Arus kendaraan Jalan Tol Jakarta-Cikampek siang ini ramai lancar. Dari arah Bekasi ke Jakarta maupun sebaliknya didominasi kendaraan pribadi. Cahaya matahari cukup terik menyinari sehingga aspal jalanan tampak panas, terlebih suhu di kota ini mencapai 34 derajat celcius.
Sebuah mobil berwarna hitam berpindah dari lajur cepat ke lajur lambat. Sang sopir kemudian mengarahkan mobilnya keluar dari tol menyusuri jalur menuju Gerbang Tol Bekasi Barat. Sopir bernama Hadi ini menghentikan mobilnya karena harus mengantre lima mobil di depan gerbang tol tersebut.
Gugun yang duduk di sebelah Pak Hadi menoleh ke belakang karena mendengar Anja terbatuk-batuk. “Nanti pas sampe rumah, lu harus istirahat total,” tegurnya kemudian. Laki-laki berkulit putih dan bermata sipit ini tampak khawatir pada Anja, terlebih dia yang paling dituakan dalam kelompok pertemanan.
Anja tidak menyahut. Cowok berkulit sawo matang berusia 18 tahun ini menatap Gugun dengan mata kuyu. Di lengan, kaki, dan wajahnya terdapat beberapa luka gores. Kulit kening kirinya yang robek sudah dijahit dan ditutupi kain kasa. Sementara di bagian kedua tulang pipinya memar membiru. Dia pun terlihat lemah dan pucat. Meski AC mobil aktif, dia berkeringat.
“Kenapa lu keringatan gitu?” Kiman yang duduk di sebelah kanan Anja makin bingung. Sedari tadi dia memperhatikan Anja yang kian aneh dan terlihat tak sehat.
Alih-alih menjawab, Anja kembali terbatuk-batuk. Dia demam. Tenggorokannya terasa kering. Sementara kepalanya begitu pening.
Pak Hadi sekilas melihat Anja melalui kaca spion tengah, lalu memfokuskan pandangannya kembali ke kaca depan. Dia menjalankan mobil melewati gerbang tol.
Candra yang duduk di sebelah kiri Anja jadi ngeri menyaksikan kondisi temannya itu yang semakin parah. Saking takutnya, dia sampai tidak berkomentar. Dia hanya memperbaiki posisi topinya, sikap itulah yang menandakan bahwa dia tengah gugup.
Secara mendadak, Anja memuntahkan darah, sehingga cairan merah itu membasahi dagu dan bajunya. Kedua matanya tertutup. Dia menggigil sampai giginya bergemelutuk. Keadaan itu sontak membuatnya dipegangi Candra dan Kiman.
“Pak, tolong langsung ke rumah sakit aja,” kata Gugun dengan panik.
“Rumah sakit terdekat di mana, Mas Gun?” tanya Pak Hadi yang juga ngeri mendapati kondisi Anja.
“Belok kiri aja,Pak.”
Di pertigaan dekat mal, Pak Hadi lantas mengarahkan mobil ke jalur kiri.
“Lurus terus aja, Pak,” kata Gugun lagi. “Sebelum stadion ada rumah sakit.”
“Cepatan, Pak!” seru Kiman.
Pak Hadi tidak menimpali ucapan Kiman. Dia menginjak pedal gas lebih dalam melewati perempatan Kali Malang.
Gugun kembali memerintah Pak Hadi, “Ambil jalur kiri aja, Pak.
Pak Hadi mengangguk seraya melihat spion kiri.
Sementara itu, Anja semakin menggigil. Darah bukan hanya keluar dari mulutnya, tetapi juga dari kedua lubang hidung dan telinganya.
Kiman dan Candra membuka mata mereka lebih lebar, sehingga biji mata mereka jadi terkesan membesar. Sementara itu, mimik keduanya menampilkan kengerian yang tak pernah mereka duga sebelumnya. Kini, yang gemetar bukan hanya tubuh Anja, tetapi juga kedua tangan Kiman dan Candra.
Dengan bergegas dan panik, Pak Hadi mengarahkan mobil masuk ke area rumah sakit untuk langsung menuju IGD dan berhenti di depan ruangan itu.
Gugun keluar dari mobil dengan cepat. Dia bersama Pak Hadi, Kiman, dan Candra segera menggotong Anja masuk ke IGD.
