Beranda / Thriller / Mayat-Mayat Hidup / 55 - Meninggalkan Permukiman

Share

55 - Meninggalkan Permukiman

Penulis: Ari Keling
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56
Pak Jaki dan Irma mencari kunci motor di seisi kamar Pak Idrus. Keduanya membuka lemari dan laci-laci. Namun, keduanya tidak menemukan kunci tersebut. Pak Jaki berteriak kesal dan putus asa, sementara Irma berupaya menenangkannya. Irma tidak mau kemarahan akan keadaan mengacaukan rencana menyelamatkan diri. Irma dan Pak Jaki harus tenang kendati keadaan makin mencekam.

“Kita harus tenang, Pak,” cetus Irma sambil mendekati Pak Jaki. Dia mengusap punggung Pak Jaki agar bapaknya itu bisa meredakan emosi. “Ayo, kita cari lagi, jangan putuas asa. Kita harus bergerak cepat sebelum para zombi menyadari kehadiran kita di sini.” Dia menatap lekat-lekat Pak Jaki yang tampak gelisah.

Irma lantas mengacak-acak tempat tidur. Dia mengangkat bantal dan guling, serta melepaskan seprei. Sementara Pak Jaki memeriksa tumpukan baju dan melemparkan pakian-pakaian ke sembarang arah. Namun, keduanya tidak juga mendapati kunci motor itu.

“Kalo begini terus, lama-lama kita bisa mati,” kata Pak Jaki.

“Janga
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Mayat-Mayat Hidup   56 - Bertahan di Kediaman

    Irma mengendarai motor dengan kecepatan sedang karena situasinya sudah lebih aman. Dia dan Pak Jaki tidak lagi mendapati zombi. Kendati begitu, keduanya tetap waspada. Irma memperhatikan depan dengan saksama, sementara Pak Jaki melihat ke kanan kiri. Di jalan raya yang mengarah ke Bantar gebang itu keduanya melihat banyak mobil dan motor bergerak ke arah yang sama. Keduanya yakin, orang-orang di mobil dan motor itu juga hendak mengungsi.Beberapa saat kemudian Irma menurunkan kecepatan motor. Dia mendapati mobil Pak Idrus yang berada di sisi jalan raya. Dia menghentikan motor tepat di belakang mobil losbak itu. Dia dan Pak Jaki segera mengambil tas dan bergegas menaiki bak terbuka dibantu oleh Pak RT.“Syukurlah kalian selamat,” kata Pak RT dengan air muka lega.Bu Fani dan Dini tetap duduk di kabin depan. Keduanya enggan keluar karena takut. Sedangkan Pak Idrus keluar untuk sekadar melihat Pak Jaki dan Irma. Dia juga sempat melihat motornya dengan sedih karena harus ditinggalkan.

  • Mayat-Mayat Hidup   57 - Perubahan Rencana

    Bima tadi hanya fokus mengunci pintu depan rumah, padahal Bu Ikah juga menyuruhnya mengunci pagar depan. Saking takutnya, Bima sampai melupakan pagar tersebut. Itu pulalah yang membuat Bima dengan leluasa bisa melihat Irma mengendarai motor membonceng Pak Jaki.Zombi laki-laki berjalan gontai memasuki halaman depan rumah Bu Ikah yang pagarnya tidak ditutup rapat. Cuping hidungnya kembang kempir karena mencium napas kehidupan di dalam rumah. Dia terus melangkah ke sisi rumah dengan telinga menangkap suara perdebatan Bima dan Suci. Hawa kehidupan dari dalam rumah semakin tercium dan mengarahkannya melangkah ke belakang. Setibanya di depan pintu belakang yang tertutup, dia menggeram dengan kedua tangan menyentuh gagang pintu. Sambil berupaya membukanya, dia pula menabrakkan diri pada daun pintu sampai terkuak dengan keras.Mayat hidup ini mukanya pucat membiru. Matanya merah nyalang. Mulutnya menteskan air liur yang berbau. Kedua lengannya yang terluka dan berdarah terus mengulur ke d

