Arhan menuruni tangga setelah memindahkan Elio yang sejak dalam perjalanan tertidur. Lelaki itu mengambil waktu cukup lama bersama Elio, bukan karena bayi berusia satu tahun itu bangun. Tapi karena Arhan tengah memikirkan cara meredakan amarah sang istri.
Setelah mantap dengan tekadnya, ia menghampiri wanita yang selalu menyanggul rambut ketika di dalam rumah itu. Terlihat tangannya mengulur ke bawah dengan kotak bekal yang sedikit miring. Membuang makanan yang sudah berantakan ke tempat sampah.
“Ay. Ay,” panggil Arhan dengan sedikit berlari. Menghentikan aksi sang istri..
Namira menatap tak suka pada tangan Arhan yang memegang pergelangan tangannya.
“Kenapa dibuang?” tanyanya lirih seraya melepaskan genggaman.
Ada separuh makanan yang tertinggal, Arhan mengambil kotak bekal itu dan menaruhnya di meja pantry. “Kalo kamu marah sama aku, jangan sampai makanan juga kena imbas-nya.”
Lelaki pemilik perusahaan yang bergerak di bidang retail itu memegang kedua lengan atas Namira untuk menghadap-nya. Tatap mereka bertemu. Berbeda dengan Namira yang menatap tanpa ekspresi ramah, Arhan justru melebarkan senyum dengan gugup.
Tak ada pergerakan dari Namira, wanita itu menunggu apa yang akan Arhan lakukan. Pembelaan seperti apa yang akan ia dengar.
“Kenapa kamu tadi gak masuk aja? Kenapa malah pergi?” Lengan atas itu ditepuk pelan berulang dengan mata tak berani menatap langsung pada iris-nya.
“Bianca, tuh, tadi cuman mau kasih tau aku beberapa hal yang nggak aku tahu. Nggak ada apa-apa, Ay,” lanjut Arhan memberanikan diri menatap mata yang masih tak ramah.
Namira masih memberi sikap dingin dan cuek. Tak memberi tanggapan apapun.
“Ay. Tolong jangan kayak gini. Ini cuma masalah kerjaan aja. Kenapa kamu sampe marah?”
“Cuma?” Namira mengejek ucapan Arhan.
Arhan cukup terganggu dengan respon Namira. Tapi ia tetap yakin dengan menjawab, “Iya, Sayang. Nggak ada apa-apa.”
Kedua tangan yang bertengger meremas lembut lengan atasnya itu Namira hempas dengan kuat. Ia berlalu pergi, telinganya tak menghiraukan panggilan dan langkah demi langkah yang mendekat.
“Apa yang kamu ributin, sih? Sampe harus marah kayak gini? Jelas aku sama Bianca lagi ada di posisi bahas kerjaan.” Nada tinggi itu akhirnya mengudara, Arhan tak bisa lagi menahan dan memaklumi amarah Namira yang tak berdasar hanya karena cemburu.
Namira berhenti, kemudian berbalik. “Maaf karena udah berlebihan.”
Ungkapan kecewa serta langkah yang kembali menjauh tak lagi Arhan tahan. Tujuan mereka berlawanan.
Arhan mendekat ke meja pantry, menuangkan air ke gelas yang semula terbalik. Matanya tertuju pada kotak bekal dengan sisa nasi dan lauknya bercampur penuh minyak.
Akhirnya ia menarik kursi, mengambil sendok dan menyuapkan-nya. Belum ia menutup mulut untuk mengunyah, semuanya sudah keluar tak bersisa, jatuh tepat di atas kotak bekal itu. Makanannya basi. Itulah alasan Namira membuangnya.
---
Aroma segar mengudara ketika pintu kamar mandi terbuka. Rambut basah diusap acak untuk dikeringkan oleh handuk kecil di tangan.
Pemandangan setelah keluar adalah punggung sang istri yang berbaring menyamping. Menghadap ranjang bayi yang sengaja dibuat berdekatan.
Ibu-anak itu sudah terlelap. Meninggalkannya tanpa bercengkerama terlebih dahulu seperti malam-malam sebelumnya.
