Bu Risa sudah dinyatakan sehat. Kendati wajahnya masih pucat dan tubuhnya lemas, tetapi dia sudah diizinkan pulang. Namun, dia masih diminta kontrol barang satu atau dua kali untuk mengecek kondisinya pasca dirawat inap. Dia senang sekali ketika sampai di rumah. Dia bisa menghidu aroma kediamannya, di mana dia lebih banyak menghabiskan hidup dalam nauangan rumah yang tidak megah, tetapi sarat akan kenyamanan tak terhingga. Apalagi, di kediaman itu pula segalanya terekam, dari dia yang baru menikah dengan Pak Jaki, memiliki anak pertama perempuan, bergembira mempunyai pelengkap anak laki-laki, sampai menyaksikan pertumbuhan kedua anaknya itu. Hal tersebut tidak bisa digantikan dengan apa pun. Itu adalah kebahagian tertinggi, menjadi seorang istri sekaligus ibu. Selain itu, dia bisa duduk di teras depan sambil menjemur diri dalam siraman sinar matahari pagi. Dia bisa menghela udara yang kadang segar, kadang pula tidak segar. Segala apa yang dia alami di rumah adalah kehidupan yang patu
Pasca Bu Risa berpulang rumah menjadi sepi dan seolah tak bernyawa. Kebahagiaan dalam keluarga mendadak sirna. Kiman, Irma, dan Pak Jaki lebih banyak berdiam sendirian, baik di kamar masing-masing maupun di area rumah. Kendati mereka sudah sepakat untuk terus saling menyayangi, tetap saja kehilangan Bu Risa mengubah segalanya.Pak Jaki memandang foto keluarga di ruang tengah pada sore hari. Dia tersenyum tipis mengingat kenangan saat potret itu diambil. Kini keluarganya tak lagi utuh. Biasanya di waktu seperti ini dia dan Bu Risa menonton televisi sambil menunggu kedatangan Irma yang pulang bekerja. Namun, saat-saat seperti itu tidak ada lagi. Dia sendirian di kediamannya yang kian hari terasa sunyi.Pak Jaki merasa masih kurang diberi waktu bersama Bu Risa. Dia paham betul bahwa manusia tidak akan pernah merasa cukup. Dia ingin terus selamanya di dekat Bu Risa, tetapi takdir berkata lain. Di dunia ini dia harus sendiri menghabiskan waktunya yang tersisa. Dia harus berjuang sendiri
Kiman menguap sembari membuyarkan kenangannya. Situasi yang makin sepi membuatnya bisa merasakan lelah. Tubuhnya sangat capek dan pegal-pegal. Lapar dan haus pun mendera. Dia menelan ludah yang sedikit. Kantuk menyerangnya. Dia memperhatikan pintu kaca, keadaan di luar tetap lengang. Dia bisa sejenak bernapas lega. Keadaan itu paling tidak menggambarkan ketiadaan zombi di dekatnya. Dia terus berharap para mayat hidup itu tidak akan menghampirinya ke kamar jenazah. Dia melihat jam dinding, waktu menunjukkan tepat jam dua belas malam. Kedua matanya memerah dan berair. Dia memijat tengkuknya yang pegal. Kantuk kian menguasainya. Dia menguap lagi sambil membekap mulutnya. Dia ingin tidur, tetapi ragu dan khawatir. Berkali-kali dia menegaskan diri, bahwa keadaan sudah lumayan tenang dan dia bisa beristirahat. Namun, ketakutan dalam batinnya tidak sepenuhnya bisa sirna. Dia bersandar pada tembok. Diselonjorkannya kedua kaki. Dia merentangkan kedua tangannya sambil kembali menguap. Pegal-pe
