bisa aja ‘kan dia melipir nyari tempat?” tanya Gugun membuat kedua temannya terdiam berpikir.Mereka terus menap
Sinar matahari yang terik menembus sela-sela dedaunan dan ranting-ranting pohon yang melingkupi Gunung Pulosari. Gugun, Kiman, dan Candra meninggalkan tenda mereka yang berdiri di area kawah gunung tersebut. Mereka memang akan berniat kembali ke sana karena harus mencari Anja lagi. Mereka menuruni gunung hanya membawa tas kecil berisi air minum dan makanan ringan.Hampir jam satu siang itu ketiganya sampai di titik awal pendakian. Mereka lelah karena berusaha melangkah cepat dengan perasaan yang waswas. Mereka seperti dikejar oleh waktu yang setiap detiknya terasa mengerikan, terutama saat ingatan mereka tertuju pada nasib Anja.Gugun, Kiman, dan Candra langsung masuk ke pos pendaftaran yang kebetulan sepi. Di tempat itu hanya ada Pak Ukri yang sedang berjaga. Pria berumur 40 tahun itu sedang duduk santai sambil merokok dan sesekali menyeruput kopi hitam.“Pak, tolong kami, Pak,” kata Kiman yang langsung masuk ke pos mendekati Pak Ukri.“Emangnya ada apa?” tanya Pak Ukri. Pria kurus be
Siang itu pendakian Gunung Pulosari mendadak ditutup sampai waktu yang tidak ditentukan. Keputusan itu diambil dan disetuju oleh pengelola, masyarakat, dan pihak kepolisian setempat. Tujuannya agar Tim SAR gabungan bisa lebih fokus dalam pencarian. Tim pencari dan penyelamatan itu terdiri dari pihak polisi, Basarnas, pengelola pendakian Gunung Pulosari, dan masyarakat setempat. Ada dua tim yang masing-masing terdiri dari delapan orang termasuk Gugun, Kiman, dan Candra. Setelah tim dibentuk dan mendapat pengarahan dari salah satu orang Basarnas, kedua tim itu pun mulai bergerak ke titik diduganya tempat Anja terjatuh. Sementara itu, waktu menunjukkan hampir jam tiga sore. Pergerakan Tim SAR dilingkupi keadaan yang teduh. Langit yang menaungi Gunung Pulosari ditutupi berarakan awan kelabu. Sesekali pula angin mendesir seolah membawa kabar bahwa hujan akan datang. Kedua tim penyelamat itu terus melangkah dengan gegas meski beberapa di antara mereka tak dapat meny
Selepas magrib kemarin hujan turun dengan lebat diselingi sesekali kilatan dan guntur yang menggelegar. Tim SAR berteduh dalam tenda yang didirikan di sisi kawah gunung, sementara lainnya masuk ke warung dan duduk di balai-balai. Sambil berdiskusi soal rencana pencarian selanjutnya, mereka juga menikmati kopi dan teh untuk menghangatkan tubuh. Hujan dengan intensitas tinggi itu akhirnya berhenti, sampai kemudian pencarian dilanjutkan bakda subuh. Tim pertama yang dipimpin Hamdan, kembali menuruni jurang. Dia, Cokro, Wawan, beserta dua rekannya dari Basarnas ingin mengejar jejak kepergian Anja dari dasar jurang. Mereka tentu paham barangkali benar ada jejak pada tanah, tapi bekas tapak sepatu Anja itu bisa jadi telah hilang akibat hujan. Namun, berbekal ilmu yang dimiliki, mereka tidak akan mudah menyerah. Sementara itu, hasil diskusi semalam, tim kedua yang dipimpin salah satu warga yang mengenal medan hutan mengajak anggota lainnya untuk kembali ke area air t
Zombi laki-laki dengan wajah penuh darah mendelik tajam ke ujung koridor. Dia berjalan tertatih-tatih dengan caping hidung kembang kempis. Dia mengendus bau seseorang yang berada beberapa meter darinya. Kedua tangannya terulur ke depan dengan sikap siap menerkam. Kendati langkahnya terhuyung, tetap saja dia tampak ganas dan mengancam.Setibanya di depan area suster, zombi ini mendapati seorang laki-laki yang baru saja memakan wafer. Seketika mata merahnya makin nyalang. Giginya bergemeletuk siap menerkam. Di ujung bibirnya air liur menetes bercampur darah. Dia menggeram siap menyerang, sehingga laki-laki itu terkejut dan menyadari kehadirannya. Dia mendapati ketakutan di wajah laki-laki itu. Dia bisa mencium kengerian yang terpancar dari sikap laki-laki tersebut. Dengan gerakan mendadak dia menyerang laki-laki itu sambil menggeram lebih keras.Kiman yang tak siap dengan serangan zombi itu menjadi syok dan tak bisa bergerak, sehingga dia diterjang zombi tersebut. Dia terjatuh ke bel
