Kebakaran di rumah sebelah semakin besar dan apinya kian menjalar. Si jago merah itu mulai menjilat kamar Siti. Bau gosong yang menyesakkan makin tak keruan kendati Candra dan Siti masih mampu bertahan dalam keadaan itu. Sementara itu, Candra dan Siti juga mendapati zombi perempuan yang terus menabrakkan diri ke pagar besi depan berupaya masuk ke halaman. Keduanya makin terjebak. “Can, kita harus gimana?” Siti menatap Candra dengan sorot mata panik. Ketakutan tergambar jelas di wajahnya. “Kita harus keluar dari sini,” jawab Candra yang sebenarnya belum yakin dengan perkataannya itu. “Tapi di luar ada zombi,” cetus Siti dengan nada khawatir. “Iya, aku tahu, tapi rumah ini mulai terbakar, Sit. Kita gak mungkin bertahan terus di sini.” “Tapi kalo keluar sekarang masih bahaya, Can.” “Aku tahu,” sahut Candra cepat. “Kita harus memilih, tetap bertahan atau keluar, dan menurutku pilihan paling baik adalah keluar. Kita harus melawan zombi itu karena kita gak mungkin memadamkan api di seb
Hani yang berada di ruang depan mengakhiri pembicaraannya dengan Candra. Dia kembali mendekati Mak Ijun yang berada di ruang tengah. Dia tahu Mak Ijun masih syok setelah melihat Bu Retno mati diserang para zombi. Dia pun sebenarnya tetap tegang, tetapi berupaya besikap tenang. Dia sadar harus bisa menggantikan peran Candra yang membuat nyaman dengan keberadaannya. Setidaknya dia mau Mak Ijun merasa bahwa dia tetap berada dekat dan selalu menjaga emaknya itu. “Kenapa dia belum balik lagi?” Mak Ijun bertanya dengan paras begitu khawatir. “Bang Candra bilang akan segera pulang,” sahut Hani. “Emak tenang aja. Dia sama Kak Siti baik-baik aja, kok,” lanjutnya berusaha menenangkan Mak Ijun yang terlihat makin waswas. “Tapi kenapa lama banget?” “Tunggu aja, Mak. Barusan ‘kan saya udah nelepon Bang Candra. Sabar, ya.” Hani duduk di sebelah Mak Ijun. Dia mendaratkan bokong di tikar dan bersandar pada tembok. “Udah mau jam sebelas, dan kayaknya makin malam keadaan malah makin bahaya.” Mak Ij
Candra dan Siti kembali berdiri setelah jatuh dari motor. Keduanya kaget sekali telah menabrak zombi laki-laki yang kini kembali mengadang mereka. Siti mundur satu langkah lantaran takut. Sementara Candra bergeming sambil mengumpulkan keberanian. Sedangkan zombi laki-laki itu menggeram dengan mata nyalang dan siap menyerang.“Jangan bergerak spontan. Jangan lari. Aku khawatir dia langsung mengejar kamu,” kata Candra mengingatkan Siti.“Iya.” Siti mengangguk pelan. “Tapi, Can, kalo kita diam terus kayak gini dia juga pasti menyerang kita,” tandasnya yang makin khawatir.Candra menelan ludah. Apa yang dikatakan Siti ada benarnya. Dia sepakat dengan itu. Lantas kedua matanya bergerak liar mencari sesuatu untuk dijadikan senjata. Dia hanya mendapati beberapa batu kecil di sisi kiri jalan. “Kamu lihat kayu atau apa pun yang bisa kita jadikan senjata, gak?” tanyanya tanpa menoleh ke belakang.Siti tidak menjawab. Dia memperhatikan sekeliling. Dia melihat bebatuan kecil di pinggir jalan
Hani dan Mak Ijun menunggu Candra dan Siti dengan cemas. Hani kembali menelepon Candra, tetapi tetap tidak diangkat. Dia dan Mak Ijun makin khawatir karena tidak tahu kabar terkini Candra dan Siti.“Gimana, sih, abangmu malah gak bisa dihubungin?” Mak Ijun kesal pada keadaan. Dia menatap Hani yang mondar-mandir di ruang depan. Dia mendekati anak gadisnya seraya menyibakkan gorden, berharap mendapati Candra dan Siti di depan rumah.“Bukan gak bisa dihubungin, Mak, tapi enggak diangkat sama dia,” jelas Hani.“Perasaan Emak jadi gak enak, Han.” Mak Ijun mengelus dada. Tak sampai hati rasanya jika Candra telah tiada, terlebih dibunuh para zombi. Tidak sanggup dia membayangkan hidup tanpa anak lelakinya. Baginya, Candra adalah tiang penopang keluarga, sementara Hani adalah atapnya. Kacau sekali hidupnya jika tidak ada Candra. Segalanya runtuh seketika.Hani tidak menyahut. Dia pun merasakan hal yang sama. Sedari tadi dia juga berpikir yang tidak-tidak terkait keselamatan Candra dan Si