“Langsung baringkan ke ranjang aja, Mas,” kata seorang suster yang melihat mereka.
Anja dibaringkan di baris kiri ranjang ketiga. Tubuhnya menggelepar-lepar seperti ayam yang baru saja disembelih. Dia terus dipegangi Gugun, Pak Hadi, Kiman, dan Candra supaya tidak terjatuh dari ranjang yang berderit-derit.
Suster bernama Ana merapatkan tirai. “Satu orang langsung ke pendaftaran yang ada di sebelah kiri.”
“Baik, Sus,” sahut Gugun yang segera berlalu.
Seorang dokter lelaki bernama Idrus masuk dan lantas mendekati Anja yang masih bergerak-gerak seperti kerasukan setan. “Ini kenapa?”
“Gak tahu, Dok,” sahut Kiman yang masih memegang lengan kiri Anja. “Tahu-tahu dia menggigil, terus kejang-kejang, muntah darah juga.”
“Dari hidung dan telinganya juga keluar darah. Dok,” kata Candra menambahkan. Dia terus memegangi lengan kanan Anja.
“Tolong segera ditanganin, Dok,” tegas Pak Hadi yang memegang kuat kedua kaki Anja.
Dokter Idrus lebih mendekati Anja seraya agak membungkuk. Belum sempat dia memeriksa, tiba-tiba saja wajahnya terkena semburan darah yang dimuntahkan Anja. Seketika dia terpukul. Ini kali pertama dia mengalami kejadian seperti itu. Dia mengusap darah di wajahnya dengan tangan gemetar, sementara jantungnya berdebar-debar.
Semua orang pun kaget, apalagi ketika Anja membuka mata yang merah. Sepertinya pembuluh-pembuluh halus di bola matanya telah pecah. Urat-urat saraf di leher dan mukanya pun menonjol, tampak membiru dan seakan-akan mau meledak.
Saking terkejutnya, Kiman dan Candra sampai sontak melepaskan cengkeraman tangan mereka dari lengan Anja. Keduanya mundur satu langkah sambil menelan ludah. Sementara dokter dan suster terpaku, seolah-olah terhipnotis dengan kejadian itu. Sedangkan Pak Hadi justru menguatkan cengkeraman tangannya pada kedua kaki Anja.
Anja kini bergerak duduk. Kedua tangannya menggapai-gapai ke depan. Gerakan tangan itu sulit diartikan, entah meminta tolong atau malah mau menyerang. Sampai kemudian, dengan mata yang melotot, seketika itu pula dia kembali terbaring dan bergeming.
Setelah beberapa detik dikuasi ketegangan, akhirnya Dokter Idris memberanikan diri memeriksa Anja. Bagaimanapun dia yang paling kompeten dalam hal ini. Meski nyalinya sudah menciut sejak tadi, tetapi dia harus menguasi dirinya sendiri.
Suster Ana tahu betul apa yang dirasakan Dokter Idrus. Pasalnya, dia pun mengalami ketegangan yang sama. Maka dari itu, dia berupaya mendekati Dokter Idrus untuk sekadar mendampingi, bahwa sang dokter tidak sendiri.
Kiman, Candra, dan Pak Hadi saling bersitatap diselimuti ketakutan dan kebingungan.
Setelah memeriksa dan memastikan kondisi Anja, Dokter Idrus pun berkata, “Dia udah meninggal dunia.”
Pak Hadi, Kiman, dan Candra makin terkejut. Ketiganya tak bisa berkata-kata. Meski tahu kondisi Anja sedang sakit, tetapi mereka tidak menyangka kalau Anja berpulang hari ini, terlebih dalam kondisi yang mengenaskan.
Tirai tersibak. Gugun masuk. “Gimana, Dok?”
Dokter Idrus membalikkan badan. Dia menatap Gugun dengan sorot mata tegang dan mimik penuh penyesalan. “Temanmu udah meninggal dunia.”
Bulu kuduk Gugun sontak berdiri, saat itu juga dia merasa semakin ngeri.
