Di ujung pertigaan koridor banyak pasien rawat jalan yang duduk di depan farmasi sedang menunggu obat. Di sebelah kiri ada tiga petugas perempuan yang duduk di balik meja, yang salah satunya sedang memberi informasi mengenai pendaftaran rawat inap pada seorang pemuda. Sementara itu, beberapa orang melangkah dari dan ke arah IGD.
Suster Ana dan Gugun muncul dari IGD. Keduanya berlari secepat yang mereka bisa. Dengan panik dan jantung berdebar-debar, Suster Ana terus bergerak diikuti Gugun yang juga gugup dan takut.
“Lariii …!” seru Suster Ana kepada orang-orang yang dia lewati.
“Jangan ke IGD!” teriak Gugun kepada semua orang yang berpapasan dengannya.
&
Pak Hadi menghentikan mobilnya di depan rumah Anja. Tadinya, dia diminta Kiman untuk mengantar sampai di warkop Mbak Eli di gang depan dekat jalan raya. Namun, karena harus segera menemui Pak Diko, dia akhirnya memilih menurunkan Kiman dan Candra di depan rumah orang tua Anja itu. Kini dia membantu Kiman dan Candra menurunkan empat tas gunung dan menaruhnya bersandar pada bangku plesteran. Setelah beres, dia pergi. Seusai mobil Pak Hadi berlalu, Kiman dan Candra masuk ke halaman depan rumah Anja. Keduanya melihat gerobak bakso milik Pak Diko, itu artinya bapaknya Anja hari ini tidak berdagang. Belum sempat memberi salam, keduanya mendapati Pak Diko membuka pintu dengan wajah agak kesal. “Mana si Anja?” Pak Diko berjalan tertatih. &n
Suster yang menggelepar di luar ruangan di bawah pintu kaca akhirnya berhenti bergerak-gerak. Bisa dipastikan kehidupan baru saja hilang dari dirinya. Sementara darah terus keluar dari luka menganga di lehernya, mengalir masuk ke ruang rawat inap melalui celah bawah pintu. “Mundur … mundur,” kata Gugun kepada Suster Ana, Pak Sapto, dan Bu Novi. “Lebih baik kita ngumpet. Jangan sampe mayat suster itu hidup lagi dan melihat kita. Bisa-bisa dia mendobrak pintu itu.” Tanpa banyak cakap lagi Pak Sapto kembali ke anak gadisnya yang masih tertidur. Bu Novi pun yang takut dan bingung mendekati suaminya yang juga tengah terlelap. Sementara Gugun dan Suster Ana memilih ke ranjang paling ujung untuk bersembunyi. Tanpa bersepakat sebelumnya mereka kompak tidak mau menimbulkan suara, terutama Pak Sapto dan Bu Novi yang langsung merapatkan mulut mereka. Gugun dan Suster Ana duduk di tepi ranjang dengan cemas. Sadar akan bahaya yang tengah terjadi dan bisa saja mendekati teman-temannya, Gugun
Gugun turun bersama beberapa karyawan dari bus jemputan yang berhenti di perempatan jalan raya. Dia lantas menyeberang jalan dan memasuki warung kopi bertuliskan WARKOP ELI. Pukul delapan pagi ini dia baru saja pulang bekerja. Kendati tubuhnya lelah, tetapi dia merasa senang. Pasalnya, besok sudah memasuki libur akhir pekan. “Waduhhh … masih pagi udah pada nongkrong aja lu pada.” Gugun mendapati Anja, Kiman, dan Candra yang sedang mengopi di meja pojok. “Lu pada kagak sekolah?” tanyanya sembari mendaratkan bokong di kursi sebelah Anja. “Udah libur,” sahut Kiman. “Kan gue udah ujian,” kata Candra menambahkan.
