Home / Thriller / Mayat-Mayat Hidup / 43 - Terpisah

Share

43 - Terpisah

Author: Ari Keling
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Hani dan Mak Ijun menunggu Candra dan Siti di ruang tengah. Keduanya semakin mempersiapkan diri untuk mengungsi. Mak Ijun tadi sempat mengamati rumah-rumah sekitar yang tampak sepi. Para tetangganya itu lebih memilih bertahan di kediaman masing-masing sesuai arahan Wali Kota yang disampaikan oleh Ketua RT. Hani juga sempat bertanya pada beberapa tetangga yang seumuran dengannya. Teman-teman Hani lebih memilih bersembunyi di rumah menuruti orang tua mereka.

Jam setengah sepuluh malam ponsel Hani berdering. Dia beringsut dari duduknya menuju kamar. Dia ingat betul menaruh ponsel itu di atas bantal. Setibanya di ruangan pribadinya, dia langsung meraih telepon selulernya itu dengan waswas. Pasalnya, Candra menelepon. Dia khawatir terjadi hal buruk pada Candra dan Siti.

“Halo, Bang,” sapa Hani setelah mengangkat panggilan telepon itu.

“Han, cepat kunci pagar depan dan pintu,” sahut Candra dengan nada panik.

“Kenapa, Bang?” Hani bingung.

“Tutup rapat dan kunci juga semua jendela,” per
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Mayat-Mayat Hidup   44 - Semakin Terjebak

    Ledakan dari arah kanan kembali terdengar lebih keras. Suara itu membuat Candra dan Siti terkejut lagi. Sementara dua zombi laki-laki dari depan pagar besi kediaman Siti berlari menuju sumber suara. Meski begitu, Candra dan Siti tidak bisa bernapas lega. Pasalnya, suara keras itu justru gambaran dari keadaan yang makin berbahaya. “Itu suara apa, Can? Apa bom yang dilempar para Patriot untuk membunuh para zombi?” Siti menatap Candra dengan sorot mata takut. “Mungkin itu ledakan gas,” terka Candra. “Suaranya seperti di rumah sebelah.” Candra mengangguk pelan. “Itu rumah Bu Lesti dan Pak Andri,” ujar Siti yang membayangkan wajah kedua tetangganya itu. Dia jadi mengkhawatirkan kedua orang tua itu. “Apa mereka baik-baik aja? Mereka mengungsi atau bertahan di rumah, ya?” katanya yang terdengar bertanya pada dirinya sendiri. “Aku berharap mereka sudah mengungsi. Kalo enggak, mereka pasti sedang diserang para zombi,” tandas Candra. Dia berkata seperti itu karena teringat dua zombi laki-

  • Mayat-Mayat Hidup   45 - Rencana Mengungsi

    Malam makin mencekam. Suara ledakan di kejauhan, teriakan kesakitan dan minta tolong, serta berita di televisi yang mengabarkan penyebaran para zombi kian tak terkendali membuat segalanya mengerikan. Sementara Patriot kembali dibentuk dengan jumlah yang lebih banyak dan menyebar ke titik-titik penguasaan para zombi.Mak Ijun, Hani, dan para tetangganya yang bertahan di dalam rumah masing-masing saling berkabar. Mereka jadi berdiskusi bagaimana harus terus bersembunyi di dalam rumah dengan persediaan yang seadanya. Mereka juga membuka obrolan untuk opsi mengungsi, meski mereka tak tahu apakah bisa menemukan tempat yang aman.“Kamu gak masuk di WA grup RT, ya?” tanya Mak Ijun setelah Hani bercakap-cakap dengan Lena, salah satu tetangganya melalui panggilan telepon WhatsApp.“Yang gabung ke grup RT cuma Bang Candra, Bu,” jawab Hani, “jadi saya gak tahu apa yang didiskusiin sama orang-orang.”“Terus tadi kamu ngobrol sama siapa?”“Sama si Lena.”“Lena anaknya Pak Rudi?” tanya Mak Ij

