Bima tadi hanya fokus mengunci pintu depan rumah, padahal Bu Ikah juga menyuruhnya mengunci pagar depan. Saking takutnya, Bima sampai melupakan pagar tersebut. Itu pulalah yang membuat Bima dengan leluasa bisa melihat Irma mengendarai motor membonceng Pak Jaki.Zombi laki-laki berjalan gontai memasuki halaman depan rumah Bu Ikah yang pagarnya tidak ditutup rapat. Cuping hidungnya kembang kempir karena mencium napas kehidupan di dalam rumah. Dia terus melangkah ke sisi rumah dengan telinga menangkap suara perdebatan Bima dan Suci. Hawa kehidupan dari dalam rumah semakin tercium dan mengarahkannya melangkah ke belakang. Setibanya di depan pintu belakang yang tertutup, dia menggeram dengan kedua tangan menyentuh gagang pintu. Sambil berupaya membukanya, dia pula menabrakkan diri pada daun pintu sampai terkuak dengan keras.Mayat hidup ini mukanya pucat membiru. Matanya merah nyalang. Mulutnya menteskan air liur yang berbau. Kedua lengannya yang terluka dan berdarah terus mengulur ke d
Suci dan Bu Ikah sudah menyiapkan pakaian di dalam tas punggung milik Suci. Sementara Bima memasukkan beberapa botol dan buah dari dalam kulkas ke tas lainnya. Suci dan Bu Ikah memilah pakaian seadanya saja, sedangkan Bima tidak menyiapkan pakaian apa pun karena kamarnya menjadi kerangkeng untuk zombi laki-laki yang kini masih menggedor pintu dari dalam ruangan itu. “Kamu udah kunci pintu belakangnya?” Bu Ikah menghampiri Bima yang berada di ruang belakang. “Kita keluar dari pintu belakang aja, Bu, jadi enggak usah dikunci segala,” sahut Bima sembari merapatkan ritsleting tas. “Ya udah kalo gitu.” Suci keluar dari kamarnya memakai tas punggung. “Aku udah siap,” katanya kemudian. “Kita mau mengungsi ke mana?” Bu Ikah menatap Bima dan Suci dengan ekspresi penuh tanya. Suci menelan ludah dengan gelisah karena dia tidak tahu mau ke mana. Dia lantas menoleh ke Bima. “Kita mau ke mana, Bim?” tanyanya kemudian menyerahkan urusan mengungsi kepada adiknya itu. Bima bingung. Sejak awal di
“Ayo, tahan!” teriak suci dengan muka berkeringat. Dia terus menahan pintu agar tidak didobrak oleh tiga zombi di halaman belakang.Bu Ikah meringis ngeri dan waswas sambil mengerahkan seluruh tenaga supaya ketiga zombi tidak dapat masuk ke ruangan.Sementara itu, Bima masih menahan pintu menggunakan punggungnya. Kedua kakinya dipijakkan lebih keras ke lantai agar bisa bertahan lebih lama dalam upaya menghalau serangan para zombi. Dia juga tetap memperhatikan ruangan belakang untuk mencari sesuatu yang bisa menahan pintu.Dobrakan pintu kian keras. Zombi-zombi itu memang tak kenal lelah.Suci, Bu Ikah, dan Bima agak goyah karena terjangan ketiga zombi itu. Kedua tangan dan punggung mereka sempat terlepas sebentar dari daun pintu. Lantas ketiganya dengan sigap kembali menahan dobrakan. Napas ketiganya ngos-ngosan. Jantung mereka berdebar kian cepat. Keringat dingin membasahi tubuh mereka karena dihajar kegentaran dan bayang-bayang kematian.“Tahan pintunya lebih kuat, saya mau ng
Bima, Suci, dan Bu Ikah setidaknya melihat dua rumah terbakar. Beberapa rumah rusak, terutama pagar depan, pintu, dan kaca jendela. Ketiganya terbayang-bayang jika para penghuni rumah itu telah diserang zombi. Membayangkannya saja sudah membuat bulu kuduk berdiri. Namun, ada pula rumah-rumah yang pagarnya terkunci dan tergembok rapat. Mendapati itu ketiganya berharap para penghuninya tetap selamat dan tetap bersembunyi di dalam rumah adalah pilihan terbaik mereka.Ada beberapa ceceran darah di aspal. Ada pula bercak darah di bodi mobil yang terparkir di sisi gang. Teriakan minta tolong dan kesakitan terdengar di kejauhan. Suara itu seakan memukul keberanian sekaligus menjadi alarm, bahwa keadaan permukiman memang sudah sangat tidak aman. Bima tidak perlu lagi mengatakan kalau pilihannya adalah benar. Dia yakin kali ini Suci dan Bu Ikah makin paham kenapa mereka harus segera mengungsi setelah melihat kondisi permukiman.Bima berbelok ke kiri, di mana dia mendapati kepala manusia yan
