Share

2 - Bangkit dari Kematian

            Gugun dan teman-temannya dikuasai kesedihan. Mereka terdiam dalam keterkejutan. Ingin rasanya tidak percaya bahwa Anja telah meninggal dunia. Namun, mereka dihadapkan pada bukti bahwa tubuh Anja sudah tidak bergerak, dan memang sudah tidak ada kehidupan lagi di wajah teman mereka itu. Sampai kemudian Gugun tersadar kalau dia yang sepatutnya paling bisa diandalkan. Gugun harus mampu mengatasi situasi sulit ini. Setelah sekilas melihat Anja yang sudah ditutupi selimut putih, Gugun berbicara kepada Candra, “Can, sekarang lu pulang.”

            Candra yang berdiri lunglai tidak mendengar ucapan Gugun. Dia menunduk dengan pikiran yang kacau.

            Gugun mendekati Candra. Dia mengguncang kedua bahu temannya itu. “Can, dengarin gue!” katanya dengan suara lebih keras.

            Candra mengangkat wajahnya. Kedua matanya berkaca-kaca. Parasnya menampilkan kebingungan yang kian kentara.

            “Lu pulang. Taro semua tas di rumah lu atau titip aja di warkop Mbak Eli. Terus lu kabarin bapaknya Anja kalo dia—”

            “Gue takut,” potong Candra dengan bibir gemetar. “Gue gak tahu harus ngomong apa sama bapaknya.”

            “Ceritain aja yang sebenarnya,” tegas Gugun.

            “Tapi … tapi gue gak berani bilang kayak gitu sendirian.” Candra menggeleng lemah.

            Gugun mengembuskan napas gemas. “Ya udah, lu ditemanin sama Kiman,” katanya lagi seraya melihat Kiman yang juga tampak terpukul dengan kejadian itu.

            Kiman mengangguk pelan sebagai tanda bahwa dia memahami ucapan Gugun.

            “Gue akan ngurus jenazahnya supaya bisa cepat dibawa pulang,” jelas Gugun lagi. Dia kemudian menoleh ke Pak Hadi. “Pak, tolong anterin Kiman dan Candra, ya.”

            “Baik, Mas,” sahut Pak Hadi sambil mengangguk mantap. “Ayo, saya antar sekarang aja.” Dia lantas berlalu.

            “Oh iya, Gun, kalo bapaknya Anja gak ada di rumah gimana? Bisa jadi jam segini dia udah ngider.” Kiman menatap Gugun meminta pencerahan.

            “Iya, bapaknya ‘kan dagang bakso. Kemungkinan besar jam segini udah gak ada di rumah, apalagi dia gak punya hape,” kata Candra menambahkan.

            “Makanya lu berdua cepatan ke rumahnya, mungkin aja dia belum dagang,” sahut Gugun cepat. “Kalo ternyata dia udah ngeliling, lu coba cari aja atau tanya sama banyak orang. Pokoknya, lu berdua tolong usahain bisa ngabarin bapaknya secepat mungkin.” Dia menatap Kiman dan Candra dengan penuh harap.

            Candra dan Kiman mengangguk bersamaan. Sebelum menyusul Pak Hadi, keduanya sekilas melihat Gugun. Sebenarnya mereka tidak mau meninggalkan Gugun sendirian, tetapi keadaan membuat mereka harus berpisah. Mereka harus saling mengerti dan menguatkan agar masalah ini lekas selesai. Sementara Gugun, sebagai orang yang dianggap paling dewasa mau tak mau merelakan dirinya bergerak sendirian.

            Rupanya Gugun berusaha kuat di depan Kiman dan Candra. Sepeninggal kedua temannya itu dia mendadak lemas. Dia melangkah pelan menuju bangku di dekat ranjang. Dia mendaratkan bokongnya di bangku itu seraya menghela napas berat. Diusapnya wajah sembari mengembuskan napas panjang. Dia menunduk, merenungi kejadian nahas ini.