  • Mayat-Mayat Hidup   46 - Berupaya Melawan

    Kebakaran di rumah sebelah semakin besar dan apinya kian menjalar. Si jago merah itu mulai menjilat kamar Siti. Bau gosong yang menyesakkan makin tak keruan kendati Candra dan Siti masih mampu bertahan dalam keadaan itu. Sementara itu, Candra dan Siti juga mendapati zombi perempuan yang terus menabrakkan diri ke pagar besi depan berupaya masuk ke halaman. Keduanya makin terjebak. “Can, kita harus gimana?” Siti menatap Candra dengan sorot mata panik. Ketakutan tergambar jelas di wajahnya. “Kita harus keluar dari sini,” jawab Candra yang sebenarnya belum yakin dengan perkataannya itu. “Tapi di luar ada zombi,” cetus Siti dengan nada khawatir. “Iya, aku tahu, tapi rumah ini mulai terbakar, Sit. Kita gak mungkin bertahan terus di sini.” “Tapi kalo keluar sekarang masih bahaya, Can.” “Aku tahu,” sahut Candra cepat. “Kita harus memilih, tetap bertahan atau keluar, dan menurutku pilihan paling baik adalah keluar. Kita harus melawan zombi itu karena kita gak mungkin memadamkan api di seb

  • Mayat-Mayat Hidup   47 - Melawan Ketakutan

    Hani yang berada di ruang depan mengakhiri pembicaraannya dengan Candra. Dia kembali mendekati Mak Ijun yang berada di ruang tengah. Dia tahu Mak Ijun masih syok setelah melihat Bu Retno mati diserang para zombi. Dia pun sebenarnya tetap tegang, tetapi berupaya besikap tenang. Dia sadar harus bisa menggantikan peran Candra yang membuat nyaman dengan keberadaannya. Setidaknya dia mau Mak Ijun merasa bahwa dia tetap berada dekat dan selalu menjaga emaknya itu. “Kenapa dia belum balik lagi?” Mak Ijun bertanya dengan paras begitu khawatir. “Bang Candra bilang akan segera pulang,” sahut Hani. “Emak tenang aja. Dia sama Kak Siti baik-baik aja, kok,” lanjutnya berusaha menenangkan Mak Ijun yang terlihat makin waswas. “Tapi kenapa lama banget?” “Tunggu aja, Mak. Barusan ‘kan saya udah nelepon Bang Candra. Sabar, ya.” Hani duduk di sebelah Mak Ijun. Dia mendaratkan bokong di tikar dan bersandar pada tembok. “Udah mau jam sebelas, dan kayaknya makin malam keadaan malah makin bahaya.” Mak Ij

  • Mayat-Mayat Hidup   48 - Kekacauan di Permukiman

    Candra dan Siti kembali berdiri setelah jatuh dari motor. Keduanya kaget sekali telah menabrak zombi laki-laki yang kini kembali mengadang mereka. Siti mundur satu langkah lantaran takut. Sementara Candra bergeming sambil mengumpulkan keberanian. Sedangkan zombi laki-laki itu menggeram dengan mata nyalang dan siap menyerang.“Jangan bergerak spontan. Jangan lari. Aku khawatir dia langsung mengejar kamu,” kata Candra mengingatkan Siti.“Iya.” Siti mengangguk pelan. “Tapi, Can, kalo kita diam terus kayak gini dia juga pasti menyerang kita,” tandasnya yang makin khawatir.Candra menelan ludah. Apa yang dikatakan Siti ada benarnya. Dia sepakat dengan itu. Lantas kedua matanya bergerak liar mencari sesuatu untuk dijadikan senjata. Dia hanya mendapati beberapa batu kecil di sisi kiri jalan. “Kamu lihat kayu atau apa pun yang bisa kita jadikan senjata, gak?” tanyanya tanpa menoleh ke belakang.Siti tidak menjawab. Dia memperhatikan sekeliling. Dia melihat bebatuan kecil di pinggir jalan

