Share

Bab 4

Arhan menuruni tangga setelah memindahkan Elio yang sejak dalam perjalanan tertidur. Lelaki itu mengambil waktu cukup lama bersama Elio, bukan karena bayi berusia satu tahun itu bangun. Tapi karena Arhan tengah memikirkan cara meredakan amarah sang istri.

Setelah mantap dengan tekadnya, ia menghampiri wanita yang selalu menyanggul rambut ketika di dalam rumah itu. Terlihat tangannya mengulur ke bawah dengan kotak bekal yang sedikit miring. Membuang makanan yang sudah berantakan ke tempat sampah.

“Ay. Ay,” panggil Arhan dengan sedikit berlari. Menghentikan aksi sang istri..

Namira menatap tak suka pada tangan Arhan yang memegang pergelangan tangannya.

“Kenapa dibuang?” tanyanya lirih seraya melepaskan genggaman.

Ada separuh makanan yang tertinggal, Arhan mengambil kotak bekal itu dan menaruhnya di meja pantry. “Kalo kamu marah sama aku, jangan sampai makanan juga kena imbas-nya.”

Lelaki pemilik perusahaan yang bergerak di bidang retail itu memegang kedua lengan atas Namira untuk menghadap-nya. Tatap mereka bertemu. Berbeda dengan Namira yang menatap tanpa ekspresi ramah, Arhan justru melebarkan senyum dengan gugup.

Tak ada pergerakan dari Namira, wanita itu menunggu apa yang akan Arhan lakukan. Pembelaan seperti apa yang akan ia dengar.

“Kenapa kamu tadi gak masuk aja? Kenapa malah pergi?” Lengan atas itu ditepuk pelan berulang dengan mata tak berani menatap langsung pada iris-nya.

“Bianca, tuh, tadi cuman mau kasih tau aku beberapa hal yang nggak aku tahu. Nggak ada apa-apa, Ay,” lanjut Arhan memberanikan diri menatap mata yang masih tak ramah.

Namira masih memberi sikap dingin dan cuek. Tak memberi tanggapan apapun.

“Ay. Tolong jangan kayak gini. Ini cuma masalah kerjaan aja. Kenapa kamu sampe marah?”

“Cuma?” Namira mengejek ucapan Arhan.

Arhan cukup terganggu dengan respon Namira. Tapi ia tetap yakin dengan menjawab, “Iya, Sayang. Nggak ada apa-apa.”

Kedua tangan yang bertengger meremas lembut lengan atasnya itu Namira hempas dengan kuat. Ia berlalu pergi, telinganya tak menghiraukan panggilan dan langkah demi langkah yang mendekat.

“Apa yang kamu ributin, sih? Sampe harus marah kayak gini? Jelas aku sama Bianca lagi ada di posisi bahas kerjaan.” Nada tinggi itu akhirnya mengudara, Arhan tak bisa lagi menahan dan memaklumi amarah Namira yang tak berdasar hanya karena cemburu.

Namira berhenti, kemudian berbalik. “Maaf karena udah berlebihan.”

Ungkapan kecewa serta langkah yang kembali menjauh tak lagi Arhan tahan. Tujuan mereka berlawanan.

Arhan mendekat ke meja pantry, menuangkan air ke gelas yang semula terbalik. Matanya tertuju pada kotak bekal dengan sisa nasi dan lauknya bercampur penuh minyak.

Akhirnya ia menarik kursi, mengambil sendok dan menyuapkan-nya. Belum ia menutup mulut untuk mengunyah, semuanya sudah keluar tak bersisa, jatuh tepat di atas kotak bekal itu. Makanannya basi. Itulah alasan Namira membuangnya.

---

Aroma segar mengudara ketika pintu kamar mandi terbuka. Rambut basah diusap acak untuk dikeringkan oleh handuk kecil di tangan.

Pemandangan setelah keluar adalah punggung sang istri yang berbaring menyamping. Menghadap ranjang bayi yang sengaja dibuat berdekatan.

Ibu-anak itu sudah terlelap. Meninggalkannya tanpa bercengkerama terlebih dahulu seperti malam-malam sebelumnya.

Arhan menghela napas. Tujuannya saat ini bukan tempat tidur kosong di samping sang istri, melainkan meja pantry yang sudah penuh dengan berbagai lauk yang tertata rapi.

“Mbak Nami mana, Mas? Nggak ikut makan sekalian?” tanya Ida setelah Arhan duduk.

Tangannya sigap mengambil beberapa lauk ke satu piring di hadapannya. “Udah tidur, Bi.”

Ida tak lagi bertanya. Ia sibuk mengelap sekitar kompor dan mencuci piring bekas memasak, membiarkan Arhan menikmati makan malamnya sendirian.

“Bi, kalo pulangnya malem buat beberapa hari ke depan nggak apa-apa?” tanya Arhan memastikan kesiapan Ida, berjaga-jaga kalau ia kesusahan mengembalikan mood sang istri dalam waktu dekat.

Ida berbalik melepas sarung tangan karet, sebagai bentuk hormat karena berbicara menghadap Arhan. “Nggak apa-apa, Mas.”

“Istriku soalnya lagi nggak enak badan. Jadi mau kubiarkan istirahat aja.”

“Dari pagi atau tetep siang ke sini-nya, Mas?”

“Kayak biasa aja datangnya, cuman waktu pulangnya agak telat.”

Meskipun pekerjaan pokoknya bukan memasak, hanya bersih-bersih. Tapi Ida mengangguk setuju atas permintaan Arhan karena tak sering juga ia bekerja sampai larut malam. Dari awal bekerja memang tak pernah keluar dari perjanjian kecuali mendesak seperti sekarang.

“Tadi ini Nami yang minta Bibi masak?”

“Iya, Mas. Katanya Mas Arhan belum makan.”

“Tapi tadi sebelum tidur, Nami makan dulu nggak?”

“Kayaknya sih nggak, Mas.”

Arhan membuang napas. Meskipun sedang marah, setidaknya Namira juga harus memperhatikan dirinya sendiri.

“Bi, nanti ini semua bawa pulang aja, ya, yang belum aku sentuh. Di sini nggak ada yang makan lagi soalnya,” ujar Arhan seraya menunjuk berputar semua lauk di meja.

Lelaki dengan kaos polos putih dan celana pendek itu berlalu menuju ruang TV. Merapikan sedikit mainan bekas Elio dan duduk di sana sebentar seraya kembali mengingat kejadian siang tadi hingga mempermasalahkan respon Namira terhadapnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status