Menjelang jam dua siang Anja pulang dari warkop. Dia berpisah dengan Kiman dan Candra yang tinggal di RT sebelah. Anja masuk ke rumahnya tanpa mengucapkan salam terlebih dahulu, padahal di teras depan ada Pak Diko yang baru saja mau jualan bakso dengan gerobak. “Dari mana lu?” tanya Pak Diko dengan raut wajah yang kesal. “Ngopi di warkop, Pak,” sahut Anja. “Habisnya di rumah kagak ada kopi.” “Bukannya masih ada di dapur.” “Udah abis, Pak. Gula pasir juga udah tinggal dikit.” “Boros banget
Jam sepuluh malam ini Gugun sudah berada di Warkop Eli. Setelah menyandarkan tas gunungnya pada tembok dekat meja pojok, dia menghampiri Mbak Eli yang sedang mengaduk kopi pesanan seorang sopir yang tengah beristirahat. “Mbak, anak-anak belum ada yang nongol, ya?” “Siapa? Si Anja?” “Iya, si Kiman dan Candra juga.” “Belum ada, tuh.” Gugun mengangguk pelan sebagai tanda bahwa dia paham dengan penjelasan Mbak Eli. “Saya kopi itemnya satu, ya,” pesannya kemudian. 
Hampir pukul dua belas malam Gugun dan teman-temannya menunggu dijemput sopir Travel Backpacker. Gugun dan sopir bernama Hadi itu memang sudah sepakat untuk berangkat sekitar jam dua belas dari titik penjemputan. “Jadi rencananya kita berangkat dari sini jam dua belasan, gitu?” Anja menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Gugun mengangguk. “Kata Pak Hadi, biasanya dia emang ngantar tengah malam gitu. Jadi, pas sampe basecamp udah pagi, lalu bisa pendakian, dah,” jelasnya kemudian. “Ya gak apa-apa, sih, kita juga masih bisa tidur di mobil, ‘kan?” timpal Kiman. “Paling nyampe sana sebelum subuh,” kata Candra. Sebuah mobil berwarna hitam berhenti di depan Warkop Eli. Ponsel Gugun berdering. Dia lantas mengangkat panggilan telepon itu, “Halo, Pak?” “Halo, Mas Gun. Saya udah sampe di Warkop Eli.” “Iya, Pak, saya juga udah ada di dalam warkop.” “Oh ya udah saya ke situ.” Gugun menutup sambungan telepon itu. Dia dan teman-temannya melihat seorang lelaki berusia 40 ta
Pagi masih gelap ketika Anja dan teman-temannya sampai di kaki Gunung Pulosari. Menjelang jam lima itu mereka sedang beristirahat di balai-balai depan warung. Di warung lainnya pun ada sekelompok pendaki yang sudah siap mendaki. Sedangkan Anja dan teman-temannya berencana pendakain dimulai saat pagi sudah terang. Kini, mereka bercengkerama sambil menikmati kopi panas dan mengisap rokok. Obrolan ringan mereka diselingi gelak tawa. Sementara itu, udara dingin makin menyelimuti. Sampai beberapa saat kemudian cahaya matahari muncul dari arah barat. Anja dan teman-temannya sarapan dengan suasana yang lumayan hangat. Setelah beres, Anja menemani Gugun ke pos dekat gerbang masuk untuk mendaftar pendakian. Kelompok mereka diketuai oleh Gugun dengan perizinan dua hari satu malam. Sesudah mengurus segala sesuatunya, mereka pun mulai mendaki. Sementara Pak Hadi menunggu mereka di warung. Gugun melangkah di depan. Dia diikuti oleh Kiman, Candra, dan Anja yang paling belak
Setelah puas beristirahat di Curug Putri, Anja dan teman-temannya melanjutkan perjalanan. Dari area itu mereka memasuki jalur dengan tanjakan yang lumayan berat, sehingga beberapa kali mereka berhenti untuk meredakan pinggang yang terasa pegal. Sebelumnya, dari aliran air curug, mereka menyeberang melewati tebing batu yang miring memilih jalur anak tangga. Memasuki jalur di sisi kanan jurang, mereka lebih berhati-hati meski area itu cukup aman untuk dilalui. Tak lama sesudah itu, mereka melewati warung yang dijaga seorang lelaki paruh baya. Mereka ditawari mampir, tetapi memilih melanjutkan pendakian. “Masih lama gak, sih?” tanya Candra yang punggungnya terasa pegal. “Kenapa? Lu udah capek?” kata Kiman balik bertanya dengan nada mengejek, tetapi terdengar bercanda. “Bukan capek,” sahut Candra, “tapi laper.” Dia terkekeh. “Dasar perut kadut!” sembur Gugun tanpa menoleh ke belakang. Dia terus saja melangkah perlahan. “Pas n