  • Mayat-Mayat Hidup   49 - Ke Pengungsian

    Hani dan Mak Ijun menunggu Candra dan Siti dengan cemas. Hani kembali menelepon Candra, tetapi tetap tidak diangkat. Dia dan Mak Ijun makin khawatir karena tidak tahu kabar terkini Candra dan Siti.“Gimana, sih, abangmu malah gak bisa dihubungin?” Mak Ijun kesal pada keadaan. Dia menatap Hani yang mondar-mandir di ruang depan. Dia mendekati anak gadisnya seraya menyibakkan gorden, berharap mendapati Candra dan Siti di depan rumah.“Bukan gak bisa dihubungin, Mak, tapi enggak diangkat sama dia,” jelas Hani.“Perasaan Emak jadi gak enak, Han.” Mak Ijun mengelus dada. Tak sampai hati rasanya jika Candra telah tiada, terlebih dibunuh para zombi. Tidak sanggup dia membayangkan hidup tanpa anak lelakinya. Baginya, Candra adalah tiang penopang keluarga, sementara Hani adalah atapnya. Kacau sekali hidupnya jika tidak ada Candra. Segalanya runtuh seketika.Hani tidak menyahut. Dia pun merasakan hal yang sama. Sedari tadi dia juga berpikir yang tidak-tidak terkait keselamatan Candra dan Si

  • Mayat-Mayat Hidup   50 - Terkenang

    Kiman masih duduk di lantai memeluk lutut. Dia berupaya menenangkan diri setelah kehilangan Suster Indri. Sendirian di dalam kamar jenazah benar-benar membuatnya tak lagi takut akan mayat. Pasalnya, justru di luar ruangan itu yang makin tidak aman. Dalam telinganya terus terngiang-ngiang teriak Suster Indri saat kesakitan diserang para zombi. Sementara dalam kepalanya membayang bagaimana wajah Suster Indri saat menyuruhnya menyelamatkan diri.Dengan gelisah Kiman mengusap wajah. Dia mendesah lelah karena masih dikuasai resah. Ketenangan hati sepertinya sudah jauh pergi. Ketentraman jiwa pun barangkali telah mati. Dia benar-benar tidak pecaya tengah mengalami hal buruk. Dia kembali berharap bahwa seluruh kejadian adalah mimpi. Dia ingin terbangun di atas kasur, atau tak mengapa jika terjaga di dalam tenda. Dia kembali teringat pada pendakian petaka itu. Bencana iu berawal dari hilangnya Anja.Dia menegakkan kepala sambil mengembuskan napas panjang. Dilihatnya jam dinding, waktu menu

  • Mayat-Mayat Hidup   51 - Kehilangan Terdalam

    Bu Risa sudah dinyatakan sehat. Kendati wajahnya masih pucat dan tubuhnya lemas, tetapi dia sudah diizinkan pulang. Namun, dia masih diminta kontrol barang satu atau dua kali untuk mengecek kondisinya pasca dirawat inap. Dia senang sekali ketika sampai di rumah. Dia bisa menghidu aroma kediamannya, di mana dia lebih banyak menghabiskan hidup dalam nauangan rumah yang tidak megah, tetapi sarat akan kenyamanan tak terhingga. Apalagi, di kediaman itu pula segalanya terekam, dari dia yang baru menikah dengan Pak Jaki, memiliki anak pertama perempuan, bergembira mempunyai pelengkap anak laki-laki, sampai menyaksikan pertumbuhan kedua anaknya itu. Hal tersebut tidak bisa digantikan dengan apa pun. Itu adalah kebahagian tertinggi, menjadi seorang istri sekaligus ibu. Selain itu, dia bisa duduk di teras depan sambil menjemur diri dalam siraman sinar matahari pagi. Dia bisa menghela udara yang kadang segar, kadang pula tidak segar. Segala apa yang dia alami di rumah adalah kehidupan yang patu

