Seluruh pesanan sudah tersaji di meja.Kedua wanita dengan gelar yang sama sibuk mengambilkan nasi untuk suaminya masing-masing. Kemudian membiarkan mereka memilih lauk mana yang akan menjadi pelengkap nasi.Jika Bima melakukannya sendiri sehingga bisa menakar seberapa banyak yang mampu ia habiskan, berbeda dengan Arhan yang hanya bisa menunjuk apa yang ia inginkan. Lelaki itu tak bisa bergerak bebas ketika ada Elio di pangkuan.Makan dengan memangku bayi mungkin akan membuat siapapun kerepotan termasuk Arhan. Tapi lelaki itu tetap saja menolak ketika Namira meminta Elio selagi suaminya mengisi perut.“Kamu makan aja yang nyaman,” komentar Arhan ketika istrinya lagi-lagi mengutamakan kenyamanan-nya ketika menyuap nasi.Meskipun selama ini kepedulian Arhan tak kurang sedikitpun. Namun rasanya kali ini perhatian sang suami terlalu tumpah ruah. Dalam segi fisik maupun emosi.Jika memutar kembali peristiwa sebelumnya, harusnya hubungan mereka tidak baik-baik saja dengan adanya masalah yan
Benar kata orang bahwa tidak ada penyesalan di awal. Penyesalan selalu datang di akhir. Itu yang tengah Arhan rasakan saat ini.Kedua matanya tak lepas dari dua wanita yang tengah melangkah keluar dari minimarket dengan mendorong pintunya kesusahan sebab ada dua kantong besar di masing-masing tangan mereka. Jadi jumlah ada empat kantong.Ternyata usulan-nya untuk mampir ke minimarket guna mengembalikan suasana hati sang istri berujung tak baik. Sepertinya seluruh isi kartu ATM terkuras habis.“Perasaan tadi aku nyuruh beli es krim aja, deh, Kak. Tapi kenapa jadinya kayak mau beli seisi minimarket?”Bima yang duduk di samping kemudi pun menyesali sudah menyetujui usulan Arhan yang sebelumnya terasa meringankan beban. Tapi sekarang justru beban itu terasa menumpuk.Bukan karena mereka sedang mengirit atau pelit. Tapi kebiasaan para wanita itu masih belum bisa mereka terima ketika membeli barang yang mudah ditemukan dengan porsi yang banyak dan biasanya makanan itu bisa habis dalam sekal
“Kak sini, deh.”Vita yang sudah duduk bersila di kasur lengkap dengan sekantung makanan ringan di depannya memanggil Bima yang tengah merapikan beberapa baju yang berserakan untuk dimasukkan ke dalam koper dengan sembarang. Lelaki itu selesai berganti pakaian.“Sebentar,” jawabnya tanpa menoleh.Awalnya Vita hendak menunggu suaminya mendekat. Menatap langsung pada iris-nya pasti akan jauh lebih bisa mendalami apa yang akan dibicarakan. Tapi ia sudah tidak bisa lagi menahan untuk tak membahas masalah yang sedang ia pikirkan. Pikirannya melayang pada percakapannya bersama sang adik ipar.“Kakak tau nggak kalau ini liburan pertama Namira sama Arhan?”Bima menoleh dengan tubuh membungkuk. Gerakan tangannya terhenti dari mengambil sisa barang yang tergeletak. “Nggak tau. Emang iya?”Vita mengangguk tanpa membiarkan mulutnya berhenti mengunyah. Ada suara berisik dari bungkus makanan sebab posisi duduk yang dibenahi, menghadap Bima. “Namira yang cerita sama aku.”Langkah Bima dibawa mendeka