Pak Jaki dan Irma sudah mengemasi surat-surat berharaga dan beberapa pakaian dan perbekalan ke dalam dua tas punggung. Keduanya memang mau tak mau harus ke rumah Pak Idrus. Pasalnya, gang menuju ke jalan luar permukiman harus melewati rumah Pak Idrus. Kalau Pak Idrus yang menghampiri keduanya, itu riskan karena ujung gang adalah jalan buntu, sementara mereka harus bertindak cepat. Irma memakai tas punggung seraya menuju pintu depan. Sementara Pak Jaki memperhatikan seisi ruangan. Pak Jaki sebenarnya berat meninggalkan rumah. Banyak kenangan indah yang Pak Jaki lalui bersama anak-anak dan mendiang istrinya. Tak sanggup rasanya membayangkan rumah ini akan tidak berpenghuni. Tak sampai hati melihat rumah ini rusak sepeninggalnya. Sementara diam-diam Irma teringat pada mendiang ibu dan Kiman yang tidak diketahui kabarnya. Dia sedih harus pergi dari rumah, tempat di mana dia dibesarkan. Terlalu banyak kenangan berharga yang tidak akan bisa dilupakan. Dia mendapati Pak Jaki yang mengamati
Pak Jaki dan Irma mencari kunci motor di seisi kamar Pak Idrus. Keduanya membuka lemari dan laci-laci. Namun, keduanya tidak menemukan kunci tersebut. Pak Jaki berteriak kesal dan putus asa, sementara Irma berupaya menenangkannya. Irma tidak mau kemarahan akan keadaan mengacaukan rencana menyelamatkan diri. Irma dan Pak Jaki harus tenang kendati keadaan makin mencekam. “Kita harus tenang, Pak,” cetus Irma sambil mendekati Pak Jaki. Dia mengusap punggung Pak Jaki agar bapaknya itu bisa meredakan emosi. “Ayo, kita cari lagi, jangan putuas asa. Kita harus bergerak cepat sebelum para zombi menyadari kehadiran kita di sini.” Dia menatap lekat-lekat Pak Jaki yang tampak gelisah. Irma lantas mengacak-acak tempat tidur. Dia mengangkat bantal dan guling, serta melepaskan seprei. Sementara Pak Jaki memeriksa tumpukan baju dan melemparkan pakian-pakaian ke sembarang arah. Namun, keduanya tidak juga mendapati kunci motor itu. “Kalo begini terus, lama-lama kita bisa mati,” kata Pak Jaki. “Janga
Irma mengendarai motor dengan kecepatan sedang karena situasinya sudah lebih aman. Dia dan Pak Jaki tidak lagi mendapati zombi. Kendati begitu, keduanya tetap waspada. Irma memperhatikan depan dengan saksama, sementara Pak Jaki melihat ke kanan kiri. Di jalan raya yang mengarah ke Bantar gebang itu keduanya melihat banyak mobil dan motor bergerak ke arah yang sama. Keduanya yakin, orang-orang di mobil dan motor itu juga hendak mengungsi.Beberapa saat kemudian Irma menurunkan kecepatan motor. Dia mendapati mobil Pak Idrus yang berada di sisi jalan raya. Dia menghentikan motor tepat di belakang mobil losbak itu. Dia dan Pak Jaki segera mengambil tas dan bergegas menaiki bak terbuka dibantu oleh Pak RT.“Syukurlah kalian selamat,” kata Pak RT dengan air muka lega.Bu Fani dan Dini tetap duduk di kabin depan. Keduanya enggan keluar karena takut. Sedangkan Pak Idrus keluar untuk sekadar melihat Pak Jaki dan Irma. Dia juga sempat melihat motornya dengan sedih karena harus ditinggalkan.