Latest chapter

  • Mayat-Mayat Hidup   83 - Menghindari Kematian

    Zombi laki-laki dengan wajah penuh darah mendelik tajam ke ujung koridor. Dia berjalan tertatih-tatih dengan caping hidung kembang kempis. Dia mengendus bau seseorang yang berada beberapa meter darinya. Kedua tangannya terulur ke depan dengan sikap siap menerkam. Kendati langkahnya terhuyung, tetap saja dia tampak ganas dan mengancam.Setibanya di depan area suster, zombi ini mendapati seorang laki-laki yang baru saja memakan wafer. Seketika mata merahnya makin nyalang. Giginya bergemeletuk siap menerkam. Di ujung bibirnya air liur menetes bercampur darah. Dia menggeram siap menyerang, sehingga laki-laki itu terkejut dan menyadari kehadirannya. Dia mendapati ketakutan di wajah laki-laki itu. Dia bisa mencium kengerian yang terpancar dari sikap laki-laki tersebut. Dengan gerakan mendadak dia menyerang laki-laki itu sambil menggeram lebih keras.Kiman yang tak siap dengan serangan zombi itu menjadi syok dan tak bisa bergerak, sehingga dia diterjang zombi tersebut. Dia terjatuh ke bel

  • Mayat-Mayat Hidup   82 - Senyap Mencekam

    Pak Sapto mengusap wajah sembari mengembuskan napas panjang. Entah bagaimana sedari tadi dia memercayai Gugun sebagai teman curhat. Dia menceritakan semua keresahan hati atas masalah yang dihadapi dalam rumah tangganya. Meski menyisakan kekesalan dan kesedihan, tetapi kali ini dia merasa cukup lega, seolah-olah baru saja memuntahkan segala beban yang sudah lama tersimpan.Sementara Gugun tidak menyangka baru saja mendengar kisah Pak Sapto yang akhirnya bercerai dengan Bu Erna. Niatnya yang sekadar menemai waktu jaga Pak Sapto, malah mendapat cerita yang membuatnya semakin berhitung soal pernikahan. Diam-diam dia jadi khawatir unruk berumah tangga. Saat berpikir begitu, dia tersadar akan dua hal. Pertama, dia tidak punya pacar. Kedua, situasinya masih sangat berbahaya dan dia tidak tahu apakah bisa selamat, lalu bertemu perempuan yang dicintai sampai menikah. Dia merasa telah berpikir terlalu jauh akan hal itu. Kini dia menyadarkan diri sendiri untuk fokus pada keselamatan terlebih d

  • Mayat-Mayat Hidup   81 - Tamat

    Penciumannya mendapati harum masakan. Otaknya lantas memerintahkan matanya terbuka perlahan. Dengan heran Pak Sapto terjaga dari tidurnya. Dia yang telentang di lantai ruang depan bergerak perlahan untuk duduk. Dia melihat Wati tersenyum padanya. Anaknya itu duduk dengan wajah segar sehabis mandi. Dia masih bingung telah tersaji nasi hangat, cah kangkung, telor ceplok diberi bumbu cabai, serta ikan bandeng goreng. Semua makanan itu jelas masih hangat dan menggugah selera. Dia menelan ludah karena perutnya mendadak minta diisi.Bu Erna datang dari ruang tengah sambil membawa seteko teh hangat. “Makan dulu,” katanya pada Pak Sapto dengan ramah. Dia duduk di sebelah Wati, lalu menuangkan teh hangat ke dalam gelas dan menaruhnya di dekat Pak Sapto.Pak Sapto tersenyum canggung. Dia meneguk teh hangat itu perlahan. Dia masih bingung dengan sikap Bu Erna yang mendadak baik. Dia jadi bertanya-tanya, apa yang membuat istrinya itu pulang, lalu bisa dan mau menyediakan makanan sebegini mewah