Pak Sapto mengusap wajah sembari mengembuskan napas panjang. Entah bagaimana sedari tadi dia memercayai Gugun sebagai teman curhat. Dia menceritakan semua keresahan hati atas masalah yang dihadapi dalam rumah tangganya. Meski menyisakan kekesalan dan kesedihan, tetapi kali ini dia merasa cukup lega, seolah-olah baru saja memuntahkan segala beban yang sudah lama tersimpan.Sementara Gugun tidak menyangka baru saja mendengar kisah Pak Sapto yang akhirnya bercerai dengan Bu Erna. Niatnya yang sekadar menemai waktu jaga Pak Sapto, malah mendapat cerita yang membuatnya semakin berhitung soal pernikahan. Diam-diam dia jadi khawatir unruk berumah tangga. Saat berpikir begitu, dia tersadar akan dua hal. Pertama, dia tidak punya pacar. Kedua, situasinya masih sangat berbahaya dan dia tidak tahu apakah bisa selamat, lalu bertemu perempuan yang dicintai sampai menikah. Dia merasa telah berpikir terlalu jauh akan hal itu. Kini dia menyadarkan diri sendiri untuk fokus pada keselamatan terlebih d
Penciumannya mendapati harum masakan. Otaknya lantas memerintahkan matanya terbuka perlahan. Dengan heran Pak Sapto terjaga dari tidurnya. Dia yang telentang di lantai ruang depan bergerak perlahan untuk duduk. Dia melihat Wati tersenyum padanya. Anaknya itu duduk dengan wajah segar sehabis mandi. Dia masih bingung telah tersaji nasi hangat, cah kangkung, telor ceplok diberi bumbu cabai, serta ikan bandeng goreng. Semua makanan itu jelas masih hangat dan menggugah selera. Dia menelan ludah karena perutnya mendadak minta diisi.Bu Erna datang dari ruang tengah sambil membawa seteko teh hangat. “Makan dulu,” katanya pada Pak Sapto dengan ramah. Dia duduk di sebelah Wati, lalu menuangkan teh hangat ke dalam gelas dan menaruhnya di dekat Pak Sapto.Pak Sapto tersenyum canggung. Dia meneguk teh hangat itu perlahan. Dia masih bingung dengan sikap Bu Erna yang mendadak baik. Dia jadi bertanya-tanya, apa yang membuat istrinya itu pulang, lalu bisa dan mau menyediakan makanan sebegini mewah
Sedari pagi Pak Sapto mengojek. Meski penghasilannya tetap sedikit, dia merasa lega. Pasalnya, nanti malam dia akan bertemu dengan pembeli motornya. Hari ini seperti menjadi hari perpisahan dengan motornya itu. Kendati lahir perasaan senang, tetapi dia juga sedih. Dia bahagia karena telah mendapat jalan keluar dari masalahnya. Dia sudah mendapatkan solusi terbaik meski risikonya harus merelakan motor yang sudah bertahun-tahun bersamanya.Dia sempat berpikir menemui Pak Hardi dan Mak Gaple untuk memberi tahu mereka bahwa akan membayar utangnya nanti malam. Namun, dia urung karena diserang perasaan malu. Dia pun memutuskan nanti saja setelah mendapat uang pembayaran motor, dia langsung menemui kedua orang itu dan melunasi utangnya. Meski tetap malu, tetapi membawa uang untuk melunasi semuanya tentu perasaannya jadi lebih lega. Uang akan membuatnya lebih percaya diri.Sudah seminggu ini pula dia tidak menghubungi Bu Erna dan Wati. Dia membiarkan istri dan anaknya itu tetap di rumah me
Pak Sapto terus berusaha melunasi utang-utangnya, terutama terhadap Pak Hardi dan Mak Gaple. Dia masih enggan ke pangkalan ojek karena malu bertemu kedua orang itu. Dia merasa bersalah telah menghancurkan kepercayaan orang-orang baik itu. Namun, upayanya masih sulit. Penghasilannya mengojek cuma bisa buat makan dan beli bensin. Yang paling menyebalkan, dia masih saja membeli rokok. Dia kesal pada diri sendiri karena sudah kecanduan rokok dan tak bisa—lebih tepatnya tak mau—berhenti, sehingga pendapatannya yang sedikit itu habis juga untuk membeli rokok. Dari hari ke hari penghasilan Pak Sapto bukan membaik, tetapi malah menurun. Sudah tahu begitu, dia tetap tidak mau berhenti merokok. Dibelinya juga gulungan tembakau itu. Bahkan, dia rela tidak makan siang asal bisa merokok. Perutnya yang lapar dia ganjal dengan minum kopi. Dalam keputusasaan yang kian mendalam, Pak Sapto menghentikan motornya di sisi jalan raya. Sementara itu, waktu sudah bakda isya. Di dekat taman kota itu dia me
