Kiman menguap sembari membuyarkan kenangannya. Situasi yang makin sepi membuatnya bisa merasakan lelah. Tubuhnya sangat capek dan pegal-pegal. Lapar dan haus pun mendera. Dia menelan ludah yang sedikit. Kantuk menyerangnya. Dia memperhatikan pintu kaca, keadaan di luar tetap lengang. Dia bisa sejenak bernapas lega. Keadaan itu paling tidak menggambarkan ketiadaan zombi di dekatnya. Dia terus berharap para mayat hidup itu tidak akan menghampirinya ke kamar jenazah. Dia melihat jam dinding, waktu menunjukkan tepat jam dua belas malam. Kedua matanya memerah dan berair. Dia memijat tengkuknya yang pegal. Kantuk kian menguasainya. Dia menguap lagi sambil membekap mulutnya. Dia ingin tidur, tetapi ragu dan khawatir. Berkali-kali dia menegaskan diri, bahwa keadaan sudah lumayan tenang dan dia bisa beristirahat. Namun, ketakutan dalam batinnya tidak sepenuhnya bisa sirna. Dia bersandar pada tembok. Diselonjorkannya kedua kaki. Dia merentangkan kedua tangannya sambil kembali menguap. Pegal-pe
Pak Jaki dan Irma sudah mengemasi surat-surat berharaga dan beberapa pakaian dan perbekalan ke dalam dua tas punggung. Keduanya memang mau tak mau harus ke rumah Pak Idrus. Pasalnya, gang menuju ke jalan luar permukiman harus melewati rumah Pak Idrus. Kalau Pak Idrus yang menghampiri keduanya, itu riskan karena ujung gang adalah jalan buntu, sementara mereka harus bertindak cepat. Irma memakai tas punggung seraya menuju pintu depan. Sementara Pak Jaki memperhatikan seisi ruangan. Pak Jaki sebenarnya berat meninggalkan rumah. Banyak kenangan indah yang Pak Jaki lalui bersama anak-anak dan mendiang istrinya. Tak sanggup rasanya membayangkan rumah ini akan tidak berpenghuni. Tak sampai hati melihat rumah ini rusak sepeninggalnya. Sementara diam-diam Irma teringat pada mendiang ibu dan Kiman yang tidak diketahui kabarnya. Dia sedih harus pergi dari rumah, tempat di mana dia dibesarkan. Terlalu banyak kenangan berharga yang tidak akan bisa dilupakan. Dia mendapati Pak Jaki yang mengamati
Pak Jaki dan Irma mencari kunci motor di seisi kamar Pak Idrus. Keduanya membuka lemari dan laci-laci. Namun, keduanya tidak menemukan kunci tersebut. Pak Jaki berteriak kesal dan putus asa, sementara Irma berupaya menenangkannya. Irma tidak mau kemarahan akan keadaan mengacaukan rencana menyelamatkan diri. Irma dan Pak Jaki harus tenang kendati keadaan makin mencekam. “Kita harus tenang, Pak,” cetus Irma sambil mendekati Pak Jaki. Dia mengusap punggung Pak Jaki agar bapaknya itu bisa meredakan emosi. “Ayo, kita cari lagi, jangan putuas asa. Kita harus bergerak cepat sebelum para zombi menyadari kehadiran kita di sini.” Dia menatap lekat-lekat Pak Jaki yang tampak gelisah. Irma lantas mengacak-acak tempat tidur. Dia mengangkat bantal dan guling, serta melepaskan seprei. Sementara Pak Jaki memeriksa tumpukan baju dan melemparkan pakian-pakaian ke sembarang arah. Namun, keduanya tidak juga mendapati kunci motor itu. “Kalo begini terus, lama-lama kita bisa mati,” kata Pak Jaki. “Janga
Irma mengendarai motor dengan kecepatan sedang karena situasinya sudah lebih aman. Dia dan Pak Jaki tidak lagi mendapati zombi. Kendati begitu, keduanya tetap waspada. Irma memperhatikan depan dengan saksama, sementara Pak Jaki melihat ke kanan kiri. Di jalan raya yang mengarah ke Bantar gebang itu keduanya melihat banyak mobil dan motor bergerak ke arah yang sama. Keduanya yakin, orang-orang di mobil dan motor itu juga hendak mengungsi.Beberapa saat kemudian Irma menurunkan kecepatan motor. Dia mendapati mobil Pak Idrus yang berada di sisi jalan raya. Dia menghentikan motor tepat di belakang mobil losbak itu. Dia dan Pak Jaki segera mengambil tas dan bergegas menaiki bak terbuka dibantu oleh Pak RT.“Syukurlah kalian selamat,” kata Pak RT dengan air muka lega.Bu Fani dan Dini tetap duduk di kabin depan. Keduanya enggan keluar karena takut. Sedangkan Pak Idrus keluar untuk sekadar melihat Pak Jaki dan Irma. Dia juga sempat melihat motornya dengan sedih karena harus ditinggalkan.
