Gugun dan teman-temannya dikuasai kesedihan. Mereka terdiam dalam keterkejutan. Ingin rasanya tidak percaya bahwa Anja telah meninggal dunia. Namun, mereka dihadapkan pada bukti bahwa tubuh Anja sudah tidak bergerak, dan memang sudah tidak ada kehidupan lagi di wajah teman mereka itu. Sampai kemudian Gugun tersadar kalau dia yang sepatutnya paling bisa diandalkan. Gugun harus mampu mengatasi situasi sulit ini. Setelah sekilas melihat Anja yang sudah ditutupi selimut putih, Gugun berbicara kepada Candra, “Can, sekarang lu pulang.”
Candra yang berdiri lunglai tidak mendengar ucapan Gugun. Dia menunduk dengan pikiran yang kacau.
Gugun mendekati Candra. Dia mengguncang kedua bahu temannya itu. “Can, dengarin gue!” katanya dengan suara lebih keras.
Candra mengangkat wajahnya. Kedua matanya berkaca-kaca. Parasnya menampilkan kebingungan yang kian kentara.
“Lu pulang. Taro semua tas di rumah lu atau titip aja di warkop Mbak Eli. Terus lu kabarin bapaknya Anja kalo dia—”
“Gue takut,” potong Candra dengan bibir gemetar. “Gue gak tahu harus ngomong apa sama bapaknya.”
“Ceritain aja yang sebenarnya,” tegas Gugun.
“Tapi … tapi gue gak berani bilang kayak gitu sendirian.” Candra menggeleng lemah.
Gugun mengembuskan napas gemas. “Ya udah, lu ditemanin sama Kiman,” katanya lagi seraya melihat Kiman yang juga tampak terpukul dengan kejadian itu.
Kiman mengangguk pelan sebagai tanda bahwa dia memahami ucapan Gugun.
“Gue akan ngurus jenazahnya supaya bisa cepat dibawa pulang,” jelas Gugun lagi. Dia kemudian menoleh ke Pak Hadi. “Pak, tolong anterin Kiman dan Candra, ya.”
“Baik, Mas,” sahut Pak Hadi sambil mengangguk mantap. “Ayo, saya antar sekarang aja.” Dia lantas berlalu.
“Oh iya, Gun, kalo bapaknya Anja gak ada di rumah gimana? Bisa jadi jam segini dia udah ngider.” Kiman menatap Gugun meminta pencerahan.
“Iya, bapaknya ‘kan dagang bakso. Kemungkinan besar jam segini udah gak ada di rumah, apalagi dia gak punya hape,” kata Candra menambahkan.
“Makanya lu berdua cepatan ke rumahnya, mungkin aja dia belum dagang,” sahut Gugun cepat. “Kalo ternyata dia udah ngeliling, lu coba cari aja atau tanya sama banyak orang. Pokoknya, lu berdua tolong usahain bisa ngabarin bapaknya secepat mungkin.” Dia menatap Kiman dan Candra dengan penuh harap.
Candra dan Kiman mengangguk bersamaan. Sebelum menyusul Pak Hadi, keduanya sekilas melihat Gugun. Sebenarnya mereka tidak mau meninggalkan Gugun sendirian, tetapi keadaan membuat mereka harus berpisah. Mereka harus saling mengerti dan menguatkan agar masalah ini lekas selesai. Sementara Gugun, sebagai orang yang dianggap paling dewasa mau tak mau merelakan dirinya bergerak sendirian.
Rupanya Gugun berusaha kuat di depan Kiman dan Candra. Sepeninggal kedua temannya itu dia mendadak lemas. Dia melangkah pelan menuju bangku di dekat ranjang. Dia mendaratkan bokongnya di bangku itu seraya menghela napas berat. Diusapnya wajah sembari mengembuskan napas panjang. Dia menunduk, merenungi kejadian nahas ini.