Sementara di sore itu pula Wati hanya bisa menyimak percakapan Pak Sapto dan Bu Erna dari ruang tengah. Dia duduk di tepi ranjang dengan hati sedih dan gelisah. Dia khawatir Pak Sapto dan Bu Erna bertengkar dengan suara keras, tetapi batinnya lumayan melega karena perdebatan kedua orang tuanya bisa teredam. Sebelumnya, dia sangat khawatir Bu Erna marah-marah dengan suara meledak, tetapi kekhawatiran itu tidak terjadi. Namun, dia tahu pasti hati Bu Erna terlukai dengan sikap Pak Sapto. Dia paham betul kalau ibunya sangat kecewa terhadap bapaknya yang ternyata telah berutang ke beberapa orang. Wati sebenarnya juga kecewa kepada Pak Sapto, tetapi dia mau mencoba mengerti posisi bapaknya itu. Dia yakin sekali Pak Sapto terpaksa berutang untuk memenuhi kebutuhan dia dan Bu Erna. Dia berpikir, mungkin Pak Sapto tidak punya cara lain untuk mendapatkan uang supaya dia dan Bu Erna tetap bisa makan selain mendapat tambahan uang dari berutang. Dia paham sekali pendapatan mengojek ja
Bu Erna tercenung tidak tenang selepas Bu Ika pulang. Dia sungguh syok mendapati cerita dari perempuan itu. Dia tahu betul bahwa Bu Ika tidak mungkin berbohong. Dia juga berupaya memahami posisi Bu Ika yang terpaksa mendatanginya. Kalau dia berada di posisi Bu Ika, barangkali dia tidak sesabar perempuan itu. Mungkin dia langsug memaki orang yang mengutang pada suaminya di tengah situasi sulit. Dia tidak tahan dengan keadaan busuk ini. Akhirnya dia terpaksa menyeka air mata yang membasahi pipi. Dia sungguh tidak menyangka kalau Pak Sapto sampai berani berutang sana-sini. Dia pikir selama ini uang yang diberikan oleh suaminya itu benar-benar hasil dari mengojek. Dia jadi berpikir ulang. Dia merasa bodoh telah memercayai sepenuhnya omongan Pak Sapto selama ini. Dia tidak tahu bagaimana kelakuan Pak Sapto di luar sana. Bisa jadi memang benar bahwa Pak Sapto jadi kebiasaan mengutang untuk sekadar mengopi dan merokok. Dia jadi kesal saat membayangkan pikiranya itu adalah kenyat
Semakin hari Pak Sapto kian merasa tertekan. Dia tidak bercerita pada Bu Erna kalau uang yang didapat ojek sebenarnya sedikit. Kebanyakan dia dapat dari mengutang sana-sini. Berhari-hari dia berusaha gali lubang tutup lubang menyoal utangnya itu. Namun, lubangnya kian dalam dan membesar, sementara tutupnya justru mengecil. Penghasilannya tidak bisa mencukupi kebutuhannya, terutama untuk anak dan istrinya.Akan tetapi, Pak Sapto terus berupaya terlihat baik-baik saja di depan Bu Erna dan Wati. Dia bersikap seolah tidak sedang mengalami masalah besar bernama utang. Sementara Bu Erna hanya tahu utang-utangnya di warung Bu Yuni bisa terus dibayar dari uang yang diberikan Pak Sapto. Bu Erna tidak tahu uang diberikan Pak Sapto adalah hasil dari utang suaminya itu kepada beberapa orang.Jam lima sore itu Pak Sapto pulang dan langsung duduk di lantai ruang depan. Dia sudah berusaha mencari pengguna ojek pangkalan, tetapi hasilnya tidak seperti harapan. Seharian cuma dapat dua orang yang mi
Jam lima pagi Pak Sapto sudah keluar mengojek. Dia hanya minum teh manis hangat buatan sendiri. Dia tidak mau meminta Bu Erna yang sedang mencuci pakaian di kamar mandi membuat sarapan untuknya. Pertama, memang tidak ada stok makanan. Hanya ada beras tinggal satu liter. Tidak ada nasi sisa semalam. Tidak ada bumbu penyedap. Tidak ada cabai, bawang, dan bumbu dapur lainnya. Kedua, dia tidak mau membuat Bu Erna marah lagi dengan hanya meminta dibuatkan minuman hangat. Daripada pagi yang masih lumayan dingin ini menjadi panas, dia memilih pergi bahkan tanpa pamitan. Semalam juga dia tidur di lantai ruang depan. Dibiarkannya Wati dan Bu Erna tidur di kasur di ruang tengah.Dia sengaja berusaha keluar rumah sepagi mungkin untuk mendapatkan penumpang yang mau berangkat kerja. Meski dia tahu dan sudah merasakan persaingan yang berat melawan ojek daring, tetap saja mau tak mau keadaan itu terus dilalui. Dia tidak dapat berpikir hal lain selain mengojek. Dia tidak punya keahlian lain. Mungki