Bima tadi hanya fokus mengunci pintu depan rumah, padahal Bu Ikah juga menyuruhnya mengunci pagar depan. Saking takutnya, Bima sampai melupakan pagar tersebut. Itu pulalah yang membuat Bima dengan leluasa bisa melihat Irma mengendarai motor membonceng Pak Jaki.Zombi laki-laki berjalan gontai memasuki halaman depan rumah Bu Ikah yang pagarnya tidak ditutup rapat. Cuping hidungnya kembang kempir karena mencium napas kehidupan di dalam rumah. Dia terus melangkah ke sisi rumah dengan telinga menangkap suara perdebatan Bima dan Suci. Hawa kehidupan dari dalam rumah semakin tercium dan mengarahkannya melangkah ke belakang. Setibanya di depan pintu belakang yang tertutup, dia menggeram dengan kedua tangan menyentuh gagang pintu. Sambil berupaya membukanya, dia pula menabrakkan diri pada daun pintu sampai terkuak dengan keras.Mayat hidup ini mukanya pucat membiru. Matanya merah nyalang. Mulutnya menteskan air liur yang berbau. Kedua lengannya yang terluka dan berdarah terus mengulur ke d
Suci dan Bu Ikah sudah menyiapkan pakaian di dalam tas punggung milik Suci. Sementara Bima memasukkan beberapa botol dan buah dari dalam kulkas ke tas lainnya. Suci dan Bu Ikah memilah pakaian seadanya saja, sedangkan Bima tidak menyiapkan pakaian apa pun karena kamarnya menjadi kerangkeng untuk zombi laki-laki yang kini masih menggedor pintu dari dalam ruangan itu. “Kamu udah kunci pintu belakangnya?” Bu Ikah menghampiri Bima yang berada di ruang belakang. “Kita keluar dari pintu belakang aja, Bu, jadi enggak usah dikunci segala,” sahut Bima sembari merapatkan ritsleting tas. “Ya udah kalo gitu.” Suci keluar dari kamarnya memakai tas punggung. “Aku udah siap,” katanya kemudian. “Kita mau mengungsi ke mana?” Bu Ikah menatap Bima dan Suci dengan ekspresi penuh tanya. Suci menelan ludah dengan gelisah karena dia tidak tahu mau ke mana. Dia lantas menoleh ke Bima. “Kita mau ke mana, Bim?” tanyanya kemudian menyerahkan urusan mengungsi kepada adiknya itu. Bima bingung. Sejak awal di
“Ayo, tahan!” teriak suci dengan muka berkeringat. Dia terus menahan pintu agar tidak didobrak oleh tiga zombi di halaman belakang.Bu Ikah meringis ngeri dan waswas sambil mengerahkan seluruh tenaga supaya ketiga zombi tidak dapat masuk ke ruangan.Sementara itu, Bima masih menahan pintu menggunakan punggungnya. Kedua kakinya dipijakkan lebih keras ke lantai agar bisa bertahan lebih lama dalam upaya menghalau serangan para zombi. Dia juga tetap memperhatikan ruangan belakang untuk mencari sesuatu yang bisa menahan pintu.Dobrakan pintu kian keras. Zombi-zombi itu memang tak kenal lelah.Suci, Bu Ikah, dan Bima agak goyah karena terjangan ketiga zombi itu. Kedua tangan dan punggung mereka sempat terlepas sebentar dari daun pintu. Lantas ketiganya dengan sigap kembali menahan dobrakan. Napas ketiganya ngos-ngosan. Jantung mereka berdebar kian cepat. Keringat dingin membasahi tubuh mereka karena dihajar kegentaran dan bayang-bayang kematian.“Tahan pintunya lebih kuat, saya mau ng
Bima, Suci, dan Bu Ikah setidaknya melihat dua rumah terbakar. Beberapa rumah rusak, terutama pagar depan, pintu, dan kaca jendela. Ketiganya terbayang-bayang jika para penghuni rumah itu telah diserang zombi. Membayangkannya saja sudah membuat bulu kuduk berdiri. Namun, ada pula rumah-rumah yang pagarnya terkunci dan tergembok rapat. Mendapati itu ketiganya berharap para penghuninya tetap selamat dan tetap bersembunyi di dalam rumah adalah pilihan terbaik mereka.Ada beberapa ceceran darah di aspal. Ada pula bercak darah di bodi mobil yang terparkir di sisi gang. Teriakan minta tolong dan kesakitan terdengar di kejauhan. Suara itu seakan memukul keberanian sekaligus menjadi alarm, bahwa keadaan permukiman memang sudah sangat tidak aman. Bima tidak perlu lagi mengatakan kalau pilihannya adalah benar. Dia yakin kali ini Suci dan Bu Ikah makin paham kenapa mereka harus segera mengungsi setelah melihat kondisi permukiman.Bima berbelok ke kiri, di mana dia mendapati kepala manusia yan