Sementara itu, di dalam perut Anja ada gumpalan jamur berwarna putih. Jamur-jamur itu terus saja menginfeksi keseluruhan tubuh Anja, sehingga mengutak-atik otot, merusak sistem saraf, peredaran darah, dan otaknya. Karena itulah kematian merenggut kehidupannya. Namun, kini jamur-jamur itu kembali bereaksi. Sari pati jamur tersebut terus menyebar dan menembus ke seluruh organ internal Anja. Lalu, inti sari dari tumbuhan itu meracuni seluruh kelenjar air liur Anja. Puncaknya, tumbuhan yang berkembak biak dengan spora itu mendetakkan lagi jantung Anja, sehingga bagian tubuh yang menjadi pusat peredaran darah itu kembali bekerja. Jamur itu telah berhasil membunuh Anja, tetapi kemudian menghidupkan kembali dengan kondisi tidak seperti sedia kala.
“Uhuk … uhuk!”
Gugun kaget mendapati Anja terbatuk. Dia spontan berdiri dengan kedua mata melotot.
“Uhuk … uhuk!”
Gugun menelan ludahnya karena diselimuti keterkejutan sekaligus ketakutan. Dia melihat selimut putih yang menutupi muka Anja dinodai darah. Didorong rasa penasaran, Gugun akhirnya memberanikan diri untuk mendekati Anja. Setelah pinggangnya menempel pada sisi ranjang, tangan kanannya terulur. Disibakannya selimut yang menutupi wajah Anja. Dia mendapati Anja menatapnya dengan kedua mata yang sangat merah dan berair. Dia juga melihat mulut Anja yang berlumuran darah sampai ke dagu. Dengan tergesa dia berlari ke meja dokter.
Saking gugup dan terburu-buru, Gugun sampai menabrak meja dokter. Dia melihat Dokter Idrus dan Suster Ana yang tengah berbincang. “Dokter, Suster, Anja belum mati,” katanya membuat dokter Idrus dan suster Ana terkejut.
“Apa …?” Suster Ana mengerutkan keningnya. Dia bingung dan belum memahami maksud perkataan Gugun.
“Teman saya belum meninggal dunia,” jawab Gugun.
“Yang benar kamu?” Dokter Idrus tidak percaya karena sangat yakin dengan pemeriksaan yang dia lakukan terhadap Anja.
“Saya gak bercanda, Dok,” tegas Gugun menatap lekat-lekat mata Dokter Idrus.
Suster Ana menunjuk ke arah depan seraya berkata, “Temanmu itu ….” Dia tak dapat merneruskan perkataannya. Pasalnya, dia mendapati Anja berdiri dengan kedua mata merah menatap tepat ke matanya. Kendati kedua kaki Anja berdiri lunglai, tetapi suster Ana merasakan keganjilan yang menakutkan.
Gugun dan Dokter Idrus melihat ke arah tunjukan Suster Ana. Keduanya terkejut melihat Anja yang berdiri goyah, tetapi dengan tatapan mengancam.
Ketiganya terpaku sesaat menyaksikan Anja yang seperti pemangsa. Gugun bahkan merasa bahwa seseorang yang berdiri beberapa meter di depannya bukanlah Anja yang dia kenal. Sementata itu, beberapa orang yang berada di dalam tirai ranjang pasien tidak tahu akan kejadian menggentarkan ini.
Sampai kemudian tiba-tiba Anja mengangkat kedua tangannya ke depan, lalu berlari ke arah mereka sambil menganga sekaligus menggeram.
Dokter Idrus dan Suster Ana refleks berjongkok karena mereka tahu Anja bukan lagi hanya mengancam, tetapi hendak menerkam. Keduanya bersitatap di bawah meja dengan jantung berdebar-debar tak keruan.
Sementara Gugun yang membeku tak sanggup menghindar. Dia ditabrak oleh Anja dengan kecepatan tinggi, sehingga keduanya terpental. Gugun terjengkang ke belakang dan tubuhnya ditindih oleh Anja. Kini, yang menerkamnya bukan hanya Anja, tetapi juga kematian.