Bima tadi hanya fokus mengunci pintu depan rumah, padahal Bu Ikah juga menyuruhnya mengunci pagar depan. Saking takutnya, Bima sampai melupakan pagar tersebut. Itu pulalah yang membuat Bima dengan leluasa bisa melihat Irma mengendarai motor membonceng Pak Jaki.Zombi laki-laki berjalan gontai memasuki halaman depan rumah Bu Ikah yang pagarnya tidak ditutup rapat. Cuping hidungnya kembang kempir karena mencium napas kehidupan di dalam rumah. Dia terus melangkah ke sisi rumah dengan telinga menangkap suara perdebatan Bima dan Suci. Hawa kehidupan dari dalam rumah semakin tercium dan mengarahkannya melangkah ke belakang. Setibanya di depan pintu belakang yang tertutup, dia menggeram dengan kedua tangan menyentuh gagang pintu. Sambil berupaya membukanya, dia pula menabrakkan diri pada daun pintu sampai terkuak dengan keras.Mayat hidup ini mukanya pucat membiru. Matanya merah nyalang. Mulutnya menteskan air liur yang berbau. Kedua lengannya yang terluka dan berdarah terus mengulur ke d
Suci dan Bu Ikah sudah menyiapkan pakaian di dalam tas punggung milik Suci. Sementara Bima memasukkan beberapa botol dan buah dari dalam kulkas ke tas lainnya. Suci dan Bu Ikah memilah pakaian seadanya saja, sedangkan Bima tidak menyiapkan pakaian apa pun karena kamarnya menjadi kerangkeng untuk zombi laki-laki yang kini masih menggedor pintu dari dalam ruangan itu. “Kamu udah kunci pintu belakangnya?” Bu Ikah menghampiri Bima yang berada di ruang belakang. “Kita keluar dari pintu belakang aja, Bu, jadi enggak usah dikunci segala,” sahut Bima sembari merapatkan ritsleting tas. “Ya udah kalo gitu.” Suci keluar dari kamarnya memakai tas punggung. “Aku udah siap,” katanya kemudian. “Kita mau mengungsi ke mana?” Bu Ikah menatap Bima dan Suci dengan ekspresi penuh tanya. Suci menelan ludah dengan gelisah karena dia tidak tahu mau ke mana. Dia lantas menoleh ke Bima. “Kita mau ke mana, Bim?” tanyanya kemudian menyerahkan urusan mengungsi kepada adiknya itu. Bima bingung. Sejak awal di
Zombi laki-laki dengan wajah penuh darah mendelik tajam ke ujung koridor. Dia berjalan tertatih-tatih dengan caping hidung kembang kempis. Dia mengendus bau seseorang yang berada beberapa meter darinya. Kedua tangannya terulur ke depan dengan sikap siap menerkam. Kendati langkahnya terhuyung, tetap saja dia tampak ganas dan mengancam.Setibanya di depan area suster, zombi ini mendapati seorang laki-laki yang baru saja memakan wafer. Seketika mata merahnya makin nyalang. Giginya bergemeletuk siap menerkam. Di ujung bibirnya air liur menetes bercampur darah. Dia menggeram siap menyerang, sehingga laki-laki itu terkejut dan menyadari kehadirannya. Dia mendapati ketakutan di wajah laki-laki itu. Dia bisa mencium kengerian yang terpancar dari sikap laki-laki tersebut. Dengan gerakan mendadak dia menyerang laki-laki itu sambil menggeram lebih keras.Kiman yang tak siap dengan serangan zombi itu menjadi syok dan tak bisa bergerak, sehingga dia diterjang zombi tersebut. Dia terjatuh ke bel
Pak Sapto mengusap wajah sembari mengembuskan napas panjang. Entah bagaimana sedari tadi dia memercayai Gugun sebagai teman curhat. Dia menceritakan semua keresahan hati atas masalah yang dihadapi dalam rumah tangganya. Meski menyisakan kekesalan dan kesedihan, tetapi kali ini dia merasa cukup lega, seolah-olah baru saja memuntahkan segala beban yang sudah lama tersimpan.Sementara Gugun tidak menyangka baru saja mendengar kisah Pak Sapto yang akhirnya bercerai dengan Bu Erna. Niatnya yang sekadar menemai waktu jaga Pak Sapto, malah mendapat cerita yang membuatnya semakin berhitung soal pernikahan. Diam-diam dia jadi khawatir unruk berumah tangga. Saat berpikir begitu, dia tersadar akan dua hal. Pertama, dia tidak punya pacar. Kedua, situasinya masih sangat berbahaya dan dia tidak tahu apakah bisa selamat, lalu bertemu perempuan yang dicintai sampai menikah. Dia merasa telah berpikir terlalu jauh akan hal itu. Kini dia menyadarkan diri sendiri untuk fokus pada keselamatan terlebih d