Arhan menghela napas. Tujuannya saat ini bukan tempat tidur kosong di samping sang istri, melainkan meja pantry yang sudah penuh dengan berbagai lauk yang tertata rapi.
“Mbak Nami mana, Mas? Nggak ikut makan sekalian?” tanya Ida setelah Arhan duduk.
Tangannya sigap mengambil beberapa lauk ke satu piring di hadapannya. “Udah tidur, Bi.”
Ida tak lagi bertanya. Ia sibuk mengelap sekitar kompor dan mencuci piring bekas memasak, membiarkan Arhan menikmati makan malamnya sendirian.
“Bi, kalo pulangnya malem buat beberapa hari ke depan nggak apa-apa?” tanya Arhan memastikan kesiapan Ida, berjaga-jaga kalau ia kesusahan mengembalikan mood sang istri dalam waktu dekat.
Ida berbalik melepas sarung tangan karet, sebagai bentuk hormat karena berbicara menghadap Arhan. “Nggak apa-apa, Mas.”
“Istriku soalnya lagi nggak enak badan. Jadi mau kubiarkan istirahat aja.”
“Dari pagi atau tetep siang ke sini-nya, Mas?”
“Kayak biasa aja datangnya, cuman waktu pulangnya agak telat.”
Meskipun pekerjaan pokoknya bukan memasak, hanya bersih-bersih. Tapi Ida mengangguk setuju atas permintaan Arhan karena tak sering juga ia bekerja sampai larut malam. Dari awal bekerja memang tak pernah keluar dari perjanjian kecuali mendesak seperti sekarang.
“Tadi ini Nami yang minta Bibi masak?”
“Iya, Mas. Katanya Mas Arhan belum makan.”
“Tapi tadi sebelum tidur, Nami makan dulu nggak?”
“Kayaknya sih nggak, Mas.”
Arhan membuang napas. Meskipun sedang marah, setidaknya Namira juga harus memperhatikan dirinya sendiri.
“Bi, nanti ini semua bawa pulang aja, ya, yang belum aku sentuh. Di sini nggak ada yang makan lagi soalnya,” ujar Arhan seraya menunjuk berputar semua lauk di meja.
Lelaki dengan kaos polos putih dan celana pendek itu berlalu menuju ruang TV. Merapikan sedikit mainan bekas Elio dan duduk di sana sebentar seraya kembali mengingat kejadian siang tadi hingga mempermasalahkan respon Namira terhadapnya.
Pagi ini mungkin menjadi pagi pertama dalam hidup Arhan setelah menikah, bangun karena suara alarm. Alunan lembut serta tepukan sayang itu tak ia rasakan pagi ini. Sebelah tempat tidurnya sudah kosong. Hanya ia sendiri yang terlelap dan terlambat bangun. Senyuman manis bukan lagi menjadi pembuka paginya, justru detak jarum jam dinding yang terdengar. Ruangan itu kosong. Arhan mengusap wajahnya kasar disertai helaan napas berat. Kemudian ia bangun dan turun ke lantai bawah. Ada Namira yang duduk di kursi, sibuk dengan ponsel dan Elio tengah bermain sendiri di karpet bulu dikelilingi mainan. Pandangannya mengedar, ia melihat meja pantry sudah terisi penuh. Arhan bawa kakinya untuk mendekat dan mengecup pipi Namira dari belakang. “Kenapa nggak bangunin aku?” Tubuhnya memutari kursi untuk bisa menghampiri Elio, melakukan hal yang sama. Menciumi anak semata wayang-nya bertubi-tubi. Setelah puas, kini kedua tangannya melingkari perut Namira, mencoba mengambil fokus sang istri yang mas
