Aroma kopi menusuk indra penciuman.
Namira bangun setelah cukup lama ia membuka mata. Mengumpulkan energi untuk bisa beranjak dari kasur yang selama dua hari telah menemaninya.
Tubuhnya ia bawa dengan langkah gontai mendekat pintu yang terbuka lebar. Sesekali ia sandarkan tubuhnya untuk kembali mengumpulkan energi sebab hanya dengan beberapa langkah membuatnya kelelahan.
Pagi ini cukup senyap, tak ada celoteh menggemaskan. Bayi itu juga tak terlihat sejauh mata memandang. Tapi aroma khas menyegarkan memenuhi ruangan. Elio sudah mandi.
Namira awas memperhatikan sekitar ketika tangan berpegang pada pagar pembatas di lantai dua. Menelusuri lantai bawah, meja pantry kosong, tak ada yang memasak. Pandangannya ia bawa ke kiri, ada yang duduk di sofa panjang dengan laptop di pangkuannya serta kopi yang asapnya masih mengepul. Baru saja dibuat. Jelas ia tahu itu siapa.
Tapi ada yang menarik perhatiannya lebih dalam, yaitu dua koper yang bersisian depan vas bunga besar dekat sofa yang diduduki suaminya.
Alisnya bertaut, kepala mencoba menerka dengan mata yang tak beralih pandang. menatap dengan saksama.
“Mas,” panggil Namira lirih bahkan hampir tak terdengar jika suasana sekitar ramai. Arhan yang fokus segera menoleh dan bergegas mendekat.
“Kenapa, Sayang?” Arhan bantu wanita tak berdaya itu berjalan. Duduk di sofa tepat di samping laptop yang tergeletak sembarang.
“Itu koper siapa?” Tunjuk-nya ingin tahu, masih menelisik.
Arhan kembali dari mengambil air minum untuk Namira. Dengan raut sumringah ia melayangkan pertanyaan. “Coba tebak siapa?”
Namira mengambil alih gelas dalam tangan Arhan, kemudian meminumnya perlahan seraya memutar otak. Tapi tak kunjung terpikirkan satu orang pun. Terlebih dalam kondisinya yang sedang sakit.
Untuk langkah kecil saja menghabiskan banyak energi, apalagi ini harus mencari memori mana dalam kepalanya yang sejurus dengan benda besar yang ia tanyakan.
“Masa nggak tau, sih,” ucap Arhan menantang ingatan sang istri. Tangan sigap menaruh gelas yang disodorkan padanya.
Namira menggeleng dengan mata terpejam. Tubuhnya bersandar lemas pada sandaran sofa. “Aku lagi sakit gini lho, Ay. Masa disuruh mikir.”
Arhan tersenyum senang karena berhasil menggoda Namira. Mengeluarkan rona bahagia dalam dirinya. Gurat senyum tak luntur meski respon yang ia dapat tidak begitu baik.
Wanita yang selalu mengurus keperluannya dari pagi hingga malam itu menatap Arhan, menunggu jawaban.
Rumahnya jelas bukan penginapan sembarang orang, jadi mungkin dua koper itu bisa menunjukkan identitas sang pemilik. Tapi ia tak terpikirkan siapapun, dan Arhan masih bungkam untuk melihat raut Namira yang kesal.
“Coba perhatiin, Ay. Ada lho yang buat kamu tahu punya siapa itu.”
Namira membuang napas berat. “Udah lah. Terserah kamu aja,” jawabnya dengan tangan melambai menyerahkan urusan itu pada sang suami yang enggan memberitahunya.
Dalam beberapa detik Arhan tertawa renyah, meski Namira tak menunjukkan hal yang sama. Lelaki itu cukup terhibur melihat bagaimana raut istrinya yang tak senang.
“Elio mana, Ay? Sama Ibu?”
Setelah menanyakan kepemilikan koper yang mengganggu pandangan, akhirnya ia mencari satu-satunya bayi yang tak pernah jauh bahkan lepas dari jarak pandangnya.
“Ibu mana pernah pagi-pagi banget ke sini, Ay.”