Penciumannya mendapati harum masakan. Otaknya lantas memerintahkan matanya terbuka perlahan. Dengan heran Pak Sapto terjaga dari tidurnya. Dia yang telentang di lantai ruang depan bergerak perlahan untuk duduk. Dia melihat Wati tersenyum padanya. Anaknya itu duduk dengan wajah segar sehabis mandi. Dia masih bingung telah tersaji nasi hangat, cah kangkung, telor ceplok diberi bumbu cabai, serta ikan bandeng goreng. Semua makanan itu jelas masih hangat dan menggugah selera. Dia menelan ludah karena perutnya mendadak minta diisi.Bu Erna datang dari ruang tengah sambil membawa seteko teh hangat. “Makan dulu,” katanya pada Pak Sapto dengan ramah. Dia duduk di sebelah Wati, lalu menuangkan teh hangat ke dalam gelas dan menaruhnya di dekat Pak Sapto.Pak Sapto tersenyum canggung. Dia meneguk teh hangat itu perlahan. Dia masih bingung dengan sikap Bu Erna yang mendadak baik. Dia jadi bertanya-tanya, apa yang membuat istrinya itu pulang, lalu bisa dan mau menyediakan makanan sebegini mewah
Sedari pagi Pak Sapto mengojek. Meski penghasilannya tetap sedikit, dia merasa lega. Pasalnya, nanti malam dia akan bertemu dengan pembeli motornya. Hari ini seperti menjadi hari perpisahan dengan motornya itu. Kendati lahir perasaan senang, tetapi dia juga sedih. Dia bahagia karena telah mendapat jalan keluar dari masalahnya. Dia sudah mendapatkan solusi terbaik meski risikonya harus merelakan motor yang sudah bertahun-tahun bersamanya.Dia sempat berpikir menemui Pak Hardi dan Mak Gaple untuk memberi tahu mereka bahwa akan membayar utangnya nanti malam. Namun, dia urung karena diserang perasaan malu. Dia pun memutuskan nanti saja setelah mendapat uang pembayaran motor, dia langsung menemui kedua orang itu dan melunasi utangnya. Meski tetap malu, tetapi membawa uang untuk melunasi semuanya tentu perasaannya jadi lebih lega. Uang akan membuatnya lebih percaya diri.Sudah seminggu ini pula dia tidak menghubungi Bu Erna dan Wati. Dia membiarkan istri dan anaknya itu tetap di rumah me
Pak Sapto terus berusaha melunasi utang-utangnya, terutama terhadap Pak Hardi dan Mak Gaple. Dia masih enggan ke pangkalan ojek karena malu bertemu kedua orang itu. Dia merasa bersalah telah menghancurkan kepercayaan orang-orang baik itu. Namun, upayanya masih sulit. Penghasilannya mengojek cuma bisa buat makan dan beli bensin. Yang paling menyebalkan, dia masih saja membeli rokok. Dia kesal pada diri sendiri karena sudah kecanduan rokok dan tak bisa—lebih tepatnya tak mau—berhenti, sehingga pendapatannya yang sedikit itu habis juga untuk membeli rokok. Dari hari ke hari penghasilan Pak Sapto bukan membaik, tetapi malah menurun. Sudah tahu begitu, dia tetap tidak mau berhenti merokok. Dibelinya juga gulungan tembakau itu. Bahkan, dia rela tidak makan siang asal bisa merokok. Perutnya yang lapar dia ganjal dengan minum kopi. Dalam keputusasaan yang kian mendalam, Pak Sapto menghentikan motornya di sisi jalan raya. Sementara itu, waktu sudah bakda isya. Di dekat taman kota itu dia me