Jika Arhan masih betah memandangi Elio bahkan ketika bayi itu tertidur. Namira justru tak lelah memerhatikan raut bahagia yang belum luntur di wajah sang suami. Untuk pertama kalinya merasakan sesuatu yang begitu megah, bukan hanya untuk Arhan tapi juga dirinya selaku ibu dari bayi yang tengah terlelap itu.Mungkin terdengar berlebihan bagi sebagian orang. Tapi bagi mereka ini adalah hal luar biasa selama hidup. Kehadiran bayi tampan yang katanya mendominasi wajah Arhan saja masih belum mereka percayai. Apalagi ketika kata pertama yang keluar adalah sapaan manis yang datangnya tanpa permisi. Memenuhi indra pendengaran serta mendatangkan perasaan meletup di dada.“Udah, Ay. Nanti El kebangun, loh.”Sorot mata Arhan begitu mengganggu bagi Namira sebab ini adalah kali kedua tatapan haru itu ia lihat, yang pertama adalah ketika Elio pertama kali menyapa dunia. Bukan mengganggu dalam artian yang buruk. Namira hanya belum terbiasa. Tapi wanita itu merasa senang.Kedua kaki dilipat bersila d
Sadar amarah menguasai dirinya, Arhan pergi agar bisa menenangkan diri. Laki-laki itu tak bisa lagi menahan rasa cemburu yang kian menumpuk kala bayangan tentang sang istri dengan laki-laki bernama Iyan itu kembali menjalin komunikasi.Tak ada lagi yang bisa mencegahnya untuk mengeluarkan kata-kata yang mungkin atau sangat menyakiti hati Namira, kecuali dengan menyendiri. Arhan ingin memberi waktu untuk mereka berdua menjernihkan pikiran sebelum nanti kembali membicarakan masalah ini.Arhan berulang kali menghela napas berat, bahkan dapat didengar oleh Bima yang berada tak jauh di belakangnya. Kursi disebelah adik iparnya ditarik hingga membuat laki-laki itu menoleh.Arhan tersenyum tipis kala melihat kedatangan Bima, namun tak begitu membuatnya senang. Jauh di dalam lubuk hati Arhan, ia ingin Bima segera pergi meski kakak iparnya itu baru sampai. Setidaknya membiarkan ia sendiri lebih lama agar bisa leluasa menormalkan perasaan kalut yang masih belum bisa Arhan singkirkan.Namun, sat
Arhan mengambil langkah besar dengan hati yang kian membaik setelah berbicara dengan kakak iparnya. Laki-laki pemilik alis tebal itu tersenyum simpul kala membayangkan ekspresi sang istri menerima bingkisan cantik berisi makanan manis kesukaannya. Ia harap hadiah kecil itu mampu meredam amarah serta menjadi pembuka pembicaraan serius yang akan kembali mereka bahas.Arhan berdiri sebentar di depan pintu yang tertutup, ia menarik napas panjang dan mengeluarkannya perlahan. Perasaan bahagia itu sulit ia kendalikan kala kepalanya penuh oleh bayangan tentang masalah yang sudah berlarut-larut akhirnya akan selesai.Tangannya bergerak meraih sebuah kartu pada saku yang menjadi alat pembuka kunci dengan cara menempelkannya pada bagian atas gagang pintu yang diikuti bunyi sebagai pertanda bahwa kini ia bisa memasuki kamar hotel dan berbicara bersama sang istri.Pemandangan pertama yang ia lihat berhasil mengulur garis senyum yang semula terasa sulit dilonggarkan, tergantikan oleh rasa kasihan
Kelopak mata Namira terbuka setelah mendengar suara gemericik dari kamar mandi. Kepalanya bergerak ke kanan dan kiri untuk melihat sekeliling, ia bisa tahu melalui gorden yang transparan kalau malam sudah berlalu tapi matahari belum muncul. Segera ia bawa tubuhnya untuk duduk demi mengumpulkan energi seraya mencari sosok tinggi yang belum ia temui sejak pertengkaran semalam, bahkan ketika ia terbangun sebab Elio menangis pun matanya belum melihat sang suami dalam jarak pandangnya.Dimanakah semalam suaminya menghabiskan waktu?Namira menatap kamar mandi yang hanya beberapa langkah dari tempat tidur. Kepalanya tak bisa diam memikirkan tempat dan seseorang yang bersama sang suami semalam. Ia ingin mempercayai satu sisi yang mengatakan bahwa suaminya menghabiskan waktu sendiri untuk menenangkan kekacauan hati sebab informasi yang didapat tentang keberadaan Iyan saat ini, tapi ia juga tak bisa menepis segala kemungkinan lain jika mengingat tak sedikit turis yang mengunjungi pulau indah in