            Sementara itu, di dalam perut Anja ada gumpalan jamur berwarna putih. Jamur-jamur itu terus saja menginfeksi keseluruhan tubuh Anja, sehingga mengutak-atik otot, merusak sistem saraf, peredaran darah, dan otaknya. Karena itulah kematian merenggut kehidupannya. Namun, kini jamur-jamur itu kembali bereaksi. Sari pati jamur tersebut terus menyebar dan menembus ke seluruh organ internal Anja. Lalu, inti sari dari tumbuhan itu meracuni seluruh kelenjar air liur Anja. Puncaknya, tumbuhan yang berkembak biak dengan spora itu mendetakkan lagi jantung Anja, sehingga bagian tubuh yang menjadi pusat peredaran darah itu kembali bekerja. Jamur itu telah berhasil membunuh Anja, tetapi kemudian menghidupkan kembali dengan kondisi tidak seperti sedia kala.

            “Uhuk … uhuk!”

            Gugun kaget mendapati Anja terbatuk. Dia spontan berdiri dengan kedua mata melotot.

            “Uhuk … uhuk!”

            Gugun menelan ludahnya karena diselimuti keterkejutan sekaligus ketakutan. Dia melihat selimut putih yang menutupi muka Anja dinodai darah. Didorong rasa penasaran, Gugun akhirnya memberanikan diri untuk mendekati Anja. Setelah pinggangnya menempel pada sisi ranjang, tangan kanannya terulur. Disibakannya selimut yang menutupi wajah Anja. Dia mendapati Anja menatapnya dengan kedua mata yang sangat merah dan berair. Dia juga melihat mulut Anja yang berlumuran darah sampai ke dagu. Dengan tergesa dia berlari ke meja dokter.

            Saking gugup dan terburu-buru, Gugun sampai menabrak meja dokter. Dia melihat Dokter Idrus dan Suster Ana yang tengah berbincang. “Dokter, Suster, Anja belum mati,” katanya membuat dokter Idrus dan suster Ana terkejut.

            “Apa …?” Suster Ana mengerutkan keningnya. Dia bingung dan belum memahami maksud perkataan Gugun.

            “Teman saya belum meninggal dunia,” jawab Gugun.

            “Yang benar kamu?” Dokter Idrus tidak percaya karena sangat yakin dengan pemeriksaan yang dia lakukan terhadap Anja.

            “Saya gak bercanda, Dok,” tegas Gugun menatap lekat-lekat mata Dokter Idrus.

            Suster Ana menunjuk ke arah depan seraya berkata, “Temanmu itu ….” Dia tak dapat merneruskan perkataannya. Pasalnya, dia mendapati Anja berdiri dengan kedua mata merah menatap tepat ke matanya. Kendati kedua kaki Anja berdiri lunglai, tetapi suster Ana merasakan keganjilan yang menakutkan.

            Gugun dan Dokter Idrus melihat ke arah tunjukan Suster Ana. Keduanya terkejut melihat Anja yang berdiri goyah, tetapi dengan tatapan mengancam.

            Ketiganya terpaku sesaat menyaksikan Anja yang seperti pemangsa. Gugun bahkan merasa bahwa seseorang yang berdiri beberapa meter di depannya bukanlah Anja yang dia kenal. Sementata itu, beberapa orang yang berada di dalam tirai ranjang pasien tidak tahu akan kejadian menggentarkan ini.

            Sampai kemudian tiba-tiba Anja mengangkat kedua tangannya ke depan, lalu berlari ke arah mereka sambil menganga sekaligus menggeram.

            Dokter Idrus dan Suster Ana refleks berjongkok karena mereka tahu Anja bukan lagi hanya mengancam, tetapi hendak menerkam. Keduanya bersitatap di bawah meja dengan jantung berdebar-debar tak keruan.

            Sementara Gugun yang membeku tak sanggup menghindar. Dia ditabrak oleh Anja dengan kecepatan tinggi, sehingga keduanya terpental. Gugun terjengkang ke belakang dan tubuhnya ditindih oleh Anja. Kini, yang menerkamnya bukan hanya Anja, tetapi juga kematian.

            ***     

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status