Sementara di sore itu pula Wati hanya bisa menyimak percakapan Pak Sapto dan Bu Erna dari ruang tengah. Dia duduk di tepi ranjang dengan hati sedih dan gelisah. Dia khawatir Pak Sapto dan Bu Erna bertengkar dengan suara keras, tetapi batinnya lumayan melega karena perdebatan kedua orang tuanya bisa teredam. Sebelumnya, dia sangat khawatir Bu Erna marah-marah dengan suara meledak, tetapi kekhawatiran itu tidak terjadi. Namun, dia tahu pasti hati Bu Erna terlukai dengan sikap Pak Sapto. Dia paham betul kalau ibunya sangat kecewa terhadap bapaknya yang ternyata telah berutang ke beberapa orang. Wati sebenarnya juga kecewa kepada Pak Sapto, tetapi dia mau mencoba mengerti posisi bapaknya itu. Dia yakin sekali Pak Sapto terpaksa berutang untuk memenuhi kebutuhan dia dan Bu Erna. Dia berpikir, mungkin Pak Sapto tidak punya cara lain untuk mendapatkan uang supaya dia dan Bu Erna tetap bisa makan selain mendapat tambahan uang dari berutang. Dia paham sekali pendapatan mengojek ja
Bu Erna tercenung tidak tenang selepas Bu Ika pulang. Dia sungguh syok mendapati cerita dari perempuan itu. Dia tahu betul bahwa Bu Ika tidak mungkin berbohong. Dia juga berupaya memahami posisi Bu Ika yang terpaksa mendatanginya. Kalau dia berada di posisi Bu Ika, barangkali dia tidak sesabar perempuan itu. Mungkin dia langsug memaki orang yang mengutang pada suaminya di tengah situasi sulit. Dia tidak tahan dengan keadaan busuk ini. Akhirnya dia terpaksa menyeka air mata yang membasahi pipi. Dia sungguh tidak menyangka kalau Pak Sapto sampai berani berutang sana-sini. Dia pikir selama ini uang yang diberikan oleh suaminya itu benar-benar hasil dari mengojek. Dia jadi berpikir ulang. Dia merasa bodoh telah memercayai sepenuhnya omongan Pak Sapto selama ini. Dia tidak tahu bagaimana kelakuan Pak Sapto di luar sana. Bisa jadi memang benar bahwa Pak Sapto jadi kebiasaan mengutang untuk sekadar mengopi dan merokok. Dia jadi kesal saat membayangkan pikiranya itu adalah kenyat
Semakin hari Pak Sapto kian merasa tertekan. Dia tidak bercerita pada Bu Erna kalau uang yang didapat ojek sebenarnya sedikit. Kebanyakan dia dapat dari mengutang sana-sini. Berhari-hari dia berusaha gali lubang tutup lubang menyoal utangnya itu. Namun, lubangnya kian dalam dan membesar, sementara tutupnya justru mengecil. Penghasilannya tidak bisa mencukupi kebutuhannya, terutama untuk anak dan istrinya.Akan tetapi, Pak Sapto terus berupaya terlihat baik-baik saja di depan Bu Erna dan Wati. Dia bersikap seolah tidak sedang mengalami masalah besar bernama utang. Sementara Bu Erna hanya tahu utang-utangnya di warung Bu Yuni bisa terus dibayar dari uang yang diberikan Pak Sapto. Bu Erna tidak tahu uang diberikan Pak Sapto adalah hasil dari utang suaminya itu kepada beberapa orang.Jam lima sore itu Pak Sapto pulang dan langsung duduk di lantai ruang depan. Dia sudah berusaha mencari pengguna ojek pangkalan, tetapi hasilnya tidak seperti harapan. Seharian cuma dapat dua orang yang mi
Jam lima pagi Pak Sapto sudah keluar mengojek. Dia hanya minum teh manis hangat buatan sendiri. Dia tidak mau meminta Bu Erna yang sedang mencuci pakaian di kamar mandi membuat sarapan untuknya. Pertama, memang tidak ada stok makanan. Hanya ada beras tinggal satu liter. Tidak ada nasi sisa semalam. Tidak ada bumbu penyedap. Tidak ada cabai, bawang, dan bumbu dapur lainnya. Kedua, dia tidak mau membuat Bu Erna marah lagi dengan hanya meminta dibuatkan minuman hangat. Daripada pagi yang masih lumayan dingin ini menjadi panas, dia memilih pergi bahkan tanpa pamitan. Semalam juga dia tidur di lantai ruang depan. Dibiarkannya Wati dan Bu Erna tidur di kasur di ruang tengah.Dia sengaja berusaha keluar rumah sepagi mungkin untuk mendapatkan penumpang yang mau berangkat kerja. Meski dia tahu dan sudah merasakan persaingan yang berat melawan ojek daring, tetap saja mau tak mau keadaan itu terus dilalui. Dia tidak dapat berpikir hal lain selain mengojek. Dia tidak punya keahlian lain. Mungki