Share

Bab 3

Duduk berhadapan dengan lelaki yang menepuk bahunya tadi membuat Namira lupa tentang apa yang sebelumnya ia rasakan. Semua rasa tak nyaman itu seolah melebur setelah melihat wajah tampan dengan warna kulit sedikit kecoklatan.

Meski rasanya tak nyaman karena kembali bersinggungan dengan lelaki di masa lalu, Namira tetap setuju atas ajakan untuk menikmati secangkir kopi dingin di sebuah kafe dekat danau.

Keduanya menunjukkan ekspresi berbeda. Namira memasang wajah gugup dengan menempatkan telapak tangan pada gelas kopi yang cukup tinggi. Sedangkan lelaki pemilik lesung pipi di sebelah kiri itu menampilkan senyum sumringah, sesekali gemas dengan tingkah Namira yang kentara gugup.

“Gimana kabar kamu?” Kepala dimiringkan untuk bisa melihat wajah cantik Namira yang tengah menunduk. Tak berani beradu tatap.

Gerak-gerik lelaki itu mengambil atensi Namira hingga kepala diangkat, tatap mereka bertemu. Namira mengulas senyum canggung namun tetap cantik. “Kabar aku baik, kamu?”

“Sebentar. Kamu masih inget aku ‘kan?” tanya lelaki itu memastikan kalau Namira setuju atas ajakannya bukan sekedar tak enak, tapi karena mereka pernah kenal dan saling kenal.

Lagi. Namira mengulas senyum. Kali ini begitu menawan dan tentu saja cantik. “Aku inget kok. Iyan ‘kan?”

Rona merah di pipi Namira keluar. Jantungnya berdegup kencang hanya dengan menyebut nama lelaki yang pernah mengisi penuh hatinya.

Lupakah ia tentang apa yang tengah terjadi sebelumnya? Bukankah amarah begitu menguasai dirinya? Lantas apa yang tengah ia lakukan sekarang?

Lelaki itu mengangguk, bersyukur. “Kabar aku baik tentu saja. Makanya sekarang ada di depan kamu.”

Keduanya tersenyum. Merasa lucu hanya karena kata yang lelaki dengan nama Radiyan Malik itu lontarkan.

Bukan hanya karena itu, tindakan mereka dalam menyeruput minuman pun bersamaan tanpa persiapan sehingga suaranya pun beriringan.

Tindakan tak disengaja kembali menarik mereka pada masa mereka berpacaran.

Cukup lama mereka menikmati momen tanpa suara. Sibuk memandangi tenangnya air, rindang-nya pepohonan hingga menikmati sejuknya udara. Saat ini Namira sangat nyaman.

“Kamu lagi ngapain di sini sendirian?” Iyan bertanya tanpa menoleh. Penglihatannya cukup awas dengan kondisi Namira setelah mata mereka beradu tatap. Merah dan sembab.

“Nggak ngapa-ngapain. Pengen aja ke sini,” jawabnya seraya kembali menyeruput kopi yang tak lagi begitu dingin.

Namira mengambil fokus menatap Iyan, posisi duduknya dibenarkan. “Kamu sendiri ngapain di sini?”

Selagi menunggu, satu kentang goreng masuk mulut lengkap dengan saus. Ia ambil yang kedua hingga ketiga kalinya sampai mulut hampir penuh kemudian dikunyah.

Iyan tampak berpikir untuk memberi jawaban sampai Namira kembali berujar, “Kalo nggak mau kasih tau juga nggak apa-apa. Bukan pertanyaan yang wajib di jawab juga.”

Lelaki itu melempar tawa mendengar jawaban Namira. Tangannya dengan cepat melambai di udara. “Nggak. Nggak. Kebetulan aja ada kerjaan di sini.”

Namira mengangguk seraya menyuapkan beberapa makanan yang dipesan dengan nyaman tanpa mengalihkan tatapan. Fokus mendengarkan dan memperhatikan.

Tidak ada yang berubah, gumam Namira dalam hati. Lantas memberi respon dengan tersenyum atas segala ucapan Iyan.