“Terus Elio sama siapa? Di kamar nggak ada.” Panik mulai menyergap seluruh tubuhnya yang kini sudah tegap dengan suhu yang masih terasa hangat. Mata membelalak terkejut karena tak ada siapapun lagi yang berhak membersamai sang buah hati jika bukan mereka dan mertuanya.
Wanita itu menggerakkan tubuh dan memutar kepala untuk mencari eksistensi Elio ke seluruh penjuru ruangan. Tapi tak ada tanda-tanda yang menunjukkan kalau bayi itu ada di sekitar.
“Mas!” seruan itu mengudara. Memaksa sang suami untuk segera menemukan buah hati mereka.
“Ada, Sayang. Tenang.”
“Mana?!” Namira masih mempertahankan intonasi-nya yang tinggi. Jika berhubungan dengan Elio, ia tak bisa tenang.
“Lagi jalan-jalan.”
“Sama siapa? Ibu kan nggak ke sini?”
“Sama Om-nya.”
Jawaban Arhan berhasil membungkam dan menimbulkan pertanyaan baru bagi Namira. “Om?”
Arhan mengangguk dengan yakin. Sangat yakin. Lelaki itu tak langsung memberitahu, ia ingin Namira mengingatnya sendiri sampai raut yang tak bisa terbayangkan keluar.
“Kak Bima?” tanya Namira antusias, sedikit tak percaya. Tapi rona bahagianya jelas tergambar.
“Iya, Sayang. Kak Bima sama Kak Vita dateng tadi pagi jam 3.”
“Kamu nggak bohong, kan?” Namira masih tak percaya meskipun sangat jelas ia bahagia.
“Kalau aku bohong. Terus Elio sama siapa? Nggak mungkin sama Bi Ida.”
Namira mengulum senyum. Raut bahagianya sangat kentara hingga wajahnya merona. Menghempas gurat lelah dan warna wajah yang pucat.
“Kenapa nggak bangunin aku?”
“Kamu lagi sakit. Masa ia aku bangunin.”
“Sebelum ke sini pasti ngabarin dulu, kan?”
Arhan mengangguk.
“Kenapa nggak kasih tau aku?” Namira merajuk karena ia tak dilibatkan dalam operasi kedatangan kakak laki-lakinya.
“Ya karena kata Kak Bima jangan kasih tau kamu.” Arhan menampilkan senyum polos. Merasa berhasil dengan kerjasama yang sudah dibuat dengan kakak iparnya.
“Assalamu’alaikum.”
Namira bergegas berdiri meskipun sedikit sempoyongan. Beruntung Arhan sigap memegangi. Wajahnya kentara sumringah mendengar suara yang tak asing dalam pendengaran.
Matanya berkaca-kaca melihat sosok tinggi berisi dengan warna kulit serupa dengannya. Putih. Dalam gendongannya ada Elio yang tak menangis, bahkan jejak air mata pun tak ada. Menunjukkan bahwa Elio nyaman dengan Om dan Tantenya.
“Wa’alaikum salam.”
Suara Namira terdengar ceria meski mata berlinang.Ekspresi-nya bukan sedih karena kehilangan Elio yang kini sudah ditemukan. Tapi bahagia sebab pertemuan langka yang sedang terjadi.Segala rasa menumpuk dalam diri Namira saat ini. Terlebih rasa rindu yang tak bisa digambarkan lewat kata-kata. Hatinya penuh membuncah memancarkan kebahagiaan.Namira peluk tubuh tegap itu, menyalurkan kerinduan setelah bayi diserahkan pada Arhan. Air mata mengalir deras, bahkan suaranya pun tak bisa disamarkan.Orang di sekitar yang menyaksikan ikut menyeka ujung mata. Pertemuan haru antara kakak-adik yang memang jarang dilakukan sebab jarak yang membentang.Cukup lama pelukan itu berlangsung. Tak banyak kata yang keluar, keduanya sibuk menyalurkan lewat usapan lembut di punggung yang bergetar.“Kakak Sehat?” Namira tatap mata indah Bima. Menyelami-nya begitu dalam. Menyampaikan rasa yang tak bisa ia keluarkan.Bima usap lembut pipi Namira dengan kedua ibu jari. Menghapus jejak air mata. “Alhamdulillah