***
Gugun dan teman-temannya dikuasai kesedihan. Mereka terdiam dalam keterkejutan. Ingin rasanya tidak percaya bahwa Anja telah meninggal dunia. Namun, mereka dihadapkan pada bukti bahwa tubuh Anja sudah tidak bergerak, dan memang sudah tidak ada kehidupan lagi di wajah teman mereka itu. Sampai kemudian Gugun tersadar kalau dia yang sepatutnya paling bisa diandalkan. Gugun harus mampu mengatasi situasi sulit ini. Setelah sekilas melihat Anja yang sudah ditutupi selimut putih, Gugun berbicara kepada Candra, “Can, sekarang lu pulang.” Candra yang berdiri lunglai tidak mendengar ucapan Gugun. Dia menunduk dengan pikiran yang kacau. Gugun mendekati Candra. Dia mengguncang kedua bahu temannya itu. “Can, dengarin gue!” katanya dengan suara lebih keras. Candra mengangkat wajahnya. Kedua matanya berkaca-kaca. Parasnya menampilkan kebingungan yang kian kentara. “Lu pulang. Taro semua tas di rumah lu atau titip aja di warkop Mbak Eli. Ter
Gugun sangat terkejut ditabrak oleh Anja, terlebih kepala belakangnya membentur lantai. Dia mendadak pening dengan pandangan memburam. Kendati dalam kondisi telentang seperti itu, dia tetap refleks mencekik leher Anja yang kini berada di atas tubuhnya. Gendang telinganya dipukul oleh suara geraman Anja yang menakutkan, tetapi karena itu pandangannya kembali fokus. Dia pun sadar betul tengah dalam kondisi genting, di mana nyawanya seolah hendak dicabut oleh Anja.Kedua mata Anja yang semerah darah tak pernah berkedip. Kedua tangannya terus menggapai-gapai tubuh Gugun, sampai kemudian berhasil mencekik leher temannya itu. Sambil menggeram, sesekali giginya bergemelutuk karena hendak menggigit Gugun. “To-tolonggg …,” tandas Gugun seraya menoleh ke kiri. Dia melihat Dokter Idrus dan Suster Ana berjongkok di bawah meja. Dokter Idrus dan Suster Ana bersitatap dengan wajah tegang. Keduanya masih belum berani bergerak barang sedikit pun. Mereka takut salah
Dokter Idrus berdiri kaku ketika Anja menabraknya. Dia tak sanggup menghindar, seolah otak dan kedua kakinya dibekukan oleh jantungnya yang berdebar-debar. Punggung dan kepala belakangnya membentur lantai dengan keras. Sementara dia tahu betul Anja menyerangnya dengan semakin beringas. Karena tak sempat menahan atau melawan, Dokter Idrus langsung kepayahan. Ketakutan benar-benar membuatnya tak berdaya. Sesaat dia menyesal, kenapa tadi tak bisa berlari atau dia saja yang memanggil sekuriti? Tak bisa dia berpikir lagi, Anja langsung menerkam lehernya. Bagian otot yang menghubungkan kepala dengan badan itu digerogot Anja. Seperti setan kelaparan Anja menarik daging leher Dokter Idrus. Namun, dia tidak mengunyah dan menelan otot yang terlepas dari leher Dokter Idrus, tetapi dia memuntahkannya ke lantai. Dia kembali menggigit luka menganga di leher Dokter Idrus yang mengeluarkan darah. Lalu kelenjar air liurnya berproduksi sangat cepat dan lebih banyak.