  • Mayat-Mayat Hidup   58 - Semakin Terjebak

    Suci dan Bu Ikah sudah menyiapkan pakaian di dalam tas punggung milik Suci. Sementara Bima memasukkan beberapa botol dan buah dari dalam kulkas ke tas lainnya. Suci dan Bu Ikah memilah pakaian seadanya saja, sedangkan Bima tidak menyiapkan pakaian apa pun karena kamarnya menjadi kerangkeng untuk zombi laki-laki yang kini masih menggedor pintu dari dalam ruangan itu. “Kamu udah kunci pintu belakangnya?” Bu Ikah menghampiri Bima yang berada di ruang belakang. “Kita keluar dari pintu belakang aja, Bu, jadi enggak usah dikunci segala,” sahut Bima sembari merapatkan ritsleting tas. “Ya udah kalo gitu.” Suci keluar dari kamarnya memakai tas punggung. “Aku udah siap,” katanya kemudian. “Kita mau mengungsi ke mana?” Bu Ikah menatap Bima dan Suci dengan ekspresi penuh tanya. Suci menelan ludah dengan gelisah karena dia tidak tahu mau ke mana. Dia lantas menoleh ke Bima. “Kita mau ke mana, Bim?” tanyanya kemudian menyerahkan urusan mengungsi kepada adiknya itu. Bima bingung. Sejak awal di

  • Mayat-Mayat Hidup   59 - Saling Melindungi

    “Ayo, tahan!” teriak suci dengan muka berkeringat. Dia terus menahan pintu agar tidak didobrak oleh tiga zombi di halaman belakang.Bu Ikah meringis ngeri dan waswas sambil mengerahkan seluruh tenaga supaya ketiga zombi tidak dapat masuk ke ruangan.Sementara itu, Bima masih menahan pintu menggunakan punggungnya. Kedua kakinya dipijakkan lebih keras ke lantai agar bisa bertahan lebih lama dalam upaya menghalau serangan para zombi. Dia juga tetap memperhatikan ruangan belakang untuk mencari sesuatu yang bisa menahan pintu.Dobrakan pintu kian keras. Zombi-zombi itu memang tak kenal lelah.Suci, Bu Ikah, dan Bima agak goyah karena terjangan ketiga zombi itu. Kedua tangan dan punggung mereka sempat terlepas sebentar dari daun pintu. Lantas ketiganya dengan sigap kembali menahan dobrakan. Napas ketiganya ngos-ngosan. Jantung mereka berdebar kian cepat. Keringat dingin membasahi tubuh mereka karena dihajar kegentaran dan bayang-bayang kematian.“Tahan pintunya lebih kuat, saya mau ng

  • Mayat-Mayat Hidup   60 - Putar Arah

    Bima, Suci, dan Bu Ikah setidaknya melihat dua rumah terbakar. Beberapa rumah rusak, terutama pagar depan, pintu, dan kaca jendela. Ketiganya terbayang-bayang jika para penghuni rumah itu telah diserang zombi. Membayangkannya saja sudah membuat bulu kuduk berdiri. Namun, ada pula rumah-rumah yang pagarnya terkunci dan tergembok rapat. Mendapati itu ketiganya berharap para penghuninya tetap selamat dan tetap bersembunyi di dalam rumah adalah pilihan terbaik mereka.Ada beberapa ceceran darah di aspal. Ada pula bercak darah di bodi mobil yang terparkir di sisi gang. Teriakan minta tolong dan kesakitan terdengar di kejauhan. Suara itu seakan memukul keberanian sekaligus menjadi alarm, bahwa keadaan permukiman memang sudah sangat tidak aman. Bima tidak perlu lagi mengatakan kalau pilihannya adalah benar. Dia yakin kali ini Suci dan Bu Ikah makin paham kenapa mereka harus segera mengungsi setelah melihat kondisi permukiman.Bima berbelok ke kiri, di mana dia mendapati kepala manusia yan