Kiman masih duduk di lantai memeluk lutut. Dia berupaya menenangkan diri setelah kehilangan Suster Indri. Sendirian di dalam kamar jenazah benar-benar membuatnya tak lagi takut akan mayat. Pasalnya, justru di luar ruangan itu yang makin tidak aman. Dalam telinganya terus terngiang-ngiang teriak Suster Indri saat kesakitan diserang para zombi. Sementara dalam kepalanya membayang bagaimana wajah Suster Indri saat menyuruhnya menyelamatkan diri.Dengan gelisah Kiman mengusap wajah. Dia mendesah lelah karena masih dikuasai resah. Ketenangan hati sepertinya sudah jauh pergi. Ketentraman jiwa pun barangkali telah mati. Dia benar-benar tidak pecaya tengah mengalami hal buruk. Dia kembali berharap bahwa seluruh kejadian adalah mimpi. Dia ingin terbangun di atas kasur, atau tak mengapa jika terjaga di dalam tenda. Dia kembali teringat pada pendakian petaka itu. Bencana iu berawal dari hilangnya Anja.Dia menegakkan kepala sambil mengembuskan napas panjang. Dilihatnya jam dinding, waktu menu
Bu Risa sudah dinyatakan sehat. Kendati wajahnya masih pucat dan tubuhnya lemas, tetapi dia sudah diizinkan pulang. Namun, dia masih diminta kontrol barang satu atau dua kali untuk mengecek kondisinya pasca dirawat inap. Dia senang sekali ketika sampai di rumah. Dia bisa menghidu aroma kediamannya, di mana dia lebih banyak menghabiskan hidup dalam nauangan rumah yang tidak megah, tetapi sarat akan kenyamanan tak terhingga. Apalagi, di kediaman itu pula segalanya terekam, dari dia yang baru menikah dengan Pak Jaki, memiliki anak pertama perempuan, bergembira mempunyai pelengkap anak laki-laki, sampai menyaksikan pertumbuhan kedua anaknya itu. Hal tersebut tidak bisa digantikan dengan apa pun. Itu adalah kebahagian tertinggi, menjadi seorang istri sekaligus ibu. Selain itu, dia bisa duduk di teras depan sambil menjemur diri dalam siraman sinar matahari pagi. Dia bisa menghela udara yang kadang segar, kadang pula tidak segar. Segala apa yang dia alami di rumah adalah kehidupan yang patu
Pasca Bu Risa berpulang rumah menjadi sepi dan seolah tak bernyawa. Kebahagiaan dalam keluarga mendadak sirna. Kiman, Irma, dan Pak Jaki lebih banyak berdiam sendirian, baik di kamar masing-masing maupun di area rumah. Kendati mereka sudah sepakat untuk terus saling menyayangi, tetap saja kehilangan Bu Risa mengubah segalanya.Pak Jaki memandang foto keluarga di ruang tengah pada sore hari. Dia tersenyum tipis mengingat kenangan saat potret itu diambil. Kini keluarganya tak lagi utuh. Biasanya di waktu seperti ini dia dan Bu Risa menonton televisi sambil menunggu kedatangan Irma yang pulang bekerja. Namun, saat-saat seperti itu tidak ada lagi. Dia sendirian di kediamannya yang kian hari terasa sunyi.Pak Jaki merasa masih kurang diberi waktu bersama Bu Risa. Dia paham betul bahwa manusia tidak akan pernah merasa cukup. Dia ingin terus selamanya di dekat Bu Risa, tetapi takdir berkata lain. Di dunia ini dia harus sendiri menghabiskan waktunya yang tersisa. Dia harus berjuang sendiri
Kiman menguap sembari membuyarkan kenangannya. Situasi yang makin sepi membuatnya bisa merasakan lelah. Tubuhnya sangat capek dan pegal-pegal. Lapar dan haus pun mendera. Dia menelan ludah yang sedikit. Kantuk menyerangnya. Dia memperhatikan pintu kaca, keadaan di luar tetap lengang. Dia bisa sejenak bernapas lega. Keadaan itu paling tidak menggambarkan ketiadaan zombi di dekatnya. Dia terus berharap para mayat hidup itu tidak akan menghampirinya ke kamar jenazah. Dia melihat jam dinding, waktu menunjukkan tepat jam dua belas malam. Kedua matanya memerah dan berair. Dia memijat tengkuknya yang pegal. Kantuk kian menguasainya. Dia menguap lagi sambil membekap mulutnya. Dia ingin tidur, tetapi ragu dan khawatir. Berkali-kali dia menegaskan diri, bahwa keadaan sudah lumayan tenang dan dia bisa beristirahat. Namun, ketakutan dalam batinnya tidak sepenuhnya bisa sirna. Dia bersandar pada tembok. Diselonjorkannya kedua kaki. Dia merentangkan kedua tangannya sambil kembali menguap. Pegal-pe