Bagaimana bisa sampai sejauh ini?Namira menatapi punggung suaminya yang tengah menaikkan barang bawaan mereka ke dalam mobil yang sebelumnya sudah dipesan, ia larut dalam lamunan selama menunggu bersama Elio. Tak menyangka kejadian yang berawal dari ketidak sengajaan membawa rumah tangga mereka sampai sekacau ini.Benar apa kata pepatah bahwa sepandai-pandai tupai melompat, sekali gawal (terjatuh) juga. Harusnya ia sudah membuang yang berhubungan dengan masa lalu pada awal mereka mengikat janji dan memulai hidup baru sebagai pasangan suami-istri.“Namira!”Sebuah suara mengudara sampai membuyarkan semua lamunannya. Namira menoleh begitu juga dengan Arhan yang menghentikan kegiatannya untuk bisa melihat Vita berlari kecil menghampiri mereka dengan Bima yang berjalan santai di belakang.“Lagi ngapain di sini?”Kepalanya menatap koper yang sedang disusun rapi dalam bagasi mobil. Ia melihat Namira, Arhan, dan Bima bergantian. Berharap diantara ketiganya ada yang mau menjelaskan meski ia
Entah pada kata yang mana, hati Iyan melembut sejenak mendengar permintaan maaf dari Raya. Namun tak lama ia kembali mengamuk. Dalam kesadarannya mendadak tak terima jika ia mengampuni wanita itu dengan mudah. Padahal ini sudah berlangsung bertahun-tahun.Iyan berteriak. Menepis tangan Arhan yang mencoba menahan untuk tak kembali menerjang Raya. Laki-laki itu berlalu pergi keluar sampai membuat Namira melongo dan meminta suaminya untuk mengejar sebab masalah mereka belum selesai. Rencana ini harus tetap berjalan bagaimana pun caranya.Saat Namira tengah meminta suaminya untuk melakukan sesuatu, Iyan kembali masuk dengan cara berjalan mundur. Di depannya ada dua orang bertubuh kekar yang menghadang langkah laki-laki itu yang akan meninggalkan villa.“Apa maksudnya ini?” tanya Iyan pada Arhan yang menyunggingkan senyum. Kini tubuhnya sudah sepenuhnya berbalik dan dua orang tak dikenal itu berdiri di belakangnya.Arhan memasukkan dua tangannya pada saku celana. “Siapa yang izinin kamu pe
Iyan refleks berdiri. Ia menghadang Arhan yang berjalan mendekat ke arah mereka seorang diri. Laki-laki itu tahu alasan Namira kabur karena sang suami yang berselingkuh sehingga membuat wanita itu memilih pergi. Ia mencoba melindungi mantan kekasihnya dari suaminya, takut-takut akan menarik pulang dengan paksa apalagi melihat tengah bersama dengan dirinya.Mata kedua laki-laki itu bertemu, saling memandang dengan tatapan sengit penuh pertarungan lewat sorot yang tajam. Langkah Arhan begitu tegas, tapi tak membuat Iyan ciut hanya karena hal itu. Laki-laki itu justru semakin mengepalkan tangan yang terentang, menyembunyikan Namira beserta anaknya di balik punggung. “Kamu diem di situ aja. Biar aku yang hadapi dia.”Andai Namira tengah berada dalam huru-hara rumah tangga yang sebenarnya atau kejadian saat ini sesuai dengan yang Iyan pikirkan, sudah pasti ia terbuai dengan apa yang mantan kekasihnya itu lakukan.Sikap Iyan benar-benar mencerminkan seorang laki-laki pelindung, yang kebanya