  • Mayat-Mayat Hidup   61 - Zombi dan Api

    Waktu tepat jam satu dini hari. Beberapa menit lalu Verdi menyuruh Bu Ikah dan Suci untuk beristirahat di tempat tidur. Dia tak sampai hati jika dua perempuan itu harus berbaring di lantai. Sebagai lelaki, dia beranggapan bahwa dirinya dan Bima harus mengalah kepada Suci dan Bu Ikah. Lagi pula, tadi Bima mengajaknya untuk bergantian berjaga. Mereka sepakat harus waspada kalau-kalau ada zombi yang berhasil masuk ke rumah. Kini dia dan Bima duduk di lantai bersandar pada tembok dekat jendela yang menghadap ke balkon. Suci dan Bu Ikah langsung terlelap saking capeknya. Keduanya tidak malu-malu lagi ketika Verdi menawarkan tempat tidur untuk rehat. Keduanya memang sudah tidak kuat lagi terjaga. Awalnya memang sulit untuk memejamkan mata mengingat keadaan yang berbahaya. Namun, tubuh keduanya tidak bisa berbohong, bahwa lebih menginginkan beristirahat. “Bang, makasih ya udah nolongin kami dan ngizinin kakak dan ibuku tidur di kasur,” kata Bima membuka obrolan. “Sama-sama, Bim,” sahut Ver

  • Mayat-Mayat Hidup   62 - Menuju Perbatasan Kota

    Candra menggaruk kening dan pipi kirinya. Sebenarnya bukan hanya gatal, tapi juga agak panas. Namun, saat ini memang yang paling mengganggu kenyamanan wajahnya itu gatal. Maka dia kembali menggaruk untuk menghilangkan sensasi yang semakin tidak menentramkannya itu. Di sebelahnya, ada Siti yang menyandarkan kepala di bahunya. Dia membiarkan Siti istirahat. Bagaimanapun dia dan semua orang di dalam mobil harus bisa memanfaatkan waktu sejenak untuk terlelap, kecuali Pak Rudi yang mengemudi.Waktu menujukkan jam satu dini hari lewat beberapa menit. Saat ini Candra bersama Pak Rudi, Lena, Mak Ijun, Hani, dan Siti baru saja melewati Pangkalan Dua. Beberapa waktu lalu mereka bisa bernapas lega setelah melewati Pasar Bantar Gebang. Mobil terus melaju bersama kendaraan lain menuju arah yang sama. Semua orang yakin satu sama lain tengah mengungsi menuju Cileungsi, Kabupaten Bogor. Kebersamaan dalam mobil masing-masing itu menciptakan rasa aman, kendati mereka sadar harus tetap waspada.Beber

  • Mayat-Mayat Hidup   63 - Mencari Jalan Lain

    Malam semakin menua dengan situasi yang kian berbahaya. Jantung mereka berdebar-debar karena kekhawatiran yang seolah tak berujung. Bukan hanya bayangan zombi-zombi yang akan menyerang membuat nyali ciut, tetapi juga masyarakat yang bersiaga dan tak segan untuk marah bahkan melukai. Sementara itu, di dalam mobil semua orang memperhatikan setiap gang permukiman yang dijaga ketat oleh warga setempat. Mereka mendapati wajah-wajah tegang dan sikap siaga yang siap mengadang.“Gila! Semua gang dijaga sama warga,” kata Candra. Sementara Siti di sebelahnya hanya ikut melihat sekitar tanpa berkomentar.“Pokoknya, kita harus cepat ke Pangkalan Dua,” sahut Pak Rudi.“Bensinnya masih cukup ‘kan, Yah?”Pak Rudi tidak langsung menjawab pertanyaa Lena. Dia sekilas melihat jarum petunjuk isi bensin. “Masih cukup kok sampai kita ke Jonggol. Untung aja kemarin Ayah ngisi bensin penuh,” jelasnya kemudian yang terus berkonsentrasi mengemudi. Dia menambah kecepatan mobil. Dari spion kanan dia mendapa