  • Mayat-Mayat Hidup   80 - Mengejutkan

    Sedari pagi Pak Sapto mengojek. Meski penghasilannya tetap sedikit, dia merasa lega. Pasalnya, nanti malam dia akan bertemu dengan pembeli motornya. Hari ini seperti menjadi hari perpisahan dengan motornya itu. Kendati lahir perasaan senang, tetapi dia juga sedih. Dia bahagia karena telah mendapat jalan keluar dari masalahnya. Dia sudah mendapatkan solusi terbaik meski risikonya harus merelakan motor yang sudah bertahun-tahun bersamanya.Dia sempat berpikir menemui Pak Hardi dan Mak Gaple untuk memberi tahu mereka bahwa akan membayar utangnya nanti malam. Namun, dia urung karena diserang perasaan malu. Dia pun memutuskan nanti saja setelah mendapat uang pembayaran motor, dia langsung menemui kedua orang itu dan melunasi utangnya. Meski tetap malu, tetapi membawa uang untuk melunasi semuanya tentu perasaannya jadi lebih lega. Uang akan membuatnya lebih percaya diri.Sudah seminggu ini pula dia tidak menghubungi Bu Erna dan Wati. Dia membiarkan istri dan anaknya itu tetap di rumah me

  • Mayat-Mayat Hidup   79 - Jalan Keluar

    Pak Sapto terus berusaha melunasi utang-utangnya, terutama terhadap Pak Hardi dan Mak Gaple. Dia masih enggan ke pangkalan ojek karena malu bertemu kedua orang itu. Dia merasa bersalah telah menghancurkan kepercayaan orang-orang baik itu. Namun, upayanya masih sulit. Penghasilannya mengojek cuma bisa buat makan dan beli bensin. Yang paling menyebalkan, dia masih saja membeli rokok. Dia kesal pada diri sendiri karena sudah kecanduan rokok dan tak bisa—lebih tepatnya tak mau—berhenti, sehingga pendapatannya yang sedikit itu habis juga untuk membeli rokok. Dari hari ke hari penghasilan Pak Sapto bukan membaik, tetapi malah menurun. Sudah tahu begitu, dia tetap tidak mau berhenti merokok. Dibelinya juga gulungan tembakau itu. Bahkan, dia rela tidak makan siang asal bisa merokok. Perutnya yang lapar dia ganjal dengan minum kopi. Dalam keputusasaan yang kian mendalam, Pak Sapto menghentikan motornya di sisi jalan raya. Sementara itu, waktu sudah bakda isya. Di dekat taman kota itu dia me

  • Mayat-Mayat Hidup   78 - Minggat

    Sementara di sore itu pula Wati hanya bisa menyimak percakapan Pak Sapto dan Bu Erna dari ruang tengah. Dia duduk di tepi ranjang dengan hati sedih dan gelisah. Dia khawatir Pak Sapto dan Bu Erna bertengkar dengan suara keras, tetapi batinnya lumayan melega karena perdebatan kedua orang tuanya bisa teredam. Sebelumnya, dia sangat khawatir Bu Erna marah-marah dengan suara meledak, tetapi kekhawatiran itu tidak terjadi. Namun, dia tahu pasti hati Bu Erna terlukai dengan sikap Pak Sapto. Dia paham betul kalau ibunya sangat kecewa terhadap bapaknya yang ternyata telah berutang ke beberapa orang. Wati sebenarnya juga kecewa kepada Pak Sapto, tetapi dia mau mencoba mengerti posisi bapaknya itu. Dia yakin sekali Pak Sapto terpaksa berutang untuk memenuhi kebutuhan dia dan Bu Erna. Dia berpikir, mungkin Pak Sapto tidak punya cara lain untuk mendapatkan uang supaya dia dan Bu Erna tetap bisa makan selain mendapat tambahan uang dari berutang. Dia paham sekali pendapatan mengojek ja