***
Gugun sangat terkejut ditabrak oleh Anja, terlebih kepala belakangnya membentur lantai. Dia mendadak pening dengan pandangan memburam. Kendati dalam kondisi telentang seperti itu, dia tetap refleks mencekik leher Anja yang kini berada di atas tubuhnya. Gendang telinganya dipukul oleh suara geraman Anja yang menakutkan, tetapi karena itu pandangannya kembali fokus. Dia pun sadar betul tengah dalam kondisi genting, di mana nyawanya seolah hendak dicabut oleh Anja.Kedua mata Anja yang semerah darah tak pernah berkedip. Kedua tangannya terus menggapai-gapai tubuh Gugun, sampai kemudian berhasil mencekik leher temannya itu. Sambil menggeram, sesekali giginya bergemelutuk karena hendak menggigit Gugun. “To-tolonggg …,” tandas Gugun seraya menoleh ke kiri. Dia melihat Dokter Idrus dan Suster Ana berjongkok di bawah meja. Dokter Idrus dan Suster Ana bersitatap dengan wajah tegang. Keduanya masih belum berani bergerak barang sedikit pun. Mereka takut salah
Dokter Idrus berdiri kaku ketika Anja menabraknya. Dia tak sanggup menghindar, seolah otak dan kedua kakinya dibekukan oleh jantungnya yang berdebar-debar. Punggung dan kepala belakangnya membentur lantai dengan keras. Sementara dia tahu betul Anja menyerangnya dengan semakin beringas. Karena tak sempat menahan atau melawan, Dokter Idrus langsung kepayahan. Ketakutan benar-benar membuatnya tak berdaya. Sesaat dia menyesal, kenapa tadi tak bisa berlari atau dia saja yang memanggil sekuriti? Tak bisa dia berpikir lagi, Anja langsung menerkam lehernya. Bagian otot yang menghubungkan kepala dengan badan itu digerogot Anja. Seperti setan kelaparan Anja menarik daging leher Dokter Idrus. Namun, dia tidak mengunyah dan menelan otot yang terlepas dari leher Dokter Idrus, tetapi dia memuntahkannya ke lantai. Dia kembali menggigit luka menganga di leher Dokter Idrus yang mengeluarkan darah. Lalu kelenjar air liurnya berproduksi sangat cepat dan lebih banyak.
Anja tak sempat menerkam Gugun atau Suster Ana yang dengan cepat bersembunyi di dalam toilet. Anja lantas mengejar seorang pria berusia lima puluh tahun yang berlari ke balik tirai ranjang pasien. Anja menerjang pria itu, sehingga tirai terlepas dari anternit dan menimbulkan suara gedebuk karena pria itu tertubruk. Dengan ganas Anja menarik-narik tirai sampai mendapati wajah pria yang ditindihnya itu. “To-tolong, jangan bunuh saya,” pinta pria paruh baya itu mengiba. Anja menggeram dan semakin menguatkan tindihan kedua tungkainya. Darah menetes dari sela mulutnya yang menganga.Pria itu mencoba berontak, tapi gerakannya tak bisa menyingkirkan Anja dari atas tubuhnya.Anja memegang kedua lengan pria itu dengan kuat seraya membenamkan wajahnya ke leher pria tersebut.“AAAAA…!” pekik pria itu semakin membuat semua orang yang berada di IGD ketakutan.Seorang gadis usia belasan yang telentang di ranjang pasien dihantam kegentaran dengan tubuh gemetar. Di
Lelaki bernama Adi itu makin tersudut di pojok ruangan IGD. Dia kembali menoleh ke arah kiri, di mana seorang gadis menatapnya dengan sorot mata merah yang tajam. Dia menelan ludahnya dengan perasaan sedih karena adiknya itu telah menjadi mayat hidup. Belum lama ini dia mendampingi gadis bernama Rara itu ke rumah sakit. Setelah diperiksa, ternyata Rara terkena demam berdarah dan harus dirawat. Belum sempat Rara dipindahkan ke ruang rawat inap, malapetaka ini datang. Adi menyesal kenapa tadi tidak menolong Rara, padahal dia tahu bahwa Rara butuh pertolongan. Dia jadi kesal pada dirinya sendiri karena terlalu pengecut. Alih-alih bisa menjaga Rara dengan baik, dia malah berupaya bersembunyi dan menyelamatkan dirinya sendiri. Kini, tidak ada pilihan lagi selain mencari celah untuk menghindar dari terkaman para mayat hidup, termasuk adiknya itu. Adi sontak menoleh ke Anja dan Dokter Idrus karena suara geraman kedua mayat hidup itu. Dia kembali waspada da