Bab terbaru

  • Mayat-Mayat Hidup   83 - Menghindari Kematian

    Zombi laki-laki dengan wajah penuh darah mendelik tajam ke ujung koridor. Dia berjalan tertatih-tatih dengan caping hidung kembang kempis. Dia mengendus bau seseorang yang berada beberapa meter darinya. Kedua tangannya terulur ke depan dengan sikap siap menerkam. Kendati langkahnya terhuyung, tetap saja dia tampak ganas dan mengancam.Setibanya di depan area suster, zombi ini mendapati seorang laki-laki yang baru saja memakan wafer. Seketika mata merahnya makin nyalang. Giginya bergemeletuk siap menerkam. Di ujung bibirnya air liur menetes bercampur darah. Dia menggeram siap menyerang, sehingga laki-laki itu terkejut dan menyadari kehadirannya. Dia mendapati ketakutan di wajah laki-laki itu. Dia bisa mencium kengerian yang terpancar dari sikap laki-laki tersebut. Dengan gerakan mendadak dia menyerang laki-laki itu sambil menggeram lebih keras.Kiman yang tak siap dengan serangan zombi itu menjadi syok dan tak bisa bergerak, sehingga dia diterjang zombi tersebut. Dia terjatuh ke bel

  • Mayat-Mayat Hidup   82 - Senyap Mencekam

    Pak Sapto mengusap wajah sembari mengembuskan napas panjang. Entah bagaimana sedari tadi dia memercayai Gugun sebagai teman curhat. Dia menceritakan semua keresahan hati atas masalah yang dihadapi dalam rumah tangganya. Meski menyisakan kekesalan dan kesedihan, tetapi kali ini dia merasa cukup lega, seolah-olah baru saja memuntahkan segala beban yang sudah lama tersimpan.Sementara Gugun tidak menyangka baru saja mendengar kisah Pak Sapto yang akhirnya bercerai dengan Bu Erna. Niatnya yang sekadar menemai waktu jaga Pak Sapto, malah mendapat cerita yang membuatnya semakin berhitung soal pernikahan. Diam-diam dia jadi khawatir unruk berumah tangga. Saat berpikir begitu, dia tersadar akan dua hal. Pertama, dia tidak punya pacar. Kedua, situasinya masih sangat berbahaya dan dia tidak tahu apakah bisa selamat, lalu bertemu perempuan yang dicintai sampai menikah. Dia merasa telah berpikir terlalu jauh akan hal itu. Kini dia menyadarkan diri sendiri untuk fokus pada keselamatan terlebih d

  • Mayat-Mayat Hidup   81 - Tamat

    Penciumannya mendapati harum masakan. Otaknya lantas memerintahkan matanya terbuka perlahan. Dengan heran Pak Sapto terjaga dari tidurnya. Dia yang telentang di lantai ruang depan bergerak perlahan untuk duduk. Dia melihat Wati tersenyum padanya. Anaknya itu duduk dengan wajah segar sehabis mandi. Dia masih bingung telah tersaji nasi hangat, cah kangkung, telor ceplok diberi bumbu cabai, serta ikan bandeng goreng. Semua makanan itu jelas masih hangat dan menggugah selera. Dia menelan ludah karena perutnya mendadak minta diisi.Bu Erna datang dari ruang tengah sambil membawa seteko teh hangat. “Makan dulu,” katanya pada Pak Sapto dengan ramah. Dia duduk di sebelah Wati, lalu menuangkan teh hangat ke dalam gelas dan menaruhnya di dekat Pak Sapto.Pak Sapto tersenyum canggung. Dia meneguk teh hangat itu perlahan. Dia masih bingung dengan sikap Bu Erna yang mendadak baik. Dia jadi bertanya-tanya, apa yang membuat istrinya itu pulang, lalu bisa dan mau menyediakan makanan sebegini mewah