Karena tiba-tiba ada rencana yang harus dirubah sebab keberadaan Iyan yang tak di sangka-sangka ternyata ada di hotel yang sama dengan Namira. Wanita itu dengan spontan menjalankan rencana di luar yang sudah disepakati.Namira pikir, mengoptimalkan rencana untuk menggaet Iyan tanpa meninggalkan curiga adalah usaha untuk membuat laki-laki itu tetap ada dalam jangkauannya. Itu sebabnya ia meminta tolong pada sang mantan kekasih untuk mengantar dirinya ke villa.Semula Namira merasa bangga akan hal itu, tapi ternyata malah menjadi boomerang untuknya sampai semalaman terpikirkan beberapa kemungkinan buruk yang akan menimpa dirinya dan sang anak.Beruntung semalam Pak Marwan sudah mendapatkan kunci dari sang pemilik villa, jadi pagi ini Namira tinggal menempatinya saja tanpa dicurigai oleh Iyan.Sesampainya mereka di villa. Iyan dengan sigap membantu menurunkan barang-barang milik Namira. Dua tas jinjing di kedua tangannya bukanlah sesuatu yang merepotkan, beratnya saja tak terasa menurut
Akhirnya mereka sampai pada hari di mana akan membungkam dan membuat Iyan dan Raya tak bisa berkutik lagi. Namira berharap semuanya berjalan lancar hari ini supaya bisa fokus pada hal lain yang tak kalah penting.Karena nyatanya masalah yang menimpa rumah tangganya bisa berpengaruh besar ke segala hal dalam hidup mereka, tak terkecuali dampak utamanya adalah hubungannya dengan Arhan.Berbicara tentang hari ini, semalam Namira sudah memberitahu Arhan semuanya mengenai pertemuan tak sengajanya dengan Iyan. Memang ia tak tahu apa yang sebenarnya mantan kekasihnya itu lakukan di Bandung.Namun mengingat laki-laki itu memang asli orang Bandung dan orang tuanya yang baru ia ketahui ternyata Pak Ato juga ada di kota yang sama dengannya saat ini. Jadi tidak menutup kemungkinan kalau salah satunya urusan Iyan adalah mengunjungi ayahnya.Jika diperkenankan untuk berpikir lebih luas lagi. Sebenarnya ada yang mengganggu pikiran Namira tentang keberadaan Iyan yang katanya baru sampai kemarin. Apa
Sesampainya di lobi hotel, Namira menghampiri resepsionis terlebih dahulu untuk mengkonfirmasi pesanannya yang dilakukan melalui sebuah aplikasi yang bekerja sama dengan hotel tersebut.Namira tidak langsung pergi untuk beristirahat dengan nyaman, ia memilih untuk duduk sebentar di lobi hotel sembari menunggu Pak Marwan selesai mengangkut semua barang bawaan mereka.Dalam beberapa detik mata Namira menangkap sosok laki-laki yang sebelumnya tidak ia ketahui keberadaannya. Bahkan ia sempat kebingungan untuk membuat sang mantan kekasih untuk mau menemuinya, tapi Tuhan sepertinya tengah berpihak padanya saat ini.Senyum Namira tersungging senang, lalu ia merapikan penampilannya. Satu tas yang tergeletak tak jauh darinya dengan ukuran sedang dan tidak terlalu berat semakin membuat otaknya bekerja lebih cepat. Semua pertanyaan yang mungkin akan dilontarkan Iyan sudah memiliki jawaban di kepalanya.Mata mereka bertemu kala Namira mengangkat kepala. Ia bisa melihat bahwa Iyan terkejut dengan
“Pak kita ke villa dulu, ya,” ucap Namira yang seketika teringat jika tugas kedua setelah mengecek kondisi rumah orang tuanya adalah mengunjungi penginapan yang sebelumnya mereka sewa untuk melancarkan aksinya besok.Tak ada anggukan atau sesuatu yang menunjukkan kesediaan Pak Marwan dalam menunaikan perintah majikannya itu. Namira sempat mengernyitkan dahi, tapi tak mau ambil pusing. Sudah pasti laki-laki paruh baya itu akan menuruti segala perintahnya saat ini sebab tidak mungkin menunggu persetujuan suaminya dulu.Namun tiba-tiba mobil yang mereka kendarai, Pak Marwan bawa untuk menepi. “Ada apa, Pak?” tanya Namira yang semakin mengernyitkan dahinya. Ia menatap sekeliling, jelas sekali saat ini mereka belum sampai di villa apalagi hotel.Sang sopir itu mengeluarkan ponselnya tanpa berniat mengucapkan apapun kepada Namira yang seketika menjadi marah sebab beranggapan kalau Pak Marwan akan menghubungi suaminya untuk meminta izin membawanya ke villa bukan ke hotel, sesuai yang Arhan u