Anja tak sempat menerkam Gugun atau Suster Ana yang dengan cepat bersembunyi di dalam toilet. Anja lantas mengejar seorang pria berusia lima puluh tahun yang berlari ke balik tirai ranjang pasien. Anja menerjang pria itu, sehingga tirai terlepas dari anternit dan menimbulkan suara gedebuk karena pria itu tertubruk. Dengan ganas Anja menarik-narik tirai sampai mendapati wajah pria yang ditindihnya itu. “To-tolong, jangan bunuh saya,” pinta pria paruh baya itu mengiba. Anja menggeram dan semakin menguatkan tindihan kedua tungkainya. Darah menetes dari sela mulutnya yang menganga.Pria itu mencoba berontak, tapi gerakannya tak bisa menyingkirkan Anja dari atas tubuhnya.Anja memegang kedua lengan pria itu dengan kuat seraya membenamkan wajahnya ke leher pria tersebut.“AAAAA…!” pekik pria itu semakin membuat semua orang yang berada di IGD ketakutan.Seorang gadis usia belasan yang telentang di ranjang pasien dihantam kegentaran dengan tubuh gemetar. Di
Lelaki bernama Adi itu makin tersudut di pojok ruangan IGD. Dia kembali menoleh ke arah kiri, di mana seorang gadis menatapnya dengan sorot mata merah yang tajam. Dia menelan ludahnya dengan perasaan sedih karena adiknya itu telah menjadi mayat hidup. Belum lama ini dia mendampingi gadis bernama Rara itu ke rumah sakit. Setelah diperiksa, ternyata Rara terkena demam berdarah dan harus dirawat. Belum sempat Rara dipindahkan ke ruang rawat inap, malapetaka ini datang. Adi menyesal kenapa tadi tidak menolong Rara, padahal dia tahu bahwa Rara butuh pertolongan. Dia jadi kesal pada dirinya sendiri karena terlalu pengecut. Alih-alih bisa menjaga Rara dengan baik, dia malah berupaya bersembunyi dan menyelamatkan dirinya sendiri. Kini, tidak ada pilihan lagi selain mencari celah untuk menghindar dari terkaman para mayat hidup, termasuk adiknya itu. Adi sontak menoleh ke Anja dan Dokter Idrus karena suara geraman kedua mayat hidup itu. Dia kembali waspada da
Di ujung pertigaan koridor banyak pasien rawat jalan yang duduk di depan farmasi sedang menunggu obat. Di sebelah kiri ada tiga petugas perempuan yang duduk di balik meja, yang salah satunya sedang memberi informasi mengenai pendaftaran rawat inap pada seorang pemuda. Sementara itu, beberapa orang melangkah dari dan ke arah IGD. Suster Ana dan Gugun muncul dari IGD. Keduanya berlari secepat yang mereka bisa. Dengan panik dan jantung berdebar-debar, Suster Ana terus bergerak diikuti Gugun yang juga gugup dan takut. “Lariii …!” seru Suster Ana kepada orang-orang yang dia lewati. “Jangan ke IGD!” teriak Gugun kepada semua orang yang berpapasan dengannya. &
Pak Hadi menghentikan mobilnya di depan rumah Anja. Tadinya, dia diminta Kiman untuk mengantar sampai di warkop Mbak Eli di gang depan dekat jalan raya. Namun, karena harus segera menemui Pak Diko, dia akhirnya memilih menurunkan Kiman dan Candra di depan rumah orang tua Anja itu. Kini dia membantu Kiman dan Candra menurunkan empat tas gunung dan menaruhnya bersandar pada bangku plesteran. Setelah beres, dia pergi. Seusai mobil Pak Hadi berlalu, Kiman dan Candra masuk ke halaman depan rumah Anja. Keduanya melihat gerobak bakso milik Pak Diko, itu artinya bapaknya Anja hari ini tidak berdagang. Belum sempat memberi salam, keduanya mendapati Pak Diko membuka pintu dengan wajah agak kesal. “Mana si Anja?” Pak Diko berjalan tertatih. &n
Suster yang menggelepar di luar ruangan di bawah pintu kaca akhirnya berhenti bergerak-gerak. Bisa dipastikan kehidupan baru saja hilang dari dirinya. Sementara darah terus keluar dari luka menganga di lehernya, mengalir masuk ke ruang rawat inap melalui celah bawah pintu. “Mundur … mundur,” kata Gugun kepada Suster Ana, Pak Sapto, dan Bu Novi. “Lebih baik kita ngumpet. Jangan sampe mayat suster itu hidup lagi dan melihat kita. Bisa-bisa dia mendobrak pintu itu.” Tanpa banyak cakap lagi Pak Sapto kembali ke anak gadisnya yang masih tertidur. Bu Novi pun yang takut dan bingung mendekati suaminya yang juga tengah terlelap. Sementara Gugun dan Suster Ana memilih ke ranjang paling ujung untuk bersembunyi. Tanpa bersepakat sebelumnya mereka kompak tidak mau menimbulkan suara, terutama Pak Sapto dan Bu Novi yang langsung merapatkan mulut mereka. Gugun dan Suster Ana duduk di tepi ranjang dengan cemas. Sadar akan bahaya yang tengah terjadi dan bisa saja mendekati teman-temannya, Gugun