Waktu tepat jam satu dini hari. Beberapa menit lalu Verdi menyuruh Bu Ikah dan Suci untuk beristirahat di tempat tidur. Dia tak sampai hati jika dua perempuan itu harus berbaring di lantai. Sebagai lelaki, dia beranggapan bahwa dirinya dan Bima harus mengalah kepada Suci dan Bu Ikah. Lagi pula, tadi Bima mengajaknya untuk bergantian berjaga. Mereka sepakat harus waspada kalau-kalau ada zombi yang berhasil masuk ke rumah. Kini dia dan Bima duduk di lantai bersandar pada tembok dekat jendela yang menghadap ke balkon. Suci dan Bu Ikah langsung terlelap saking capeknya. Keduanya tidak malu-malu lagi ketika Verdi menawarkan tempat tidur untuk rehat. Keduanya memang sudah tidak kuat lagi terjaga. Awalnya memang sulit untuk memejamkan mata mengingat keadaan yang berbahaya. Namun, tubuh keduanya tidak bisa berbohong, bahwa lebih menginginkan beristirahat. “Bang, makasih ya udah nolongin kami dan ngizinin kakak dan ibuku tidur di kasur,” kata Bima membuka obrolan. “Sama-sama, Bim,” sahut Ver
Candra menggaruk kening dan pipi kirinya. Sebenarnya bukan hanya gatal, tapi juga agak panas. Namun, saat ini memang yang paling mengganggu kenyamanan wajahnya itu gatal. Maka dia kembali menggaruk untuk menghilangkan sensasi yang semakin tidak menentramkannya itu. Di sebelahnya, ada Siti yang menyandarkan kepala di bahunya. Dia membiarkan Siti istirahat. Bagaimanapun dia dan semua orang di dalam mobil harus bisa memanfaatkan waktu sejenak untuk terlelap, kecuali Pak Rudi yang mengemudi.Waktu menujukkan jam satu dini hari lewat beberapa menit. Saat ini Candra bersama Pak Rudi, Lena, Mak Ijun, Hani, dan Siti baru saja melewati Pangkalan Dua. Beberapa waktu lalu mereka bisa bernapas lega setelah melewati Pasar Bantar Gebang. Mobil terus melaju bersama kendaraan lain menuju arah yang sama. Semua orang yakin satu sama lain tengah mengungsi menuju Cileungsi, Kabupaten Bogor. Kebersamaan dalam mobil masing-masing itu menciptakan rasa aman, kendati mereka sadar harus tetap waspada.Beber
Malam semakin menua dengan situasi yang kian berbahaya. Jantung mereka berdebar-debar karena kekhawatiran yang seolah tak berujung. Bukan hanya bayangan zombi-zombi yang akan menyerang membuat nyali ciut, tetapi juga masyarakat yang bersiaga dan tak segan untuk marah bahkan melukai. Sementara itu, di dalam mobil semua orang memperhatikan setiap gang permukiman yang dijaga ketat oleh warga setempat. Mereka mendapati wajah-wajah tegang dan sikap siaga yang siap mengadang.“Gila! Semua gang dijaga sama warga,” kata Candra. Sementara Siti di sebelahnya hanya ikut melihat sekitar tanpa berkomentar.“Pokoknya, kita harus cepat ke Pangkalan Dua,” sahut Pak Rudi.“Bensinnya masih cukup ‘kan, Yah?”Pak Rudi tidak langsung menjawab pertanyaa Lena. Dia sekilas melihat jarum petunjuk isi bensin. “Masih cukup kok sampai kita ke Jonggol. Untung aja kemarin Ayah ngisi bensin penuh,” jelasnya kemudian yang terus berkonsentrasi mengemudi. Dia menambah kecepatan mobil. Dari spion kanan dia mendapa
Mobil losbak yang dikendarai Pak Idrus terus melaju menuju Pasar Bantar Gebang. Di sebelahnya ada Bu Fani dan Dini yang masih tampak tegang. Sementara Pak RT, Irma, dan Pak Jaki duduk di bak belakang bersandar pada bodi kabin depan. Sementara itu, waktu terus berlalu meninggalkan pukul satu dini hari. Beberapa mobil menuju arah yang sama untuk mengungsi. Pak RT menengadah, didapatinya langit mendung yang membuatnya kian khawatir. Kalau sampai hujan, bisa-bisa harus meneduh dan menunda perjalanan. Kalau tidak, dia, Irma, dan Pak Jaki harus basah kuyup, dan itu menambah masalah lagi.“Kamu tidur aja,” kata Pak Idrus kepada Bu Fani. Dia ingin istrinya itu rehat barang sejenak. Dia yakin sekali kali ini malam akan terasa sangat panjang dan melelahkan.“Gimana saya bisa tidur kalo keadaannya kayak gini?” Bu Fani menatap Pak Idrus yang terus memandang kaca depan mobil.Pak Idrus sangat mengerti yang dikatakan Bu Fani. “Iya, saya paham, tapi kamu harus memanfaatkan waktu sebaik mungkin u