  • Mayat-Mayat Hidup   77 - Kejutan Lain

    Bu Erna tercenung tidak tenang selepas Bu Ika pulang. Dia sungguh syok mendapati cerita dari perempuan itu. Dia tahu betul bahwa Bu Ika tidak mungkin berbohong. Dia juga berupaya memahami posisi Bu Ika yang terpaksa mendatanginya. Kalau dia berada di posisi Bu Ika, barangkali dia tidak sesabar perempuan itu. Mungkin dia langsug memaki orang yang mengutang pada suaminya di tengah situasi sulit. Dia tidak tahan dengan keadaan busuk ini. Akhirnya dia terpaksa menyeka air mata yang membasahi pipi. Dia sungguh tidak menyangka kalau Pak Sapto sampai berani berutang sana-sini. Dia pikir selama ini uang yang diberikan oleh suaminya itu benar-benar hasil dari mengojek. Dia jadi berpikir ulang. Dia merasa bodoh telah memercayai sepenuhnya omongan Pak Sapto selama ini. Dia tidak tahu bagaimana kelakuan Pak Sapto di luar sana. Bisa jadi memang benar bahwa Pak Sapto jadi kebiasaan mengutang untuk sekadar mengopi dan merokok. Dia jadi kesal saat membayangkan pikiranya itu adalah kenyat

  • Mayat-Mayat Hidup   76 - Rahasia Terbongkar

    Semakin hari Pak Sapto kian merasa tertekan. Dia tidak bercerita pada Bu Erna kalau uang yang didapat ojek sebenarnya sedikit. Kebanyakan dia dapat dari mengutang sana-sini. Berhari-hari dia berusaha gali lubang tutup lubang menyoal utangnya itu. Namun, lubangnya kian dalam dan membesar, sementara tutupnya justru mengecil. Penghasilannya tidak bisa mencukupi kebutuhannya, terutama untuk anak dan istrinya.Akan tetapi, Pak Sapto terus berupaya terlihat baik-baik saja di depan Bu Erna dan Wati. Dia bersikap seolah tidak sedang mengalami masalah besar bernama utang. Sementara Bu Erna hanya tahu utang-utangnya di warung Bu Yuni bisa terus dibayar dari uang yang diberikan Pak Sapto. Bu Erna tidak tahu uang diberikan Pak Sapto adalah hasil dari utang suaminya itu kepada beberapa orang.Jam lima sore itu Pak Sapto pulang dan langsung duduk di lantai ruang depan. Dia sudah berusaha mencari pengguna ojek pangkalan, tetapi hasilnya tidak seperti harapan. Seharian cuma dapat dua orang yang mi

  • Mayat-Mayat Hidup   75 - Upaya Bertahan

    Jam lima pagi Pak Sapto sudah keluar mengojek. Dia hanya minum teh manis hangat buatan sendiri. Dia tidak mau meminta Bu Erna yang sedang mencuci pakaian di kamar mandi membuat sarapan untuknya. Pertama, memang tidak ada stok makanan. Hanya ada beras tinggal satu liter. Tidak ada nasi sisa semalam. Tidak ada bumbu penyedap. Tidak ada cabai, bawang, dan bumbu dapur lainnya. Kedua, dia tidak mau membuat Bu Erna marah lagi dengan hanya meminta dibuatkan minuman hangat. Daripada pagi yang masih lumayan dingin ini menjadi panas, dia memilih pergi bahkan tanpa pamitan. Semalam juga dia tidur di lantai ruang depan. Dibiarkannya Wati dan Bu Erna tidur di kasur di ruang tengah.Dia sengaja berusaha keluar rumah sepagi mungkin untuk mendapatkan penumpang yang mau berangkat kerja. Meski dia tahu dan sudah merasakan persaingan yang berat melawan ojek daring, tetap saja mau tak mau keadaan itu terus dilalui. Dia tidak dapat berpikir hal lain selain mengojek. Dia tidak punya keahlian lain. Mungki

DMCA.com Protection Status