Kelopak mata Namira terbuka setelah mendengar suara gemericik dari kamar mandi. Kepalanya bergerak ke kanan dan kiri untuk melihat sekeliling, ia bisa tahu melalui gorden yang transparan kalau malam sudah berlalu tapi matahari belum muncul. Segera ia bawa tubuhnya untuk duduk demi mengumpulkan energi seraya mencari sosok tinggi yang belum ia temui sejak pertengkaran semalam, bahkan ketika ia terbangun sebab Elio menangis pun matanya belum melihat sang suami dalam jarak pandangnya.Dimanakah semalam suaminya menghabiskan waktu?Namira menatap kamar mandi yang hanya beberapa langkah dari tempat tidur. Kepalanya tak bisa diam memikirkan tempat dan seseorang yang bersama sang suami semalam. Ia ingin mempercayai satu sisi yang mengatakan bahwa suaminya menghabiskan waktu sendiri untuk menenangkan kekacauan hati sebab informasi yang didapat tentang keberadaan Iyan saat ini, tapi ia juga tak bisa menepis segala kemungkinan lain jika mengingat tak sedikit turis yang mengunjungi pulau indah in
Bagaimana bisa sampai sejauh ini?Namira menatapi punggung suaminya yang tengah menaikkan barang bawaan mereka ke dalam mobil yang sebelumnya sudah dipesan, ia larut dalam lamunan selama menunggu bersama Elio. Tak menyangka kejadian yang berawal dari ketidak sengajaan membawa rumah tangga mereka sampai sekacau ini.Benar apa kata pepatah bahwa sepandai-pandai tupai melompat, sekali gawal (terjatuh) juga. Harusnya ia sudah membuang yang berhubungan dengan masa lalu pada awal mereka mengikat janji dan memulai hidup baru sebagai pasangan suami-istri.“Namira!”Sebuah suara mengudara sampai membuyarkan semua lamunannya. Namira menoleh begitu juga dengan Arhan yang menghentikan kegiatannya untuk bisa melihat Vita berlari kecil menghampiri mereka dengan Bima yang berjalan santai di belakang.“Lagi ngapain di sini?”Kepalanya menatap koper yang sedang disusun rapi dalam bagasi mobil. Ia melihat Namira, Arhan, dan Bima bergantian. Berharap diantara ketiganya ada yang mau menjelaskan meski ia
Perjalanan mereka hampir selesai, tinggal menunggu mobil jemputan datang untuk mengangkut ketiganya dan semua barang bawaan yang ditaruh tak jauh dari mereka.Selama dalam perjalanan Namira hanya sibuk mengurusi Elio, tak peduli dengan Arhan dan sederet barang-barang merepotkan yang tengah diurus. Biarkan suaminya yang irit bicara itu menanganinya sendirian.Namira paham dan sadar betul jika ia bersalah dalam masalah ini tapi dengan tidak memedulikan anak dan istri itu keterlaluan apalagi sampai berjam-jam. Maka dengan sengaja ia pun ikut tak memedulikan suaminya yang beberapa kali terlihat kerepotan dengan benda-benda besar dan berat itu.Hanya dalam waktu sepuluh menit setelah sampai beranda bandara, mobil yang sering digunakan suaminya untuk pergi bekerja datang, seseorang keluar dari balik pintu kemudi dengan langkah cepat membuka bagasi dan mengangkut barang bawaan mereka yang kebanyakan tak terpakai. Sia-sia berkemas dan memilah dengan hati-hati waktu itu.Arhan duduk di belakan
Kali ini Arhan terbebas dari tugas berat mengangkat koper dan barang bawaan lain. Tugas itu sudah diambil alih oleh Pak Marwan yang sampai bolak-balik berulang kali dari mobil di halaman ke dalam rumah.Arhan berlalu terlebih dahulu, meninggalkan istri dan anak hanya untuk meraih sofa di ruang tamu untuk merebahkan tubuhnya. Perjalanan berjam-jam di pesawat nyatanya memberikan kesan tak nyaman, ditambah dengan suasana hati yang tidak stabil.“Mas kalau mau istirahat mending di kamar, biar nggak ke ganggu,” ucap Namira yang menghentikan langkah setelah mendapati suaminya tengah menutup mata dengan tangan yang bertumpu di atasnya.Hening. Tak ada jawaban apapun. Laki-laki itu seolah sudah tertidur lelap sejak punggungnya bersentuhan langsung dengan empuknya sofa yang berwarna abu muda itu.Namira menggelengkan kepala, ia tak lagi memedulikan sang suami setelah tak mendapatkan respon apapun. Mungkin Arhan masih ingin mendiaminya, pikir Namira. Wanita itu tak mau ambil pusing, biarkan Arh