Tak ada yang membuka suara setelah nama itu diumumkan. Arhan seolah tak tertarik, atau justru sedang menahan gemuruh di dada.Begitupun Namira yang tetap menunduk. Tak siap berhadapan langsung dengan tatap yang tengah mencari jawaban pasti dari setiap pesan yang diterima.“Siapa Iyan?” tanya lelaki yang mati-matian menahan emosi di hadapan istri dan anaknya.“Temen aku.”Kali ini Arhan mengambil fokus menatap lawan bicaranya. Mencoba menarik perhatian untuk menyelami lebih dalam pada iris cantik sang istri dengan berujar, “Kamu nggak pernah cerita punya temen di sini.”Namira membalas setelah kalimat Arhan terasa menyinggung. Akhirnya kedua mata saling beradu tatap. “Buat apa? Sekalipun ada, aku nggak pernah pergi buat ketemu mereka, kan?”“Terus ini si Iyan? Kamu ketemu sama dia …,” kalimatnya terhenti, mulut masih terbuka. Menimang apa perlu ia tegaskan. Kemudian melanjutkan dengan intonasi mengejek, “Di danau.”“Nggak sengaja ketemu pas kemaren nitipin El ke Ibu.” Setiap kata diber
“El ih jangan diberantakin lagi dong,” Namira merengek dengan tubuh terduduk lemas di lantai ketika sebelumnya setengah berdiri menghadap lemari.Wanita itu sudah pulih total setelah tiga hari dirawat intensif oleh Bima. Diperhatikan dari mulai makanan hingga vitamin-nya.Pembicaraan di meja makan tiga hari lalu akhirnya terlaksana sesuai apa yang telah disepakati, yaitu ketika Namira sembuh dan jadwal Arhan kosong. Mereka akan pergi besok.Semua barang yang sudah dipilih telah tertata rapi dalam koper. Beberapa masih ada di luar untuk dikemas bersama dengan barang lainnya. Termasuk pakaian yang sudah dilipat ditumpuk bersisian dengan benda besar itu.Tapi saat ini yang terjadi, hampir semua barang itu berhamburan di lantai. Mengelilingi si kecil Elio yang ikut ‘membantu’. Terkhusus baju yang tak tersusun lagi.Koper itu terlihat kembali kosong, hanya tertinggal beberapa barang yang tak sempat bayi itu ambil karena terhenti setelah mendengar seruan manis ibunya.“Ada apa, sih, Ay? Sua
Ketegangan Namira terlihat setelah Arhan melontarkan pertanyaan. Wanita itu cukup lama terdiam dalam pandangan suaminya. Tak ada jawaban sebagai sanggahan untuk tuduhan.Arhan membuang nafas, tak ingin lagi menuntut untuk memastikan segala asumsinya. Meski ia penasaran, tapi sepertinya Namira belum siap untuk membuka mulut. Memberitahu setiap detail kejadian ketika di danau atau sekedar memberitahu siapa Iyan sebenarnya.Dengan tangan kembali sibuk pada pakaian dan barang-barang di sekitar, lelaki itu membuka suara atas kependiaman sang istri.“Kalau kamu masih belum bisa ngasih tau atau belum mau jujur. Nggak apa-apa. Aku tunggu sampai mereka pulang. Dari awal kita bakal bahas ini nanti, kan? Tapi kamu bilang nggak bisa. Terus sekarang baru satu pertanyaan dari aku aja kamu udah diem kayak gini.”Tak paham dengan apa yang Namira inginkan. Apa yang ia ungkapkan sebelumnya seolah sudah siap menjawab segala kejanggalan dan rasa penasaran dalam dirinya semenjak pesan itu memenuhi ruang o
Setelah hampir dua jam perjalanan, akhirnya mereka sampai di lobi hotel. Arhan bertugas untuk membawa dua koper beserta tas jinjing, sedangkan Namira tentu memangku Elio yang mulai tidak ingin dengan siapapun selain dirinya.Bayi itu tak pernah dibawa berpergian jauh apalagi naik pesawat, ini pertama kali. Mungkin itulah penyebabnya. Keadaannya terlihat lelah ketika tidur dalam gendongan Namira.Sesekali wanita itu terlihat kesulitan, terus mengubah posisi Elio yang perlahan merosot turun dalam gendongan. Bayinya sudah mulai berat untuk ditopang oleh kedua tangannya yang kecil.“Gantian sini, Ay.”Arhan melepas genggaman pada koper. Tangannya terulur untuk mengambil alih anaknya. Namun Elio sudah merengek ketika kedua tangan Arhan baru menyentuh lipatan ketiak-nya.“Udah nggak apa-apa sama aku aja,” ujar Namira yang tak bisa berbuat apa-apa.“Kasian berat.”“Ya mau gimana lagi. Bentar lagi juga sampe kamar. Masih bisa aku tahan.”Pembicaraan itu tak luput dari perhatian Bima dan Vita