Berbeda dengan Arhan yang sudah melacarkan aksinya sebelum ia benar-benar pergi ke Bandung. Namira justru sama sekali belum melakukan apapun untuk membuat Iyan mau menemuinya besok. Ia baru sampai di rumah orang tuanya. Dugaannya ternyata benar bahwa rumah yang ditinggali oleh orang tuanya sebelum meninggal itu sudah seperti rumah hantu, bangunan terbengkalai dan tak layak huni. Apa yang dikatakan suaminya pun sepenuhnya benar kalau Pak Ato tidak melakukan pekerjaannya dengan baik, sama seperti masalah kosan yang keadaannya tidak seasri dulu. Namira membuang napas berat, sebelum ia turun untuk mengambil gambar supaya bisa ditunjukkan pada suaminya. Terlebih dahulu ia menghubungi saudara satu-satunya yang ia miliki sebab Bima lah yang menjadikan Pak Ato sebagai penanggung jawab atas bagian luar rumah itu, tapi tak dilakukan dengan benar. Sambungan telepon itu tak kunjung mendapatkan jawaban sampai wanita itu berdecak sebal. "Mana, sih, Kak Bima? Kenapa nggak angkat teleponnya?"
Sepeninggal istri dan anak juga Pak Marwan. Laki-laki yang kedapatan pergi besok untuk menyusul Namira kini tengah duduk di meja makan.Lebih tepatnya Arhan mengikuti langkah Bi Ida hingga dapur. Ia duduk di sana sementara wanita paruh baya itu menyelesaikan pekerjaan yang sempat tertunda karena kepergian majikannya.Keduanya sibuk dengan kegiatan masing-masing. Tak ada yang berniat membuka suara. Apalagi Bi Ida meskipun sudah lama bekerja dengan Arhan, jika di hadapkan dengan laki-laki itu tetap saja bingung mau memulai pembicaraan apa untuk memecah keheningan.Suasana diantara mereka terkesan canggung meskipun Bi Ida saat ini tengah membelakangi majikannya. Arhan pula tak memedulikan apa yang dilakukan pembantunya di sana. Laki-laki itu hanya merasa kesepian setelah kepergian istri beserta anaknya, jadi di sanalah ia sekarang. Mengalihkan kekosongan dengan kehadiran wanita yang sibuk dengan aktivitasnya.Arhan memainkan ponsel sejak tadi. Ia mulai melancarkan aksi untuk membuat Raya
“Doain lancar dan selamat sampai tujuan, ya, Mas.”Namira mengutarakan permohonan dari ketakutan sebab akan menempuh perjalanan berjam-jam tanpa didampingi suaminya. Ia hanya akan ditemani oleh Pak Marwan sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya. Tentu ini juga menjadi pengalaman pertama selama menikah. Biasanya kemanapun dan mau sejauh apapun pasti Arhan akan selalu berada di sampingnya untuk menemani dan berbagi tugas atas Elio. Namun kali ini sepertinya ia akan mengendalikan dirinya sendiri sebelum laki-laki itu menyusul ke Bandung.Pelukan Namira semakin lama semakin erat. Tak mau berpisah dengan suaminya yang justru tengah merasakan kegembiraan sebab tingkah laku wanita itu yang manja. Berbeda dengan bayangannya saat laki-laki itu mengajaknya pulang. Ia kira yang akan didapatkan itu gerutuan, tatapan sinis, bahkan menghindari dirinya, tapi ternyata semua itu terjadi sebaliknya. Contohnya seperti sekarang ini.“Selalu aku doakan, Sayang. Nanti di sana minta tolong sa