Keadaan hati Namira berangsur membaik. Perasaan gugup itu hilang seketika, tergantikan dengan keinginannya menyelesaikan masalah ini dengan segera. “Salah satu alasan kita pulang karena mau bahas ini kan, Mas?”Wajah yang setiap hari ia lihat, ekspresi yang selalu menghadirkan kenyamanan, serta perkataan yang memberikan ketenangan. Namira tidak mau kehilangan itu semua hanya karena beberapa hal yang belum ia ceritakan secara lengkap.Masalah yang terjadi sekarang ini tidak bisa sepenuhnya ia katakan menguntungkan. Namun memang ada untungnya dengan beberapa kesalahpahaman yang tak jarang menyulut emosi keduanya. Sebab kali ini Namira bisa dengan leluasa menceritakan segala keresahan dan ketakutan yang selama ini ia rasakan.“Mas harus tahu kalau selama ini aku sulit melupakan Iyan. Dia itu mantan terindahku.”Tubuh Arhan seketika berubah tegap atas pengakuan istrinya. Wajahnya menunjukkan keterkejutan dengan sorot mata yang tidak percaya.Namira sudah menduga reaksi yang akan diberikan
“Kamu sampe segitunya nggak mau nikah sama aku?”Namira berhasil membawa percakapan tentang masalah yang belakangan ini menyulut emosi keduanya menjadi obrolan santai yang bisa sambil dinikmati dengan secangkir kopi.Wanita yang sejak tadi sibuk bercerita itu tersenyum. “Mas juga kan awalnya nggak mau sama perjodohan ini.”Arhan balas tersenyum. Cerita panjang sang istri berhasil menariknya kembali ke masa itu. Euforia yang membuat hatinya berdebar kencang setelah bertatapan langsung dengan mata bulat sang istri untuk pertama kali kembali ia rasakan.“Tapi surat wasiat itu beneran ada?” Arhan bertanya memastikan. Alih-alih menjawab ucapan istrinya, ia lebih tertarik dengan surat wasiat yang sebelumnya Namira sebutkan. Ia sebagai anak saja baru mendengar hal ini. Arhan kira perjodohan yang diinginkan orang tuanya itu untuk kebutuhan bisnis atau sekedar ucapan asal dari teman dekat yang ingin menjodohkan anak mereka supaya bisa menjadi besan.Wanita yang kini lebih santai berhadapan den
Arhan menarik Namira dalam pelukan setelah wanita itu sibuk menyembunyikan wajahnya di balik telapak tangan. Suara tangisnya semakin keras dan menyesakkan. Napasnya begitu sulit diatur sampai tersendat-sendat dengan diselingi permintaan maaf yang terus keluar.Pada saat yang sama, dalam keadaan hati yang kembali sakit, Namira menyesal telah menceritakan detail kejadian di masa lalu. Ia hanya ingin menyampaikan pada suaminya bahwa dia adalah laki-laki yang sudah sangat dipercaya oleh ayahnya. Laki-laki yang memiliki segala perilaku yang dinilai tak ada jeleknya, dalam artian dia adalah menantu yang sempurna di mata ayahnya, begitupun menurutnya setelah menjalani rumah tangga ini. Arhan adalah suami yang penuh akan kasih dan sayang.Namun ternyata setelah mendengar ungkapan sang suami mengenai ia yang menggunakannya demi melupakan Iyan sampai beranggapan bahwa ia telah berprilaku jahat, tentu membuatnya serba salah. Apakah itu artinya Arhan tak menginginkan pernikahan ini jika sejak awa
“Sialan.”Sebuah umpatan mengejutkan Arhan yang tengah duduk dengan memangku laptop di sofa yang berada di kamarnya. Kedua matanya terbelalak kala satu kata asing menyapa gendang telinga.Pekerjaan yang semula menjadi fokus utama, kini beralih pada seonggok wanita yang terbaring dengan ponsel yang sedang dipegangnya. Tiba-tiba Arhan tersenyum membayangkan ponsel itu akan meluncur jatuh tepat di wajah sang istri jika tidak dengan benar memegangnya.“Pantesan Mas Arhan marah. Emang kurang ajar si kampret Iyan.” Mulutnya bersungut-sungut dengan wajah penuh emosi, padahal istrinya itu baru bangun tidur. Orang normal mungkin akan diam sebentar untuk mengumpulkan energi, tapi berbeda dengan Namira yang langsung meraih ponsel. Apakah pembicaraan sebelumnya mampir ke dalam mimpi sampai istrinya itu terbangun dan langsung mengecek ponsel untuk memastikan?Arhan tersenyum. Ini pemandangan pertama kali yang ia lihat. Namira dengan umpatan pertama yang juga baru ia dengar. Laki-laki yang sudah me