  • Mayat-Mayat Hidup   80 - Mengejutkan

    Sedari pagi Pak Sapto mengojek. Meski penghasilannya tetap sedikit, dia merasa lega. Pasalnya, nanti malam dia akan bertemu dengan pembeli motornya. Hari ini seperti menjadi hari perpisahan dengan motornya itu. Kendati lahir perasaan senang, tetapi dia juga sedih. Dia bahagia karena telah mendapat jalan keluar dari masalahnya. Dia sudah mendapatkan solusi terbaik meski risikonya harus merelakan motor yang sudah bertahun-tahun bersamanya.Dia sempat berpikir menemui Pak Hardi dan Mak Gaple untuk memberi tahu mereka bahwa akan membayar utangnya nanti malam. Namun, dia urung karena diserang perasaan malu. Dia pun memutuskan nanti saja setelah mendapat uang pembayaran motor, dia langsung menemui kedua orang itu dan melunasi utangnya. Meski tetap malu, tetapi membawa uang untuk melunasi semuanya tentu perasaannya jadi lebih lega. Uang akan membuatnya lebih percaya diri.Sudah seminggu ini pula dia tidak menghubungi Bu Erna dan Wati. Dia membiarkan istri dan anaknya itu tetap di rumah me

  • Mayat-Mayat Hidup   79 - Jalan Keluar

    Pak Sapto terus berusaha melunasi utang-utangnya, terutama terhadap Pak Hardi dan Mak Gaple. Dia masih enggan ke pangkalan ojek karena malu bertemu kedua orang itu. Dia merasa bersalah telah menghancurkan kepercayaan orang-orang baik itu. Namun, upayanya masih sulit. Penghasilannya mengojek cuma bisa buat makan dan beli bensin. Yang paling menyebalkan, dia masih saja membeli rokok. Dia kesal pada diri sendiri karena sudah kecanduan rokok dan tak bisa—lebih tepatnya tak mau—berhenti, sehingga pendapatannya yang sedikit itu habis juga untuk membeli rokok. Dari hari ke hari penghasilan Pak Sapto bukan membaik, tetapi malah menurun. Sudah tahu begitu, dia tetap tidak mau berhenti merokok. Dibelinya juga gulungan tembakau itu. Bahkan, dia rela tidak makan siang asal bisa merokok. Perutnya yang lapar dia ganjal dengan minum kopi. Dalam keputusasaan yang kian mendalam, Pak Sapto menghentikan motornya di sisi jalan raya. Sementara itu, waktu sudah bakda isya. Di dekat taman kota itu dia me

  • Mayat-Mayat Hidup   78 - Minggat

    Sementara di sore itu pula Wati hanya bisa menyimak percakapan Pak Sapto dan Bu Erna dari ruang tengah. Dia duduk di tepi ranjang dengan hati sedih dan gelisah. Dia khawatir Pak Sapto dan Bu Erna bertengkar dengan suara keras, tetapi batinnya lumayan melega karena perdebatan kedua orang tuanya bisa teredam. Sebelumnya, dia sangat khawatir Bu Erna marah-marah dengan suara meledak, tetapi kekhawatiran itu tidak terjadi. Namun, dia tahu pasti hati Bu Erna terlukai dengan sikap Pak Sapto. Dia paham betul kalau ibunya sangat kecewa terhadap bapaknya yang ternyata telah berutang ke beberapa orang. Wati sebenarnya juga kecewa kepada Pak Sapto, tetapi dia mau mencoba mengerti posisi bapaknya itu. Dia yakin sekali Pak Sapto terpaksa berutang untuk memenuhi kebutuhan dia dan Bu Erna. Dia berpikir, mungkin Pak Sapto tidak punya cara lain untuk mendapatkan uang supaya dia dan Bu Erna tetap bisa makan selain mendapat tambahan uang dari berutang. Dia paham sekali pendapatan mengojek ja