“Kamu masih suka fotografi?”

“Sangat. Aku ke sini juga karena itu.”

“Katanya karena kerjaan. Eh- kerjaan kamu photographer?”

Iyan mengangguk dengan menarik kedua sudut bibir, rasanya menyenangkan melihat perubahan ekspresi Namira yang berubah-ubah.

“Siapa yang kamu foto?” Namira jauh lebih antusias ketika tahu pekerjaan Iyan sejurus dengan hobi lelaki itu dulu.

“Ada lah, pasangan yang mau nikah.”

“Wah!” seru Namira membuka mulut cukup lebar, matanya memancarkan aura senang dan kagum. “Aku boleh liat hasilnya?”

Tanpa penolakan, Iyan mengeluarkan kamera yang selalu ia bawa. Tubuh Namira sedikit condong, begitupun Iyan. Mereka melihat hasil jepretan itu bersama-sama.

Ungkapan kagum Namira keluar setiap Iyan menggeser dari satu foto ke foto yang lain. Siapapun akan suka dengan respon Namira, termasuk lelaki yang berharap cinta lamanya akan bersemi kembali.

---

Sepulang menenangkan diri dengan seseorang yang tak disangka akan kembali bertemu, Namira mampir ke rumah Ibu mertua untuk mengajak Elio pulang.

Langkahnya ia bawa memasuki rumah, pandangannya mengedar, lantai bawah tak ada siapapun. Lantas ia berjalan menaiki tangga. Derap langkahnya melambat, berusaha tidak mengeluarkan suara yang akan menghentikan percakapan yang saat ini sedang ia dengarkan.

“Nggak mau. Kamu harus minta maaf sendiri. Jelasin sedetail mungkin ke dia.”

“Mama bantu sedikit lah biar Namira nggak marah-marah banget sama aku.”

“Itu salah kamu, kenapa Mama harus ikutan repot?”

Namira bawa kakinya mendekat ke arah sumber suara. Percakapan Ibu-anak itu sudah membuat ia paham maksudnya.

“Ma.” Namira mendorong pintu yang terbuka sedikit. Tangannya sigap menyalami keduanya bergantian, meski respon yang ia berikan berbeda.

“Ay,” panggil Arhan lirih menatap Namira yang tak sudi beradu tatap dengannya. Tangannya berusaha meraih dan mengusap-nya perlahan.

Wanita itu tak menggubris segala tindakan Arhan, fokusnya saat ini hanya pada satu bayi yang tidur di atas kasur besar milik Ibu mertuanya. “Elio nggak rewel ‘kan, Ma?’

“Nggak kok. Hari ini aktif banget sampe ketiduran karena cape,” ujarnya seraya memandangi wajah mungil yang tampak tenang.

“Syukurlah. Makasih, ya, Ma. Maaf jadi ngerepotin Mama.”

“Sering-sering mampir, Nak. Biar Mama bisa sering main juga sama Elio.”

Ucapan Ibu mertuanya hanya Namira balas dengan senyuman. Kemudian setelah beberapa saat mereka pamit pulang.

---

Perjalanan pulang yang hanya menghabiskan waktu 20 menit saja rasanya begitu lama. Tak ada percakapan, hanya deru mobil yang mereka kendarai yang terdengar.

Sesekali Arhan berdeham mencoba mengambil alih fokus sang istri, namun tak ada respon. Wanita itu sibuk dengan ponsel di genggaman. Mengetik beberapa kalimat kemudian menekan dial kirim.

Arhan penasaran, ingin tahu dengan siapa Namira bertukar pesan. Tapi, yang lebih penting adalah mengembalikan keadaan mereka saat ini menjadi kembali baik-baik saja.

Lelaki dengan paras tampan itu tengah memikirkan banyak kata yang perlu dikeluarkan, menimang kalimat seperti apa yang akan meredakan amarah wanita di sampingnya. Segala pembelaan dengan kalimat apapun seperti tak akan pernah didengar, hanya terlihat sebagai alasan menepis kecurigaan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status