“Makan dulu, Ay.”Arhan terus mengetuk pintu yang terkunci. Wanita yang tersentak karena teriakan Arhan itu masih enggan berhadapan langsung dengannya.“Kata Bi Ida semalem kamu juga nggak makan. Makan dulu, Sayang. Kalau kamu nggak mau bareng aku nggak apa-apa. Nanti aku makan kalau kamu udah selesai.”Lelaki dengan wajah basah karena baru sempat mencuci muka itu bersandar dengan salah satu bahunya. Kemarahan Namira ternyata sulit diredakan. Tapi ini memang salahnya.Beruntung hari ini ia tidak perlu pergi bekerja, jadi seluruh atensi dan waktu akan ia gunakan untuk mengembalikan suasana rumah kembali hangat.Ketukan Arhan melemah sebab usahanya tak ada respon. Tapi suaranya tetap mengudara menembus pintu meskipun pelan. “Ay. Makan dulu, Sayang.”“Kamu aja duluan yang makan,” timpal Namira dengan sedikit berteriak.“Aku nggak mau makan kalau kamu nggak makan,” Arhan balik menjawab dengan teriakan.Lelaki yang masih bersandar pada pintu itu kembali pasrah ketika ia tak lagi mendengar
“Keluarin semua yang mengganjal.” Pelukan itu menambah ritme tangisan Namira yang masih terduduk. Kaos yang dikenakan Arhan basah di sekitaran perut bagian atas sebab Namira memeluk dengan posisi Arhan yang berdiri di sampingnya. Arhan membiarkan istrinya meluapkan semua melalui tangisan sampai dadanya terasa longgar. Cukup lama mereka di posisi seperti itu hingga Ida datang untuk mulai bekerja. “Bi, nanti tolong beresin ini sama minta tolong buatin bubur, ya.” Meski terkejut melihat keadaan Namira, Ida mengangguk. Tangannya gesit membereskan selagi Arhan membawa sang istri pindah ke kamar. Tubuhnya panas, jalannya pelan karena lemas. Masih ada sisa tangisan yang Arhan rasa cukup menggemaskan hingga menarik kedua sudut bibirnya. Tak tahan karena langkah mereka lambat, Arhan membopong istrinya ketika menaiki tangga. Terlebih karena lelaki itu ingin Namira segera mengistirahatkan tubuhnya. “Jangan tidur dulu, ya. Kasian Bi Ida lagi masak bubur buat kamu. Abis itu minum obat, baru
Aroma kopi menusuk indra penciuman.Namira bangun setelah cukup lama ia membuka mata. Mengumpulkan energi untuk bisa beranjak dari kasur yang selama dua hari telah menemaninya.Tubuhnya ia bawa dengan langkah gontai mendekat pintu yang terbuka lebar. Sesekali ia sandarkan tubuhnya untuk kembali mengumpulkan energi sebab hanya dengan beberapa langkah membuatnya kelelahan.Pagi ini cukup senyap, tak ada celoteh menggemaskan. Bayi itu juga tak terlihat sejauh mata memandang. Tapi aroma khas menyegarkan memenuhi ruangan. Elio sudah mandi.Namira awas memperhatikan sekitar ketika tangan berpegang pada pagar pembatas di lantai dua. Menelusuri lantai bawah, meja pantry kosong, tak ada yang memasak. Pandangannya ia bawa ke kiri, ada yang duduk di sofa panjang dengan laptop di pangkuannya serta kopi yang asapnya masih mengepul. Baru saja dibuat. Jelas ia tahu itu siapa.Tapi ada yang menarik perhatiannya lebih dalam, yaitu dua koper yang bersisian depan vas bunga besar dekat sofa yang diduduki
Suara Namira terdengar ceria meski mata berlinang.Ekspresi-nya bukan sedih karena kehilangan Elio yang kini sudah ditemukan. Tapi bahagia sebab pertemuan langka yang sedang terjadi.Segala rasa menumpuk dalam diri Namira saat ini. Terlebih rasa rindu yang tak bisa digambarkan lewat kata-kata. Hatinya penuh membuncah memancarkan kebahagiaan.Namira peluk tubuh tegap itu, menyalurkan kerinduan setelah bayi diserahkan pada Arhan. Air mata mengalir deras, bahkan suaranya pun tak bisa disamarkan.Orang di sekitar yang menyaksikan ikut menyeka ujung mata. Pertemuan haru antara kakak-adik yang memang jarang dilakukan sebab jarak yang membentang.Cukup lama pelukan itu berlangsung. Tak banyak kata yang keluar, keduanya sibuk menyalurkan lewat usapan lembut di punggung yang bergetar.“Kakak Sehat?” Namira tatap mata indah Bima. Menyelami-nya begitu dalam. Menyampaikan rasa yang tak bisa ia keluarkan.Bima usap lembut pipi Namira dengan kedua ibu jari. Menghapus jejak air mata. “Alhamdulillah