“Kata temanku ada lava cake yang enak banget di sini, Mir.” Vita terus memandangi jalanan untuk menemukan satu tempat yang ia maksud.Matanya tak berhenti mencari dan memastikan nama tempat itu sesuai dengan apa yang telah ia ketahui.“Itu, tuh, tempatnya.” Tunjuk Vita antusias. Tubuhnya berputar seolah takut kehilangan tempat itu. Rasanya Vita ingin memasuki area parkir saat itu juga dan segera memesan untuk mencicipi seenak apa sehingga banyak temannya yang merekomendasikan.“Nanti abis makan kita ke sana yuk, Kak! Mau coba juga,” ajak Namira yang juga penasaran setelah mendengar cerita dari Vita sebelumnya. Kedua perempuan itu menyukai makanan manis. Jadi akan sangat disayangkan jika melewatkan makanan yang kata orang ramai pembeli dan juga enak.“Mau banget.”“Mas nanti sebelum pulang mampir ke sana dulu, ya,” pinta Namira seraya menunjuk tempat yang sudah jauh terlewat.Arhan yang tengah mengemudi mengangguk seraya tersenyum tanpa melepaskan fokus pada setir mobil yang diputar pe
Seluruh pesanan sudah tersaji di meja.Kedua wanita dengan gelar yang sama sibuk mengambilkan nasi untuk suaminya masing-masing. Kemudian membiarkan mereka memilih lauk mana yang akan menjadi pelengkap nasi.Jika Bima melakukannya sendiri sehingga bisa menakar seberapa banyak yang mampu ia habiskan, berbeda dengan Arhan yang hanya bisa menunjuk apa yang ia inginkan. Lelaki itu tak bisa bergerak bebas ketika ada Elio di pangkuan.Makan dengan memangku bayi mungkin akan membuat siapapun kerepotan termasuk Arhan. Tapi lelaki itu tetap saja menolak ketika Namira meminta Elio selagi suaminya mengisi perut.“Kamu makan aja yang nyaman,” komentar Arhan ketika istrinya lagi-lagi mengutamakan kenyamanan-nya ketika menyuap nasi.Meskipun selama ini kepedulian Arhan tak kurang sedikitpun. Namun rasanya kali ini perhatian sang suami terlalu tumpah ruah. Dalam segi fisik maupun emosi.Jika memutar kembali peristiwa sebelumnya, harusnya hubungan mereka tidak baik-baik saja dengan adanya masalah yan
Benar kata orang bahwa tidak ada penyesalan di awal. Penyesalan selalu datang di akhir. Itu yang tengah Arhan rasakan saat ini.Kedua matanya tak lepas dari dua wanita yang tengah melangkah keluar dari minimarket dengan mendorong pintunya kesusahan sebab ada dua kantong besar di masing-masing tangan mereka. Jadi jumlah ada empat kantong.Ternyata usulan-nya untuk mampir ke minimarket guna mengembalikan suasana hati sang istri berujung tak baik. Sepertinya seluruh isi kartu ATM terkuras habis.“Perasaan tadi aku nyuruh beli es krim aja, deh, Kak. Tapi kenapa jadinya kayak mau beli seisi minimarket?”Bima yang duduk di samping kemudi pun menyesali sudah menyetujui usulan Arhan yang sebelumnya terasa meringankan beban. Tapi sekarang justru beban itu terasa menumpuk.Bukan karena mereka sedang mengirit atau pelit. Tapi kebiasaan para wanita itu masih belum bisa mereka terima ketika membeli barang yang mudah ditemukan dengan porsi yang banyak dan biasanya makanan itu bisa habis dalam sekal