  • Mayat-Mayat Hidup   77 - Kejutan Lain

    Bu Erna tercenung tidak tenang selepas Bu Ika pulang. Dia sungguh syok mendapati cerita dari perempuan itu. Dia tahu betul bahwa Bu Ika tidak mungkin berbohong. Dia juga berupaya memahami posisi Bu Ika yang terpaksa mendatanginya. Kalau dia berada di posisi Bu Ika, barangkali dia tidak sesabar perempuan itu. Mungkin dia langsug memaki orang yang mengutang pada suaminya di tengah situasi sulit. Dia tidak tahan dengan keadaan busuk ini. Akhirnya dia terpaksa menyeka air mata yang membasahi pipi. Dia sungguh tidak menyangka kalau Pak Sapto sampai berani berutang sana-sini. Dia pikir selama ini uang yang diberikan oleh suaminya itu benar-benar hasil dari mengojek. Dia jadi berpikir ulang. Dia merasa bodoh telah memercayai sepenuhnya omongan Pak Sapto selama ini. Dia tidak tahu bagaimana kelakuan Pak Sapto di luar sana. Bisa jadi memang benar bahwa Pak Sapto jadi kebiasaan mengutang untuk sekadar mengopi dan merokok. Dia jadi kesal saat membayangkan pikiranya itu adalah kenyat

  • Mayat-Mayat Hidup   76 - Rahasia Terbongkar

    Semakin hari Pak Sapto kian merasa tertekan. Dia tidak bercerita pada Bu Erna kalau uang yang didapat ojek sebenarnya sedikit. Kebanyakan dia dapat dari mengutang sana-sini. Berhari-hari dia berusaha gali lubang tutup lubang menyoal utangnya itu. Namun, lubangnya kian dalam dan membesar, sementara tutupnya justru mengecil. Penghasilannya tidak bisa mencukupi kebutuhannya, terutama untuk anak dan istrinya.Akan tetapi, Pak Sapto terus berupaya terlihat baik-baik saja di depan Bu Erna dan Wati. Dia bersikap seolah tidak sedang mengalami masalah besar bernama utang. Sementara Bu Erna hanya tahu utang-utangnya di warung Bu Yuni bisa terus dibayar dari uang yang diberikan Pak Sapto. Bu Erna tidak tahu uang diberikan Pak Sapto adalah hasil dari utang suaminya itu kepada beberapa orang.Jam lima sore itu Pak Sapto pulang dan langsung duduk di lantai ruang depan. Dia sudah berusaha mencari pengguna ojek pangkalan, tetapi hasilnya tidak seperti harapan. Seharian cuma dapat dua orang yang mi

  • Mayat-Mayat Hidup   75 - Upaya Bertahan

    Jam lima pagi Pak Sapto sudah keluar mengojek. Dia hanya minum teh manis hangat buatan sendiri. Dia tidak mau meminta Bu Erna yang sedang mencuci pakaian di kamar mandi membuat sarapan untuknya. Pertama, memang tidak ada stok makanan. Hanya ada beras tinggal satu liter. Tidak ada nasi sisa semalam. Tidak ada bumbu penyedap. Tidak ada cabai, bawang, dan bumbu dapur lainnya. Kedua, dia tidak mau membuat Bu Erna marah lagi dengan hanya meminta dibuatkan minuman hangat. Daripada pagi yang masih lumayan dingin ini menjadi panas, dia memilih pergi bahkan tanpa pamitan. Semalam juga dia tidur di lantai ruang depan. Dibiarkannya Wati dan Bu Erna tidur di kasur di ruang tengah.Dia sengaja berusaha keluar rumah sepagi mungkin untuk mendapatkan penumpang yang mau berangkat kerja. Meski dia tahu dan sudah merasakan persaingan yang berat melawan ojek daring, tetap saja mau tak mau keadaan itu terus dilalui. Dia tidak dapat berpikir hal lain selain mengojek. Dia tidak punya keahlian lain. Mungki

DMCA.com Protection Status