Tak ada yang membuka suara setelah nama itu diumumkan. Arhan seolah tak tertarik, atau justru sedang menahan gemuruh di dada.Begitupun Namira yang tetap menunduk. Tak siap berhadapan langsung dengan tatap yang tengah mencari jawaban pasti dari setiap pesan yang diterima.“Siapa Iyan?” tanya lelaki yang mati-matian menahan emosi di hadapan istri dan anaknya.“Temen aku.”Kali ini Arhan mengambil fokus menatap lawan bicaranya. Mencoba menarik perhatian untuk menyelami lebih dalam pada iris cantik sang istri dengan berujar, “Kamu nggak pernah cerita punya temen di sini.”Namira membalas setelah kalimat Arhan terasa menyinggung. Akhirnya kedua mata saling beradu tatap. “Buat apa? Sekalipun ada, aku nggak pernah pergi buat ketemu mereka, kan?”“Terus ini si Iyan? Kamu ketemu sama dia …,” kalimatnya terhenti, mulut masih terbuka. Menimang apa perlu ia tegaskan. Kemudian melanjutkan dengan intonasi mengejek, “Di danau.”“Nggak sengaja ketemu pas kemaren nitipin El ke Ibu.” Setiap kata diber
“El ih jangan diberantakin lagi dong,” Namira merengek dengan tubuh terduduk lemas di lantai ketika sebelumnya setengah berdiri menghadap lemari.Wanita itu sudah pulih total setelah tiga hari dirawat intensif oleh Bima. Diperhatikan dari mulai makanan hingga vitamin-nya.Pembicaraan di meja makan tiga hari lalu akhirnya terlaksana sesuai apa yang telah disepakati, yaitu ketika Namira sembuh dan jadwal Arhan kosong. Mereka akan pergi besok.Semua barang yang sudah dipilih telah tertata rapi dalam koper. Beberapa masih ada di luar untuk dikemas bersama dengan barang lainnya. Termasuk pakaian yang sudah dilipat ditumpuk bersisian dengan benda besar itu.Tapi saat ini yang terjadi, hampir semua barang itu berhamburan di lantai. Mengelilingi si kecil Elio yang ikut ‘membantu’. Terkhusus baju yang tak tersusun lagi.Koper itu terlihat kembali kosong, hanya tertinggal beberapa barang yang tak sempat bayi itu ambil karena terhenti setelah mendengar seruan manis ibunya.“Ada apa, sih, Ay? Sua
Ketegangan Namira terlihat setelah Arhan melontarkan pertanyaan. Wanita itu cukup lama terdiam dalam pandangan suaminya. Tak ada jawaban sebagai sanggahan untuk tuduhan.Arhan membuang nafas, tak ingin lagi menuntut untuk memastikan segala asumsinya. Meski ia penasaran, tapi sepertinya Namira belum siap untuk membuka mulut. Memberitahu setiap detail kejadian ketika di danau atau sekedar memberitahu siapa Iyan sebenarnya.Dengan tangan kembali sibuk pada pakaian dan barang-barang di sekitar, lelaki itu membuka suara atas kependiaman sang istri.“Kalau kamu masih belum bisa ngasih tau atau belum mau jujur. Nggak apa-apa. Aku tunggu sampai mereka pulang. Dari awal kita bakal bahas ini nanti, kan? Tapi kamu bilang nggak bisa. Terus sekarang baru satu pertanyaan dari aku aja kamu udah diem kayak gini.”Tak paham dengan apa yang Namira inginkan. Apa yang ia ungkapkan sebelumnya seolah sudah siap menjawab segala kejanggalan dan rasa penasaran dalam dirinya semenjak pesan itu memenuhi ruang o