Di ujung pertigaan koridor banyak pasien rawat jalan yang duduk di depan farmasi sedang menunggu obat. Di sebelah kiri ada tiga petugas perempuan yang duduk di balik meja, yang salah satunya sedang memberi informasi mengenai pendaftaran rawat inap pada seorang pemuda. Sementara itu, beberapa orang melangkah dari dan ke arah IGD. Suster Ana dan Gugun muncul dari IGD. Keduanya berlari secepat yang mereka bisa. Dengan panik dan jantung berdebar-debar, Suster Ana terus bergerak diikuti Gugun yang juga gugup dan takut. “Lariii …!” seru Suster Ana kepada orang-orang yang dia lewati. “Jangan ke IGD!” teriak Gugun kepada semua orang yang berpapasan dengannya. &
Pak Hadi menghentikan mobilnya di depan rumah Anja. Tadinya, dia diminta Kiman untuk mengantar sampai di warkop Mbak Eli di gang depan dekat jalan raya. Namun, karena harus segera menemui Pak Diko, dia akhirnya memilih menurunkan Kiman dan Candra di depan rumah orang tua Anja itu. Kini dia membantu Kiman dan Candra menurunkan empat tas gunung dan menaruhnya bersandar pada bangku plesteran. Setelah beres, dia pergi. Seusai mobil Pak Hadi berlalu, Kiman dan Candra masuk ke halaman depan rumah Anja. Keduanya melihat gerobak bakso milik Pak Diko, itu artinya bapaknya Anja hari ini tidak berdagang. Belum sempat memberi salam, keduanya mendapati Pak Diko membuka pintu dengan wajah agak kesal. “Mana si Anja?” Pak Diko berjalan tertatih. &n
Suster yang menggelepar di luar ruangan di bawah pintu kaca akhirnya berhenti bergerak-gerak. Bisa dipastikan kehidupan baru saja hilang dari dirinya. Sementara darah terus keluar dari luka menganga di lehernya, mengalir masuk ke ruang rawat inap melalui celah bawah pintu. “Mundur … mundur,” kata Gugun kepada Suster Ana, Pak Sapto, dan Bu Novi. “Lebih baik kita ngumpet. Jangan sampe mayat suster itu hidup lagi dan melihat kita. Bisa-bisa dia mendobrak pintu itu.” Tanpa banyak cakap lagi Pak Sapto kembali ke anak gadisnya yang masih tertidur. Bu Novi pun yang takut dan bingung mendekati suaminya yang juga tengah terlelap. Sementara Gugun dan Suster Ana memilih ke ranjang paling ujung untuk bersembunyi. Tanpa bersepakat sebelumnya mereka kompak tidak mau menimbulkan suara, terutama Pak Sapto dan Bu Novi yang langsung merapatkan mulut mereka. Gugun dan Suster Ana duduk di tepi ranjang dengan cemas. Sadar akan bahaya yang tengah terjadi dan bisa saja mendekati teman-temannya, Gugun
Gugun turun bersama beberapa karyawan dari bus jemputan yang berhenti di perempatan jalan raya. Dia lantas menyeberang jalan dan memasuki warung kopi bertuliskan WARKOP ELI. Pukul delapan pagi ini dia baru saja pulang bekerja. Kendati tubuhnya lelah, tetapi dia merasa senang. Pasalnya, besok sudah memasuki libur akhir pekan. “Waduhhh … masih pagi udah pada nongkrong aja lu pada.” Gugun mendapati Anja, Kiman, dan Candra yang sedang mengopi di meja pojok. “Lu pada kagak sekolah?” tanyanya sembari mendaratkan bokong di kursi sebelah Anja. “Udah libur,” sahut Kiman. “Kan gue udah ujian,” kata Candra menambahkan.